Sebuah Era tentang Korban

Karlina Leksono-Supelli

 

Saudara-saudari yang terhormat,

Malam ini, teman-teman yang berbahagia karena berhasil menerbitkan kembali Media Kerja Budaya, meminta saya untuk menyampaikan sebuah pidato kebudayaan dengan tema menyangkut Kemanusiaan dan Kebudayaan. Saya bertanya lama di dalam hati, apakah lagi yang masih bisa disampaikan ketika sebagian dari kita berada dalam kegamangan mengenai makna manusia dan kemanusiaan? Apakah lagi yang bisa disampaikan ketika seluruh definisi yang pernah diajukan seperti tersapu gelombang ketidakmanusiaan yang bergerak kian dahsyat di sekitar kita lewat kekerasan. Apakah ketidakmanusiaan itu sendiri yang sebenarnya menjadi ciri manusia?

Jika berbicara tentang manusia, kita akan menemukan banyak definisi. Manusia adalah homo faber jika ia dihubungkan dengan keterampilannya menemukan perkakas yang membentuk kebudayaan material manusia. Namun bukankah seluruh kehidupan tertransformasi ke realitas yang memanusia karena kemampuan manusia menemukan dan menggunakan simbol? Maka ia pun dikenal sebagai homo symbolicum.

Saya ingin kembali saja ke filsuf Yunani kuno Aristoteles. Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai mahluk rasional dan politis. Namun ia juga mengamati bahwa manusia berbeda dengan mahluk lainnya karena kemampuannya untuk meniru, mimesis.

Kemudian, dengan cemerlang dan dramatis ketiga "kodrat" manusia ini, politis, rasional, dan mimetis bergabung dalam komedi Moli�re. Cemerlang karena karya ini berhasil menggambarkan kodrat politis manusia lewat individu-individu yang mewakili kelompok-kelompok berbeda namun semua berusaha mengklaim pengaruh dan kekuatan masing-masing sebagai pengetahuan atau keterampilan. Dramatis, karena kodrat rasional manusia yang dinilai seharusnya mampu membuat manusia bertindak sebagai hakim adil berdasarkan nalarnya, ternyata gagal akibat tidak kuasa menahan hasrat meniru.

Saya cuplikan komedi tersebut:

Datanglah sang Filsuf

Tn. Jourdain:

Akh Tn. Filsuf, Anda datang tepat pada waktunya. Kemarilah, dan damaikan mereka.

Filsuf:

Apa yang terjadi Tuan-tuan?

Tn. J:

Mereka bertengkar mengenai profesi mereka. Masing-masing mengatakan profesi merekalah yang terpenting, lalu mereka mulai saling mengejek, dan sekarang pertengkaran hampir-hampir meledak

Filsuf:

Tuan-tuan, mengapa kalian membiarkan diri begini terbawa? Tidak pernahkah Tuan-tuan membaca Seneca "Tentang Kemarahan"? Percayalah, tak ada yang sehina dan sekeji nafsu yang dapat menurunkan derajat manusia ke tingkat binatang buas! Yakinlah. Nalar harus menjadi pasangan setiap tindakan kita.

Ahli Tari:

Tetapi tuan yang bijak, ia mencemoohkan musik yang merupakan profesi orang ini, dan tari yang merupakan profesi saya.

Filsuf:

Orang bijaksana melampaui setiap penghinaan yang dikenakan kepadanya, dan sikap tepat menjawab perilaku yang tidak layak adalah bersabar dan tenang.

Pemain Anggar:

Berani-beraninya mereka membandingkan profesinya dengan profesi saya

Filsuf:

Temanku, mengapa itu mengganggumu? Janganlah kita membanding-bandingkan dengan sombong. Yang membedakan seseorang dari orang lainnya adalah kebijaksanaan dan kebajikannya.

Ahli Tari:

Saya mempertahankan pendapat bahwa tari adalah sebuah keahlian, sebuah ilmu, yang tak pernah mungkin bisa terbayar oleh apapun.

Ahli Musik:

Dan musik diperlakukan dengan sangat terhormat sepanjang zaman

Ahli Anggar:

Saya tetap menentang pendapat kedua orang ini karena menurut saya keterampilan tanganlah yang paling dibutuhkan dari semua jenis pengetahuan

Filsuf:

Lalu di manakah tempat filsafat? Kalian bertiga congkak sekali berbicara dengan begitu sombong di hadapan saya. Kalian juga lancang amat mengatakan sesuatu sebagai pengetahuan padahal hanya semata-mata pencapaian yang bahkan sama sekali tidak pantas disebut seni, dan hanya sejajar dengan gladiator

Ahli Anggar, Ahli Musik, dan Ahli Tari, berteriak: Keluar!

Fisuf:

Apa? Bajingan-bajingan seperti kalian berani �. (Filsuf ini lalu menerjang ketiga orang itu, yang sudah bersatu untuk berbaku hantam dengan si filsuf).1

Adegan di atas memperlihatkan bagaimana kodrat rasional manusia, yang mengklaim filsafat serta kepemilikan atas ilmu sebagai ciri utama pembeda manusia dari binatang-demikian sang filsuf menyatakannya--,berhadapan langsung dengan kodrat politis manusia, yang membuat klaim pengaruh atas masyarakat. Keduanya, yang rasional diwakili oleh sang filsuf, dan yang politis diwakili oleh ke-3 orang yang berseteru itu, ternyata saling berhadapan dalam perang bernama mimesis.2

Di dalam mimesis yang digambarkan di atas, bukan hanya perbedaan antara filsafat dan apa yang seharusnya ia hakimi dengan obyektif, menjadi tidak berhasil, tetapi bahkan manusia-nya pun menjadi tidak terbedakan lagi dengan binatang buas yang saling mencakar. Di dalam mimesis, nalar manusia dijungkirbalikkan bukan demi klaim tetapi akibat klaimnya sendiri.

Adalah Ren� Girard3 yang menunjukkan bagaimana hasrat meniru menyebabkan orang dapat terjerumus ke dalam tindak kekerasan dan mekanisme pencarian kambing hitam atau musuh bersama (dalam adegan di atas adalah sang filsuf) yang memunculkan korban. Suatu bentuk kekerasan yang ada di hampir semua bentuk kebudayaan. Sesuatu yang bahkan tidak dapat dihindari oleh mereka yang seharusnya mampu bertindak berdasarkan nalarnya.

Dengan konsep mimesis ini, seluruh penelusuran asal usul kekerasan di dalam sejarah gerak kebudayaan akan kembali ke bukan asal usul yang manapun, tetapi hanya ke kekerasan itu sendiri. Asal usul kekerasan tak terepresentasi kecuali di dalam konflik mimetik. Tak ada divine origin untuk kekerasan sebagaimana diandaikan selama ini, tak ada kekeramatan.

Dalam analisis Girard, pada awalnya, jauh sebelum kebudayaan bermula, kekerasan saling memangsa berlangsung di antara mahluk-mahluk hominidae. Ini adalah kekerasan mimetik antara semua melawan semua. Kekerasan ini bermula dari kekerasan sebelumnya yang kemudian ditiru dan ditiru terus menerus.

Kekerasan seperti ini memilah mahluk-mahluk menjadi kelompok-kelompok, sampai pada suatu ketika polarisasi sejumlah individu di sekitar sebuah obyek meningkat. Semua anggota dalam kelompok segera mengikuti kecenderungan itu. Pada suatu ketika, obyek yang menjadi sasaran kekerasan mungkin sudah lenyap atau hancur, tetapi kegilaan mimetik telah menguat begitu rupa sehingga membangkitkan efek bola salju yang menggulirkan kekerasan demi kekerasan berikut. Daya tarik mimetik yang luar biasa juga memungkinkan seluruh anggota kelompok bersatu dan menciptakan serta menghadapi satu musuh bersama. Kekerasan semua melawan semua, menjadi kekerasan semua melawan satu musuh bersama.

Pada saat inilah, korban diciptakan, satu korban atau satu kelompok yang dikalahkan.

Korban menjadi awal untuk yang keramat. Korban muncul sesaat sesudah nature, namun sebelum culture yang berawal di dalam yang keramat itu. Korban menjembatani jurang antara yang alamiah dan yang kultural sekaligus menandai keterkoyakan di antaranya.

Kapankah momen-momen pertama non-instinktual terhadap obyek kekerasan itu muncul sehingga korban terdefinisikan sebagai korban, dan gerak yang alamiah beralih menjadi yang kultural?

Ketika ia atau mereka tergeletak sebagai obyek tidak berdaya, mati atau tidak mati. Pada saat itu muncullah sebuah keheningan, ketenangan, perhatian, dari semua anggota kelompok yang sudah memilih obyek tersebut sebagai musuh. Semua mengapropriasi korban, membentuk jarak terhadapnya. Sesuatu yang merupakan refleks alamiah pada awalnya,4 tetapi kemudian berubah menjadi gerak isyarat, bahkan tanda, yang menunjuk korban sebagai sesuatu yang dikehendaki, namun sekaligus yang terlarang.

Semua anggota kelompok meniru gerak isyarat terhadap sang korban ini, karena semua berhasrat atas korban, namun tidak satupun dapat menyentuhnya. Tindakan menangkap mangsa berubah menjadi gerak isyarat yang menunjuk kepada korban, tetapi tetap dengan penjarakkan. Upaya menjadikan korban sebagai milik akan menimbulkan risiko meniru yang baru, sehingga berlangsung kekerasan baru.

Korban menjadi yang keramat, yang tabu, yang menakjubkan, sekaligus yang dikehendaki. Korban menjadi seperti reinkarnasi dari kedurjanaan namun sekaligus mukjizat pembawa perdamaian. Korban menjadi tidak tersentuh dan tiba-tiba menjadi suci, dikeramatkan oleh ketiadaan pemilik, sekalipun kekeramatan korban disini bukan sesuatu yang ontologis sebagaimana dikenal di dalam kebudayaan sebagai sesuatu yang suci dan divine. Kekeramatan itu karena korban memancarkan dimensi subyektif yang mengikat para pelaku ke dalam sebuah gerak untuk tidak maju atau tidak mundur bersama.

Maka korban merepresentasikan ambivalensi di dalam masyarakat, sekaligus awal rekonsiliasi. Korban adalah permainan antara penanda dan yang ditandai, yang keramat dan yang duniawi, kekerasan dan perdamaian, kekacaubalauan dan tatanan komunitas baru. Korban disimbolkan sebagai pencetus kelahiran baru sebuah komunitas karena kehancuran korbanlah yang menghentikan (sementara) kekerasan. Perdamaian tercapai melalui jatuhnya para korban.

Justru karena itulah diperlukan penciptaan-penciptaan ulang korban demi kelahiran komunitas baru, yang butuh untuk terus menerus memperbaharui eksistensinya. Sebuah penggandaan makna, dalam bahasa Girard,5 yang menyebabkan ritual-ritual tertentu selalu diulang, dan pencarian korban selalu berlangsung, sekalipun korban selalu dapat disubsitusikan karena pada dasarnya korban adalah sebuah penanda, pengganti.

Elemen pengorbanan dan kurban pun menjadi sentral untuk sistem religi, dan dengan itu berlangsung pula pemujaan terhadap kekerasan atas nama agama, atas nama sistem kepercayaan, atau atas nama kebudayaan. Dengan mengkeramatkan korban, masyarakat mengalihkan kekerasan yang berawal di dalam masyarakat, ke sesuatu di luarnya. Pengkeramatan korban beralih menjadi pengkeramatan kekerasan. Maka kekerasan terlembaga menjadi dapat diterima, sementara kekerasan tak terlembaga masih tetap ditolak.

Dengan cara ini asal mula kekerasan dikembalikahn ke sesuatu yang keramat di luar dan mendahului komunitas, ke suatu mysterium tremendum (Apakah mysterium tremendum itu menjelaskan 14.531 perang sepanjang 5.560 tahun sejarah peradaban manusia, ataukah mimesis yang inheren dalam diri yang menjadi penjelasannya? )

Kekerasan mimetik instinktif-lah yang sevetulnya diangkat ke tingkat kebudayaan dan terlembaga sebagai hukuman mati. Kesantunan manusia memang memindahkan ajang pelenyapan itu ke halaman-halaman belakang penjara yang tersembunyi, atau ke sebuah ruang eksekusi terisolasi. Namun adakah bedanya dengan pemenggalan kepala di lapangan terbuka ketika ruang itu berkaca tempat penonton, bahkan anggota keluarga, dapat meyaksikan terhukum diakhiri hidupnya. Kekerasan pun terinstitusikan lewat hukum. Hukum menjadi penjaga rasionalitas kekerasan, bahkan memegang monopoli atas kekerasan.

Saudara-saudari yang saya hormati,

Sejarah kemanusiaan sebagian besar adalah sejarah tentang kehormatan diri, kemenangan, atau balas dendam yang dimanifestasikan lewat kekerasan. Kita dibuat percaya bahwa kepemimpinan seseorang lebih sering dinyatakan lewat keberaniannya menentukan kematian orang lain, kelenyapan orang lain, atau perebutan the self orang lain.

Bacalah kisah-kisah pahlawan. Mereka adalah penakluk musuh yang mungkin hampir tidak pernah memanfaatkan kedahsyatan kata-kata untuk menjadi pemenang. Para pahlawan adalah pengulit-kepala dari suku-suku Indian, atau orang Bugis yang segera melakukan siri demi kehormatan, atau carok pada orang Madura, atau model balas dendam berdarah apapun di suku lain. Sejak kecil, anak-anak kita dididik untuk menjadi sangat bangga karena darah yang mengalirlah yang menjadikan Indonesia, bukan kecerdasan para intelektual mudanya melakukan dialog-dialog dengan yang berbeda, semua yang lain.

Hubungan antar manusia ditandai dengan keterbukaan menerima yang lain ini, dan mengambil bentuk wacana. Awal tindakan kekerasan, demikian kata Emmanuel Levinas,6 adalah setiap keengganan menyambut kehadiran yang lain ke dalam wacana. Maka wacana menuntut keberhubungan dengan yang lain, termasuk kekerasan itu sendiri. Itulah sebabnya setiap upaya untuk menginterupsi kekerasan tidak mungkin dilakukan tanpa, atau di luar, atau melampaui sejarah. Sementara sejarah tak pernah hampa kekerasan.

Dengan ini, bahkan konsep tanpa-kekerasan mengandung di dalamnya kekerasan itu sendiri. Tanpa-kekerasan (non-violence) murni hanya tercapai melalui ketidakberhubungan terhadap yang lain, dan ketidakberhubungan itu sendiri adalah kekerasan sekalipun dalam bentuknya yang paling ringan. Kebisuan seseorang, semata-mata gerak isyarat kolektif, atau harapan utopis akan kondisi tanpa kekerasan merupakan kekerasan pula. Tanpa-kekerasan/non-violence menjadi istilah yang kontradiktori, kata Mc.Kenna. Akan tetapi mungkinkah memanusiawikan kekerasan?

Benarlah Derrida, ketika mengatakan bahwa karena seseorang tidak mungkin menghindarkan diri dari berbicara, dan tak ada penolakan atau pencelaan terhadap kekerasan yang tanpa tindakan atau gerak isyarat tertentu, maka penolakan terhadap kekerasan hanyalah dengan kekerasan lagi-betapapun ringannya.7 Menolak kekerasan hanya berarti memasuki sebuah wilayah ekonomi kekerasan. Manusia, ketika ia adalah mahluk mimetik, ternyata tidak mungkin menolak kekerasan tanpa kekerasan itu sendiri muncul di dalam interaksinya dengan yang lain.

Saudara-saudari yang saya hormati,

Uraian di atas menghadirkan sebuah pertanyaan mendasar. Jika agen kekerasan adalah hasrat mimetik di dalam diri manusia, tidakkah kekerasan tereduksi menjadi persoalan individual yang cukup diselesaikan dengan pendekatan idealistik kultural?

Persoalan jelas tidak sesederhana itu. Di dalam sebuah masyarakat demokratis, kedaulatan masyarakat kolektif menggantikan tirani kekuasaan melalui hukum. Bagaimanapun ini tidak menjamin bahwa negara tidak melakukan kekerasan yang menghancurkan korban dengan pelaku-pelaku terselubung di balik kepentingan negara. Negara dapat terlihat melaksanakan upaya pensejahteraan rakyatnya, menjaga keamanan internal dan eksternal, tetapi negara dapat juga dengan sadar memilih dan menerapkan hubungan kekerasan terhadap warganya demi kepentingan legitimasi eksistensinya.

Bisakah kekerasan negara dikembalikan ke kehendak atau hasrat buruk seperti diuraikan di atas?

Pengkeramatan korban dan pengembalian ke hasrat mimetik ternyata memungkinkan kita memahami mengapa kedaulatan masyarakat kolektif menjadi lumpuh di dalam menghadapai kekerasan negara. Hasrat itu berasal tidak di dalam diri tetapi di dalam hukum antropologis--meminjam bahasa McKenna8--yaitu perilaku mimetik. Kedaulatan masyarakat tidak berperan, dan korban-korbannya berjatuhan tetapi para pelaku tidak pernah dapat ditunjuk langsung karena mereka tidak berwajah.

Jika kekerasan sudah menjadi penanda untuk yang keramat, negara pun akan mempertahankan haknya atas kekerasan dengan mengkeramatkan kedaulatan negara dan keamanan negara. Pengkeramatan ini bisa terjadi ketika kekerasan hasrat beralih menjadi hasrat kekerasan seketika kepentingan tertentu membutuhkan demikian. Negara yang diperlakukan sebagai sebuah substansi kekal terlepas dari bentuknya, akan memilih korban-korbannya demi kekeramatan itu. Korban-korban itu bisa dipilih sembarang, tetapi ada acuan untuk itu. Korban tidaklah mempunyai ikatan kuat dengan masyarakat di luar komunitasnya sendiri, atau yang distigmakan begitu rupa sehingga tidak akan menimbulkan kegelisahan umum, atau justru yang akan menyebabkan keikutsertaan komunitas besar menjadi pelaku kekerasan.

Dalam sejarah kita yang belum terlalu lama pun, kita mengenal pemilihan-pemilihan korban demi kepentingan kelanggengan kekuasaan. Korban konflik horizontal di Ambon, korban konflik Singkawang, misalnya, pula para korban kekerasan di Aceh. Namun di antara semua itu, warga Tionghoa-Indonesia adalah salah satu kelompok yang paling sering dipilih menjadi korban karena ketiadaan Rumah Budaya mereka.

Rumah Budaya, demikian saya ingin menyebutnya, adalah sebuah ruang kultural yang membawa di dalamnya selama beratus-ratus tahun berbagai kebiasaan, mulai dari tata cara pemberian nama--nama pribadi, nama keluarga atau nama kelompok untuk menjadi simbol pertama penggunaan bahasa yang akan membawanya menemukan dan menghadapi dunia, sampai ke pandangan-pandangan hidup, kesenian, gagasan filosofis, serta keyakinan-keyakinan. Di dalam rumah budaya, orang merupakan hasil sejarah serta asal usul sekaligus pewaris berbagai kondisi dalam hubungannya dengan kelompok dan wilayah tempat ia dilahirkan. Di dalam rumah budaya tumbuh makna kultural bersama-sama dengan makna eksistensial seseorang yang melekat bersamanya seketika ia lahir ke dunia dengan membawa bersamanya, pertama-tama, keserupaan biologis dari masa lampau yang tak dapat dieliminasi dari dirinya.

Ketiadaan rumah budaya menjadikan orang tidak memiliki tempat berlindung dan dengan mudah dijadikan korban. Pencerabutan rumah budaya dari komunitas tertentu adalah bentuk kekerasan yang bermaksud menciptakan kelompok-kelompok yang siap dijadikan korban ketika diperlukan.

Saudara-saudari,

Disinilah sudah sewajarnya jika kita tidak lagi membiarkan diri jatuh ke dalam pandangan-pandangan dunia, politik, dan kebudayaan, yang tidak dapat dikembalikan ke prinsip atau nilai-nilai dasar yang memistifikasikannya; pandangan yang menjadi landasan seluruh ketidakmanusiaan manusia. Landasan yang terbentuk akibat pemberian kekeramatan kepada sebuah nama, yang sesungguhnya adalah nama untuk melegitimasikan hasrat yang ada di dalam diri manusia. Sebuah nama keramat demi menyelubungi ketidakmanusiaan manusia.

Kita tidak lagi mengenalinya, karena kita menyembunyikannya di dalam nama Tuhan, nama sejarah, nama kebudayaan, nama hukum, atau nama kebenaran.

Kebudayaan dibangun di atas kesalahpahaman yang memistifikasikan baik korban maupun kekerasan yang menciptakan korban-korban. Pengsakralan korban adalah pengsakralan kekerasan. Namun keberhasilan membongkar berarti keberhasilan menggugurkan dikhotomi antara yang manuawi dan yang ilahiah, yang profan dan keramat, sehingga yang kemudian muncul adalah dikhotomi sesungguhnya yaitu antara pelaku dan korban yang tak tereduksikan ke bentuk apapun.

Kita hidup di dalam abad di mana berlangsung perang dengan pembunuhan-pembunuhan paling dahsyat sepanjang kehadiran manusia di Bumi. Dalam setahun terakhir ini saja, kita hidup di dalam sebuah negara, di mana kekejian demi kekejian terungkap tetapi tidak lagi mengherankan kita karena kemanusiaan memang sudah dicampakkan dari kehidupan formal bernegara di negeri ini sejak lama sekali. Lama sekali.

Akan tetapi, akan selalu ada kesempatan untuk menemukan batas terhadap kekerasan yang tidak berbatas. Maka, klaim bahwa kekerasan ada di mana-mana dan inheren di dalam sifat mimetik manusia dan di dalam kebudayaan, tidak akan pernah melegitimasi tindakan yang membiarkan kekerasan. Justru hasrat mimetik itulah yang juga membuka peluang untuk menemukan tanggung jawab tidak terbatas terhadap upaya mengurangi kekerasan.

Berhadapan dengan korban adalah berhadapan dengan ketidakpastian. Korban sekaligus bersifat atraktif dan repulsif, ia menarik sekaligus menolak kita. Namun ketidakpastian inilah yang menjadi dasar untuk memahami hasrat yang telah menjadikan kita manusia. Sekaligus landasan untuk memahami kebenaran.

Lewat mekanisme ini, kebenaran bukan lagi sesuatu yang transendental. Kebenaran adalah kepemahaman akan kekinian yang tersembunyi di dalam korban dan menunggu untuk disingkapkan. Di sekitar korban-lah kesadaran kognitif dan kesadaran moral manusia menyatu; di sekitar korban tuntutan akan fakta menyatu dengan tuntutan akan nilai. Korban yang selamat dari tindak ketidakmanusiaan manusia adalah cerita-cerita tentang kebenaran, dan dengan cerita-cerita itu mereka merajut dunia di dalam kebenaran tanpa membuat diri mereka sendiri sesuatu yang sakral.

Hanya ada satu cara mempertahankan kemanusiaan pada saat ini, yaitu menangkap realitas dan menginterpretasikannya dari sudut pandang para korban, serta mengembalikan realitas itu kepada mereka. Hanya dengan cara ini gerak kebudayaan menjadi sebuah proses pembebasan dari segala bentuk kungkungan.***

__________

  1. Dikutip dari Andrew J McKenna, Violence and Difference, Girard, Derrida, and Deconstruction, University of Illinois Press, 1992, h. 3.
  2. Saya meminjam apa yang disampaikan oleh McKenna, Ibid, h. 4.
  3. Ren� Girard, Violence and the Sacred, Baltimore, 1979.
  4. Eric Gans, The Origin of Language: A Formal Theory of Representation, University of California Press, 1981.
  5. Ren� Girard, Things Hidden since the Foundation of the World (terj. Stephen Bann dan Michael Metteer), Stanford UP, 1987.
  6. Emmanuel Levinas, Difficult freedom: Essays on Judaism (trans. Se�n Hand), John Hopkins UP, 1990.
  7. Derrida, Writing and Difference (trans. Alan bass), Chicago UP, 1978.
  8. McKenna, op.cit., h. 153.

Hosted by www.Geocities.ws

1