APEC Dari Manila ke Vancouver: Ornop Masih Berlari di Tempat (?)

(briefing paper no. 6)
INFID, November 1997

 

I. Menyongsong Sidang APEC di Vancouver 1997
Bulan November 1997, sidang keempat Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) akan berlangsung di Vancouver, Kanada. Perbedaan agenda dari masing-masing negara peserta, terutama Amerika Serikat dan Jepang yang mendominasi perumusan agenda dalam forum ini, masih terus terlihat. Amerika Serikat menekankan perlunya perluasan akses terhadap pasar di Asia-Pasifik yang tumbuh subur dalam beberapa tahun terakhir, karena kekalahan (defisit) dalam perdagangan dengan wilayah ini. Sementara itu Jepang lebih tertarik pada penguatan ekonomi wilayah Asia-Pasifik melalui konsep 'Partners for Progress' yang dicetuskan dalam sidang di Bogor tahun 1994. Terlepas dari perbedaan agenda di antara dua negara industri maju ini, tidak ada hal baru yang ditetapkan dalam sidang terakhir di Manila tahun 1996, di mana negara-negara anggota APEC diminta mem-perkuat komitmen terhadap kesepa-katan sebelumnya, yang dirumuskan dalam Individual Action Plan.

Secara umum agenda APEC, seperti dirumuskan dalam berbagai dokumen dan kesepakatan, adalah memantapkan stabilitas ekonomi negara-negara anggota, transparansi aturan perdagangan dan investasi, penerapan standar ber-sama, dan penghapusan hambatan-hambatan dagang serta investasi di wilayah Asia Pasifik. Liberalisasi per-dagangan dan investasi adalah kata kunci di dalam sidang-sidang APEC, dan berbagai usulan yang dikemukakan atau kesepakatan yang dicapai berang-kat dari keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat dan memperkuat eko-nomi wilayah tersebut secara menyeluruh.

II. Menetapkan Posisi terhadap APEC

Kritik terhadap APEC sudah dikemu-kakan sejak sidang pertama di Bogor pada tahun 1994. PM Malaysia Ma-hathir Muhammad misalnya, berpan-dangan bahwa APEC hanya memajukan kepentingan negara-negara industri ma-ju, khususnya Amerika Serikat dan Jepang yang mengalami defisit dalam perdagangan dengan negara-negara berkembang dan semi-industrialized di Asia-Pasifik. Liberalisasi perdagangan dan jasa yang ditawarkan melalui APEC tidak banyak artinya, karena perdagangan antarnegara di wilayah Asia-Pasifik sudah terjadi dan terus berkembang tanpa APEC.

Melihat krisis ekonomi dan politik yang melanda berbagai negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Indonesia, APEC adalah kerangka yang dipak-sakan dari luar, dan tidak mencer-minkan kepentingan negara-negara yang dilanda krisis. Misalnya saja agenda liberalisasi di sektor finansial justru akan memperparah krisis finan-sial yang sekarang sedang melanda wilayah ini, dan di pihak lain mem-berikan keuntungan besar bagi para spekulan dan pemain pasar uang yang berasal dari negara-negara industri maju. Agenda liberalisasi sektor jasa (finansial) juga merupakan cermin ke-kalahan negara-negara industri maju yang tidak mampu lagi bersaing di sektor perdagangan barang.

Secara ringkas, kritik terhadap berbagai lapisan dan dimensi dalam APEC terlihat sebagai berikut:

  • Pemisahan antara Ekonomi dan Masalah Sosial. Pembicaraan dalam APEC terpusat pada pengembangan ekonomi yang cenderung mengabaikan adanya masalah-masalah sosial, politik, hak asasi manusia, keseteraan dan lainnya. Masalah pembangunan berkelanjutan yang sangat menekankan pentingnya dimensi lingkungan hi-dup, hak asasi manusia, kesetaraan dan kemakmuran rakyat, boleh di-bilang terhapus dari agenda APEC.
  • Pemusatan Perhatian pada Per-dagangan. Tema sentral dalam APEC adalah perdagangan, dan kemakmuran negara-negara diukur seberapa jauh mereka dapat 'bermain dalam pasar'. Ini sejalan dengan agenda ekonomi negara-negara berkembang yang menekankan pentingnya ekspor, tapi cenderung melupakan kondisi ekonomi nasio-nal, sehingga terjadi kesenjangan sangat besar antara sektor yang berorientasi pada persaingan interna-sional dan perekonomian masyarakat luas.
  • Mitos Pertumbuhan Menuju Ke-makmuran. Dalam paham neo-liberal, pertumbuhan dipercaya mendorong pembangunan masyarakat secara menyeluruh (social development). Bukti-bukti dari negara Asia-Pasifik sendiri memperlihatkan betapa pertumbuhan terjadi tanpa pemerataan (growth without prosperity).
  • Liberalisasi Pasar Uang dan Modal. Gejolak matauang di negara-negara Asia-Pasifik adalah peringatan bahwa liberalisasi pasar uang dan modal hanya akan meningkatkan spekulasi perda-gangan uang. Keuntungan dari 'uang panas' (hot money) berakibat melemahnya nilai sejumlah mata uang terhadap dolar. Di samping itu pemerintah akan sulit menetapkan kebijakan moneter dalam situasi yang tidak menentu, apalagi untuk mengiringi program pembangunan berkelanjutan dan berwawasan sosial.
  • Swastanisasi Pembangunan Infra-struktur. Sidang-sidang APEC sangat menekankan pentingnya swastanisasi dalam pembangunan infra-struktur seperti rumah sakit, saluran air, pendidikan, tenaga listrik dan lainnya. Swastanisasi berarti berku-rangnya subsidi atau sokongan pemerintah dan meningkatkan harga-harga di sektor ini.
  • Mekanisme Pengambil Keputusan dan Kesepakatan yang Tertutup. Selama tiga tahun berlangsungnya, sidang-sidang APEC senantiasa tertutup bagi pihak lain, dan akses terhadap dokumen, keputusan dan kesepakatan penting dalam forum ini sangat dibatasi. Pemerintahan negara-negara anggota juga tidak melakukan konsultasi dengan sektor-sektor dalam masyarakat sebelum mengambil keputusan, sehingga accountability-nya sangat dipertanyakan.

Di samping berbagai kritik ini, para ahli juga melihat kelemahan lain dari pemberlakuan liberalisasi perdagangan dan investasi seperti dicanangkan dalam APEC. Salah satu masalah misalnya, adalah meningkatnya kesenjangan di antara blue-collar workers dan white-collar workers, yang tercermin dalam perbedaan tingkat upah yang sangat besar. Liberalisasi pasar uang dan modal jelas akan melipatgandakan jumlah spekulan yang diawaki 'tenaga ahli' dengan gaji besar karena keuntungan yang cepat dan berlipat.

Arus aliran barang dan uang yang begitu cepat di bawah rezim liberalisasi juga membuat modal makin independen dari kekuatan produktif, yaitu tenaga kerja. Bargaining position dari buruh, yang tergabung dalam serikat buruh maupun tidak akan melemah secara drastis, karena modal dapat mengalir ke sana ke mari tanpa hambatan, termasuk dari serikat-serikat buruh. Kompetisi internasional juga diperkirakan akan menekan tingkat upah dan standar taraf hidup secara, dan karena bargaining position yang lemah - akibat berla-kunya sistem kerja kontrak, ketidak-pastian status dan pelemahan lainnya - serikat-serikat buruh tidak dapat berbuat banyak.

Di pihak lain, ada juga yang ber-anggapan bahwa liberalisasi perdagangan dan investasi di bawah APEC atau rezim internasional lainnya adalah hal yang positif, karena akan men-dorong proses pertumbuhan ekonomi, perbaikan taraf hidup akibat dikikisnya high-cost economy dan kemakmuran bersama. Di samping itu ada anggapan kecenderungan pengaruh negara yang semakin berkurang digeser sektor swasta yang akan memberi peluang bagi bertumbuhnya civil society yang semakin kuat. Hal yang jadi masalah adalah bagaimana memasukkan agenda kepentingan sosial-ekonomi masyarakat luas di dalam sidang-sidang APEC, agar kesepakatan yang dikeluarkannya tidak bertentangan dengan kepentingan yang paling dasar itu.

III. Tantangan Bagi Ornop

Sejauh ini tidak banyak pemikiran, kritik dan komentar terhadap APEC yang cukup mendalam dan menyeluruh. Di kalangan ornop tingkat pemahaman mengenai masalah dan akibat yang dibawa oleh APEC masih berbeda-beda, sehingga tidak lahir agenda atau kerangka tuntutan yang jelas. Masih banyak dialog dan diskusi yang diperlukan untuk mengenali tubuh APEC secara menyeluruh, sebelum bisa mengajukan agenda apalagi mekanisme alternatif yang sekarang ini sangat diperlukan.

Dalam tiga sidang pertama, ornop in-ternasional sudah mulai mempertanyakan dan mengkritik berbagai dimensi APEC, khususnya karena tekanan dan perhatian begitu besar terhadap sektor pertumbuhan ekonomi, liberalisasi perdagangan dan investasi, yang mereka nilai dapat merusak tata kehidupan sosial-ekonomi rakyat di Asia-Pasifik. Secara umum pandangan di kubu ornop internasional ini terbagi dua, yakni mereka yang secara bulat menentang kehadiran APEC dan menolak segala bentuk keterlibatan di dalam forum tersebut (no-engagement view) serta mereka yang melihat adanya peluang yang dapat dimanfaatkan dalam APEC untuk memperkuat civil society tanpa perlu menerima seluruh kesepakatan yang dihasilkan sebelum-nya (critical engagement view).

Konperensi ornop tentang APEC di-mulai pada tahun 1993 menyambut pertemuan di Seattle, Amerika Serikat, yang dipelopori oleh ornop lingkungan hidup. Salah satu tuntutan utamanya adalah mengimbangi free trade dengan fair trade di antara negara-negara anggota. Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia menghalangi konperensi pers dari forum ornop Asia Pacific yang diadakan paralel dengan pertemuan APEC di Bogor. Pada tahun 1995, di Kyoto berlangsung konperensi ornop yang mengeluarkan resolusi yang menggugat agenda APEC secara menyeluruh. Menurut wakil 132 ornop yang hadir da-lam konperensi tersebut, agenda APEC mengabaikan berbagai kesepakatan internasional yang menjamin pembangun-an yang berkelanjutan dan berwawasan sosial seperti hak anak, lingkungan hidup, hak asasi manusia, kependudukan dan pembangunan, pembangunan sosial serta posisi dan hak-hak perempuan. Di Manila pada tahun berikutnya, ada lima konperensi paralel yang berlangsung di bawah tekanan cukup besar dari pemerintahan Fidel Ramos. Kelima konperensi yang diikuti oleh perwakilan ornop, serikat-serikat buruh dan organisasi gerakan rakyat lainnya, yang mengambil posisi mulai dari sisi kooperatif (yang melihat APEC sebagai peluang) hingga posisi menentang agenda APEC sebagai proyek 'neo-kolonialisme' yang tidak memperhatikan kepentingan rakyat di negara berkembang.

Dari berbagai pertemuan di kalangan ornop Indonesia, ada beberapa hal yang sempat dibahas menyangkut APEC dan akibat-akibatnya bagi perikehidupan rakyat di Indonesia, walau belum diru-muskan dalam action plan atau resolusi tersendiri.

  • Pengaruh APEC terhadap Produk-si-Distribusi Pangan. Seberapa jauh APEC akan berpengaruh terhadap sektor pangan di Indonesia? Di satu pihak liberalisasi akan memangkas berbagai praktek monopoli yang terjadi di sektor ini, tapi di pihak lain akan menghadapkan para produsen kecil (mayoritas penduduk Indonesia) dengan pasar dan modal internasional. Sektor pertanian misalnya akan menghadapi ancaman besar dengan masuknya produk pertanian dari luar negeri.
  • Nasib Buruh di Era Liberalisasi. Liberalisasi memudahkan pemilik modal untuk memindahkan modalnya ke mana saja dan kapan saja. Dalam keadaan yang demikian na-sib buruh akan semakin sulit, bahwa sewaktu-waktu mereka dihadapkan kepada pemutusan hubungan kerja, karena pemilik modal memindahkan pabriknya ke negeri yang upah buruhnya lebih murah, penguasanya lebih kooperatif, persnya lebih jinak dst. Ketidak pastian nasib buruh ini bisa terjadi baik di negara anggota APEC yang maju maupun yang berkembang. Untuk membuat modal tidak kabur dari satu negeri, ada kecenderungan rejim yang berkuasa akan meningkatkan tekanannya kepada buruh, untuk menyenangkan pemilik modal.
  • Liberalisasi Ekonomi dan Demo-kratisasi Politik. Dengan dikeluarkannya berbagai agenda sosial-politik dari forum APEC, maka 'asumsi manis' bahwa liberalisasi niscaya membawa demokratisasi perlu dipertanyakan kembali. Di bawah rezim internasional rakyat malah semakin tidak punya peluang untuk mengembangkan dirinya secara ekonomi, apalagi secara sosial dan politik. Liberalisasi di struktur industri misalnya hanya akan menghapus proteksi dan monopoli yang diharapkan akan mengurangi ongkos produksi. Pengalaman di negara-negara Asia-Pasifik selama 10 tahun terakhir menunjukkan pengalaman berbeda, karena modal justru mengalir ke negara-negara yang mungkin saja menganut high-cost economy, tapi dapat menye-diakan tenaga kerja murah, seperti Indonesia.

Pemberdayaan Rakyat. Walau secara prinsip ditentang, liberalisasi adalah gelombang yang tidak dapat ditahan. Pemerintah Indonesia sejak awal sudah menyatakan komitmen terhadap APEC dan AFTA serta GATT/WTO, sekalipun tanpa kon-sultasi dengan rakyat maupun 'per-wakilannya'. Dalam hal ini perlu di-pikirkan strategi pemberdayaan yang dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan yang dibawa APEC, dan lebih lanjut mempertanyakan kehadiran dan eksistensinya secara menyeluruh. Salah satu langkah penting adalah membuat wacana tandingan (counter-discourse) yang mengakomodasi berbagai kepentingan dan pemikiran dari kalangan rakyat sendiri, khususnya mereka yang tidak diuntungkan oleh rezim liberalisasi ini.

IV. Kepustakaan

Bello, Walden. 'Conflicting Interests: The Politics of APEC', AMPO: A Japan-Asia Quarterly Review, Vol. 26, No. 4, 1995.

Canada and APEC: Perspectives from Civil Society, prepared by the Policy Working Group, Canadian Organizing Network for the 1997 People's Summit on APEC, first draft, 22 April 1997.

Clarke, Tony. Unmasking the Political Agenda of Transnational Corporations in APEC and the Processes of Globalization. Working Paper, 1996.

Declaration Manila People's Forum on APEC, November 21-24, 1996.

Declaration of People's Conference Against Imperialist 'Globalization', Quezon City, Philippines, 21-23 November 1996.

Kelsey, Jane. Demystifying APEC. Working Paper, 1996.

Vilegas, Edberto. 'The Realpolitik of APEC', PCAIG Media Release, No. 9, 4 November 1996.

Hosted by www.Geocities.ws

1