Penguasaan Dan Pendistribusian Lahan Oleh Rakyat

Andi Achdian

 

________________

Bab I: Pendahuluan

1. Masalah Penguasaan dan Distribusi Lahan di Tingkat Lokal

Suatu ilustrasi tentang bagaimana radikalisasi petani dan penduduk desa terjadi sepanjang periode reformasi ini bisa dilihat dalam kasus aksi-aksi pendudukan lahan oleh petani. Gambaran umum tentang aksi-aksi yang terjadi adalah penduduk desa beramai-ramai membuka lahan tersebut menjadi lahan tanaman pangan dan membagi-bagikannya secara merata di antara mereka merupakan fenomena penting yang patut dipahami.

Berdasarkan proses penelitian awal yang saya lakukan, mekanisme distribusi lahan oleh petani terjadi melalui pembagian lahan yang mereka duduki dengan rata-rata luas lahan berkisar antara 0,2 ha sampai 0,5 ha setiap orangnya. Mekanisme pembagian lahan di kalangan petani menampilkan gejala menarik tentang bagaimana kaum tani di masing-masing tempat menyusun strategi dan melakukan tindakan kolektif yang menantang landasan kekuasaan negara yang hampir tak tertandingi selama tiga dekade kekuasaan otoriter rejim Orde Baru.

Di Tegalbuleud, tempat di mana studi ini dilakukan, aksi itu terjadi sejak bulan Oktober 2000 yang melibatkan ratusan keluarga di beberapa desa kecamatan tersebut. Tetapi sekali lagi perlu ditekankan bahwa pada dasarnya aksi tersebut bukanlah suatu peristiwa yang terjadi secara serentak dan mengikutsertakan seluruh petani di kedua desa. Lebih tepat dikatakan bahwa aksi ini berlangsung secara bergelombang yang didahului oleh orang-orang yang sejak lama telah aktif memperjuangkan tanah yang menurut mereka telah dikuasasi secara sepihak oleh Perhutani. Tindakan mereka pada akhirnya mendorong para petani lainnya untuk turut bersama-sama membuka lahan setelah mendiskusikannya dalam satu kelompok yang terdiri dari tiga puluh sampai lima puluh orang. Catatan penting tentang bagaimana aksi itu berlangsung adalah tingkat harapan dan antusiasme yang muncul dari mereka yang terlibat dalam aksi tersebut. Jelas persoalannya tidaklah sesederhana seperti yang muncul dari asumsi-asumsi yang beredar.

Untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap tentang apa yang disebut sebagai "aksi-aksi pendudukan" lahan, laporan dalam penelitian ini membatasi pada beberapa persoalan utama, yaitu bagaimanakah proses penguasaan dan pendistribusian lahan dilakukan oleh masyarakat di tingkat lokal? Kondisi-kondisi apakah yang terjadi di dalam masyarakat tersebut yang menyebabkan mereka mampu membangun kekuatan untuk menguasai lahan-lahan yang menjadi klaim negara setelah proses reformasi politik bergulir di Indonesia. Padahal, perjuangan menuntut hak-hak dan kompensasi yang adil atas lahan petani yang dirampas secara sepihak telah berjalan selama dua dekade sejak pemerintah Orde Baru mencanangkan program PIR-BUN dan pengembangan tambak udang swasta di Tegalbuleud?

Dengan demikian, fokus penelitian ini akan diarahkan pada dua masalah pokok, pertama, saya terlebih dahulu ingin menguraikan kerangka umum yang menjadi latar-belakang sejarah sosial-ekonomi yang dialami masyarakat Tegalbuleud dan menempatkannya dalam perspektif yang lebih luas tentang apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat pedesaan dibawah kekuasaan rejim Orde Baru dan pola perlawanan/radikalisasi yang muncul di antara petani. Kedua, uraian selanjutnya akan memfokuskan pada apa yang telah terjadi di Tegalbuleud seiring dengan aksi-aksi pendudukan lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Rentang persoalan yang hendak dibahas adalah apa yang menyebabkan petani terlibat dalam aksi pendudukan dan pendistribusian lahan? Bagaimanakah "aksi pendudukan dan distribusi lahan" menjadi pilihan alternatif para petani di Tegalbuleud di antara beragam pilihan aksi yang pernah mereka lakukan? Melalui proses dan mekanisme seperti apakah aksi pendudukan dan distribusi lahan dilakukan oleh penduduk desa? Apa konsekuensi yang kemudian muncul pasca "aksi pendudukan" tersebut?

2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana reaksi-reaksi di pedesaan terhadap berbagai perubahan-perubahan yang disebabkan oleh aktor-aktor di luar desa mereka. Tema ini sudah barang tentu sangat luas. Oleh karena itu, pembahasan penelitian ini akan membatasi pada bagaimana negara tampil sebagai penggerak perubahan dari luar, bagaimana akibatnya terhadap masyarakat desa dan kemudian bagaimana kemudian respon yang dilakukan oleh masyarakat desa terhadap perubahan-perubahan yang mereka alami.

Gejala khusus yang menjadi perhatian saya dalam mengamati bentuk respon yang dilakukan masyarakat pedesaan dibatasi pada masalah sengketa tanah yang banyak mewarnai berbagai bentuk aksi protes dan perlawanan yang dilakukan petani sepanjang dekade 1980-an dan 1990-an di Indonesia. Pembatasan ini perlu saya lakukan mengingat respon yang muncul begitu bervariasi, mulai dari aksi-aksi kekerasan berupa penjarahan, kekerasan yang hampir tidak masuk akal dalam kasus dukun santet dan ninja serta aksi-aksi protes terhadap aparat negara di tingkat lokal yang telah tampil dengan beragam cara. Semua itu menarik untuk diperhatikan. Tetapi, dalam penelitian ini saya ingin membatasi terlebih dahulu pada masalah sengketa tanah dan mengkaji lebih dalam tentang bentuk perlawanan dan protes petani. Protes ini telah muncul di berbagai tempat dengan beragam bentuknya. Di tempat penelitian yang saya lakukan, bentuk protes dan perlawanan petani berkisar pada masalah sengketa tanah yang mulai akut sejak awal dekade 1980-an dan berpuncak pada salah satu bentuk aksi penguasaan tanah oleh petani di tingkat lokal.

3. Kerangka Teoritis

Beberapa studi belakangan ini telah mencoba memberikan penjelasan tentang mengapa dan bagaimana aksi-aksi tersebut terjadi. Dalam studi kasus yang dilakukan di Jawa Barat, peneliti Anton Lucas dan Dianto Bachriadi telah mencoba mendokumentasikan peristiwa-peristiwa yang terjadi di wilayah Tapos dan Cimacan dengan sangat menarik.1) Studi ini sangat berguna bagi setiap peneliti yang menginginkan pemahaman tentang bagaimana konflik antara petani, negara dan pengusaha terjadi sepanjang masa Orde Baru dan bagaimana buah konflik tersebut pada masa-masa selanjutnya saat kekuasaan Orde Baru runtuh. Uraian menarik lainnya tentang fenomena yang sama juga muncul dalam sebuah tulisan pendek di surat kabar yang ditulis oleh Hotman Siahaan. Dalam tulisan singkatnya tentang berbagai aksi protes petani di wilayah Jawa Timur seperti Jenggawah, Banongan, Pasuruan dan Simojayan Malang, Hotman mengemukakan bahwa krisis agraria yang dipicu oleh negara dan pasar yang menciptakan keruntuhan keamanan ekonomi petani dan melemahnya dasar-dasar kehidupan pedesaan sebagai picu radikalisme yang sekarang ini terjadi.2)

Literatur tentang gerakan protes dan perlawanan kaum tani banyak memusatkan perhatian pada sejauh mana hubungan kaum tani dengan negara dan cara produksi kapitalistik yang kemudian mendorong lahirnya gerakan protes dan perlawanan. Pendekatan semacam ini memberikan suatu pemahaman yang cukup mengesankan tentang hubungan dialektis antara dominasi dan resistensi, ideologi, bentuk dan tujuan gerakan yang dilakukan oleh kaum tani. Sejarawan Harry J. Benda meneguhkan melalui tulisannya bahwa gerakan petani adalah suatu model gerakan yang berbeda dengan gerakan-gerakan lainnya di wilayah perkotaan karena apa yang dilakukan oleh kaum tani seringkali untuk "memperbaiki dan menciptakan kembali kesimbangan sosial yang dilakukan dalam konteks lokal." 3) Penulisan sejarah gerakan petani di Indonesia seperti dalam karya Sartono Kartodirdjo dan Ong Hok Ham menampilkan kecenderungan seperti itu melalui transformasi sosial besar-besaran dalam akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Studi Kartodirdjo tentang gerakan petani Banten menunjukkan bagaimana berbagai unsur dalam gerakan kaum tani, kepemimpinan, ruang lingkup, ideologi dan tingkat partisipasi mencerminkan struktur sosial-politik lokal yang erat.4) Disertasi Ong Hok Ham tentang hubungan petani dan priyayi pada abad ke-19 memperjelas pemahaman tentang perlawanan kaum tani yang merupakan produk perluasan kebijakan-kebijakan negara kolonial yang semakin mencengkram wilayah pedesaan melalui sistem perkebunan modern.5)

Lebih lanjut, Sartono Kartodirdjo dalam studinya tentang gerakan-gerakan sosial di pedesaan mengemukakan bahwa protes petani yang terjadi di Jawa pada masa kolonial dan pasca-kolonial berkaitan erat dengan situasi sosial yang tidak adil yang dialami oleh kaum tani. Lebih lanjut, Kartodirdjo mengemukakan bahwa gerakan-gerakan tersebut senantiasa muncul melalui ekspresi keagamaan yang melandasi ideologi gerakan, atau apa yang ia sebut sebagai gerakan juru selamat (mesianisme), ratu adil (millenarisme), gerakan kenabian (prophetisme), penghidupan kembali (revivalisme) dan gerakan pribumi (nativisme).6) Dengan perkataan lain, gerakan keagamaan adalah selubung paling efektif gerakan sosial di pedesaan yang menuntut tata sosial yang lebih adil bagi masyarakat desa. Di samping Kartodirjdo, kajian lain tentang gejolak pedesaan di Indonesia banyak pula mengambil inspirasi dari karya Clifford Geertz yang menurutnya terpilah dalam apa yang ia sebut sebagai aliran yang terpilah dalam kategori abangan, santri dan priyayi. Pola aliran semacam ini kemudian menjadi cerminan bentuk konflik yang terjadi di tingkat lokal maupun nasional seperti yang terjadi pada konflik politik pada masa Orde Lama. Kedua tema diatas menjadi pandangan yang cukup dominan di kalangan peneliti saat mencoba memahami bagaimana pola-pola konflik yang terjadi di dalam masyarakat pedesaan.

Studi-studi tentang gerakan petani dan politik pedesaan setelah periode revolusi Indonesia menampilkan aksi-aksi pendudukan kaum tani terhadap lahan-lahan perkebunan yang telah ditinggalkan oleh pemilik sebelumnya di Jawa dan Sumatra.7) Konflik yang terjadi kemudian dalam periode 1950-an adalah antara petani di wilayah perkebunan dengan negara yang mencoba untuk menata kembali sistem perekonomian nasional melalui restorasi lahan-lahan perkebunan kepada pemilik semula dan kemudian diikuti dengan program nasionalisasi pemerintah pada pertengahan tahun 1950-an. Pada dekade 1960-an, para penulis tentang gerakan petani memaparkan tentang perkembangan di wilayah pedesaan melalui konflik-konflik antara kaum petani berdasarkan isu kelas yang dimotori oleh PKI dan organisasi massanya. Kebanyakan studi-studi pada periode ini menekankan pencarian pada faktor-faktor penyebab konflik di wilayah pedesaan dengan melihat kondisi struktural serta kultural.

Pada masa Orde Baru, studi-studi tentang protes petani dan gerakan yang muncul kemudian dilatarbelakangi oleh upaya memahami bagaimana hubungan antara negara dan masyarakat terhadap penguasaan sumberdaya alam. Studi-studi menarik tentang gerakan protes petani menawarkan perspektif semacam ini melalui berbagai studi kasus seperti yang terjadi dalam protes petani di Jenggawah, Nipah, Cimacan, Rancamaya dan lain-lainnya. Selain itu, terdapat juga studi-studi yang melihat gejala polarisasi di pedesaan yang didasarkan pada intervensi negara terhadap kaum tani melalui berbagai program pembangunan seperti revolusi hijau, modernisasi dan intensifikasi produksi pertanian. Meskipun demikian, kerangka konseptual semacam itu menjadi terlalu sederhana saat dihadapkan dengan realitas aksi-aksi pendudukan lahan yang dilakukan oleh kaum tani sekarang ini. Berlainan dengan asumsi Kartodirdjo, aksi-aksi tersebut terjadi tanpa mengusung simbol-simbol keagamaan seperti yang dikemukakan dalam kajiannya. Begitu juga dengan pemilahan kaum tani dalam pola aliran seperti yang dikemukakan oleh Geertz.

Rentetan aksi-aksi kaum tani yang terjadi sekarang ini lebih mengedepankan suatu bentuk konflik terhadap negara dalam pola aksi yang rasional dan tuntutan yang tegas terhadap hak-hak atas tanah yang dirampas dan dikuasai oleh negara dan pengusaha perkebunan. Dalam aliansi yang terjadi antara mahasiswa, aktivis LSM, organisasi petani dan petani itu sendiri, aksi-aksi protes tersebut dengan gamblang mempermasalahkan kebijakan-kebijakan negara terhadap petani. Tema-tema seperti demokrasi dan hak asasi manusia-sebuah wacana sekuler di luar konsep keagamaan dan aliran-menjadi wacana yang paling sering muncul dalam aksi-aksi protes petani.8)

Kebanyakan kajian yang diuraikan di atas hanya memfokuskan pada masalah radikalisasi itu sendiri serta bagaimana ketegangan antara negara dan petani terjadi selama beberapa dekade. Dalam pengamatan saya, belum ada suatu kajian khusus yang mencoba memahami realitas radikalisasi petani tersebut dalam suatu pendekatan yang menghubungkan kebijakan makro negara terhadap masalah agraria, khususnya kebijakan negara yang berkaitan dengan masalah pertanian selama tiga dekade berselang dan dampaknya terhadap hubungan negara dan petani serta radikalisasi yang tumbuh di kalangan petani. Tekanan kajian pada radikalisasi kaum tani yang hanya melihat bagaimana tumbuhnya kesadaran dan sejarah pembentukan organisasi pada akhirnya luput untuk memberikan pemahaman lebih lanjut tentang struktur makro kebijakan negara dan imbasnya terhadap radikalisasi yang terjadi.

Padahal, urgensi tentang bagaimana negara mengatur masalah agraria (termasuk di dalamnya kebijakan pertanian) di wilayah pedesaan cukup penting mengingat realitas konflik yang terjadi sepanjang periode Orde Baru telah memusatkan arena konflik tersebut di wilayah-wilayah pertanian dataran tinggi yang berorientasi pada sistem pertanian komersial dengan produk tanaman keras atau di dalam komunitas pedesaan di mana perkebunan komoditi ekspor bertempat. Apabila kita mencoba membandingkannya dengan realitas sejarah radikalisasi petani di Indonesia, khususnya pada saat mobilisasi tinggi di bawah kepemimpinan organisasi tani radikal seperti Barisan Tani Indonesia, maka cukup mengherankan bahwa sekarang ini pusat konflik pedesaan nampaknya telah bergeser dari wilayah-wilayah pertanian dataran rendah ke dataran tinggi.9)

Dalam penelitian yang saya lakukan, saya mengajukan suatu pendekatan yang menempatkan radikalisasi petani (yang muncul dalam bentuk "aksi pendudukan lahan") dalam lingkup historis kebijakan ekonomi politik negara secara makro dengan memperhatikan perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi politik pembangunan pertanian di Indonesia.

Pendekatan semacam ini di kalangan ilmuwan sosial dengan sangat menarik pernah dilakukan oleh Charles Tilly dalam karyanya The Vendee (1967) tentang faktor-faktor ekologis radikalisasi petani yang terjadi selama revolusi Prancis pada abad ke-18.10) Tilly mengemukakan pentingnya menempatkan ekologi pertanian yang berbeda sebagai faktor yang melengkapi munculnya radikalisasi dan perlawanan keras petani terhadap negara. Di Asia Tenggara dan Indonesia, pendapat serupa bisa dilihat dalam karya James C. Scott. Meskipun kajian Scott terbatas pada persoalan tentang kondisi-kondisi apa yang menyebabkan munculnya pemberontakan petani, namun ulasannya dengan menarik juga memberikan pemetaan terhadap ekologi pertanian yang berbeda dengan hasil radikalisasi dan perlawanan yang berbeda pula di antara petani. Menurut Scott, struktur desa tradisional yang komunal di wilayah Annam, Tonkin, Dataran Tinggi Burma serta Jawa Timur dan Jawa Tengah lebih mudah mengalami mobilisasi dan radikalisasi, sebaliknya desa-desa yang terpecah secara struktural dan sosial seperti wilayah dataran rendah Burma dan Conchincina lebih sulit membangun kekuatan kolektif dan memperjuangkan kepentingan mereka.11) Karya selanjutnya yang juga menarik adalah uraian Marvis Bunker Taintor tentang ekologi radikalisasi petani di Indonesia pada tahun 1960-an. Analisanya menunjukkan bagaimana pola ekologi pertanian di Jawa memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap bentuk dukungan dan mobilisasi para petani di pedesaan terhadap Partai Komunis Indonesia. Menurut Taintor, PKI berhasil mendapatkan dukungan kuat dari para petani di wilayah dataran lembah yang terstruktur dalam hubungan penyakapan atau bagi hasil yang kuat.12)

Penelitian ini mengajukan suatu perspektif teoritis yang menempatkan perbedaan-perbedaan ekologis dan kebijakan negara sebagai landasan dasar munculnya pola perlawanan dan protes petani yang terkonsentrasi di wilayah dataran tinggi, perkebunan serta pertanian kering.13) Pijakan toeritis ini didasarkan pada tipologi yang dikembangkan oleh Paige tentang radikalisasi petani dan tipologi wilayah dan produksi pertanian serta kajian Zagoria tentang mobilisasi petani oleh kekuatan komunis di India.14)

4. Metode Penelitian

Penelitian ini dilandaskan pada kajian empirik melalui studi kasus yang dilakukan di Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dalam proses pengumpulan data, saya bertumpu pada metode etnografis yang dilakukan oleh para antropolog dalam mamahami sebuah proses yang tidak hanya menyajikan realitas faktual semata, tetapi menempatkan realitas faktual tersebut dalam kesadaran subyektif para petani yang menjadi fokus penelitian ini. Meskipun pilihan metodologis seperti ini tidak luput dari kelemahan, tetapi penerapan metode non-positivistik ini memberikan keuntungan dalam upaya pemahaman terhadap suatu proses dibandingkan sekedar menganalisa data-data faktual yang dapat diverifikasi sesuai dengan prosedur kerja metode positivistik.

Perlu juga diuraikan disini bahwa penerapan metode non-positivistik ini membantu saya dalam memahami peristiwa seusai dengan pemahaman para responden yang kami teliti. Tidak jarang pula terdapat perubahan-perubahan mendasar terhadap asumsi dan pandangan saya saat wawancara dengan para responden dilakukan, atau dengan kata lain, pemahaman peneliti dipengaruhi pula oleh informasi-informasi yang diberikan oleh para responden dan informan sesuai dengan kemampuan mereka memahami masalah. Untuk mendapatkan gambaran faktual tentang apa yang telah terjadi, para responden yang aktif turut serta dalam aksi pendudukan merupakan target utama proses pengumpulan informasi berdasarkan wawancara. Meksipun pilihan terhadap responden telah ditentukan, namun perlu juga diutarakan bahwa karakter responden tersebut tidak seragam, mulai dari mereka yang sangat aktif terlibat sampai dengan orang-orang yang bergabung setelah aksi tersebut dilakukan. Keragaman sifat responden ini memberikan keuntungan dalam memahami ragam sifat keterlibatan dan inisiatif yang muncul dari kalangan petani dalam melakukan aksi kolektif mereka.


Bab II: Krisis Agraria Dan Kemiskinan Di Tegalbuleud

1. Kondisi Geografis

Tegalbuleud adalah sebuah kecamatan yang secara administratif termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Sukabumi. Dibutuhkan waktu kurang lebih lima sampai enam jam bagi siapa saja untuk mencapai wilayah tersebut yang berjarak 127 km dari pusat administrasi kabupaten di kota Sukabumi. Waktu perjalanan akan menjadi lebih lama bila kita menggunakan sarana transportasi umum yang ada. Hal ini pertama-tama disebabkan oleh buruknya kondisi jalan menuju wilayah tersebut dengan kondisi tanah yang labil dan sering mengalami longsor, sehingga pada musim penghujan lubang-lubang di jalanan semakin membesar dan terkadang menjadi licin akibat tanah sisa longsoran yang menutupi jalan beraspal.

Lokasi geografis Kecamatan Tegal Buleud berbatasan langsung dengan laut Samudra Indonesia di sebelah selatan, sedangkan ke arah timur berbatasan dengan kapubaten Cianjur. Sedangkan di sebelah Utara dan Barat, kecamatan tersebut berbatasan dengan kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Sukabumi seperti Kecamatan Jampang Kulon dan Kecamatan Segaranten. Sebagai wilayah yang terletak di bagian selatan kabupaten Sukabumi, wilayah Tegal Bulued meliputi wilayah permukaan tanah bergelombang dengan kandungan tanah laterit, grumosol, podsolik dan aluvial. Dengan kondisi tanah lempung yang berpasir, dan letak daratan yang berkisar antara 0-500 meter dari permukaan laut menyebabkan kondisi tanah tidak sesubur wilayah-wilayah pertanian dan perkebunan di kecamatan lainnya yang terlteak di sebelah tengah dan utara kabupaten Sukabumi.

Secara administratif, kecamatan tersebut sekarang ini terbagi dalam tujuh desa, masing-masing adalah desa Sumberjaya, Buniasih, Tegalbuleud, Calingcing, Rambay, Nangela dan Bangbayang. Sebelum terjadi perubahan struktur pemerintahan desa pada akhir 1970-an, empat desa di atas, masing-masing desa Sumberjaya, desa Buniasih, desa Tegalbuleud dan desa Calingcing tergabung dalam kesatuan administratif desa Tegalbulued. Namun, perubahan kebijakan terhadap struktur pemerintahan desa dan pertambahan jumlah penduduk menyebabkan wilayah itu kemudian dibagi dalam tujuh desa.

Luas wilayah kecamatan Tegalbuleud adalah 15.054,43 ha di mana 3.191, 17 ha terletak antara 0-100 meter di atas permukaan laut; 11.380,33 berada antara 100-500 meter di atas permukaan laut dan sisanya berada di antara 500-1000 meter di atas permukaan laut. Sedangkan jumlah penduduk berdasarkan registrasi akhir pada tahun 1998 berjumlah sekitar 9.138 keluarga dengan jumlah total penduduk sejumlah 29.259 jiwa. Dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya di kabupaten Sukabumi, luas wilayah kecamatan Tegalbuleud relatif luas dengan jumlah penduduk yang tergolong rendah.

Para penduduk yang telah lama bermukim di wilayah ini masih mengingat dengan baik bagaimana sebelumnya mereka masih menjadi penduduk satu desa sebelum kemudian terpecah menjadi warga dari empat desa yang berbeda. Sebagian besar dari mereka adalah penduduk yang berasal dari kecamatan lain yang berdatangan ke wilayah tersebut sebagi produk program transmigrasi lokal dari pemerintah pada tahun 1960-an.

2. Perkembangan Sejarah Tegalbulued

Tidak ada keterangan atau catatan sejarah yang cukup jelas tentang profil penduduk di wilayah ini memasuki awal abad ke-20. Beberapa informan saya menerangkan bahwa sebelumnya wilayah ini adalah sebuah wilayah yang sedikit penduduknya dan sebagian besar wilayah kecamatan ini masih berupa hutan belantara dan perkebunan karet. Para penduduk awal yang menghuni wilayah ini sebagian besar adalah penggarap guntai yang tinggal jauh dari desa tersebut seperti dari wilayah Segaranten, Jampang Kulon atau Surade yang relatif telah menjadi wilayah terbuka. Para penggarap guntai hanya datang dan menginap di gubuk-gubuk mereka saat mereka membuka lahan, memelihara tanaman dan mengambil hasil panen.

Keterangan lebih jelas tentang profil penduduk dan dianggap sebagai awal terbentuknya desa Tegalbuleud dimulai sejak tahun 195415) dengan kedatangan orang-orang yang kemudian menghuni kampung-kampung di wilayah paling Timur dan Barat desa tersebut (Desa Calingcing dan Cijaksi). Meskipun demikian, wilayah ini masih merupakan wilayah yang dianggap rawan dari segi keamanan dengan beroperasinya pasukan Bambu Runcing yang dilakukan oleh orang-orang komunis serta menjadi wilayah operasi pasukan DI-TII. Hal ini menyebabkan banyak penduduk meninggalkan desa tersebut dan sebagian mengungsi di kampung Cebek, Tegalbuleud (Desa Sumberjaya sekarang ini) dan wilayah kecamatan lainnya yang dianggap lebih aman.

Wilayah ini kembali dihuni orang memasuki akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an pada saat pemerintah mengusulkan agar wilayah ini dibuka kembali menjadi wilayah pertanian dan menjadi desa yang dapat dihuni oleh para penduduknya melalui program transmigrasi lokal. Informan saya yang juga dianggap sesepuh di desa Tegalbuleud menuturkan bagaimana ia memutuskan untuk bermukim di wilayah Tegalbuleud.

Semuanya berawal dari pengumuman pemerintah di kelurahan dan kecamatan Segaranten bahwa pemerintah berencana membuka dan menjadikan wilayah Tegalbuleud sebagai tempat berpenghuni setelah sebelumnya ditinggalkan oleh para penduduknya.16) Sejak tahun 1960, gelombang kedatangan penduduk terus mengalir dengan adanya tawaran pembagian tanah bagi setiap orang. Setelah gelombang pertama dari para transmigran lokal, gelombang kedua dilakukan oleh mereka yang masuk dalam program transmigrasi sukarela. Program transmigrasi sukarela ini melibatkan tidak hanya penduduk yang berasal dari wilayah-wilayah di kabupaten Sukabumi atau propinsi Jawa Barat semata, tetapi juga penduduk yang berasal dari Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Kebanyakan dari mereka sekarang ini tinggal di desa Calingcing yang terletak dalam perbatasan antara kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur.

Selain melalui program transmigrasi, penduduk yang datang ke desa tersebut juga terdiri dari orang-orang yang berstatus guntai. Sebelumnya mereka telah membuka lahan dengang mengolah ladang dan sawah tadah hujan yang hanya dikunjungi saat musim penanaman dan panen. Dengan adanya larangan pemilikan tanah guntai setelah berlakunya UUPA No. 5 Th. 1960, mereka kemudian pindah menjadi penduduk tetap di desa Tegalbuleud pada saat itu. Proses kedatangan penduduk dengan tawaran pembagian tanah baru berhenti pada tahun 1972 ketika seluruh tanah Guna Garap (GG) di desa tersebut telah habis dibagikan.

3. Gambaran Umum Kegiatan Pertanian

Pertanian adalah kegiatan utama mayoritas penduduk Tegalbuleud. Aktivitas ini merupakan aktivitas utama di samping berbagai aktivitas lainnya di luar pertanian seperti birokrasi, pendidikan, perdagangan dan jasa transportasi dan lainnya. Areal pertanian membentang seluas 1.576 ha di kecamatan tersebut yang terdiri dari 729 ha lahan sawah irigasi non-PU dan 847 ha lahan sawah tadah hujan.

Pada musim penghujan, pertanian menyerap sebagian besar tenaga kerja produktif yang ada di desa tersebut. Hal ini berkaitan dengan sistem pertanian sawah tadah hujan yang mengandalkan sistem irigasi tradisional yang menghasilkan dua kali musim panen dalam satu tahun. Seperti umumnya pertanian tanah kering dan dataran tinggi lainnya di Indonesia, para penduduk terbiasa dalam pola tanam multi-cropping. Di dataran yang lebih rendah, penduduk menanam padi dan tanaman palawija lainnya. Sedangkan untuk dataran yang lebih tinggi, mereka mengusahakan tanaman ladang seperti jagung, kacang-kacangan serta tanaman keras lainnya seperti cengkeh, kopi, jati, mahoni dan karet.

Sebagian besar penduduk yang sekarang ini aktif secara ekonomis adalah generasi kedua dan ketiga dari para pemukim awal sejak wilayah itu dihuni kembali pada tahun 1950-an. Tidak seperti ayah atau kakek mereka sebelumnya, sebagian besar sempat mengecap pendidikan formal setingkat SD yang mulai dibangun pada tahun 1970-an di wilayah itu dan pendidikan setingkat SMP yang mulai dibangun pada tahun 1980-an. Perubahan tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator yang bisa menunjukkan bagaimana masyarakat tersebut berkembang selama tiga dekade. Meskipun pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses mobilitas sosial, namun ia tidak menjadi jaminan utama terjadinya mobilitas vertikal bagi penduduk.

Salah satu faktor penting yang menjadi penghambat proses mobilitas tersebut adalah struktur sosial masyarakat yang tercipta atas dasar pola pembagian dan pemilikan lahan di wilayah tersebut. Dengan semakin berkurangnya jumlah lahan garapan yang dimiliki penduduk desa tersebut akibat perkembangan industri perkebunan dan tambak udang, serta tidak tersedianya lahan-lahan baru yang bisa dibuka kembali oleh masyarakat, menyebabkan semakin sulit bagi penduduk generasi kedua dan ketiga untuk bertahan dalam aktivitas pertanian seperti para pendahulu mereka. Sedangkan bagi mereka yang terjun dalam aktivitas pertanian, sebagian besar mengolah lahan-lahan yang menjadi semakin menyempit akibat pola pewarisan yang memecah luas lahan yang dimiliki setiap keluarga.

Situasi ini menciptakan kondisi rawan bagi penduduk yang menggantungkan diri dalam aktivitas pertanian. Tipologi pertanian yang mengandalkan pertanian mereka pada tingkat curah hujan dan sistem irigasi tradisional. Wilayah pertanian mereka dengan ketinggian 0-25 meter dari permukaan laut menyebabkan timbulnya kesulitan mengalirkan hujan berlebihan ke sungai-sungai terdekat yang juga meluap. Akibatnya para petani seringkali menunda periode tandur mereka untuk menunggu surutnya air yang menggenangi lahan sawahnya atau bahkan harus mengulang dua atau tiga kali tandur akibat membusuknya benih padi yang mereka tanam sebelumnya.

Buruknya sistem pengairan dalam teknik persawahan mereka menjadi keluhan umum penduduk terhadap ketidakpedulian sikap aparat desa atau lembaga-lembaga penyuluhan pertanian yang disponsori oleh negara terhadap masalah yang mereka hadapi. Dalam suatu diskusi dengan beberapa petani, informan saya mengatakan bahwa lurah desa mereka bukan semata-mata tidak peduli terhadap persoalan yang mereka hadapi, tetapi juga dikarenakan ia memang tidak paham tentang berbagai persoalan pertanian.

Mereka membandingkan sikap lurah yang sekarang dengan lurah-lurah terdahulu, khususnya Lurah Edeng sebagai lurah pertama di kecamatan Tegal Buleud saat wilayah itu secara administratif masih tergabung dalam satu desa. Bila menceritakan tentang Lurah Edeng, penduduk desa seringkali mengatakan betapa dekatnya sang lurah dengan kehidupan penduduk. Diceritakan pula betapa sang Lurah senantiasa berkeliling ke seluruh desa, mengatur sistem irigasi, menegur para petani yang bekerja secara sembrono di lahan mereka serta mengatur lahan-lahan tak tergarap yang ada di desa tersebut.

Berbeda halnya saat pembicaraan beralih pada bagaimana sikap aparat saat mereka menagih pajak tahunan, atau dalam bahasa setempat disebut dengan istilah pancen. Pejabat desa yang diantarai oleh para ketua RT/RW menjadi begitu rajin menjalankan tugasnya memungut pajak tahunan tersebut.

Pancen adalah suatu kewajiban bagi para petani yang menggarap lahan untuk menyerahkan sebagian dari pendapatan mereka kepada desa. Tingkat pungutan ini bervariasi tergantung pada seberapa tinggi tingkat kemakmuran masing-masing orang. Untuk petani yang tergolong cukup berada, mereka bisa dikenakan pancen sekitar 50-70 kg beras setiap tahunnya. Sedangkan bagi para petani yang tergolong miskin, petani penggarap dengan sistem maro atau kaum buruh tani, pungutan yang dibebankan kepada mereka berkisar sekitar 20 kg - 30 kg beras setiap tahunnya.

Berdasarkan keterangan penduduk desa, sebelumnya pancen dikenakan pada para petani yang memiliki lahan. Selain itu, pemungutan ini mengecualik para penduduk usia tua atau janda dari pungutan tersebut. Namun, dalam perkembangannya sekarang ini, pemungutan pancen dikenakan terhadap setiap suhun (rumah tangga) tanpa mengecualikan apakah mereka memiliki lahan garapan atau tidak. Informan saya, Haji Kardi, mengatakan betapa sering ia mendengarkan pengaduan para petani miskin, buruh tani atau orang-orang yang disebut sebagai petani numpang yang selain tidak memiliki lahan garapan, juga tidak memiliki tempat tinggal sendiri di desa tersebut. Pembayaran pancen menjadi suatu hal yang sangat memberatkan bagi mereka.

Selain itu, sejak pemerintah Orde Baru menggiatkan penggunaan produk industri kimia dalam sistem pertanian, ketergantungan petani terhadap penggunaan urea dan pestisida seperti tidak dapat terlepaskan. Penggunaan pestisida adalah praktek yang lazim digunakan petani dalam upaya mereka melindungi tanaman dari serangan hama. Selain itu, untuk mempertinggi tingkat produksi dan memperkuat daya tahan tanaman mereka, para petani menggunakan berak atau yang terdiri dari unsur urea, TPS, KCL.

Namun hal itu bukan menjadi jaminan bagi perlindungan maksimal tanaman serta peningkatan hasil para petani. Keong Koneng (koneng = kuning) adalah salah ancaman hama sebelum musim panen tiba yang merusak tanaman padi para petani. Petani harus mengeluarkan tenaga dan biaya ekstra untuk menghancurkan hama-hama tersebut. Kejengkelan-kejengkelan terhadap hama tersebut menyebabkan para petani menjuluki hama tersebut sebagai Keong Golkar.

Di samping masalah hama ini, keluhan lainnya berkaitan dengan persoalan pupuk. Para petani mengeluhkan tingkat harga jual pupuk yang tinggi dibandingkan harga jual produk pertanian mereka. Sebagai contoh, harga pupuk atau berak perkwintal berkisar antara Rp. 140.000 - Rp. 150.000 dibandingkan dengan harga jual gabah basah yang hanya Rp. 70.000 perkwintal atau gabah kering sebesar Rp. 90.000,-. Tingkat keluhan ini beragam tergantung pada luas lahan yang dimiliki oleh setiap petani. Tetapi, semakin sempit lahan yang dimiliki/digarap, semakin besar pula keluhan terhadap ketimpangan tingkat harga tersebut.

Tingginya harga pupuk dan sistem penjualan yang dimonopoli Koperasi Unit Tani (KUT) menyebabkan beban hutang mereka sering bertambah. KUT yang dalam kebijakan resmi negara ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup serta produktivitas petani pada akhirnya menjadi sebuah lembaga pengkulakan dengan para tengkulak yang merajalela dan menguasai lembaga tersebut.

Orang-orang yang bekerja di KUT adalah para pegawai pemerintah yang ditunjuk oleh Camat dan Lurah. Namun dalam praktek, KUT tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pemerintahan, tetapi juga telah menjadi lembaga dengan pengaruh ekonomi yang kuat terhadap kehidupan petani. Mereka memonopoli penjualan produk-produk yang dibutuhkan oleh para petani seperti pupuk, pestisida, perangkat pertanian dan lainnya. Selain itu, KUT juga memonopoli pembelian dan distribusi penjualan produk-produk yang dihasilkan petani. Monopoli KUT menyebabkan lembaga tersebut memiliki kekuatan besar dalam menentukan tingkat harga jual-beli.

Tidak mengherankan bila orang-orang yang bekerja di KUT adalah orang-orang yang tergolong makmur sesuai standar kehidupan desa tersebut. Selain memiliki lahan yang lebih luas, mereka memiliki sumber-sumber penghasilan ekonomi yang melebihi petani dengan lahan terbilang cukup luas. Seorang petani menuturkan bahwa KUT bukanlah koperasi untuk para petani, melainkan sudah menjadi Koperasi Untuk Tengkulak, sebuah istilah yang cukup populer di antara penduduk desa.

4. Ketimpangan dan Kemiskinan di Tegalbuleud

Dalam pengamatan terhadap informan dan responden, sangat sulit mendapatkan gambaran tentang ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah yang biasanya menjadi unit analisa penting ilmuwan sosial dalam melihat pembentukan struktur kelas dan bangunan kesadaran politik yang terbentuk kemudian. Meskipun tidak tersedia data statistik yang memberikan gambaran tentang luas pemilikan dan penguasaan lahan masing-masing rumah tangga petani, namun kebanyakan petani pemilik lahan yang saya temui memiliki lahan rata-rata 0,25 ha sampai 0,5 ha setiap orangnya. Pola semacam ini menyebar hampir merata di seluruh desa di kecamatan tersebut.

Gambaran semacam ini bisa saya peroleh melalui pengamatan terbatas pada satu kampung di Kecamatan tersebut, yaitu Kampung Sumber Jaya II, Desa Sumber Jaya. Di tempat inilah para penduduk ditempatkan saat kedatangan gelombang pertama transmigran lokal pada akhir tahun 1950-an. Secara fisik, penampilan kampung ini tidak terlalu jauh berbeda dengan kampung-kampung lainnya. Terdapat sekitar 45 keluarga yang menghuni kampung ini dengan pola pemukiman yang berjejer di sepanjang jalan utama desa.

Sebagian besar penghuni kampung ini menggantungkan mata pencaharian mereka dalam kegiatan pertanian dengan bentuk pemilikan dan penguasaan lahan yang bervariasi. Di luar aktivitas pertanian, penduduk kampung itu juga bekerja di terdapat beberapa aktivitas ekonomi lainnya seperti penggilingan beras yang berjumlah dua buah serta perdagangan dengan 7 buah warung yang menjual kebutuhan sehari-hari penduduk kampung tersebut. Sedangkan aktivitas lainnya yang tidak secara langsung berhubungan dengan kegiatan.

Dari seluruh penghuni kampung tersebut, Haji Yusuf adalah satu-satunya keluarga di kampung tersebut yang tergolong makmur dengan luas pemilikan lahan pertanian dan kebun seluas 3 - 3,5 ha. Ia juga menjadi pengurus KUT dan memiliki sebuah pabrik penggilingan beras dengan jumlah pekerja antara 2 dan 3 orang. Meskipun luas lahan yang dimilikinya tidak terlalu luas dibandingkan dengan para petani kaya yang tinggal di desa lainnya, namun luas lahan tersebut cukup kontras dibandingkan dengan lahan yang dimiliki atau dikuasai oleh keluarga-keluarga lainnya di kampung tersebut. Sekitar 10 kepala keluarga memiliki lahan sawah dan kebun dengan luas lahan di bawah 0,5 ha dan mengerjakan sendiri lahan yang mereka miliki. Sedangkan sisanya adalah penggarap sewa atau gadai yang berjumlah 11 kepala keluarga dan buruh tani yang berjumlah 12 kepala keluarga.

Pekerjaan-pekerjaan lain diluar aktivitas pertanian yang bisa dilakukan oleh penduduk kampung tersebut adalah pekerjaan birokrasi, mandor perkebunan, guru, tukang ojek atau menjadi TKI di luar negeri. Meskipun demikian, tingkat pengangguran di kampung ini terbilang cukup tinggi yang mencapai jumlah 17 orang tergolong sebagai pengangguran tak kentara. Sebagai orang tanpa pekerjaan yang tetap, kebanyakan dari mereka tinggal menumpang dalam satu atap bersama orang tua mereka.

Karena sebagian besar pertanian di wilayah itu masih menggantungkan pada sistem pertanian tadah hujan, perubahan musim adalah faktor penting yang mempengaruhi sebagian besar penduduk desa yang menggantungkan pendapatan mereka dari pertanian. Bagi mereka yang menempati struktur teratas piramida sosial, masalah-masalah yang harus dihadapi saat musim paceklik tiba teratasi dengan simpanan hasil panen, pola tanaman tumpang sari dan barang-barang berharga yang mereka miliki.

Namun masalahnya lain bagi mayoritas penduduk kampung tersebut yang menggantungkan hidup sebagai buruh tani tanpa lahan. Musim packelik berarti pula hilangnya kesempatan-kesempatan bagi mereka bekerja di sektor pertanian. Sebagian besar meninggalkan desa mereka dan bekerja sebagai buruh musiman di kota-kota besar. Karena rendahnya skill yang mereka miliki, ragam pekerjaan yang tersedia pun terbatas, mulai dari pekerjaan di sektor konstruksi dan perbaikan infrastruktur sosial di perkotaan yang memberikan upah sangat rendah, menjadi pedagang asongan dan calo atau kernet di terminal. Situasi mereka menjadi semakin sulit saat krisis ekonomi berlangsung. Terbatasnya dana pemerintah dalam membangun infrastruktur sosial menyebabkan semakin terbatasnya pula kesempatan pekerjaan yang mereka miliki.

Ketimpangan semacam ini juga berkaitan dengan masalah kemiskinan yang dialami oleh penduduk Tegalbuleud. Saat pertama kali memasuki wilayah kecamatan ini, saya sempat terkesan oleh penampilan fisik bangunan rumah yang berjejer di sepanjang jalan yang membelah kecamatan ini. Meskipun masih di sana-sini masih terdapat bangunan rumah dengan dinding bambu, tetapi sepanjang kiri dan kanan jalan seringkali dijumpai bangunan-bangunan rumah yang mengingatkan peneliti terhadap gaya arsitektur real-estate yang dapat dijumpai di berbagai kota besar Indonesia sekarang ini. Namun, kesan sekilas ini menjadi kabur saat peneliti mulai bergaul dan berbicara lebih banyak dengan para penduduk desa. Hampir bisa dipastikan, di luar orang-orang yang tergolong kaya di desa tersebut, sebagian besar pemilik rumah yang terbilang mewah untuk ukuran desa adalah pasangan orang-orang atau kaum perempuan (yang merupakan mayoritas) yang pernah atau sedang bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja kasar lainnya. Pada umumnya mereka bekerja di Timur-Tengah selama bertahun-tahun dan pulang ke desa mereka sambil membawa penghasilan yang cukup lumayan setelah ditukar dalam rupiah.

Percakapan lebih lanjut dengan para penduduk desa memberikan suatu ironi lebih mendalam terhadap kehidupan para TKI ini. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang sudah tidak memiliki atau menguasai lahan garapan sendiri di desanya. Bekerja ke luar negeri adalah jalan keluar bagi mereka untuk memperbaiki nasib. Hal ini telah menjadi semacam impian umum dalam pikiran mayoritas penduduk desa tersebut. Meskipun demikian, langkah menuju ke arah itu bukanlah sebuah langkah yang mudah. Bagi keluarga petani yang masih memiliki sedikit lahan, biasanya mereka terpaksa menggadaikan atau bahkan menjual tanah untuk membiayai keberangkatan anak atau istri mereka ke luar negeri. Bagi yang sudah tidak memiliki tanah sama sekali, berhutang adalah salah satu cara yang ditempuh dengan harapan mereka bisa segera menggantikannya setelah kembali dari bekerja di luar negeri.

Tingginya nilai tukar mata uang yang mereka peroleh dibandingkan nilai mata uang rupiah memang memberikan keuntungan yang cukup besar bagi mereka. Tidak mengherankan bila ambisi membangun rumah bergaya arsitektur kota tersebut menjadi praktek umum yang terjadi di desa tersebut. Fenomena lain yang cukup mengherankan adalah seringkali uang yang mereka peroleh dihabiskan untuk membangun rumah dan membeli barang-barang elektronik. Situasi seperti ini pada akhirnya memaksa mereka untuk kembali menghubungi agen-agen tenaga kerja untuk kembali bekerja di luar negeri setelah uang yang mereka miliki habis. Pola yang sedikit melenceng adalah investasi yang mereka tanamkan pada tanah atau modal usaha seperti membuka toko atau warung. Meskipun demikian, jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan kebanyakan dari mereka yang menghabiskan uang yang mereka peroleh untuk kebutuhan konsumsi.17)

5. Ancaman selanjutnya: Krisis

Situasi krisis yang mencengkram Indonesia sekarang ini diakui oleh para petani menjadi semakin mempersulit kehidupan mereka. Persoalannya berkisar pada merosotnya harga pertanian, khususnya produk tanaman pangan dan meningkatnya harga barang industri.

Beberapa kajian tentang pengaruh krisis ekonomi terhadap pedesaan Jawa menunjukkan gambaran penting bahwa desa telah mendapatkan tambahan beban dengan kembalinya para tenaga kerja yang di-phk dan hilangnya sumber mata pencaharian bagi para pekerja musiman yang kebanyakan bekerja di sektor konstruksi. Breman mengemukakan bahwa kepergian mereka ke kota didasarkan atas semakin tertutupnya pekerjaan pertanian bagi mereka dan dengan kembalinya mereka ke desa asal, sudah barang tenttu hal ini menjadi beban tambahan bagi desa.

Dalam pengamatan saya, pengaruh krisis ini pada awalnya memang tidak dirasakan secara langsung oleh penduduk. Beberapa orang mengakui bahwa mereka terpaksa pulang kembali ke kampungnya dan mengerjakan apa saja yang bisa mereka lakukan. Di antara keluarga yang masih memiliki tanah, biasanya mereka kembali bertani dengan mengerjakan tanah orang tua dan sanak famili mereka. Namun, bagi keluarga yang tidak memiliki tanah, beberapa pekerjaan di sektor transportasi seperti ojek misalnya, adalah pilihan yang mereka lakukan. Pilihan terakhir adalah mendaftarkan diri menjadi buruh migran di luar negeri. Belakangan ini, minat untuk bekerja ke luar negeri semakin bertambah tinggi di Tegalbuleud.

Di samping itu, krisis mulai terasa mempengaruhi kehidupan masyarakat saat harga-harga input pertanian seperti pupuk, pestisida mengalami lonjakan kenaikan. Belum lagi dengan naiknya harga barang-barang hasil industri. Saya belum mendapatkan informasi terbaru tentang perbandingan indeks harga di kecamatan ini dan juga pada tingkat kabupaten Sukabumi. Informasi statistik yang saya peroleh terbatas pada informasi statistik yang dikeluarkan pada tahun 1998. Sedangkan antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2000 ini pegawai kantor statistik kabupaten mengatakan data tersebut masih dalam tingkat pengolahan.

Informasi yang cukup berguna saya peroleh dari wawancara dan diskusi dengan para petani dan penduduk desa lainnya tentang masalah ini. Dalam satu diskusi dengan beberapa petani yang menanam kacang-kacangan dan pisang, mereka mengatakan bahwa terjadi penurunan tingkat harga dan tingkat penjualan selama tahun-tahun belakangan ini. Harga pisang seikat yang sebelumnya mereka bisa jual seharga kurang lebih antara Rp. 900,- sekarang ini menurun menjadi Rp. 700,- perikat. Sedangkan untuk kebutuhan pokok seperti sandang dan pangan, harga-harga pasaran terhadap barang-barang tersebut justru mengalami peningkatan yang tajam.

Hal ini berpengaruh terhadap daya beli dan tingkat konsumsi yang mereka bisa penuhi. Penjualan langsung produk-produk semacam itu biasanya dilakukan petani saat menunggu masa panen di sawah mereka guna memenuhi kebutuhan mereka terhadap uang kas. Dengan menurunnya harga produk yang mereka jual, otomatis menurunkan pula kemampuan mereka mendapatkan uang kas yang harus mereka gunakan guna membayar kebutuhan sehari-hari.

6. Sengketa dan Konflik di Tegalbuleud

Sengketa tanah yang menyebabkan kaum tani harus berhadap-hadapan dengan aparat pemerintahan yang bersekutu dengan pemilik modal merupakan gambaran klasik konflik dan sengketa pertanahan yang terjadi di Indonesia selama berkuasanya rejim Orde Baru. Apa yang seringkali disebut sebagai program-program pembangungan atau program-program pemerintah seperti yang sering diumbar aparat pemerintahan di desa tidak lain merupakan produk strategi pembangunan Orde Baru yang berorientasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Salah satu rumusan strategi pertumbuhan ekonomi tersebut didasarkan pada strategi pinjaman utang luar negeri guna pengembangan infrastruktur modern yang kemudian harus dibayar oleh pemerintah dari dana yang diperolehnya melalui eksploitasi sumber daya alam di Indonesia. Tidak mengherankan bila pada tingkat lokal, implementasi strategi tersebut membuahkan berbagai konflik di mana negara yang tengah berupaya keras memenuhi kas pendapatannya harus berhadap dengan para para petani yang harus kehilangan tanahnya melalui program-program pembangunan tersebut.

Untuk kasus Tegalbuleud, peta konflik terjadi antara petani dan aparat desa, kaki tangan para pemodal, para pejabat perkebunan dan kehutanan. Di samping konflik-konflik tersebut, terdapat juga konflik-konflik berkaitan dengan kehadiran negara melalui berbagai programnya yang berupaya mendominasi penduduk desa.

6.1. Petani dan Perkebunan

Konflik pertama yang muncul di desa tersebut berawal dengan adanya "program pembangunan" pemerintah yang merencanakan dengan membangun kompleks perkebunan kelapa hibrida yang akan menjadi komoditi ekspor yang menguntungkan bagi pemerintah pada awal tahun 1980-an. Sebelum proyek tersebut dilaksanakan, pemerintah terlebih dahulu memang menurunkan aparat-aparatnya untuk melakukan penyuluhan tentang keuntungan bagi petani yang mau terlibat dalam kegiatan Perkebunan Inti Rakyat. Para petani, khususnya mereka yang tanahnya akan menjadi lahan PIR-BUN dikumpulkan di kecamatan untuk hadir dalam penyuluhan tersebut.

Para petani yang saya wawancarai bercerita bahwa memang apa yang diuraikan dalam penyuluhan sepertinya cukup menguntungkan. Meskipun demikian, penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah tidak menghasilkan langkah kongkrit karena para petani masih ragu atau belum mau ikut dalam proyek tersebut.

Menghadapi persoalan tersebut, para aparat desa mulai melancarkan tekanan halus kepada para petani dan mendatangi orang-orang yang dianggap menjadi penghalang utama proyek tersebut. Haji Sukarna, salah seorang tokoh masyarakat yang telah lama memperjuangkan hak-haknya menuturkan kisah tersebut:

"Ketika itu memang saya tidak langung menyatakan ingin terlibat dalam program PIR-BUN. Akhirnya, kira-kira antara pukul 9-10 malam, saya didatangi oleh mantri polisi, lurah dan Danramil yang mendesak saya untuk menyerahkan lahan guna proyek tersebut. Mereka meminta saya untuk mengganti lahan yang saya tanam dengan tanaman kelapa hibrida seperti yang diusulkan oleh pemerintah.

Saya mengatakan bahwa pada prinsipnya saya tidak menolak rencana tersebut. Tapi saya meminta agar pelaksanaannya menunggu nanti saja setelah tanaman yang saya tanam membuahkan hasil terlebih dahulu mengingat saya juga telah mengeluarkan modal untuk mengusahakan tanaman tersebut. Nampaknya mereka tidak puas dengan pernyataan saya dan sempat memberikan ancaman bahwa apabila saya menghambat program pemerintah, maka saya akan mendapat berbagai kesulitan.

Tidak lama kemudian, pihak aparat desa bersama dengan perkebunan mulai menebangi tanaman saya dan juga milik penduduk lainnya. Namun yang lebih menyakitkan adalah tanah yang saya garap kemudian dialihkan kepada orang lain. Saya sempat melamun cukup lama mengapa mereka melakukan hal itu � Saya juga memikirkan apa yang saya harus lakukan.

Akhirnya bersama-sama dua belas orang penduduk desa yang mengalami nasib yang sama berusaha mencari pengacara yang bisa memperjuangkan nasib kita. Kami telah mengumpulkan berbagai dokumen-dokumen penting berkaitan dengan status tanah garapan kami kepada pengacara tersebut. Jumlahnya melebihi satu dus botol kecap ABC. Namun, pengacara itu kemudian mengundurkan diri setelah ia dianiaya oleh aparat Koramil. Kemudian kami bersama-sama berangkat ke Jakarta menghadap berbagai orang yang mau menolong kami.

Kami sempat bertemu dengan wakil Kosgoro dan bertemu dengan anggota MPR, termasuk berjumpa dengan ketua MPR Amir Machmud. Pihak Kosgoro sempat meminta berkas-berkas kami dan sampai sekarang berkas-berkas tersebut hilang entah kemana. Ketua MPR sempat menjanjikan akan turun ke lapangan dan melihat permasalahan kami. Namun, ternyata janjinya tersebut tidak dipenuhi. Menurut kabar yang saya dengar, ia telah mendapat uang sogokan pihak lain ditengah jalan sehingga ia tidak jadi datang ke desa kami. Setelah itu, kami bertemu dengan pihak Angkatan 45 di Bogor. Mereka juga menjanjikan akan menyelesaikan kasus kami. Namun sampai sekarang tidak ada penyelesaian yang jelas terhadap masalah yang kami hadapi.

Kembalinya dari Jakarta saya dan beberapa petani lainnya didatangi oleh pihak Polsek dan mereka meminta saya datang ke kantor mereka. Saya sempat ditahan untuk beberapa hari sampai akhirnya dilepaskan kembali."18)

Tanah yang sekarang menjadi tanah PIR-BUN merupakan tanah yang dikelola oleh masyarakat masing-masing seluas 2 hektar. Mereka menanami tanah tersebut dengan tanaman cengkeh, buah-buahan dan lain sebagainya. Ketika proyek PIR memutuskan agar tanah tersebut ditanami oleh kelapa Hibrida, maka semua tanaman yang ditanam rakyat ditebangi dengan paksa. Selain itu, kebanyakan petani yang sebelumnya mengelola tanah tersebut, ternyata tidak mendapatkan kembali tanah mereka yang didistribusikan kepada orang-orang lain. Para penduduk desa yang mengalami nasib seperti itu juga mengisahkan berbagai tekanan dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat koramil, kepolisian dan kecamatan, khususnya terhadap mereka yang ikut serta berangkat ke Jakarta untuk memperjuangkan nasibnya.

Salah seorang pemimpin perjuangan petani di desa tersebut, yaitu Bapak Haji Karim, atau sering dipanggil Mama Kardi, menuturkan bahwa penolakan dan upayanya memperjuangkan tanah yang dijadikan perkebunan telah menyebabkan dirinya menjadi sasaran intimidasi dan ancaman pihak aparat desa.

Di mata para aparat desa, Mama Kardi adalah kunci perlawanan yang ada di kalangan petani terhadap program-program yang mereka jalankan. Ia adalah salah seorang petani yang cukup kaya dan terpandang di desa Buni Asih dengan pengaruh yang cukup besar di antara penduduk desa lainnya. Mama Kardi telah memimpin dan membawa serombongan petani ke Jakarta seperti saat terjadi konflik dengan pihak perkebunan seperti yang dituturkan oleh Haji Sukarna di atas.

Mama Kardi menuturkan bahwa ia adalah orang yang berinisiatif mengadukan masalah para petani di Tegalbuleud ke Jakarta dan Bandung pada masa awal terjadinya konflik. Tidak terhitung berapa besar dana yang ia keluarkan selama memperjuangkan hak-hak petani desa tersebut. Saat menceritakan kisahnya dalam memperjuangkan hak-haknya, istrinya sempat mengeluhkan banyaknya uang yang telah dihabiskan oleh suaminya dengan membawa serta rombongan berpergian ke Bandung dan Jakarta tanpa hasil yang memadai.19)

Mama Kardi beserta rombongan sempat menemui pihak PTP XII yang berkantor di Bandung. Ia bertemu dengan salah seorang wakil pihak PTP XII bernama Bapak Harahap. Dalam percakapan basa-basi wakil PTP XII tersebut menyatakan rasa simpatinya terhadap perjuangan penduduk Tegalbuleud. Namun yang mengejutkan para penduduk desa adalah pernyataannya bahwa ia sudah menerima peta dari pihak kecamatan Tegalbulued yang menggambarkan bahwa wilayah tersebut masih kosong dengan hutan belantara tanpa adanya hunian dan wilayah garapan penduduk. Peta tersebut hanya menggambarkan wilayah Tegalbuleud dengan jalan yang melintas kecamatan tersebut dan diisi seluruhnya oleh hutan belantara.20)

Dalam upayanya memperjuangkan hak-hak rakyat desa tersebut, sudah cukup banyak ancaman dan intimidasi dan tuduhan sebagai anggota PKI dilontarkan aparat desa kepadanya. Belum lagi dengan para preman yang dikerahkan menakut-nakuti dirinya. Meskipun demikian ia tetap meneruskan perjuangan tersebut sehingga berulangkali ia mendapat ancaman akan "di-petrus-kan". Sikap keras kepalanya membuat ia dijuluki oleh aparat setempat sebagi Haji Benjol.21)

Ancaman dan intimidasi dari aparat desa terus berjalan tanpa henti selama perlawanan dan penolakan terhadap proyek PIR-BUN terus berlangsung. Bapak Joyo, salah seorang petani yang ikut serta memperjuangkan nasibnya di Jakarta menuturkan bagaimana intimidasi dan teror yang dihadapinya akibat sikapnya yang dianggap menghalangi program pemerintah. Ia datang ke desa tersebut sebagai salah seorang tenaga suka-rela dari Jawa Tengah dalam program pemukiman kembali wilayah Tegalbuleud. Ia mendaftarkan diri sebagai tenaga suka rela pada akhir tahun 1950-an dikarenakan keluarganya sudah tidak memiliki lahan yang cukup untuk menopang kehidupannya setelah ia berkeluarga.

Meskipun ia tidak sempat memiliki pendidikan formal tingkat dasar, namun ia merupakan salah seorang petani yang cukup berhasil setelah menetap di Tegalbuleud. Selain tanah yang ia peroleh dari hasil pembagian, ia mampu memperluas tanah yang dimilikinya dengan membeli dan mempekerjakan orang untuk mengolah tanah-tanah tersebut.

Namun sekarang ini tanah yang ia miliki hanya sedikit berikut rumah tempat tinggal setelah tanahnya seluas 4 hektar dirampas oleh pihak perkebunan. Tanah tersebut sebelumnya sudah dipenuhi berbagai tanaman yang ia usakan seperti biasanya. Ia tidak pernah memperkirakan sebelumnya bahwa apa yang telah ia miliki dan ia kerjakan untuk waktu yang lama akan hilang begitu saja setelah kedatangan pihak perkebunan. Ia menuturkan:

"Tak pernah terlintas bahwa saya akan mengalami persoalan ini. Dalam beberapa penyuluhan di kecamatan, pihak penyuluh selalu mengatakan �Bahwa akan dibangun di desa Tegalbuleud Perkebunan Inti Rakyat � ini akan menambah produksi petani lemah � tidak akan merusak tanaman yang ada �� Namun kenyataannya, dalam pelaksanaan kebun yang saya miliki habis sama sekali."22)

Sikapnya untuk mempertahankan lahan yang ia miliki menyebabkan dirinya dianggap sebagai "Orang yang menjegal atau menghambat pembangunan negara" di desa tersebut. Untuk beberapa lama ia tetap bertahan dengan sikapnya tersebut meskipun perlakukan kasar dan caci-maki aparat desa terhadapnya terus terlontar. Puncak kejengkelan para aparat desa pada akhirnya terjadi dengan tindakan mereka mendatangi langsung rumah Pak Joyo untuk menginterogasi dan membawanya ke kantor Koramil.

Para tetangganya sebelumnya sudah mengetahui rencana para aparat desa dan memperingatkan Pak Joyo bahwa ia akan diambil atau dibunuh. Ancaman tersebut terbukti pada malam harinya sekitar pukul 9 malam. Tetapi ia telah mempersiapkan diri dengan bersembunyi di langit-langit rumahnya dan mempersiapkan diri dengan sebilah golok. Sedangkan istrinya akan bertugas menyambut orang-orang tersebut. Istri pak Joyo sendiri menuturkan sudah mempersiapkan diri dengan mempersiapkan lesung di bawah apabila pada akhirnya aparat menggeledah tempat mereka.

Sekitar pukul 9 malam, rombongan aparat desa mendatangi rumah Pak Joyo. Empat orang diantaranya, yang terdiri dari Babinsa dan Polisi, mengetuk dengan kasar rumah pak Joyo. Ia diterima oleh istrinya dan mengatakan bahwa suaminya sedang pergi. Dengan kasar mereka membentak bahwa ia berbohong karena mereka tahu pada sore hari sebelumnya pak Joyo masih ada di rumah. Istrinya menyatakan bahwa pada waktu itu ia sempat berpikir mungkin ada tetangganya yang berkhianat terhadap mereka.

Ia berusaha tetap tenang dan mempersilahkan mereka masuk sambil menyuguhkan air minum. Namun tawaran itu tetap ditolak dan pihak aparat tetap berdiri di luar pintu. Akhirnya ia duduk bersila di ambang pintu menghadapi orang-orang tersebut. Mereka berniat untuk menunggu kehadiran pak Joyo. Namun sampai pukul 1 malam akhirnya mereka mengundurkan diri sambil melontarkan ancaman akan segera menangkap pak Joyo kemudian. Setelah para tamu tak diundang itu pergi, Pak Joyo turun dari persembunyiannya dan malam itu juga Pak Joyo memutuskan mengungsi dengan berjalan kaki menempuh hutan untuk tinggal selama beberapa bulan bersama keluarganya di Jakarta dengan meninggalkan anak dan istrinya.23)

Gigihnya perlawanan yang dilakukan para petani dan upaya mereka menempuh jalan hukum terhadap sengketa yang terjadi pada akhirnya tetap saja membawa mereka pada kekalahan. Tekanan dan intimidasi yang keras mengakibatkan penduduk desa menyerah. Pada akhirnya pihak perkebunan yang disertai dengan aparat kecamatan dan kelurahan dan diiringi pula dengan pihak militer dan kepolisian setempat membabat habis setiap tanaman yang dimiliki oleh penduduk desa dan menggantinya dengan tanaman kelapa hibrida.

Beberapa cerita yang memilukan diutarakan oleh penduduk desa terhadap beberapa orang yang tidak sanggup secara mental menhadapi kenyataan buruk yang menimpa mereka. Ada seorang petani yang pada akhirnya menjadi gila setelah tanaman cengkeh yang akan siap dipanennya habis dibabat oleh aparat desa dan pihak perkebunan. Ada pula yang mendadak menjadi pemurung yang mengisi hari-harinya dengan melamun setelah ia kehilangan seluruh tanah yang ia miliki. Penduduk desa menceritakan bahwa aktivitasnya sehari-hari hanya memperhatikan dan menatap para penduduk lain yang berangkat ke sawah atau ke kebun mereka. Penduduk desa hanya menduga entah apa yang ada dalam benaknya saat itu.

Namun, di pihak lain terdapat pula pihak-pihak yang mengais rejeki dengan proses tersebut. Sudah bukan rahasia di desa tersebut bila para aparat kecamatan, kelurahan dan pihak-pihak perkebunan adalah orang-orang pertama yang mendapat jatah lahan garapan PIR yang dirampas dari petani. Mereka mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah untuk menanam kelapa dan juga mendapat keuntungan dari hasil panennya kemudian. Bahkan, ironisnya, program PIR telah melahirkan orang-orang kaya baru di desa tersebut. Mereka meraih untung dengan memborong penggarapan lahan PIR yang ada dan mempekerjakan buruh tani di lahan yang sebelumnya pernah menjadi milik mereka.

6.2. Industri Tambak Udang

"Setelah jatuh tertimpa tangga pula" adalah ungkapan yang mungkin cukup tepat menggambarkan masalah yang dialami oleh penduduk desa Tegalbuleud. Belum selesai waktu yang diperlukan oleh penduduk desa untuk melupakan kepedihan yang mereka alami, muncul kemudian kekuatan baru yang memukul mereka. Pendatang baru ini adalah seorang pemodal dari Jakarta dengan koneksi politik luas yang menanamkan modal kredit pemerintah dengan membangun tambak udang di desa Tegalbuleud.

Hampir seluruh tanah sawah milik penduduk desa seluas lebih kurang 200 hektar yang berdekatan dengan muara sungai dan tepian laut beralih menjadi lahan tambak udang. Tanah-tanah tersebut menjadi milik PT Bumi Lestari Abadi milik Haji Hari Kader yang juga menguasai lahan-lahan luas di wilayah pesisiran Kabupaten Sukabumi bagian selatan sekarang ini.

Meskipun produksi tambak udang di atas lahan yang kinidikuasainya tidak setinggi seperti yang direncanakan, namun Haji Hari Kader tetap mempertahankan tanah-tanah yang dikuasainya di wilayah tersebut. Persoalannya bukan sekedar seberapa jauh keuntungan yang ia peroleh dari usaha tambak udang, tetapi berkaitan dengan rencana pemerintah daerah sekarang yang akan membangun kegiatan agro-wisata di wilayah Sukabumi selatan.

Pada awalnya para penduduk didatangi oleh aparat desa beserta kaki tangannya yang membujuk mereka menjual lahan sawah dengan harga jauh di atas harga pasaran tanah. Praktek jual paksa ini berlangsung dengan pola yang hampir sama saat proyek PIR dijalankan di desa tersebut. Para aparat mendatangi penduduk desa yang menolak penjualan sawah mereka dan mengatakan sebagai orang-orang yang menghalangi pembangunan negara.

Mama Kardi mengatakan bahwa pada saat itu para kaki tangan Haji Kader sempat menemuinya dan memaksanya untuk menjual sawah yang miliknya. Tetapi ia menolak dengan alasan bahwa lahan sawah yang dimilikinya tinggal sedikit dan itu pun belum tentu cukup untuk dibagikan kepada anak-anaknya. Sementara itu, penduduk desa yang lain hanya menunggu bagaimana sikap Mama Kardi menghadapi BLA.

Penolakannya menyebabkan ancaman terus berdatangan terhadap dirinya. Sampai kemudian pada akhirnya ia didatangi seorang pejabat kepolisian dari desa Gepluk yang menyatakan bahwa ia bersama pemerintah desa berencana akan "mentransmigrasikan" Haji Karim ke luar Jawa karena selama ia ada di desa tersebut, ia hanya akan selalui menjadi penghambat rencana-rencana pemerintah.

Setelah menimbang cukup lama, akhirnya ia pun menyerah. Segera setelah itu diadakan pertemuan di gedung SMP di kecamatan tersebut yang dihadiri oleh Mantri Polisi, Lurah, Kapolsek, Danramil dan wakil perusahaan. Dalam pertemuan tersebut, untuk melunakkan hati warga, mereka menjanjikan bahwa setiap lulusan SMP dan SMA dari desa tersebut akan dipekerjakan di tambak udang. Selain itu, mereka menjanjikan pula akan membangun jalan aspal dan jaringan listrik dari Cikaso sampai Cibuni.

Kenyataan kemudian menunjukkan bahwa semua janji tersebut tidak ada yang dipenuhi. Akhirnya Mama Kardi memutuskan untuk menggugat kembali jual beli paksa tersebut setelah sebelumnya berdialog dengan pejabat desa dan alim ulama tentang status jual beli. Kepada mereka ia bertanya bahwa apakah sebuah perjanjian jual beli antara orang yang sakit atau dalam keadaan paksa adalah jual beli yang sah? Jawaban semua pihak, termasuk dari alim-ulama yang ia hubungi menegaskan bahwa perjanjian tersebut memang tidak sah sehingga meyakinkan langkahnya untuk menggugat kembali status jual beli itu sekarang ini.24)

Di samping jual beli paksa, kebutuhan akan tanah dari usaha tambak udang di desa tersebut telah melahirkan berbagai praktek penipuan jual beli tanah yang banyak merugikan petani di desa tersebut. Dalam diskusi dengan beberapa penduduk di desa Tegalbuleud terungkap bagaimana praktek penipuan dalam proses jual beli tanah di desa tersebut.

Sebagai contoh, ada seorang penduduk desa Tegalbuleud yang biasa meminjam motor seorang makelar tanah untuk mengojek. Sebagai syarat, ia harus menyerahkan KTP terhadap pihak peminjam yang sekaligus makelar tersebut. Tanpa curiga ia memberikan KTP miliknya. Oleh sang makelar, KTP tersebut digunakan sebagai bukti bahwa orang itu telah bersedia menjual tanahnya kepada pihak tambak udang. Sementara itu, sang korban hanya bisa menyesali langkah yang ia lakukan tanpa bisa berbuat banyak.25) Sekarang ini banyak penduduk desa yang akhirnya bekerja sebagai buruh tani atau penggarap sewa di lahan-lahan yang sebelumnya milik mereka yang telah menjadi lahan tambak udang.

6.3. Hutan Desa versus Perhutani

Satu kasus yang sekarang ini muncul di Tegalbuleud adalah persoalan yang menyangkut masalah tanah desa seluas 3000-4000 hektar yang dititipkan kepada Perhutani sejak tahun 1963. Tuntutan penduduk desa terhadap tahan kehutanan yang kemudian disusul dengan pembukaan lahan sekarang ini merupakan bagian dari klaim historis penduduk desa terhadap tanah desa yang sekarang dikuasai oleh pihak Perhutani.

Hal ini didasarkan bahwa secara historis, daerah Tegalbuleud merupakan daerah bukaan masyarakat setelah terjadinya gangguan keamanan dengan adanya kegiatan BR dan DI/TII yang melewati jalur Tegalbuled sepanjang Cianjur menuju Tasikmalaya. Para penduduk yang kemudian menghuni desa tersebut datang dalam suatu program transmigrasi lokal pemerintah awal tahun 1960-an. Mereka diberi tanah oleh pemerintah seluas 2 hektar. Perinciannya adalah tanah seluas 0,2 ha digunakan untuk perumahan, kemudian seluas 0,3 hektar untuk kebun dan halaman, serta 1,5 hektar untuk tanah garapan.

Saat penduduk mulai berdatangan, desa masih memiliki kekayaan berupa hutan buatan seluas 3000-4000 hektar yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan penduduk desa untuk membangun rumah dan kebutuhan lainnya. Persoalannya kemudian, tanah hutan desa tersebut mengalami gangguan dengan adanya para petani guntai yang bermukim di daerah Jampang.

Lurah Tegalbuleud pada saat itu, yaitu Lurah Edeng, sesuai dengan ketentutan Undang-Undang Pokok Agraria yang baru ditetapkan mewajibkan para guntai untuk tinggal dan menjadi penduduk tetap di desa Tegalbuleud. Agar tidak mengganggu hutan desa, mereka kemudian mendapat lahan garapan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Namun, upaya ini tidak terlalu berhasil. Sehingga kemudian Lurah memutuskan untuk bekerja sama dengan pihak Perhutani. Disertai dengan juru tulis Nana, sang Lurah mengatakan kepada pihak Perhutani agar mereka bisa merawat hutan ini dengan alasan apabila hutan tersebut berada dalam pengolahan perhutani, maka rakyat tidak lagi akan merusak hutan tersebut. Pihak Perhutani segera mennyanggupi permintaan sang Lurah dengan mengusulkan bahwa hutan tersebut ditanami tanaman yang sama dengan tanah yang dikelola oleh pihak perhutani, yaitu dengan menanam tanaman pohon jati. Kemudian pihak perhutani memberikan bibit pohon jati untuk kepada rakyat untuk ditanami di atas tanah milik desa.

Persoalannya kemudian setelah kekuasaan Orde Baru semakin menyadari pentingny aset sumber daya alam itu, begitu saja melupakan status tanah desa dan menjadikan lahan tersebut sebagai lahan yang dimiliki oleh Perhutani. Penduduk desa pun dilarang untuk mengambil kayu atau menanam tanaman di wilayah ini dan mereka biasanya akan memberikan sangsi apabila ada orang yang tertangkap basah melanggar ketentuan yang ditetapkan.

Tidak mengherankan setelah runtuhnya rejim Orde Baru dan meningkatnya tekanan krisis ekonomi di pedesaan, para penduduk mulai menuntut kembali hak mereka atas tanah desa. Rangkaian aksi pembukaan lahan yang sekarang ini dilakukan merupakan akumulasi dari konflik yang telah berlangsung lama.


Bab III: Dominasi Dan Perlawanan

Sejarah Politik Kecamatan Tegalbuleud sebagai desa yang baru terbentuk sejak dekade akhir tahun 1950-an memberikan gambaran menarik tentang sejauh mana kekuasaan rejim otoriter Orde Baru membangun format kekuasaan dan dominasi politiknya di pedesaan. Dalam membicarakan masalah politik, sebagian besar uraian tulisan ini didasarkan pada ingatan penduduk desa terhadap peristiwa-peristiwa politik besar yang berpengaruh dalam kehidupan mereka.

1. Dominasi dari Generasi ke Generasi

Dalam pembicaraan berkelompok, Haji Sukarna menuturkan bagaimana pengalamannya sebagai penduduk desa tersebut dan kaitannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam dan luar desanya. "Bagi saya, tak ada perubahan yang berarti. Sebagai petani, pekerjaan utama saya mencangkul. Di jaman Sukarno, saya sudah mencangkul. Jaman Orde Baru, pekerjaan saya masih mencangkul. Sekarang pun apa yang saya lakukan adalah mencangkul!"26)

Apa yang diucapkan Haji Sukarna adalah penilaiannya terhadap apa yang terjadi terhadap proses sejarah yang berubah dan merubah desanya. Meskipun pernyataannya tidak seluruhnya menceritakan pengalaman dirinya sebagai orang yang pernah turut aktif terlibat dalam lasykar gerilya selama revolusi, namun apa yang ia uraikan mencerminkan pandangan seorang penduduk desa yang menjadikan pertanian sebagai kegiatan utamanya. Tetapi bukan berarti seluruh perubahan besar tersebut tidak memiliki pengaruh besar terhadap para penduduk desa lainnya.

Orang-orang generasi pertama di desa tersebut masih dengan fasih membicarakan bagaimana konflik-konflik politik di tingkat nasional memiliki imbas terhadap penduduk setempat. Negara republik yang baru terbentuk membawa serta konflik-konflik di antara mereka dalam bentuk oposisi dalam sistem parlemen atau bahkan perlawanan bersenjata.27) Di tingkat desa, imbas itu dirasakan langsung dengan terciptanya situasi tidak aman ketika gerombolan bersenjata menjadikan wilayah mereka sebagai tempat persinggahan seperti yang dilakukan oleh pasukan DI/TII yang menjadikan jalur hutan di wilayah selatan Kabupaten Sukabumi sebagai jalur lintas perjalanan mereka antara wilayah utara dan selatan Jawa Barat.

Mama Kardi menuturkan bagaimana sulitnya penduduk desa menghadapi situasi tersebut. Kesulitan ini bukan sekedar masalah tidak amannya desa mereka, tetapi bagaimana menentukan posisi mereka di antara sikap curiga aparat negara dan pihak gerombolan bersenjata. Mama Kardi tahu benar bahwa menolak menjadi tuan rumah bagi para gerombolan yang beristirahat di desa mereka adalah sikap konyol yang tidak perlu. Saat gerombolan pasukan tersebut mendatangi desa mereka, penduduk sudah tahu apa yang harus mereka perbuat. Mama Kardi menuturkan bahwa apabila terjadi hal seperti itu, ia dan keluarganya harus menyediakan makanan lebih banyak untuk gerombolan tersebut. Bagi aparat negara, hal ini dianggap sebagai dukungan diam-diam penduduk desa terhadap tujuan-tujuan politik gerombolan pasukan tersebut. Persoalan ini sering mengundang masalah yang harus dihadapi oleh penduduk desa.

Sementara itu, tingkat politisasi yang tinggi pada masa setelah revolusi melahirkan pengelompokan masyarakat berdasarkan ideologi dan partai politik tertentu di tingkat nasional. Pada tingkat lokal, fragmentasi tersebut terwujud dalam pengidetifikasian orang-orang di desa tersebut sesuai dengan garis dan kepercayaan politik yang mereka anut. Bagi penduduk desa, mereka cukup mengenal siapa saja orang-orang di desa mereka yang menjadi pendukung masing-masing kekuatan politik yang ada. Tetapi hal tersebut bukan berarti menjadi sekat yang memisahkan mereka dalam interaksi sosial di antara mereka sendiri. Mama Kardi yang menjadi pendukung Partai Masyumi mengenal dan bergaul cukup baik dengan orang-orang yang menjadi pendukung Partai Komunis atau organisasi massa radikal lainnya.

Penyekatan politik tersebut baru menjadi masalah setelah terjadinya huru-hara politik pada tahun 1965. Mama Kardi dan para penduduk desa yang telah cukup umur saat itu menuturkan bagaimana desa mereka didatangi oleh aparat militer yang mencari orang-orang komunis. Tidak seperti pembunuhan besar-besaran di desa-desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah, tidak banyak dari penduduk desa tersebut terlibat dalam aksi pengganyangan orang-orang komunis dan kekerasan mengerikan yang menyertainya.28) Bisa dikatakan bahwa pembersihan orang-orang komunis semata-mata pekerjaan kaum militer yang datang ke desa mereka. Pembersihan orang-orang komunis semata-mata menjadi tugas yang dikerjakan oleh para aparat di luar desa mereka.

Sosok negara yang berkuasa dan menentukan seluruh aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat desa di Tegalbuleud bisa dikatakan terjadi sejak Orde Baru muncul dalam panggung politik. Pada periode-periode sebelumnya, politik di tingkat lokal berpusat pada lembaga desa dan sosok kepemimpinan lurah. Penduduk desa generasi pertama menuturkan bagaimana lurah pertama di desa tersebut, yaitu Lurah Edeng, adalah otoritas lokal yang paling berpengaruh bagi seluruh masyarakat desa.

Lurah menentukan berapa banyak dan siapa saja yang mendapat tanah di desa tersebut, mengurus sistem irigasi, menjadi penghubung antara masyarakat dan institusi-institusi politik politik di luar desa. Namun, kehidupan desa semacam ini mengalami perubahan yang cukup signifikan dengan berdirinya rejim Orde Baru dan kebijakan-kebijakan mereka terhadap desa.29)

Dalam struktur kekuasaan lokal di masa pemerintahan rejim Orde Baru, kekuasaan tingkat desa dibangun dengan membangun struktur kekuasaan formal sampai tingkat kecamatan. Para camat menjadi pembantu bupati untuk mengurus wilayahnya masing-masing dan mengkoordinir para lurah yang ditentukan melalui sistem pemilihan langsung oleh penduduk desa. Meskipun penduduk desa masih memiliki suara menentukan siapa yang akan menjadi lurah-lurah mereka, tetapi pertanggungjawaban lurah terhadap camat menjadikan otoritas kekuasaan lokal ini semata-mata kepanjangan tangan pemerintah pusat.

Tidak sulit untuk menanyakan kepada penduduk desa tentang bagaimana peran aparat di tingkat lokal dan hubungannya dengan gerak modal dan program pemerintah. Peran aparat di tingkat lokal sebagai penghubung dengan pihak-pihak di luar desa, menjadikan mereka sebagai orang pertama yang menikmati berkah "pembangunan" dan perkembangan modal yang diwakili oleh industri tambak udang dan perkebunan besar.

Sebelum kepentingan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dan perkembangan modal di bidang pertanian, peran aparat lokal sebagai penghubung antara desa dan pihak luar desa adalah menjadikan tanah-tanah desa sebagai lahan produktif yang digarap penduduk. Dalam kaitannya dengan pemilikan dan penguasaan tanah desa, sejak pembentukan desa tersebut sampai dengan akhir tahun 1970-an, lurah bertugas melakukan pembagian tanah desa dan mengajukannya kepada kantor pajak di kabupaten untuk digarap oleh penduduk desa. Setelah periode 1980-an, tugas lurah adalah membebaskan lahan-lahan produktif di desa tersebut dari para penggarap kepada pemodal dan pemerintah.

Seiring dengan perubahan tersebut, terjadi pula perubahan besar di di desa Tegalbuleud dengan kemunculan orang-orang kaya baru (OKB) tanpa kaitan langsung dengan kegiatan pertanian. Mereka adalah aparat birokrasi yang secara formal berwenang mengatur pengelolaan sumber daya desa, distribusi kredit dan pembebasan tanah. Mereka membentuk lapisan menengah ke atas yang mendapatkan keuntungan atas beban produksi yang dipikul oleh orang-orang yang bekerja di bidang pertanian.

Di samping pendapatan "formal" tersebut, masih ada sumber pendapat an lain yang cukup menguntungkan di desa itu, yaitu bisnis penebangan kayu ilegal. Bagi para penduduk desa, praktek penebangan kayu ilegal sudah bukan merupakan barang aneh. Kepada peneliti, mereka menunjukkan siapa-siapa saja orang di desa tersebut yang menjadi kaya raya dengan hasil penebangan kayu ilegal tersebut. Penebangan kayu ilegal semakin merajalela dengan terjadinya krisis ekonomi dan meningkatnya harga kayu gelondongan akibat penurunan kurs rupiah. Peneliti menyaksikan sendiri bagaimana hilir mudiknya kendaraan pengangkut kayu gelondongan yang ditebang secara ilegal yang melintas jalan desa tersebut.

2. Dominasi dan Perlawanan

Bangunan kekuasaan pemerintah desa adalah cerminan bagaimana rejim Orde Baru membangun kekuasaannya di Indonesia. Dalam beberapa studi mereka, para sarjana politik telah menunjukkan bagaimana struktur kekuasaan negara, baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional adalah entitas asing yang berdiri di luar masyarakat.30) "Jarak" antara negara dan masyrakat dalam tingkat lokal terlihat dengan cukup jelas dalam bentuk bagaimana mereka membangun hirarki birokrasi dan cara memerintah.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sebagai pegawai birokrasi yang ditunjuk untuk menjalankan fungsinya, camat sebagai representasi kekuasaan tertinggi di tingkat desa merupakan orang-orang yang menjalankan tugas demi karir birokrasinya. Baik Camat, Danramil, Kapolsek dan manajer industri tambak dan perkebunan adalah orang-orang luar yang tidak memiliki pemahaman tentang persoalan-persoalan dan pergaulan hidup di desa tempat mereka bertugas. Bagi para pemangku birokrasi, pengetahuan mereka adalah bagaimana menjalankan tugas sesuai dengan kapasitas dan jabatan mereka memerintah.

Sulit membayangkan bagaimana legitimasi kekuasaan mereka berhasil mencengkram penduduk desa apabila tidak diuraikan pula tentang praktek-praktek tekanan, teror, intimidasi dan praktek kekerasan lainnya. Program-program pemerintah yang berkaitan dengan masalah penguasaan sumber daya ekonomi di desa tersebut merupakan program-program yang sarat dengan konflik dan pertentangan dengan penduduk. Uraian lebih mendalam tentang praktek ini akan peneliti uraikan bagian berikutnya. Ringkasnya, kuasa negara terhadap masyrakat terwujud melalui praktek dominasi yang melibatkan unsur kekerasan di dalamnya.

Meskipun praktek dominasi lebih menonjol dalam menjalankan kekuasaannya, tidak dapat dipisahkan pula fungsi hegemoni yang dijalankan aparat negara dalam membangun legitimasi politik mereka. Sejarah politik desa tersebut sepanjang kekuasaan rejim Orde Baru dikuasai oleh kemenangan Golkar secara mutlak dalam beberapa pemilihan umum. Birokrasi telah menjadi mesin politik Golkar untuk mendulang kemenangan suara.

Aparat birokrasi desa akan memanfaatkan sumber-sumber daya ekonomi yang berhubungan dengan kepentingan penduduk seperti koperasi, program-program perbaikan fasilitas infrastruktur sosial dan kesehatan sebagai cara menunjukan kekuatan politik mereka. Selain manipulasi semacam itu, sebagai langkah menyingkirkan potensi oposisi, lawan-lawan politik Golkar dalam pemilihan suara harus menghadapi tekanan dan penyingkiran secara sosial dan politik secara sistematis seperti yang diuraikan oleh para penduduk yang menjadi pendukung partai-partai di luar Golkar.

Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah proses perlawanan terjadi? Untuk menjawab pertanyaan ini, uraian selanjutnya akan menampilkan ilustrasi bagaimana upaya membangun hegemoni kekuasaan yang dijalankan aparat negara berbenturan dengan sikap penduduk yang menolak tunduk.

Ketika peneliti mulai melakukan penelitian, kebetulan saat itu sedang dilakukan proses pemilihan ketua MUI di desa tersebut. Jabatan ketua MUI memiliki aspek yang cukup strategis bagi aparat setempat dalam membangun opini dan memobilisasi penduduk melalui jalur keagamaan mengingat pentingnya masjid sebagai tempat berkumpul dan beribadah para penduduk. Selain itu, secara otomatis orang tersebut akan menjadi imam di masjid utama yang dibangun pemerintah yang terletak di alun-alun kecamatan yang berhadapan langsung dengan kantor kecamatan.

Sepanjang pemilihan ketua MUI, para calon yang terpilih pada umumnya adalah orang-orang yang dianggap memiliki loyalitas terhadap pemerintah. Proses pemilihan telah diatur sedemikian rupa sehingga peluang bagi orang-orang yang sulit diatur oleh pemerintah sangat kecil terjadi. Tidak mengherankan bila kyai dan sesepuh desa yang bersebrangan dengan kepentingan pemerintah tidak pernah mendapatkan kedudukan tersebut, seperti yang dialami oleh Kyai Abdul Madjid dan Haji Mama Kardi.

Saat berbincang-bincang tentang proses pemilihan ketua MUI, peneliti mendapatkan cerita menarik yang dituturkan oleh beberapa informan di desa Buni Asih. Ketika pemerintah selesai membangun masjid agung di kecamatan tersebut, sang camat mendatangi para tokoh dan sesepuh dan menghimbau mereka agar praktek shalat Jum�at yang biasanya dilangsungkan di masjid-masjid setempat dipindahkan di masjid yang baru dibangun. Hal ini perlu dilakukan oleh sang Camat mengingat cukup banyak masjid di desa tersebut yang dibangun oleh orang-orang yang cukup berada di desa itu.

Namun penduduk menjadi kecewa selama mereka mengikuti shalat berjemaah di masjid yang baru dibangun. Topik ceramah terlalu banyak menguraikan pentingnya masyarakat mematuhi program-program pemerintah. Selain itu, yang dianggap terlalu berlebihan bagi penduduk adalah ketika sang Imam mengatakan bahwa orang-orang yang tidak mau menjual tanah mereka kepada perkebunan dan tambak udang, atau terhadap orang-orang yang tidak mendukung Golkar selama pemilu dilaksanakan adalah orang-orang yang munafik.

Hal ini telah menimbulkan rasa tidak puas bagi kebanyakan penduduk desa. Setelah beberapa lama, mereka memutuskan untuk tidak melakukan shalat berjamaah di masjid yang dibangun oleh pemerintah dan kembali menjalankan kegiatan ibadah mereka di masjid-masjid tempat mereka menjalankan ibadah sebelumnya. Tindakan seperti ini adalah salah satu bentuk perlawanan yang mungkin mereka lakukan tanpa harus mendapatkan hukuman yang cukup keras terhadap diri mereka.

3. Reformasi, Organisasi dan Perjuangan Kolektif

Tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi yang dibangun oleh para aktivis yang terlibat dalam gerakan petani serta kaum tani sendiri berperan besar dalam membangkitkan kepercayaan dan keberanian petani mengartikulasikan tuntutan dan keinginan mereka. Kaum tani seakan menemukan pijakan yang kuat dalam melakukan tindakan-tindakan mereka melalui organisasi yang mereka sebut dengan Himpunan Petani dan Nelayan Pakidulan (HPNP).

Sulit untuk mengatakan bagaimanakah bentuk ideologi dan orientasi politik dari organisasi yang terbentuk. Secara umum bisa dikatakan bahwa tidak ada bentuk ideologi dan orientasi politik yang cukup jelas yang mengikat para anggotanya. Ikatan organisasi sekarang ini terjadi lebih dikarenakan pada desakan kebutuhan para petani di tingkat desa untuk mendapatkan tanah daripada suatu ideologi dan orientasi yang dimiliki oleh HPNP.

Berdasarkan pembicaraan dengan para pimpinan di tingkat atas, pengurus inti di desa dan para aktivis tingkat bawah, gambaran tentang kesadaran ideologi dan orientasi politik lebih ditentukan pada tingkat pemahaman masing-masing terhadap masalah yang dihadapi daripada suatu pemahaman bersama secara organisasional.

Gambaran tentang orientasi politik dan ideologi organisasi lebih tergambarkan saat masing-masing berbicara tentang proses reformasi, demokratisasi dan tuntutan mendapatkan keadilan bagi para petani dalam perjuangan mereka mendapatkan hak-haknya. Istilah demokrasi menjadi bahasan umum di antara mereka apa yang telah mereka lakukan dan semangat melakukan reformasi politik diterjemahkan dalam bentuk kongkrit penguasaan lahan oleh petani. Orientasi politik dan ideologi yang cair ini menjadi salah satu faktor yang menjelaskan dukungan dari para petani terhadap apa yang dilakukan oleh HPNP.

Namun, faktor penting yang juga menjelaskan mengapa organisasi ini bisa berkembang di kalangan petani adalah kemampuan para aktivis di tingkat atas untuk berbicara dengan para petani sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Pemahaman terhadap budaya lokal yang menempatkan mitos sebagai bagian penting dari kesadaran petani menyebabkan tidak sulit bagi mereka untuk berbicara dengan penduduk desa.

Meluasnya dukungan petani terhadap HPNP juga mendorong lahirnya tuntutan baru bagi para pimpinan organisasi untuk menjalankan strategi politik mereka. Sebelum terbentuknya organisasi secara formal, para pemimpin ini menjadi sumber dukungan politik penting bagi partai-partai politik, khususnya PDI-Perjuangan dalam memobilisasi penduduk desa yang mereka pimpin untuk mendapatkan suara.

3.1. Lahirnya Himpunan Petani dan Nelayan Pakidulan (HPNP)

Bagi para petani di wilayah selatan Propinsi Jawa Barat, khususnya wilayah Cianjur dan Sukabumi, upaya mempersatukan perjuangan yang telah lama mereka lakukan baru terwujud dengan adanya ruang politik yang lebih luas selama periode reformasi ini, yaitu dengan lahirnya Himpunan Petani dan Nelayan Pakidulan (HPNP). Organisasi ini dibentuk pada bulan Mei 2000 dan dideklarasikan kemudian pada tanggal 10 Oktober 2000 di Cisaat, Sukabumi.31)

Proses pembentukan organisasi tersebut diawali dengan pertemuan delegasi pada awal bulan Mei 2000 antara penduduk desa dari dua kecamatan, yaitu Ujung Genteng dan Tegalbuleud, di kediaman Suwarno. Masing-masing delegasi tersebut ingin meminta bantuan Suwarno dalam menyusun strategi mereka memperjuangkan sengketa tanah yang mereka alami. Saat itu, belum ada pembicaraan di antara mereka untuk menggabungkan bentuk perjuangan dalam satu wadah organisasi.

Kemudian, pada tanggal 8 Mei, dari kediaman Suwarno, delegasi dari Ujung Genteng yang dipimpin oleh Bapak Dedy Iskandar menghadap Bupati Sukabumi. Namun, saat itu bupati dan wakil bupati tidak ada di tempat, sehingga keenam orang dari Ujung Genteng tersebut hanya bertemu dengan ASDA I Kabupaten Sukabumi. Usai pertemuan dengan pihak eksekutif Kabupaten Sukabumi, delegasi itu kembali ke tempat kediaman Suwarno dan bertemu kembali dengan orang-orang dari Tegalbuleud yang berkumpul di tempat tersebut.

Pada saat itulah mereka berembuk untuk mencoba menyelesaikan berbagai kasus konflik dan sengketa pertanahan di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur, yaitu Agrabinta, Tegalbuleud, Lengkong, Pelabuhan Ratu, Ciracap dan Cikole. Mereka menyadari bahwa perjuangan kasus-kasus mereka sejak tahun 1982 tidak satu pun yang berhasil. Dalam perbincangan mereka, disinggung pula keinginan untuk melakukan reforma agraria terhadap berbagai kebijakan pemerintah di bidang agraria yang merugikan rakyat. Pada saat itulah tuntutan berorganisasi yang mempersatukan perjuangan penduduk desa di Cianjur Selatan dan Sukabumi menemukan bentuknya.

Pada tanggal 17 dan 18 Mei, para delegasi tersebut berembuk untuk membentuk kepengurusan inti dari organisasi yang hendak mereka bentuk meskipun belum sempat mereka deklarasikan pembentukannya. Rentang waktu antara kelahirannya pada bulan Mei dan pendeklarasiannya pada bulan Oktober merupakan masa-masa yang cukup sibuk dan melelahkan bagi para petani dan pengurus organisasi. Sepanjang periode waktu selama enam bulan, mereka telah melakukan berbagai usulan dan pertemuan dengan pejabat tingkat kabupaten yang kemudian diikuti dengan aksi-aksi demonstrasi di Jakarta dan Bandung menjelang hari tani pada tanggal 24 September 2000.

Kemudian penduduk Tegalbuleud, pada tanggal 13 dan 14 Juli 2000, bergerak mendatangi pihak DPRD untuk menangani kasus mereka yang sampai sekarang tetap terkatung-katung. Mereka meminta para anggota Dewan untuk datang ke desa mereka guna melihat permasalahan yang ada. Tuntutan dan permintaan itu kemudian dipenuhi oleh para anggota dewan pada bulan Agustus dengan mengirimkan satu tim bersama para pejabat kehutanan dan kecamatan yang mendatangi lokasi terjadinya konflik.

Meskipun demikian, belum ada perubahan perubahan apapun terhadap masalah yang mereka hadapi setelah kunjungan tersebut dilakukan. Penduduk Tegalbuleud yang tergabung dalam organisasi baru tersebut sempat mengadakan aksi ke Jakarta menuju Departemen Kehutanan. Namun, jawaban dari pejabat departemen mengatakan bahwa persoalan tanah yang terjadi di daerah harus mengacu pada surat bupati. Dirjen menunjukkan bahwa ada surat bupati yang menunjukkan bahwa penyelesaian kasus Tegalbuleud pertama-tama dibentuk TIM dan kedua mendefinisikan berbagai masalah yang muncul dalam masyarakt untuk diambil solusinya. bukan wewenang mereka, melainkan sudah menjadi tanggungjawab.

Setelah aksi tersebut, pada saat peringatan hari tani tanggal 24 September 2000, penduduk desa Tegalbuleud dengan para petani dari wilayah Jawa Barat lainnya melakukan aksi bersama di Jakarta. Aksi tersebut diawali di Tugu Proklamasi yang kemudian dilanjutkan dengan long march menuju Istana Negara dan kantor IMF. Perjalanan ke IMF merupakan bagian dari tuntutan kaum tani berkaitan dengan masalah KUT. Setelah melakukan aksi tersebut, para petani melanjutkan perjalanan mereka ke Bandung untuk menghadiri pertemuan antara berbagai serikat petani Jawa Barat. Pada saat itu mereka menghadap DPRD Tk. I yang tengah rapat di Komisi I. Massa yang berjumlah ribuan menarik ketua Komisi, Eka Santosa yang menjanjikan bisa menyelesaikan masalah. Para petani menarik dirinya ke forum untuk berbicara tentang masalah penyelesaian kasus mereka. Ketua Komisi mengatakan bahwa ia akan membantu menyelesaikan masalah petani dengan meminta mereka untuk mempersiapkan bahan-bahan. Karena para petani pada saat itu tidak mempersiapkan bahan-bahan yang diminta, maka mereka merencanakan akan bertemu kembali. Kemudian pada tanggal 4 Oktober beberapa delegasi kaum tani kembali menghadap DRPD I. Namun ketua Komisi tersebut telah diangkat menjadi ketua DPRD. Upaya para petani menemui dirinya terhambat dengan alasan bahwa DPRD pada saat itu tengah dalam masa reses persidangan.

Pada tanggal 8-10 Oktober, para petani di daerah Sukabumi selatan berkumpul di Cisaat dan mendeklarasikan pembentukan HPNP. Setelah deklarasi tersebut, rombongan berupaya bertemu dengan bupati Sukabumi. Namun, pada saat itu bupati tidak ada di tempat dan mereka kemudian diterima oleh ASDA II. Dari pertemuan tersebut, lahir konsep untuk menyelesaikan konflik-konflik pertanahan di seluruh kabupaten Sukabumi dan Cianjur. Konsep selanjutnya adalah pihak ASDA mempersilahkan para petani untuk menggarap lahan. Ia hanya mengatakan bahwa sebaiknya pihak pemerintah Kabupaten diberitahukan terlebih dahulu. Jawaban Ketua HPNP menyatakan bahwa diijinkan atau tidak diijinkan oleh pemerintah, petani tetap akan melakukan aksi penggarapan. Konsep selanjutnya adalah penyamaan visi bersama dan payung kelembagaan yang disebut Tim Penyelesaaian Kasus-Kasus Pertanahan di Sukabumi.

Dalam deklarasi, dilahirkan AD/ART dan program. Program HPNP adalah pertama, penataan organisasi, advokasi reforma agraria dan sertifikasi, ketiga bidang ekonomi dan keempat pendidikan. Secara mendasar landasan organisasi ini bertujuan untuk memperbaiki masalah kemiskinan di pedesaan dengan menyelesaikan struktur agraria yang timpang.

Struktur organisasi dibentuk dengan adanya Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris, Bendahara dan Ketua Bidang. Penunjukkan kepengurusan saat itu masih didasarkan pada perwakilan yang hadir saat organisasi ini dideklarasikan. Dalam organisasi tersebut, ditentukan pula struktur kepengurusan organisasi di mana HPNP mewakili kepentingan petani dan nelayan di tingkat Kabupaten. Sedangkan pada tingkat kecamatan terdapat suatu Korwil dan pada tingkat desa dikerjakan oleh Organisasi Tani Lokal (OTL) yang terdiri dari beberapa Kelompok Tani (POKTAN) sebanyak kurang lebih 20-40 orang setiap kelompoknya.

Fungsi Korwil menjadi kepanjangtangan HPNP di tingkat Kecamatan. Pemilihan ditetapkan oleh utusan setiap kelompok tani, OTL, berangkat bersama untuk terlibat dalam pengorganisasian. Masalah kepemimpinan, karena suasana yang belum normal, membutuhkan pribadi-pribadi pemimpin yang kuat. Dalam organisasi ini, dimasukan juga para sesepuh yang sebelumnya telah lama berjuang yang didudukan sebagai Penasehat dalam organisasi.

Masalah dasar yang sekarang muncul dalam pengorganisasian dalam hubungannya dengan lembaga atau organisasi lain yang bergerak di pedesaan adalah pertama kesepakatan dalam melakukan tindakan dan juga tumpang tindihnya kegiatan mereka. Sebagai contoh, di wilayah Jawa Barat sekarang ini terdapat berbagai lembaga seperti Komisi Pembaharuan Agraria, Komite Reformasi Agraria, serta juga pihak LBH Bandung. Meskipun demikian, masih belum jelas bagaimana kaitan antara lembaga-lembaga tersebut dengan serikat tani yang memang langsung berhubungan dengan para petani di tingkat lokal. Kebanyakan organisasi atau lembaga cenderung melakukan kegiatan yang sebenarnya hampir sama sehingga banyak membuang tenaga mereka.

3.2. Perkembangan Organisasi di Tingkat Lokal dan Keanggotaan

Meskipun demikian, gejala pertumbuhan organisasi pada tingkat lokal menyajikan beberapa gambaran menarik yang penting untuk dicatat. Pertumbuhan organisasi secara historis merupakan produk suatu proses cukup panjang yang diawali dengan kontak-kontak yang terjalin antara para aktivis dengan petani yang mengalami konflik dengan kepentingan-kepentingan pemodal dan negara pada awal tahun 1980-an.

Dalam wawancara dengan Suwarno, ia menuturkan lamanya periode waktu yang ia butuhkan untuk membangun kepercayaan penduduk desa. Langkah-langkah awal yang ia lakukan adalah membangun kontak dengan para tokoh masyarakat setempat yang sebelumnya telah melakukan berbagai upaya memperjuangkan hak-hak mereka. Waktunya dihabiskan untuk menerangkan kepada para penduduk desa tentang hak-hak mereka sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa pertemuan-pertemuan secara tertutup di masing-masing rumah para tokoh tersebut, serta beberapa pertemuan yang ia lakukan dengan penduduk desa setelah mereka selesai menjalankan kegiatan ibadahnya di masjid-masjid merupakan sarana paling efektif memperluas kontak antara dirinya dengan para penduduk desa.

Faktor menarik lainnya yang penting dicatat adalah upayanya menyesuaikan diri dengan kondisi kultural kaum tani. Ia menyadari arti penting mempelajari berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan mitos, ketrampilan bela diri tradisional dan simbol-simbol masyarakat setempat yang memudahkannya berkomunikasi dengan para petani. Terlepas dari sejauh mana pengetahuan dan ketrampilan itu benar-benar terwujud dalam praktek, namun kesadaran untuk "menyesuaikan diri" merupakan suatu gambaran menarik yang menunjukkan arti penting little tradition dalam masyarakat petani. Langkah selanjutnya yang ia lakukan setelah berhasil merebut kepercayaan penduduk desa adalah menerangkan berbagai strategi melakukan aksi-aksi secara kolektif, baik itu dalam mengajukan tuntutan melalui petisi atau demonstrasi serta membangung kekuatan organisasi.

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa situasi politik selama masa Orde Baru memberikan banyak hambatan untuk menjalankan kegiatan organisasi secara terbuka di kalangan penduduk desa. Selain intimidasi, ancaman dan teror, persoalan lain yang harus ia hadapi adalah upaya-upaya aparat setempat yang mencoba menarik garis batas yang membedakan dirinya dengan para penduduk desa dengan menjadikannya sebagai oknum-oknum yang hanya mengail kepentingan pribadi dengan memanfaatkan para petani.

Walaupun terdapat berbagai hambatan seperti itu, meluasnya dukungan dari para penduduk desa terjadi dengan keberhasilannya mendorong lahirnya para pemimpin di tingkat lokal yang tidak hanya mengandalkan pada struktur dan hirarki masyarakat setempat. Pergaulannya semakin meluas dengan para penduduk desa lainnya, terutama petani miskin dan petani penggarap yang telah kehilangan tanahnya. Orang-orang ini menjadi penghubung paling efektif atau jembatan yang mengarahkan aksi-aksi kaum tani menjadi suatu aksi yang lebih terorganisir dan efektif. Ia berhasil membangun jaringan yang lebih luas dengan para penduduk di antara empat desa yang ada di kecamatan tersebut.

Kesempatan yang lebih baik bagi tumbuhnya kekuatan organisasi ini tercipta dengan krisis politik yang menumbangkan rejim Orde Baru yang memberikan kesempatan dan peluang bagi dirinya dan para penduduk desa untuk bergerak lebih terbuka dibandingkan periode-periode sebelumnya. Proses perkembangan organisasi di wilayah Tegalbuleud merupakan bagian tak terpisahkan dengan terciptanya struktur peluang politik di tingkat nasional selama periode reformasi ini.

Pengamatan di lapangan saat penelitian ini dilakukan menunjukkan suatu proses menarik sehubungan dengan masalah organisasi dan pengorganisasian di tingkat lokal oleh para petani. Peneliti cukup beruntung bisa menggali lebih dalam masalah-masalah pengorganisasian ini dengan turut hadir saat para petani mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi dan arti organisasi yang mereka bentuk dalam alam pikiran mereka.

Aksi membuka lahan adalah picu yang mengembangkan antusiasme penduduk desa untuk terlibat dalam organisasi baru yang diperkenalkan dan dibentuk di desa tersebut. Meskipun demikian, masih belum jelas sejauh mana sifat keanggotaan dari organisasi itu ditentukan. Para aktivis tingkat lokal yang duduk sebagai pengurus di tingkat desa masih disibukan dalam upaya mereka mendata orang-orang yang akan menjadi anggota organisasi mereka.

Saat peneliti tengah berada di desa tersebut, agenda utama dalam proses pembentukan organisasi adalah membuat kartu anggota. Ada beberapa kisah menarik yang cukup penting menjadi catatan bagi pemahaman terhadap masalah organisasi di desa tersebut, khususnya yang berkaitan dengan pembuatan kartu anggota.

Kartu anggota adalah sarana penting yang ditetapkan oleh para pemimpin di tingkat atas guna mendapatkan gambaran yang lebih kongkrit tentang sejauh mana kekuatan organisasi mereka di masing-masing tempat. Para pimpinan di tingkat atas menugaskan aktivis-aktivis di tingkat lokal untuk mendata anggota-anggota mereka dan segera membuat catatan keanggotaan guna tugas membuat kartu anggota ditetapkan oleh ketua HPNP dengan maksud mendapatkan gambaran jelas tentang sejauh mana kekuatan organisasi tersebut di masing-masing tempat serta sejauh mana persoalan ini menjadi masalah yang cukup sulit bagi para aktivis di tingkat lokal dalam menentukan langkah dan strategi yang akan mereka jalankan. Meskipun demikian, terdapat situasi yang cukup menguntungkan dengan tidak adanya hambatan terbuka bagi petani untuk berhimpun dalam suatu organisasi di luar organisasi-organisasi korporatis yang selama ini direstui dan didominasi oleh negara.

3.3. Para Aktivis Lokal

Perkembangan organisasi di tingkat lokal memberikan gambaran yang cukup menarik tentang sejauh mana kiprah yang dilakukan oleh para aktivis di tingkat desa mencoba membangkitkan solidaritas dan kesadaran petani di wilayah mereka dalam organisasi yang baru mereka bangun. Saya mencoba untuk menguraikan bagaimana tingkat perkembangan organisasi di Tegalbuleud dengan memperhatikan apa yang dilakukan oleh para aktivis di tingkat desa ini, baik para pengurus inti maupun para aktivis lainnya yang secara formal tidak masuk dalam struktur kepengurusan inti.

3.3.1. Para Pengurus Inti

Tanggungjawab mengembangkan organisasi di wilayah Tegalbuleud dibebankan kepada tiga orang aktivis yang telah lama aktif, yaitu yaitu Ispada, Supardi dan Iyus. Selama penelitian ini dilakukan, peneliti hanya bisa mengamati dan berdiskusi secara langsung dengan Supardi yang sekaligus menjadi tuan rumah selama penelitian ini dilakukan. Sedangkan informasi yang peneliti peroleh dari Ispada dan Iyus sangat sedikit berkaitan dengan kesibukan pribadi kedua orang tersebut.

Dengan demikian, informasi dan keterangan mendalam hanya peneliti peroleh dari Supardi yang dipercaya menjadi simpul yang menghubungkan aktivis di luar desa dengan para petani yang tengah dalam proses pembukaan lahan. Dikarenakan belum tertatanya struktur organisasi tani di wilayah ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukannya melebihi tugas kesekretariatan yang menjadi tanggung jawabnya. Pengalamannya terlibat bersama para aktivis petani dari luar desa menjadikan dirinya cukup fasih berbicara tentang persoalan pengorganisasian dan strategi-strategi aksi yang harus dilakukan oleh rekan-rekan di desanya.

Riwayat hidupnya sendiri cukup menarik untuk diuraikan. Ia tumbuh dewasa di Tegalbuleud sejak kepindahan orang tuanya memutuskan untuk pindah dari Jampang Kulon ke Tegalbuleud pada tahun 1967. Meskipun pada masa awal kepindahan mereka terpaksa menumpang di salah satu famili yang sudah terlebih dahulu tinggal di Tegalbuleud, namun lambat laun akhirnya mereka berhasil membeli tanah sedikit demi sedikit sampai kemudian mencapai luas 5 hektar. Untuk ukuran desa tersebut, orang tuanya tergolong seorang petani berhasil yang dibuktikan dengan kemampuan mereka menjalankan ibadah haji ke Arab Saudi pada tahun 1978. Tetapi semua itu berubah sejak dimulainya proyek PIR-BUN yang menyebabkan mereka kehilangan seluruh lahan yang dimiliki.

Supardi sempat mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP. Untuk desa tersebut, tingkat pendidikan yang diperolehnya sudah cukup tinggi dengan ketrampilan berbicara, membaca dan menulis yang lebih baik dibandingkan penduduk desa lainnya. Setelah lulus SMP, ia sempat menganggur beberapa lama sebelum kemudian ia mendapatkan tawaran mengikuti tes sebagai pekerja honorer di kantor kecamatan. Ia melakukan pekerjaan selama kurang lebih dua tahun.

Supardi menuturkan kepada peneliti bahwa selama itu, ia terus memendam rasa ketidakpuasan terhadap ketidakadilan yang ada di desanya, termasuk terhadap apa yang telah terjadi terhadap keluarganya. Wataknya yang cukup keras dan mudah marah menyebabkan dirinya seringkali mudah bertengkar dengan orang-orang yang tidak disukainya.

Perlawanannya secara terbuka terhadap struktur kekuasaan di desanya diawali saat berlangsungnya Pemilihan Umum pada tahun 1992 ketika ia memutuskan untuk menjadi aktivis Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan berkampanye untuk partai tersebut. Pada saat tersebut, di mana hegemoni GOLKAR di wilayah pedesaan pada masa rejim Orde Baru dilakukan dengan menggunakan dukungan mesin birokrasi dan militer, tindakan yang dilakukan oleh Supardi jelas melawan arus dan merupakan perlawanan terbuka terhadap struktur birokrasi di desa tersebut.

Akibatnya ia ditangkap dan ditahan selama 2 hari satu malam di kantor kecamatan. Meskipun pihak aparat saat itu melakukan tekanan keras terhadap dirinya, namun mereka masih mempertimbangkan bahwa lebih baik bagi mereka untuk mengkooptasi Supardi dengan mempekerjakannya sebagai pegawai Pos di kecamatan. Pekerjaan ini dilakukan selama kurang lebih lima tahun dan Supardi mengakui bahwa ia pun bergabung kembali dengan GOLKAR. Namun, pada pemilu berikutnya tahun 1997, ia kembali bergabung dengan PDI dan memilih untuk partai tersebut. Akhirnya ia harus kehilangan pekerjaannya sebagai pegawai pos.

Setelah diberhentikan dari pekerjaannya, Supardi sempat menghabiskan waktu keluar dari desanya dan pergi ke Jambi melakukan pekerjaan yang bisa ia kerjakan. Namun, ia tidak merasa kerasan di tempat baru tersebut dan memutuskan kembali ke desanya. Sesampainya di desa, ia kembali menimbulkan masalah bagi para aparat di desanya dengan mencoba menggarap lahan tidur di wilayah pasisir. Lahan tersebut, yang disebut sebagai tanah sempalan, secara resmi tidak diperbolehkan menjadi wilayah garapan penduduk desa. Tetapi dalam kenyataan, tanah sempalan ini telah dikuasai oleh aparat desa setempat dan bahkan mereka telah membuat sertifikat pemilikan lahan tersebut.

Bagi Supardi, langkah yang ia lakukan tidaklah terlalu menyimpang mengingat apa yang telah dilakukan oleh aparat desa setempat. Ia membuka lahan garapan di atas tanah sempalan seluas 4 patok dengan mengeluarkan modal sebanyak Rp. 100.000,- yang ia gunakan untuk mempekerjakan orang dan menanaminya dengan tanaman semangka. Langkahnya mendapat tekanan dari aparat desa, namun tidak ada tindakan tegas terhadap dirinya mengingat ia memiliki senjata ampuh tentang tindakan penyelewengan yang dilakukan oleh aparat desa yang telah membuat sertifikasi pemilikan lahan tersebut untuk kepentingan mereka sendiri. Lebih jauh lagi, ia memobilisir penduduk desanya untuk menggarap tanah sempalan tersebut dengan membagi-bagikan lahan seluas 1 patok terhadap setiap orang yang hendak menggarap lahan itu.

Selain Supardi, pengurus inti HPNP di desa itu diserahkan kepada Ispada dan Iyus. Sayang, peneliti tidak sempat menggali informasi lebih banyak dengan kedua orang tersebut saat penelitian ini dilakukan. Peneliti hanya sempat bercakap-cakap singkat dengan Ispada dalam dua kali pertemuan dan satu kali pembicaraan singkat dengan Iyus. Dari segi pendidikan, Ispada sempat lulus SMP.

Pergaulannya dengan para aktivis di Sukabumi dan keterlibatannya dengan PDI dan PDI-Perjuangan menyebabkan ia memiliki kesadaran politik yang relatif baik dibandingkan penduduk desa lainnya. Ia pun sempat mengikuti berbagai training yang diselenggarakan oleh LSM-LSM tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan sengketa agraria di pedesaan. Sayang, peneliti tidak bisa menggali informasi lebih mendalam darinya dalam pertemuan singkat dan kesibukan pribadinya saat itu. Demikian pula dengan Iyus yang sebenarnya bisa menjadi informan penting dalam penelitian ini.

3.3.2. Saksi Hidup dan Tokoh-Tokoh Penting Lainnya

Di samping para pengurus inti, terdapat pula para tokoh-tokoh penting di Tegalbuleud yang telah berjuang cukup lama dalam sengketa pertanahan. Faktor usia menjadi alasan tidak terlibatnya mereka dalam kepengurusan organisasi di desa tersebut. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa sosok mereka menjadi unsur yang cukup penting bagi tumbuhnya perlawanan para penduduk desa dan perkembangan organisasi di Tegalbuleud.

Salah seorang pemimpin perjuangan petani di desa tersebut adalah Haji Karim, atau sering dipanggil Mama Kardi. Ia adalah salah seorang generasi pertama yang memimpin rombongan transmigrasi lokal pada akhir tahun 1950-an yang membuka wilayah Tegalbuleud dari hutan belantara menjadi wilayah pertanian sekarang ini.

Setelah tinggal di Tegalbuleud, ia tergolong cukup berhasil sehingga ia mampu memperluas lahan yang dimilikinya dengan membuka lahan baru dan membelinya dari para penggarap lain. Pendidikan formal yang sempat dijalaninya hanya setingkat Sekolah Rakyat (setingkat SD). Ia hanya mampu berbicara dengan aktif dalam bahasa Sunda. Bahasa Indonesia hanyalah bahasa kedua yang hanya ia mengerti tapi tidak dapat diungkapkannya secara aktif.

Mama Kardi adalah kunci perlawanan yang ada di kalangan petani terhadap program-program yang dijalankanoleh pemerintah. Kekayaan dan figurnya membuat ia cukup disegani dikalangan para penduduk desa lainnya. Sepanjang konflik yang terjadi antara penduduk desa tersebut dengan pihak perkebunan dan tambak udang, Mama Kardi menjadi pemimpin perlawanan penduduk setempat dengan inisiatifnya mengadukan masalah para petani di Tegalbuleud ke Jakarta dan Bandung pada masa awal terjadinya konflik. Tidak terhitung berapa besar dana yang ia keluarkan selama memperjuangkan hak-hak petani desa tersebut. Saat menceritakan kisahnya dalam memperjuangkan hak-haknya, istrinya sempat mengeluhkan banyaknya uang yang telah dihabiskan oleh suaminya dengan membawa serta rombongan berpergian ke Bandung dan Jakarta tanpa hasil yang memadai.32)

Dalam upayanya memperjuangkan hak-hak rakyat desa tersebut, sudah cukup banyak ancaman dan intimidasi dan tuduhan sebagai anggota PKI dilontarkan aparat desa kepadanya. Belum lagi dengan para preman yang dikerahkan menakut-nakuti dirinya. Meskipun demikian ia tetap meneruskan perjuangan tersebut sehingga berulangkali ia mendapat ancaman akan "di-petrus-kan". Sikap keras kepalanya membuat ia dijuluki oleh aparat setempat sebagi Haji Benjol.33)

Pengaruhnya pada tingkat desa terbukti saat penelitian ini dilakukan dengan kedatangan para penduduk desa Buni Asih di kediamannya. Ketika para penduduk desa Buni Asih berkunjung ke rumahnya dan berdiskusi tentang masalah-masalah mereka serta rencana-rencana melakukan aksi pembukaan lahan dan pengembangan organisasi HPNIP, tidak banyak yang ia bisa ungkapkan tentang strategi dan proses pengorganisasi. Tetapi, saat kebimbangan muncul di antara para hadirin saat itu, Mama Kardi tampil dengan dorongan dan ucapannya agar mereka tidak ragu berjuang dengan mengambil contoh terhadap apa yang telah ia lakukan.

Sosok Mama Kardi menjadi lebih menonjol saat ia berbicara banyak tentang sejarah desa dan mitos-mitos yang menarik perhatian para hadirin. Uraiannya tentang sejarah politik nasional tidak didasarkan pada sistematika logis tentang kronologi dan fakta-fakta penting bercampur dengan berbagai mitos yang dalam ukuran "rasionalitas modern" sangat tidak masuk akal. Ia pun berbicara banyak tentang bagaimana mitos Ratu Selatan, sejarah masyarakat Sunda dan tema-tema mileniaris lainnya. Meskipun demikian, bagi para pendengar saat itu, uraian Mama Kardi didengarkan dengan penuh minat dan rasa kagum mereka terhadap pengetahuan yang dimiliki olehnya.

Selain tokoh informal seperti Mama Kardi yang juga termasuk saksi hidup, terdapat pula tokoh-tokoh penting bagi penduduk desa yang menjadi legitimasi terhadap aksi yang mereka lakukan. Dalam istilah penduduk setempat, mereka adalah "saksi hidup" yang berdasarkan pengalaman, memiliki pengetahuan tentang proses terbentuknya desa mereka beserta batas-batas wilayah lahan yang dimiliki oleh desa. Dalam konteks seperti inilah peran saksi hidup menjadi penting bagi terjadinya aksi pembukaan lahan yang dilakukan penduduk desa dengan memberikan kesaksian lahan-lahan mana saja yang sesungguhnya merupakan harta kekayaan desa.

Saat ini, terdapat empat orang saksi hidup di desa tersebut. Mereka adalah Nana, Jumarta, Karmidi dan Haji Karim. Di atas telah diuraikan tentang peran Mama Kardi sebagai tokoh informal. Uraian berikut ini akan memfokuskan pada peran dua orang saksi hidup yang peneliti temui saat penelitian ini dilakukan.

Pertama adalah Bapak Nana. Beliau adalah mantan juru tulis desa yang telah bekerja di desa tersebut sejak tahun 1959 pada saat kedatangan rombongan transmigrasi lokal pertama ke Tegalbuleud. Kedua adalah Karmidi, mantan hansip desa dan juga bekerja sebagai kuli penderes di perkebunan Cikaso. Sayang, peneliti tidak sempat bertemu dengan Bapak Jumarta saat penelitian ini dilakukan.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pengetahuan dan klaim penduduk desa terhadap lahan yang sekarang dikuasai Perhutani dilandaskan pada uraian para saksi hidup tentang batas-batas lahan desa dengan lahan Perhutani sebelum lurah pertama di desa tersebut, Lurah Edeng, kemudian menitipkan lahan milik desa kepada pihak Perhutani.

Sebagai salah seorang saksi hidup yang pernah bekerja di pemerintahan, uraian Bapak Nana tentang bagaimana batas-batas desa Dalam wawancara dengan Bapak Nana, informasi yang ia berikan lebih tertata rapi dibandingkan para saksi hidup lainnya yang peneliti sempat temui. Bapak Nana juga memiliki ingatan yang cukup mengagumkan tentang peta desa berikut batas-batas lahan yang ada. Berbeda dengan uraian bapak Nana, Bapak Karmidi memiliki pengetahuan tentang bagaimana batas-batas desa tersebut selama ia bekerja sebagai buruh di perkebunan. Beliau sempat memandu peneliti untuk melihat patok-patok lama yang menjadi pembatas antara lahan desa dan Perhutani yang asli. Namun, peneliti tidak memiliki kemampuan untuk melihat seluruh batas-batas tersebut mengingat medan berbukit dan jalan hutan yang harus dibuka sendiri terlalu berat bagi peneliti saat itu.

Hal terpenting dari para saksi hidup ini adalah acuan pengetahuan lokal tentang batas desa yang kemudian menjadi landasan bagi penduduk desa untuk melakukan aksi-aksi kolektif mereka. Pengetahuan lokal ini diyakini kebenarannya oleh penduduk desa mengatasi kepercayaan mereka terhadap peta-peta formal yang dikeluarkan oleh aparat desa yang telah menggambarkan wilayah desa Tegalbuleud sebagai wilayah hutan belantara tanpa penduduk kepada pihak perkebunan. Situasi ini nampak seperti "perang tanding" antara pengetahuan lokal dan pengetahuan administratif dalam memperebutkan kebenaran imajinatif terhadap "tubuh geografis" desa. Dan pemenang saat ini adalah para aparat yang berhasil mengusir para penduduk dari lahan yang telah mereka garap sejak lama.

3.3.3. Aktivis-Aktivis di Tingkat Bawah

Uraian sebelumnya menggambarkan bagaimana peran yang dilakukan oleh aktor-aktor kunci dalam perlawanan penduduk desa Tegalbuleud selama beberapa dekade. Namun, uraian itu menjadi tidak lengkap bila tidak disertakan pula peran yang dilakukan oleh para aktivis di tingkat bawah, atau mereka yang melakukan proses mobilisasi para petani secara langsung melalui aksi-aksi pembukaan lahan.

Dalam hirarki dan struktur organisasi, mereka adalah orang-orang yang menjadi pemimpin Kelompok Tani (POKTAN) dan Organisasi Tani Lokal (OTL) yang berhubungan langsung dengan para petani dan penggarap yang kemudian tergabung dalam HPNP. Uraian selanjutnya menjelaskan tentang sosok orang-orang tersebut berikut kiprah yang mereka lakukan dalam mobilisasi dan pengorganisasian para penduduk di desa Tegalbuleud.

Seperti yang akan diuraikan pada bagian selanjutnya, aksi pembukaan lahan yang dilakukan oleh petani dilakukan diberbagai tempat yang telah terbentuk OTL dan POKTAN. Sedangkan, di tempat-tempat lainnya yang belum terbentuk OTL dan POKTAN, belum terlihat adanya inisiatif dalam melakukan aksi pembukaan lahan.

Di desa Sumber Jaya, aksi pembukaan lahan telah dimulai di Kampung � di bawah pimpinan Bapak Nurdin. Ia sendiri telah menjadi petani tak bertanah setelah lahan garapan yang dimiliki orang tuanya diambil oleh Perhutani. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, ia mengusahakan warung kecil di rumahnya di samping juga melakukan berbagai pekerjaan yang mungkin ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tidak seperti para pengurus inti, Nurdin tidak memiliki kemampuan yang lengkap yang menjelaskan masalah-masalah yang dihadapi oleh petani di kampung dan sekitar tempat tinggalnya. Ketika peneliti mencoba mewawancarai dirinya, ia sempat bertanya kepada peneliti bagaimana caranya mengisi lembar keanggotaan yang dibuat oleh pimpinan HPNP dalam proses pendataan keanggotaan organisasi mereka. Tetapi ia cukup pandai berbicara dan mengatur apa yang harus dilakukan oleh para petani yang masuk dalam kelompoknya. Di samping itu, ia memiliki keberanian mengambil tindakan yang menimbulkan dorongan bagi para petani lainnya untuk melakukan tindakan serupa.

OTL di bawah kepemimpinan Nurdin memiliki � POKTAN yang terdiri dari 20-40 orang. Selama aksi pembukaan lahan dilakukan, Nurdin menjadi cukup sibuk dalam mengatur siapa saja yang bisa bergabung dan berapa luas lahan yang bisa digarap oleh masing-masing orang. Bagi Nurdin, tidak ada pilihan lain baginya untuk melangkah dengan tegas dalam aksi pembukaan lahan karena tidak ada alternatif lain bagi dirinya.

Dalam pembicaraan dengan peneliti, ia menuturkan bahwa "Saya rela mati terhadap apa yang saya lakukan sekarang ini." Selain mengatur bagaimana proses pembukaan lahan dilakukan, Nurdin pun menjadi orang yang siap dengan strategi menghadapi kemungkinan adanya tekanan balik oleh pihak Perhutani terhadap tindakan yang telah ia lakukan. Selama aksi pembukaan lahan ini dilakukan, Nurdin menuturkan bahwa ia sempat menghadapi beberapa aparat perhutani disertai aparat Koramil setempat yang menegur dan berusaha menghentikan aksi petani. Namun, setelah bersitegang dan menjelaskan apa yang dilakukan petani, pihak aparat perhutani pun mengundurkan diri dari konfrontasi langsung dengan petani.

Ia pun telah menyusun strategi apabila ada tekanan lebih keras muncul terhadap para penggarap sekarang ini. Bersama kelompoknya ia mengatakan apabila ada aparat yang hendak menghalangi dan menghentikan para penggarap, mereka akan mengerahkan para istri dan anak-anak mereka untuk menghadapi aparat tersebut guna menunjukkan bahwa aksi yang mereka lakukan adalah demi memenuhi kebutuhan hidup anak dan istri mereka.

Di kampung lainnya di desa Tegalbuleud yang juga telah melakukan aksi membuka lahan, yaitu desa Tegalbuleud, kepimpinan dijalankan oleh seorang kyai sederhana di kampung tersebut, yaitu Kyai Abdul Madjid. Profil Kyai Abdul Madjid sendiri cukup menarik untuk diutarakan.

Ia adalah tipikal kyai desa yang sejak awal seringkali bersebrangan dengan kepentingan pemerintah desa setempat. Sang kyai tinggal di sebuah rumah yang tergolong sederhana untuk ukuran penduduk desa. Ia membangun pula sebuah gubuk kecil di samping rumahnya sebagai tempat menjalankan kegiatan ibadah bersama keluarganya. Terdapat beberapa lukisan dan poster bertuliskan kutipan kata-kata yang berasal dari kitab suci dalam huruf kaligrafi Arab di dalam rumahnya. Ruang utama rumahnya dibiarkan terhampar luas dengan hanya berlapis tikar tanpa perlengkapan meubel seperti penduduk desa lainnya. Tetapi, yang membedakannya dengan penduduk desa lainnya adalah tumpukan buku bertuliskan huruf arab yang menumpuk di atas meja kecil dan berjejalan dalam lemari kayu. Kesederhanaan dan kemampuannya mengungkapkan pikiran dengan baik menyebabkan ia menjadi pimpinan yang cukup disegani oleh penduduk desa setempat.

Model kepemimpinan kyai dengan bersandar pada prinsip keagamaan yang dianutnya menempatkan proses pembagian sesuai dengan norma yang dianutnya. Penduduk paling miskin mendapatkan prioritas utama, disusul kemudian oleh para janda dan yatim piatu. Ia sendiri menuturkan bahwa ia hanya membuka lahan dengan luas lahan lebih kecil dan kurang subur dan lebih jauh dari tempat pemukiman penduduk kampung ini.

Ia pun harus mengatur dan menjaga kekompakan para penggarap yang kini telah membuka lahan. Ia membuat daftar orang-orang yang termasuk dalam rombongan yang dipimpinnya. Meskipun ia mengatakan bahwa sebenarnya ia tidak ingin menjadi pimpinan kelompok mereka, tetapi para petani dan penggarap yang tergabung di dalam kelompoknya telah memintanya untuk menjadi pemimpin mereka.

Sebagai pimpinan di tingkat lokal, banyak persoalan yang harus ia hadapi selama aksi ini berjalan. Ia menuturkan bahwa dalam rombongan penggarap yang dipimpinnya, terdapat beberapa orang yang "bermasalah". Mereka adalah para birokrat desa yang sebelumnya menjadi orang yang menghalang-halangi para petani untuk membuka lahan. Tetapi setelah aksi membuka lahan berjalan, mereka bergabung dengan para petani dan turut membuka lahan bagi diri mereka sendiri.

Sementara itu, di Kampung Karang Anyar yang berlokasi lebih dekat dengan jalur jalan utama yang membelah kecamatan dan pasar yang buka setiap hari selasa, kepemimpinan dalam aksi pembukaan lahan dijalankan oleh orang-orang yang dahulunya telah ikut berjuang mempertahankan lahan mereka yang dirampas perkebunan dan dijual paksa oleh pihak tambak udang. Di kampung ini, peneliti bertemu dengan masing-masing ketua kelompok tani di desa tersebut.

Sama halnya dengan para pimpinan di tingkat bawah lainnya, meskipun mereka telah terbukti mampu mengorganisir orang-orang di sekitar wilayah mereka dalam proses pembukaan lahan, namun sedikit sekali pemahaman yang mereka miliki tentang bagaimana proses pengorganisasian dilakukan. Terdapat sedikit kebingungan ketika salah seorang pengurus inti, Supardi, menanyakan kepada mereka tentang bagaimana pendaftaran keanggotaan kelompok mereka dilakukan dan bagaimana struktur kepengurusan organisasi di kampung tersebut.


Bab IV: Aksi Penguasaan Dan Pendistribusian Lahan

Krisis politik di tingkat nasional dengan keruntuhan bangunan kekuasaan politik rejim Orde Baru memberikan imbas yang mengguncangkan struktur kekuasaan politik di tingkat lokal. "Hukum dan Ketertiban" yang menjadi ciri dominasi kekuasaan negara terhadap masyarakat di tingkat lokal telah diabaikan begitu saja oleh banyak pihak dan kelompok yang mengambil kesempatan dalam situasi seperti ini.34) Laporan-laporan media massa setelah kejatuhan rejim Suharto menunjukkan gambaran yang memprihatinkan tentang kasus-kasus penjarahan, peningkatan kriminalitas dan kekerasan di dalam masyarakat.

Pada bagian ini, saya akan memfokuskan uraian terhadap proses penguasaan dan pembagian lahan yang terjadi di dua wilayah Tegalbulued. Persoalan yang hendak dibahas pada bagian ini adalah faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi inisiatif penduduk di wilayah tersebut untuk menguasai lahan dan membagi-bagikannya secara merata di antara mereka? Bagaimana mereka melakukannya serta konsekuensi yang kemudian harus mereka hadapi?

1. Reformasi, Krisis dan Aksi Petani

Pembahasan tentang aksi-aksi penguasaan lahan oleh kaum tani di berbagai tempat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari proses perubahan-perubahan politik yang terjadi di tingkat nasional atau khususnya di tingkat lokal. Seperti yang diuraikan oleh ilmuwan politik Sidney Tarrow, political opportunity structure atau kesempatan politik yang tercipta berkaitan dengan perubahan politik di tingkat nasional dan lokal memberikan peluang-peluang bagi suatu gerakan sosial dalam mengajukan dan mengembangkan kekuatan mereka vis a vis negara.35)

Dalam studi kasus yang kami lakukan, baik di wilayah Sukabumi Selatan, Jawa Barat, maupun di Padang Ratu, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung, apa yang dimaksud sebagai political opportunity structure berkaitan dengan perubahan politik di tingkat lokal mengiringi proses reformasi politik di tingkat nasional. Terdapat beberapa point mengapa dan bagaimana struktur kesempatan politik itu tercipta bagi kaum tani.

Pertama berkait dengan demoralisasi birokrasi sipil dan militer dengan runtuhnya sistem politik otoriter yang memberikan insitusi-institusi tersebut kekuasaan yang sangat besar dalam mengatur kehidupan sosial dan politik rakyat. Kedua adalah perubahan pola mobilisasi politik dalam sistem pemilu multi-partai pada tahun 1999 di mana mobilisasi dukungan suara menyebabkan setiap kekuatan politik yang bersaing harus berhubungan dengan massa pendukung secara langsung.36) Dalam konteks ini, sikap akomodatif terhadap tuntutan-tuntutan rakyat menjadi sangat penting guna mendapatkan dukungan bagi masing-masing kekuatan politik yang ada. Dan ketiga adalah munculnya organisasi-organisasi massa yang independen dari pengaruh kekuatan politik negara seperti yang diwakili oleh lahirnya organisasi-organisasi tani di tingkat lokal.

Beberapa tahun belakangan ini, berbagai media nasional maupun lokal memuat berita tentang "aksi pendudukan" lahan yang marak terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Istilah "aksi pendudukan" mengacu pada perbuatan yang dilakukan oleh para petani yang memasuki hutan desa dan menggarap lahan yang dikuasai Perhutani dan Perkebunan. Namun terdapat "bias" berlebihan dalam penggunaan istilah tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat sumber-sumber yang dikutip media massa kebanyakan adalah pejabat pemerintahan, pengusaha perkebunan dan juga para pemerhati masalah sosial yang tinggal di wilayah perkotaan.

Peneliti sendiri mengakui tidak bisa menghindar dari jeratan bias tersebut saat proses penyusunan rancangan penelitian dilakukan. Hal ini telah menimbulkan situasi yang cukup janggal dan memalukan diri peneliti saat mengajukan istilah tersebut kepada para petani. Ketika ditanya tentang bagaimana "aksi pendudukan" tersebut berlangsung, para petani terlihat sedikit bingung untuk segera menjawab pertanyaan peneliti. Akhirnya peneliti mulai menyadari kekeliruan tersebut saat para petani selalu mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah "membuka hutan" atau "nyacar" dalam istilah setempat.37)

Pengertian seperti ini menjadi masuk akal karena areal lahan Perhutani yang telah mereka "buka" sekarang ini masih dalam batas-batas tanah desa atau dalam apa yang mereka sebut sebagai tanah yang dititipkan oleh desa kepada pihak Perhutani. Begitu pentingnya persoalan ini sehingga para petani dan "saksi hidup" begitu bersemangat mengajak peneliti berkeliling untuk melihat batas-batas desa yang menjadi garis pemisah antara tanah yang dimiliki Perhutani dan tanah milik desa, sebuah upaya yang tidak mudah mengingat jalur perjalanan menuju batas-batas tersebut hanya diketahui dengan jelas oleh para saksi hidup dan pula bukan jalan yang biasa dilalui oleh manusia.

Kembali pada persoalan "aksi membuka" lahan yang menjadi pokok bahasan bagian ini, sampai sekarang aksi tersebut telah terjadi di dua desa dari empat desa yang ada di kecamatan tersebut, yaitu desa Sumber Jaya dan desa Tegal Buleud. Sedangkan di desa Buni Asih dan Calincing, aksi tersebut masih dalam rencana yang teurs dibicarakan dengan penuh semangat.

Sebelum aksi "membuka lahan" ini terjadi, penduduk di keempat desa mengirim delegasinya ke kantor Kabupaten dan DPRD di Kabupaten Sukabumi. Meskipun tidak ada kepastian yang cukup jelas dari hasil pertemuan tersebut, para petani menganggap Bupati "menyetujui" pengajuan mereka.

Sulit menentukan urutan kronologis tentang kapan persisnya aksi membuka lahan itu dimulai. Namun secara umum, bisa dikatakan bahwa aksi tersebut telah berlangsung secara umum sejak akhir bulan Oktober tahun ini dengan ukuran tingkat keterlibatan dalam aksi tersebut. Tetapi sekali lagi perlu ditekankan bahwa pada dasarnya aksi tersebut bukanlah suatu peristiwa yang terjadi secara serentak dan mengikutsertakan seluruh petani di kedua desa. Lebih tepat dikatakan bahwa aksi ini berlangsung secara bergelombang yang didahului oleh orang-orang yang sejak lama telah aktif memperjuangkan tanah yang menurut mereka telah dirampas pihak Perhutani.

Tindakan mereka pada akhirnya mendorong para petani lainnya untuk turut bersama-sama membuka lahan setelah mendiskusikannya dalam satu kelompok yang terdiri dari tiga puluh sampai lima puluh orang.

Seorang petani di desa Sumber Jaya menuturkan bahwa ia telah melakukan aksi membuka lahan lebih awal dari penduduk desa lainnya. Ia menceritakan bahwa ia adalah kelompok pertama transmigrasi lokal yang datang ke desa Tegal Buleud pada tahun 1963 dan mendapatkan jatah lahan garapan seluas dua setengah hektar sesuai dengan ketentuan pembagian tanah saat itu. Lahan garapannya tersebut kemudian dirampas oleh pihak Perhutani sejak tahun 1982. Namun yang cukup mengherankan, meskipun secara de facto lahan garapannya telah dikuasai oleh Perhutani sejak tahun 1982, ia masih tetap diharuskan membayar SPPT terhadap lahan yang sudah tidak bisa digarapnya lagi.

Perampasan tanah garapan oleh Perhutani menjadikannya ia sebagai petani tak bertanah di desa tersebut. Selama bertahun-tahun ia turut bersama dengan tokoh-tokoh lainnya yang mencoba memperjuangkan hak mereka. Dalam masa penantiannya tersebut, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya ia bekerja sebagai pemburu babi hutan dan kemudian menjualnya di ....? Sekarang ini, di atas tanah yang telah ia buka, telah tumbuh tanaman padi tadah hujan yang masih hijau.

Sementara itu, para penduduk desa lainnya yang mencontoh langkah kelompok pertama tersebut mulai membuka lahan dalam gelombang kedua pada minggu-minggu awal bulan November 2000. Inisiatif seperti ini terjadi setelah mereka tergabung dalam satu kelompok yang cukup besar. Dalam kelompok tersebut dibicarakan di mana saja wilayah lahan yang akan mereka buka dan berapa luasnya. Ketentuan tentang luas lahan yang akan mereka garap disepakati masing-masing 0,5 hektar mengingat terbatasnya jumlah lahan yang tersedia dibandingkan orang-orang yang akan menggarapnya. Sedangkan mengenai ketentuan letak wilayah garapan ditentukan masing-masing.

Proses pembukaan lahan itu sendiri bukanlah pekerjaan ringan. Pertama-tama mereka membersihkan lahan yang telah dipenuhi pepohonan jati dan semak belukar yang menutupi permukaan tanah. Ketika peneliti mengunjungi lahan yang telah mereka buka, para petani telah menebang sebagian pohon jati muda dan membiarkan pohon jati tua yang cukup besar tetap berdiri. Sebagian di antara mereka masih belum tahu benar apa yang akan mereka lakukan terhadap kayu jati tua tersebut. Tetapi dalam pembicaraan dengan pimpinan kelompok, sedianya kayu jati tua akan digunakan sebagai modal para petani untuk membeli bibit selain digunakan sebagai sumber keperluan membiayai perjuangan mereka. Persoalannya sekarang ini mereka harus berlomba-lomba dengan semakin maraknya pencurian kayu jati yang mulai melanda wilayah kecamatan tersebut. Para pimpinan kelompok menyatakan mereka harus berhati-hati mengurus kayu-kayu itu agar tidak menjadi sasaran pencurian yang kerap terjadi pada siang bolong di depan hidung para aparat desa dan pegawai Perhutani. Sudah menjadi pengetahuan umum penduduk desa bahwa orang-orang yang terlibat dalam pencurian kayu adalah orang-orang yang berkuasa di desa mereka.

Batas administrasi desa Sumber Jaya setelah Kecamatan Tegal Buleud dibagi empat menyebabkan lahan hutan yang tersedia untuk mereka lebih sedikit dibandingkan dengan lahan hutan di desa-desa tetangga mereka. Oleh karena itu, kebanyakan para petani telah bergerak ke arah timur memasuki batas wilayah desa Buni Asih yang menjadi tetangga mereka.

Proses yang sama terjadi pula di desa Tegal Buleud yang terletak ke arah timur dari desa Sumber Jaya. Desa ini memiliki tiga persoalan berkaitan dengan sengketa perbatasan dengan Perhutani dan Perkebunan Kelapa di sebelah utara desa dan tambak udang yang berlokasi di sebelah Selatan berbatasan dengan laut Samudra Indonesia. Komposisi etnis di desa ini merupakan campuran antara penduduk suku Sunda dengan suku Jawa yang datang ke desa tersebut sebagai transmigran pada awal terbentuknya desa tersebut. Mayoritas penduduk bekerja sebagai penggarap di lahan perkebunan, tambak udang atau petani sawah yang masih tersisa setelah sebagian besar lahan di desa tersebut berubah menjadi lahan perkebunan kelapa hibrida dan tambak udang.

Aksi membuka lahan di desa ini telah dimulai sejak bulan Oktober tahun ini yang berpusat di dua kampung, masing-masing adalah Kampung Cipari dan Kp. Karang Anyar. Dari 63 KK yang menghuni kampung tersebut, hanya tersisa empat orang yang tidak turut serta dalam aksi pembukaan lahan dan tidak tergabung dalam kelompok tani setempat. Mereka adalah orang-orang yang bekerja dalam pemerintahan desa seperti Badan Pemantau Desa. Penduduk kampung itu menuturkan bahwa keempat orang tersebut selalu menakut-nakuti warga untuk tidak melakuan aksi pembukaan lahan.

Meskipun demikian, di bawah kepemimpinan Kyai Abdul Madjid, mayoritas penduduk di Kampung Cipari telah memulai aksi membuka lahan dengan menebangin pepohonan jati di atas lahan yang dikuasai oleh pihak perhutani. Pola pembagian pembukaan lahan dan pembagian luas lahan terjadi hampir serupa dengan apa yang terjadi di desa Sumber Jaya dengan rata-rata pembagian lahan seluas 0,5 ha setiap KK.

Penduduk desa itu menjadikannya sebagai pemimpin mereka untuk mengatur masalah pembagian lahan yang menyangkut luas dan letak lahan yang dibuka. Profil Kyai Abdul Madjid sendiri cukup menarik untuk diutarakan. Ia adalah tipikal kyai desa yang sejak awal seringkali bersebrangan dengan kepentingan pemerintah desa setempat. Sang kyai tinggal di sebuah rumah yang tergolong sederhana untuk ukuran penduduk desa. Ia membangun pula sebuah gubuk kecil di samping rumahnya sebagai tempat menjalankan kegiatan ibadah bersama keluarganya. Terdapat beberapa lukisan dan poster bertuliskan kutipan kata-kata yang berasal dari kitab suci dalam huruf kaligrafi Arab di dalam rumahnya. Ruang utama rumahnya dibiarkan terhampar luas dengan hanya berlapis tikar tanpa perlengkapan meubel seperti penduduk desa lainnya. Tetapi, yang membedakannya dengan penduduk desa lainnya adalah tumpukan buku bertuliskan huruf arab yang menumpuk di atas meja kecil dan berjejalan dalam lemari kayu. Kesederhanaan dan kemampuannya mengungkapkan pikiran dengan baik menyebabkan ia menjadi pimpinan yang cukup disegani oleh penduduk desa setempat.

Model kepemimpinan kyai dengan bersandar pada prinsip keagamaan yang dianutnya menempatkan proses pembagian sesuai dengan norma yang dianutnya. Penduduk paling miskin mendapatkan prioritas utama, disusul kemudian oleh para janda dan yatim piatu. Ia sendiri menuturkan bahwa ia hanya membuka lahan dengan luas lahan lebih kecil dan kurang subur dan lebih jauh dari tempat pemukiman penduduk kampung ini.

Sementara itu, di Kampung Karang Anyar yang berlokasi lebih dekat dengan jalur jalan utama yang membelah kecamatan dan pasar yang buka setiap hari selasa, aksi pembukaan lahan melibatkan buruh tani dan kuli kontrak di perkebunan yang terbagi dalam tiga kelompok. Para pemimpin aksi pembukaan lahan di kampung tersebut adalah orang-orang yang dahulunya telah ikut berjuang mempertahankan lahan mereka yang dirampas perkebunan dan dijual paksa oleh pihak tambak udang.

2. Kesadaran Kolektif Tentang Hak atas Tanah

Pertanyaan mendasar mengapa aksi penguasaan lahan yang sekarang ini terjadi di Tegalbuleud terbatas pada lahan-lahan yang diklaim sebagai milik Perhutani menunjukkan proses menarik yang penting untuk dicatat. Banyak para penggarap yang kini membuka lahan di wilayah Perhutani adalah para petani penggarap yang memiliki pengalaman perampasan dan jual beli paksa lahan pertanian mereka oleh pihak perkebunan dan tambak udang. Tetapi gejalan yang terjadi adalah mereka tidak berusaha merebut kembali tanah mereka yang telah dirampas, melainkan cukup merasa puas dengan keberhasilan mereka menguasai lahan di wilayah perhutani. Mengapa hal seperti itu terjadi?

Berdasarkan pengamatan di lapangan, tindakan yang mereka lakukan berkait dengan kesadaran kolektif para petani penggarap terhadap status tanah yang kini mereka kuasai dan hak mereka atas tanah tersebut. Fakta paling penting adalah para petani pada umumnya sadar bahwa tanah yang mereka kuasai sekarang ini adalah tanah milik desa yang dititipkan oleh pejabat lurah pertama desa tersebut kepada pihak perhutani. Menurut saya, kesadaran ini menjadi kunci penting dalam memahami mengapa para petani penggarap begitu gigih untuk mempertahankan aksi penguasaan yang telah mereka lakukan meskipun tekanan terhadap tindakan mereka cukup keras.

Terlepas dari perdebatan dalam konsepsi hukum nasional tentang hak-hak dan status penguasaan tanah, para petani di Tegalbuleud merasa yakin bahwa tanah milik desa tersebut merupakan hak kolektif penduduk desa Tegalbuleud yang bisa digunakan guna menunjang kesejahteraan warga desa. Dengan demikian, tidak mengherankan bila para "saksi hidup" yang memiliki ingatan terhadap perjanjian tidak tertulis antara Lurah pertama desa tersebut dengan pihak perhutani memiliki fungsi penting yang memberikan legitimasi bagi para petani dalam melakukan aksi-aksi mereka.

Lebih penting lagi, para "saksi hidup" tersebut memiliki "ingatan historis" tentang batas-batas yang memisahkan tanah milik desa mereka dengan batas tanah perhutani. Dalam peta yang disusun oleh salah seorang saksi hidup, digambarkan bahwa batas wilayah tanah desa dicirikan oleh patok-patok yang menyerupai batas alamiah desa. Ingatan historis pada "saksi hidup" telah menjadi kesadaran kolektif yang dimiliki oleh para penggarap yang menguasai kembali tanah milik desa mereka dan

3. Ruang Lingkup Aksi

Bagaimanakah sifat dan metode jalannya penguasaan dan pendistribusian lahan terjadi di kedua tempat kajian? Apa persamaan dan perbedaannya? Bagaimana orientasi ke depan dari para petani yang telah membuka lahan tersebut?

Aksi penguasaan dan pendistribusian lahan di kedua wilayah kajian menunjukkan pentingnya ruang atau batasan teritorial aksi tersebut dilakukan. Hal ini penting untuk dikemukakan mengingat batasan-batasan semacam ini telah terbentuk berdasarkan suatu kesepakatan yang tidak tertulis, baik di kalangan pimpinan petani di tingkat lokal maupun para petani yang terlibat.

Di Tegalbuleud, aksi penguasaan dan pendistribusian lahan ini telah melibatkan penduduk empat desa, yaitu Desa Sumber Jaya, Buni Asih, Tegalbuleud dan Calincing. Seperti kesepakatan tidak tertulis, para pimpinan di tingkat lokal (desa) telah mengarahkan para petani yang tergabung di desa-desa mereka untuk membuka lahan sesuai dengan batasan yang telah ditetapkan antara keempat desa tersebut. Dengan demikian, penduduk di setiap desa memiliki wilayah lahan yang mereka kuasai tanpa melanggar batasan wilayah yang dikuasai oleh penduduk desa lainnya. Hal ini cukup menarik untuk ditekankan bahwa meskipun organisasi tani setempat dan interaksi sosial antara mereka seringkali melintasi batas-batas tersebut, namun dalam hal penguasaan lahan, batasan tersebut dengan jelas dipahami oleh masing-masing petani.

Secara umum, pola semacam ini terjadi di Kecamatan Padang Ratu, meskipun terdapat satu faktor penting yang menambah variasi batas teritorial penguasaan lahan oleh petani, yaitu pemisahan antara penduduk pribumi dan para pendatang (umumnya transmigran asal Jawa). Para pemimpin di tingkat organisasi lokal yang terdiri dari penduduk lokal dan pendatang menyadari pentingnya penentuan batas seperti ini guna mencegah "kemungkinan" konflik yang ada di antara mereka.

4. Mekanisme Pendistribusian

Fenomena penting seputar aksi penguasaan dan pendistribusian lahan adalah bagaimana proses pembagian lahan itu sendiri dilakukan. Terdapat gambaran yang berbeda antara kedua wilayah kajian ini tentang berjalannya proses pendistribusian, yaitu pertama tentang luas lahan yang dibagikan dan pembagian lokasi.

Dalam kasus Tegalbuleud, luas pembagian lahan disepakati seluas 0,5 hektar bagi setiap orang yang mampu menggarap sendiri lahannya tersebut. Dengan demikian, proses ini memberikan batasan yang kabur tentang apakah pembagian didasarkan pada unit keluarga atau individu. Dalam pengamatan kami, perhitungannya ditekankan pada siapa yang membutuhkan dan kesanggupan masing-masing orang. Selain persoalan luas dan unit pembagian, kasus Tegalbuleud menunjukkan bahwa lokasi lahan yang dibuka oleh para petani ditentukan oleh masing-masing orang, sesuai dengan lahan yang tersedia. Artinya, setiap orang bisa membuka lahan di mana saja sejauh lahan tersebut belum ditempati oleh orang lain.

Tentang bagaimana kemudian status tanah yang dikuasai oleh masing-masing petani tersebut, HPNP menetapkan bahwa peran organisasi adalah memberikan status legal bagi setiap orang status hak milik penggarapan. Namun, belum terdapat perencanaan kedepan tentang apakah tanah yang telah dibuka oleh petani di tempat tersebut boleh diperjualbelikan atau tidak. Dalam konteks ini, HPNP masih berperan dalam himbauan moral agar tanah tersebut nantinya tidak boleh diperjualbelikan lagi. Tidak ada rincian tentang sejauh mana sangsi dan prevensi terhadap kemungkinan pengalihan lahan di antara mereka yang sekarang ini telah membuka lahan.

Berbeda dengan kasus Tegalbuleud, intervensi pemimpin petani di tingkat lokal dalam kasus Kecamatan Padang Ratu sangat kuat. Berdasarkan perbandingan jumlah lahan dan orang, maka setiap orang mendapatkan lahan seluas 1 hektar. Tentang unit pembagian, gambaran yang terjadi serupa dengan kasus Tegalbuleud di mana ketentuan seperti ini belum menjadi prioritas mereka dan lebih ditentukan pada keluwesan terhadap siapa saja yang membutuhkan dan sanggup mengolah tanah tersebut.

Meskipun demikian, para pemimpin tani di Padang Ratu menyadari betul kemungkinan terjadinya pengalihan lahan di antara para petani yang sekarang ini membuka lahan. Untuk mencegah agar hal itu tidak terjadi, maka para pimpinan sepakat untuk mengajukan status kepemilikan secara kolektif atas tanah yang dikuasai rakyat wilayah masing-masing. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Bapak Suhaemi sebagai pimpinan petani di desa Kahuripan, ia menyatakan bahwa sertifikasi kolektif tanah tersebut sangat penting untuk mencegah pengalihan tanah dalam bentuk jual beli tanah.

Dengan demikian, para pimpinan merencanakan apabila sertifikasi kolektif ini terjadi, maka akan diadakan pendistribusian kembali di antara para petani yang telah menggarap lahan yang telah mereka buka dengan cara pengundian. Untuk menghindari ketegangan dan ketidakpuasan yang muncul akibat perpindahan lokasi, maka akan dibuat mekanisme kompensasi di antara mereka. Dengan kata lain, seorang penggarap yang telah mengolah lahan tersebut sehingga menghasilkan produk yang baik, dan kemudian harus pindah ke tanah yang belum digarap sama sekali, maka ia akan mendapatkan kompensasi dari orang yang mendapatkan tanah di wilayah yang telah ia garap sebelumnya.

5. Pengolahan Lahan dan Orientasi Masa Depan

Fenomena menarik yang muncul seputar proses penguasaan lahan oleh petani di tingkat lokal adalah masalah pengelolaan lahan dan orientasi ke depan dari para penggarap tersebut. Dalam proses ini, perbedaan wilayah tidak menjadi landasan bagi proses pengolahan dan orientasi-orientasi yang kemudian terbentuk di dalam pikiran petani setelah mereka mendapatkan lahan. Kami berpendapat, proses seperti ini lebih ditentukan oleh posisi kelas di antara masing-masing petani di kedua wilayah.

Bagi para petani tak bertanah, baik di Tegalbuleud dan Padang Ratu, pengolahan lahan yang mereka garap dikerjakan langsung oleh tenaga mereka sendiri, dan juga melibatkan anggota keluarga bagi yang telah berkeluarga. Kebanyakan di antara mereka lebih mendahulukan aspek pemenuhan kebutuhan subsistensi mereka, baik di Tegalbuleud maupun di Padang Ratu. Cukup menarik, bahwa sistem multi-croping merupakan pilihan para penggarap. Sebagian lahan diperuntukan untuk padi untuk memenuhi sendiri kebutuhan akan pangan dan juga palawija yang mereka harap bisa memenuhi kebutuhan uang kas untuk belanja keluarga.

Sementara itu, bagi para petani pemilik tanah (meskipun tidak terlalu luas) lahan yang mereka kuasai sekarang ini ditujukan untuk memenuhi harapan-harapan mereka mendapatkan keuntungan dari kegiatan bertani. Mereka merencanakan bahwa tanah yang telah mereka miliki sekarang ini akan menjadi penyedia kebutuhan hidup mereka. Sementara itu, mereka merencanakan menanam tanaman keras yang lebih menguntungkan seperti kopi dan cengkeh yang diharapkan dapat memberi keuntungan jangka panjang. Orientasi seperti ini jelas tidak mungkin dilaksanakan oleh para petani tak bertanah mengingat jarak waktu yang relatif panjang (sekitar dua atau tiga tahun), sementara itu kebutuhan hidup mereka tidak bisa menunggu waktu yang menjadi sangat panjang tersebut.


Bab V: Penutup

Studi kasus yang saya lakukan di Tegalbuleud memberikan gambaran menarik tentang bagaimana penduduk di tingkat lokal melakukan aksi-aksi kolektif mereka. Aksi perlawanan yang panjang sejak awal dekade 1980-an di Tegalbuleud menunjukkan bahwa dominasi politik Orde Baru melalui koersi dan kesepakatan tidak serta merta menghentikan strategi resistensi di tingkat lokal oleh petani.

Dominasi negara berjalan dalam ruang-ruang publik, seperti birokrasi, struktur kekuasaan di tingkat lokal, sekolah, masjid dan lainnya. Namun, ruang dominasi ini tidak mampu menghentikan tuntutan petani atas kompensasi yang adil terhadap hak mereka atas tanah. Para pelopor perlawanan di Tegalbuleud menggambarkan bahwa kelas petani pemilik tanah adalah tokoh-tokoh utama di balik perlawanan tersebut. Sementara itu, kalangan petani tak bertanah atau buruh tani yang tinggal di desa itu sangat bergantung pada inisiatif kelas pemilik tersebut.

Persoalan ini mengemuka karena para petani pemilik tanah adalah pihak yang paling dirugikan oleh kebijakan-kebijakan negara di desa mereka. Perlawanan mereka mirip dengan gambaran petani rasional Samuel Popkin dalam studinya tentang perlawanan petani di Vietnam. Kelas pemilik tanah ini telah mengembangkan suatu etos rasional sesuai dengan perkembangan ekonomi pasar yang mempengaruhi kehidupan mereka. Tabel tentang peningkatan produksi tanaman (LIHAT TABEL) membuktikan sikap tanggap terhadap dinamika pasar.

Sudah jelas bahwa praktek itu pun menyaratkan investasi yang dikeluarkan oleh petani pemilik lahan. Praktek jual beli lahan tradisional di tingkat lokal menggambarkan rasionalitas petani terhadap keuntungan yang akan mereka peroleh terhadap dinamika pasar. Bisa dikatakan mereka merupakan tipikal kelas menengah pedesaan yang tumbuh secara dinamis sepanjang dekade 1970-an sampai dengan 1990-an. Pemilikan dan penguasaan tanah telah menjadi landasan utama proses pembentukan kelas tersebut.

Introduksi sistem contract-farming oleh negara melalui perkebunan dan jual beli paksa lahan merupakan bentuk intervensi dari luar yang menghambat konsolidasi kelas menengah pedesaan tersebut. Mereka menghancurkan pertumbuhan kelas menengah ini dan pada saat yang bersamaan menciptakan kelas menengah lain yang lebih tergantung pada sumber daya negara seperti kredit dan fasilitas-fasilitas lainnya. Mereka adalah orang-orang kaya baru di pedesaan, tetapi secara politik sangat lemah dan menjadi pendukung kebijakan-kebijakan negara yang aktif.

Khusus tentang sengketa dan konflik yang terjadi di wilayah itu, cukup menarik bahwa gambaran konflik yang terjadi diawali dengan perlawanan petani terhadap kebijakan negara yang diikuti dengan perundingan melalui pengiriman delegasi, protes dan demonstrasi yang kemudian berpuncak dengan terjadinya aksi penguasaan lahan. Aksi penguasaan tersebut kemudian diikuti dengan proses pendistribusian lahan di antara penduduk desa tersebut. Apabila kemudian kita memusatkan perhatian pada aksi pendudukan lahan dan tindakan petani mendistribusikan lahan yang mereka kuasai, pertanyaannya adalah bagaimana para petani di tempat itu mampu mengatur diri mereka dalam proses penguasaan dna pendistribusian lahan? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka terdapat satu faktor penting yang menyebabkan kaum tani di dua wilayah tersebut melakukan tindakan pendistribusian lahan, yaitu keberhasilan organisasi tani setempat memobilisasi kaum tani.

Dalam kasus di wilayah Tegalbuleud, gagasan melakukan aksi pendudukan lahan dan pendistribusian lahan tersebut kepada para petani terjadi setelah organisasi tani di wilayah tersebut mengeluarkan kebijakan tersebut. Meskipun gagasan tersebut lahir dari kalangan pimpinan di tingkat atas, namun inisiatif itu menemukan bentuk kongkrit dan dukungan di antara kaum tani yang memandang inisiatif tersebut sebagai langkah yang benar dan adil terhadap masalah yang mereka alami.

Hal menarik yang patut menjadi perhatian adalah mekanisme-mekanisme yang tumbuh di tingkat lokal saat proses distribusi tersebut dilakukan. Pola yang muncul dalam mekanisme pembagian lahan oleh petani adalah:

  1. Pembentukan kelompok-kelompok pada tingkat lokal (OTL dan POKTAN) di mana para petani pertama-tama membahas terlebih dahulu tindakan yang akan mereka lakukan dan menentukan siapa saja yang akan mendapatkan lahan.
  2. Penentuan luas lahan yang akan mereka bagikan. Penetapan luas lahan ini didasarkan pada pertimbangan luas tersedia dan jumlah petani yang menginginkan lahan tersebut.
  3. Penentuan lokasi lahan yang dibagikan terhadap masing-masing petani. Dalam penentuan lokasi ini, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan adalah jarak lahan tersebut dengan lokasi pemukiman petani dan kualitas lahan yang akan dibagikan. Penentuan lokasi tersebut juga mempertimbangkan faktor usia dan kesejahteraan masing-masing petani serta partisipasi mereka dalam aksi dan organisasi. Dalam proses ini, mekanisme di tingkat lokal lebih menentukan dibandingkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pimpinan petani di tingkat atas.

Dengan demikian, organisasi adalah faktor paling penting yang memungkinkan kaum tani melakukan aksi-aksi pendudkan lahan yang kemudian diikuti oleh proses pendistribusian yang merata di antara mereka.

Selanjutnya, apa yang bisa disimpulkan dari hasil penelitian ini? Pertama-tama saya ingin mengemukakan tentang pentingnya negara sebagai aktor yang menentukan arah perubahan sosial di pedesaan. Pengaruh negara yang sangat signifikan adalah munculnya elit pedesaan baru yang pertumbuhannya sangat ditentukan oleh akses mereka terhadap sumber daya negara. Kalangan "orang kaya baru" di pedesaan menjadi kelompok yang cukup penting dalam mempengaruhi penduduk desa untuk melakukan pilihan-pilihannya. Kedua, tidak dapat dipungkiri, apa yang dilakukan oleh petani melalui penguasaan tanah di tingkat lokal bukan suatu tindakan otonom yang muncul dari bawah. Inisiatif-inisiatif itu sebagian mungkin muncul dari bawah, atau merupakan suatu respond yang memang bersifat lokal. Namun, ketergantungan petani terhadap orang-orang dalam organisasi HPNP untuk mengatur tindakan mereka merupakan salah satu cerminan penting tentang pola elit dan massa dalam struktur yang menyerupai hubungan patron-klien, dibandingkan sebagai suatu bentuk manifestasi perjuangan organisasi rasional modern.

Catatan:

  1. Dianto Bachriadi & Anton Lucas. Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan. Gramedia: Jakarta. 2001.

  2. Hotman Siahaan," Gerakan Sosial Petani terhadap Kekuasaan Negara", dalam Kompas, ../../2000.

  3. Harry J. Benda. Continuity and Change in Southeast Asia. Yale University Southeast Asia Studies. Monograph Series No. 18, New Haven, 1972. Hal. 234.

  4. Sartono Kartodirdjo. Pemberontakan Petani Banten 1888.

  5. Ong Hok Ham. The Residency of Madiun. Pryayi and Peasant in the Nineteenth Century. (Dissertation). Yale University, 1975.

  6. Sartono Kartodirdjo. 1984.

  7. Karl J. Pelzer. Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawam Petani. Jakarta: Sinar Harapan, 1991.

  8. Lihat studi Bina Desa tentang gerakan petani pada tahun 80-an. Firmansyah et.al., Gerakan dan Pertumbuhan Organisasi Petani di Indonesia: Studi Kasus Gerakan Petani Era 1980-an. YAPPIKA & Sekretariat Bina Desa, Jakarta. 1999.

  9. Bandingkan dengan Lyon Margo, Bases of Conflict in Rural Java.Research Monograph No. 3. Center for South and Southeast Studies. University of California. Barkeley, 1970; Pusat Penelitian & Studi Pedesaan & Kawasan Universitas Gajah Mada. Laporan Tentang Studi Mengenai Keresahan Pedesaan Pada Tahun 1960-an, khususnya tentang kasus di Klaten, Banyuwangi dan Bali. Yayasan Pancasila Sakti, Jakarta, 1982. Beberapa penelitian yang kemudian diterbitkan juga memberikan gambaran seperti ini. Lihat juga Soegijanto Padmo. Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965. Media Pressindo, Yogyakarta. 2000; Hermawan Sulistyo. Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal Yang Terlupakan. Gramedia, Jakarta. 2000; Endang Suhendar & Ifdal Kasim. Tanah Sebagai Komoditas: Kajian Kritis atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru. ELSAM, Jakarta. 1996.

  10. Chalers Tilly. The Vendee. New Haven: 1967.

  11. Penting untuk dicatat bahwa studi Scott dibatasi pada analisa terhadap pemberontakan petani (peasant rebellion) dan tidak mengkaji lebih lanjut tentang persoalan-persoalan lebih luas seperti revolusi petani yang membutuhkan analisa lebih mendalam terhadap struktur kelas dan sistem politik internasional. Lihat James Scott. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. (New Haven: Yale University Press, 1976, p. 194, fn. 1. Untuk diskusi lebih lanjut tentang topik ini bisa dilihat dalam Gary Hawes. "Theories of Peasant Revolution: A Critique and Contribution from the Philippines," dalam World Politics, Vol. 42, Issue 2 (Jan., 1990), 261-298.

  12. Marvin Bunker Taintor. An Ecological Model of Peasant Revolution: The Indonesian Communist Experience, 1952-1965. Ph.D. Dissertation. New York State University, 1979.

  13. Tentang pembahasan terhadap perbedaan metode produksi dan kebijakan negara antara dataran tinggi dan dataran rendah bisa dilihat dalam Jan. G. Palte. The Development of Java�s Rural Uplands in Response to Population Growth: An Introductory Essay in Historical Perspective. Faculty of Geography University of Gajah Mada, Yogyakarta. 1984. Bandingkan dengan karya sangat menarik Hefner tentang dataran tinggi Pasuruan. Robert W. Hefner. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. LkiS, Yogyakarta. 1990.

  14. Lihat Jeffrey M. Paige. Agrarian Revolutiion: Social Movement and Export Agriculture in the Underdeveloped World. The Free Press, New York, 1975; Donald M. Zagoria, "Asian Tenancy Systems and Communist Mobilization of the Peasantry." Dalam John W. Lewis. Peasant Rebellion and Communist Revolution in Asia. Stanford, 1974.

  15. Wawancara dengan Bapak Nana, mantan juru tulis desa Tegalbuleud

  16. Wawancara dengan Haji Karim, 20/11/2000

  17. Penting diperhatikan bawah sebagian besar alasan bekerja di luar negeri adalah persoalan kemiskinan. Kesan ini semakin kuat dalam pengamatan saya terhadap beberapa desa yang relatif lebih makmur dibandingkan desa kajian saya. Di desa-desa tersebut, pengiriman tenaga kerja ke luar negeri merupakan fenomena yang jarang ditemui.

  18. Wawancara dengan Haji Sukarna, Desa Sumber Jaya 20/11.2000

  19. Wawancara dan diskusi dengan Haji Karim, Desa Buni Asih 24/11/2000

  20. Haji Karim. Ibid.

  21. Haji Karim. Ibid.

  22. Wawancara dengan Bapak Joyo. Penduduk Desa Buni Asih 24/11/00

  23. Wawancara dengan Tukinah, istri bapak Joyo. 24/11/00

  24. Haji Karim. Op.cit., 20/11/00

  25. Diskusi dengan penduduk Tegalbuleud 26/11/00

  26. Wawancara Haji Sukarna

  27. Terdapat ragam pendapat di antara para sarjana tentang persaingan dan krisis politik setelah terbentuknya pemerintahan republik. Lihat beberapa uraian �

  28. Uraian tentang ini bisa dilihat dalam Robert Cribb. � Geofrey Robinson � dan karya disertasi Hermawan Sulistyo. Belum ada studi yang cukup komprehensif di wilayah Jawa Barat tentang masalah ini. Sebagian di karenakan kecilnya skala kekerasan dan pembunuhan terhadap orang-orang komunis dan orang-orang yang dituduh sebagai komunis.

  29. Kebijakan politik yang paling signifikan dalam kekuasaan rejim Orde Baru adalah penataan otonomi daerah dengan menjadikan bupati sebagai penguasa lokal yang bertanggungjawab terhadap Presiden melalui kementrian dalam negeri tanpa perlu persetujuan DPRD setempat.

  30. Lihat Benedict Anderson, "Old State, New Society" dalam Language and Power: Exploration in Indonesian Political Culture. Ithaca: New York.

  31. Wawancara Bapak Dedi Iskandar, Ketua HPNP, 29/11/00

  32. Wawancara dan diskusi dengan Haji Karim. Op.cit., 20/11/2000

  33. Haji Karim. Ibid., 20/11/00

  34. Di bawah kekuasaan rejim Orde Baru, konsep hukum telah mengalami pergeseran makna dari suatu proses pencarian keadilan menjadi konsep yang mengacu pada tindakan "hukuman" atau represi bagi warga negara. Pembahasan tentang konsep ini bisa dilihat dalam Julie Southwood & Patrick Flanagan. Indonesia: Law, Propaganda and Terror. Zed Press, London. 1983.

  35. Lihat pembahasan Tarrow tentang political opportunity structure dalam Sidney Tarrow. Power in Movement. Cornell University Press.

  36. Bandingkan dengan sistem pemilu selama periode kekuasaan rejim Orde Baru.

  37. Dalam istilah setempat, nyacar adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh petani saat mereka membuka lahan garapan baru. Ini merupakan tahapan awal kegiatan penggarapan yang biasanya diawali dengan menebangi pepohonan, membersihkan semak-semak dan tumbuhan lainnya sekaligus menjadi ciri luas dan tempat lahan yang akan mereka garap. Setelah tahapan ini selesai, barulah kemudian mereka menanami lahan tersebut dengan tanaman-tanaman pangan yang bisa mereka tanam.

Hosted by www.Geocities.ws

1