Tentang "Lengser Keprabon"Ben Anderson
JAMAN GELISAH
T: Sejak bulan Agustus 97 lalu ada tiga krisis di Indonesia: krisis
ekonomi, kebakaran hutan dan kekeringan. Bagaimana Pak Ben memahami
keadaan sekarang ini? J: Keadaan sekarang ini menunjukkan banyak hal. Tapi buat saya yang
penting itu, ternyata banyak orang merasa bahwa pembangunan yang selama
ini digembar-gemborkan kepada masyarakat itu sedang goncang. Lalu
pendapat umum -- pokoknya asal ikut pemerintah, asal tunduk atau
baik-baik saja, maka kemajuan dan kemakmuran akan datang dengan
sendirinya -- itu jadi goyah. Malahan ternyata goncangnya bukan hanya di Indonesia saja, tetapi
juga di banyak negara lain. Lalu masyarakat ini semuanya shock.
Shocknya itu karena merasa sudah enak, sudah bisa beli ini-itu,
bisa melancong kesana-kemari, eh tahu-tahu kok semuanya macet? Orang
Indonesia, orang Thai, orang Pilipina -- khususnya orang-orang yang
berada -- seperti sedang enak-enak mimpi, eh tahu-tahu dibangunin mimpi
buruk. Sebenarnya sudah lama ada frustrasi dalam masyarakat Indonesia, yang
terus meningkat selama 6-7 tahun belakangan ini. Dibuktikan dari
banyaknya pemogokan, dari munculnya huru-hara di sana-sini. Tapi selama
ini angin seolah-olah terus di belakang pemerintah. Maka
kejadian-kejadian itu tidak menjadi ombak. Tapi setelah ngliat bahwa
pemerintah sekarang sudah kena musibah -- akibat kolusi, korupsi,
jatuhnya rupiah, dan macem-macem hal lain -- maka orang merasa bahwa
percik-percik yang munculnya sendiri-sendiri itu ada kemungkinan bisa
berkembang menjadi suatu api. Semua gejala ini sudah nongol di media
massa dan saban hari ada berita baru tentang peristiwa ini, tentang
peristiwa itu. Akibatnya timbul suasana seolah-olah orang lagi menunggu
gong. T: Pak Ben membuat penelitian tentang Jaman Revolusi 1944-46. Pada
akhir Jaman Jepang dan selama Jaman Revolusi itu keadaan ekonomi juga
sulit luar biasa. Menurut orang tua kami banyak orang pakai karung goni
karena nggak punya pakaian. Jaman Jepang itu makan nasi sudah termasuk
mewah karena mayoritas rakyat sudah makan bubur, makan tiwul, makan
gaplek, makan bekicot, daun singkong, dsb. Ratusan ribu romusha
mati atau hilang begitu saja. Kalau mengingat penelitian tentang Jaman
Jepang dan Jaman Revolusi itu lalu membandingkannya dengan keadaan
sekarang, apa catatan Pak Ben? Apa yang sama, apa yang berbeda? J: Jauh berbeda. Jaman Jepang itu adalah jaman yang penuh penderitaan
yang nyata, bukan penuh impian buruk doang. Dan penderitaan tidak dengan
sendirinya menimbulkan kegelisahan. Kalau orang diculik menjadi
romusha, atau sedang setengah mati karena kelaparan, dia tak
sempat menjadi gelisah. Kegelisahan itu timbul justru dari suasana yang penuh
ketidak-tentuan. Yaitu ketika orang merasa bahwa sesuatu sedang terjadi
dengan cepat sekali dengan hasil akhir yang sama sekali tidak jelas.
Jadi orang merasa terpaksa coba-coba untuk berbuat sesuatu supaya tidak
kelewatan arus, atau tenggelam di dalamnya. Kegelisahan di Jaman Jepang
baru timbul pada titik terakhirnya ketika orang-orang mulai mengerti
bahwa Jepang sedang mau kalah. Lalu apa yang akan terjadi? Situasi
seperti itu yang mendorong para pemuda untuk bergerak supaya 'Indonesia
Merdeka' cepat-cepat terjadi dari puing-puingnya rejim Jepang. Dan
sebelum Belanda, Inggris, dan Amerika masuk. T: Bagaimana kalau dibandingkan dengan kegelisahan menjelang
Peristiwa 65? J: Saya kira agak berbeda. Karena Peristiwa 65 itu timbul dalam
suasana ekonomi yang sudah merosot bertahun-tahun dan khususnya ketika
uang rupiah sudah tak ada harga lagi akibat inflasi yang dahsyat. Pada
tahun 65 itu cari orang kaya di Indonesia itu sudah sulit. Lagipula,
konflik-konflik politik makin lama makin tajam. Peristiwa l Oktober 65
memang suatu shock ketika itu terjadi. Tetapi setelah terjadi orang siap
melihatnya hanya sebagai kulminasi dari suatu krisis yang sudah
berlangsung bertahun-tahun. Orang kiri bisa menilai peristiwa itu
sebagai lanjutan dari konspirasi lama yang disiapkan para jendral dan
CIA. Orang kanan bisa menilainya sebagai bukti terakhir dan terserem
dari konspirasi lama yang digodok PKI dan para cokin. Bukannya impian
buruk. Tidak banyak orang ketika itu yang perasaannya shock
seperti sekarang. Eh, sudah biasa mewah kok nggak bisa mewah lagi? Dulu
sering dapat proyek, wah sekarang sudah nggak gampang
lagi. KEPERCAYAAN RAKYAT
T: Rapim Golkar mencalonkan kembali Suharto sebagai presiden.
Menyambut pencalonan kembali ini pada tanggal 19 Oktober 97 Suharto
pidato dengan banyak kata-kata dalam bahasa Jawa. Pidato tanpa teks ini
cukup panjang, banyak topik yang dia bahas. Kami akan tanyakan empat
topik saja: kepercayaan rakyat, lengser keprabon, madeg pandito dan
'ojo-ojo' itu. Di bagian pertama Suharto bilang, "Memanjatkan puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, harus mawas diri atau ngulad sariro hangroso
wani," dst. Lalu dia bertanya, "Apakah benar-benar rakyat masih
mempercayai saya?" Bagaimana Pak Ben menafsirkan bagian pertama ini? Apa
yang Suharto maksud dengan "mengucapkan puji-syukur, mawas diri dan
kepercayaan rakyat" itu? J: Ini semacam sopan-santun atau basa-basi politik saja. Karena
semuanya itu cuman omongan klise yang bisa diucapkan setiap waktu. Kalau
ingin tahu maksud Suharto yang sebenarnya, lihat saja apa yang terjadi
dalam Peristiwa 27 Juli. Bagaimana dia menggulingkan Megawati dan
merusak solidaritasnya PDI. Dari peristiwa itu jelas bahwa dia berusaha
keras supaya Mega dan massanya dihancurkan sebelum pemilu. Jadi mawas
diri itu sama sekali 'ora ono.' Mengapa Suharto omong seperti ini sekarang? Sedangkan tahun lalu,
waktu Peristiwa 27 Juli, tidak. Itu karena dia tahu bahwa sekarang
Indonesia sedang dilanda kebakaran hutan, kelaparan dan krisis ekonomi
yang sangat nyata. Jadi dia cukup mengerti bahwa dia tidak bisa omong
seolah-olah semuanya berjalan lancar. Artinya dia harus omong
seolah-olah emangnya rendah hati, mau mawas diri, dsb. Jadi ini cuman omongan yang biasanya muncul dari seorang boss yang
sebenernya galak. Tapi karena ternyata ada skandal besar di keluarganya
dan di kantornya maka paling sedikit dia harus pura-pura rendah hati.
Walaupun maksud yang sebenarnya adalah siapa yang berani melawan bakal
saya gebugin. Ini cuma sandiwara. Tapi sandiwara yang dicocokkan dengan
keadaan yang menakutkan. T: Beberapa orang menafsirkan "kepercayaan rakyat" yang diomongin
Suharto itu dengan cara berpikir modern. Seperti bikin referendum, bikin
polling, dsb. Apakah dalam alam pemikiran raja-raja Jawa kepercayaan
rakyat itu memang penting? Apa yang dimaksud raja dengan kepercayaan
rakyat itu? J: Raja jaman dulu jelas tidak banyak mikirin pendapat rakyat yang
hampir semuanya buta huruf, hidup di desa-desa yang terisolir, dan
umurnya rata-rata tidak lebih dari 30 tahun. Secara sadar raja Jawa
tidak memikirkan kepentingan rakyat. Tapi kalau kita lihat
kejadian-kejadian dalam sejarah Dinasti Mataram, jelas kepercayaan
rakyat itu penting pada saat tertentu. Bukan kepercayaan bahwa si raja
itu baik, karena itu sangat jarang. Yang penting itu apakah rakyat
percaya bahwa si raja itu masih punya wahyu. Kalau rakyat merasa
wahyunya si raja sudah pindah, ya sulit untuk ditarik kembali. Dan kalau
begitu kesetiaan rakyat bisa lenyap dalam waktu yang singkat. Dari
keadaan demikian si calon raja yang baru bisa mendapat sokongan dalam
banyak bentuk. Jadi masalahnya adalah psikologi masyarakat. Itu penting
jaman dulu dan saya kira tetap masih ada efeknya sampai sekarang. Tapi
sampai kemana ini bakal berpengaruh dalam bulan-bulan mendatang, saya
nggak bisa pastikan.
LENGSER KEPRABON
T: Di bagian lanjut pidatonya Suharto mengatakan seandainya rakyat
tidak percaya lagi maka dia, "Akan menempatkan diri dalam falsafah
suksesi pewayangan." Katanya, falsafah itu adalah, "Lengser keprabon,
madeg pandito." Kalau raja tidak lagi memimpin kerajaan, dia bisa
menjadi pendeta. Bagaimana memahami 'falsafah suksesi' versi Suharto
itu? J: Apa memang ada satu falsafah pewayangan? Apalagi falsafah tentang
suksesi. Jangan lupa bahwa suksesi itu kata Barat. Saya nggak tahu
apakah ada padanannya dalam bahasa Jawa. Tetapi kalau kita lihat di
pewayangan dan di babad-babad, konsep suksesi sebagai suatu proses
konstitusional yang diatur oleh hukum, itu sama sekali tidak ada. Kalau
ada raja baru nongol, itu atas dasar hubungan darah atau dengan
kekerasan. Menarik bahwa Suharto omong tentang falsafah pewayangan dan tidak
bicara tentang falsafah babad-babad. Padahal babad-babad itu adalah
sejarah yang sebenarnya dari dinasti-dinasti Jawa sepanjang jaman.
Sebenarnya, suasana dan moralitas yang nampak di wayang dan di babad itu
berbeda jauh. Di dunia wayang, sampai batas tertentu, norma-norma
moralitas satria sejati lumayan terbukti. Tetapi babad-babad itu penuh
dengan pengkhianatan, dengan kudeta, dengan tipu muslihat, dengan
guna-guna, dan segala macam kebusukan dan kekejaman yang mengerikan. Dalam babad-babad sulit dicari tokoh seperti Arjuna atawa Yudistira.
Sedangkan dalam dunia wayang kita tidak akan ketemu tokoh bangsanya Ken
Arok, Pakubuwono X, dsb. Dan sepengetahuan saya, dalam Babad Tanah Jawi
tidak pernah ada raja yang lengser keprabon. Kalau
di-lengser-keprabon-kan itu ada, dan sering. Lengser keprabon di dunia wayang, misalnya Mahabharata, yang saya
ingat cuma sekali terjadi. Paling-paling Abiyoso. Dan Eyang Abiyoso
gagal sama sekali dalam madeg panditonya. Sebagai akibat pilih
kasih antara putra-putranya -- yang nota bene semuanya ada cacat -- pada
akhirnya cucu dan cicitnya saling membunuh secara mengerikan dalam
perang Brotoyudo. Jadi, repot kalau Mbah Byoso yang dijadikan
tauladan. Dan itu satu-satunya kasus. Jadi kalau dikatakan lengser keprabon itu
adalah falsafah suksesi wayang, itu sama sekali tidak benar! Saya juga
nggak pasti apakah klise 'lengser keprabon madeg pandito'
adalah sesuatu yang betul-betul kuno atau sesuatu yang dibikin-bikin
pada akhir jaman kolonial. T: Apakah pemikiran Suharto ini cocok dengan pikiran Pak Ben tentang,
"The idea of power in Javanese culture." Misalnya tentang
wahyu, sepi ing pamrih, halus, dsb? J: Pidato itu bisa diartikan sebagai usaha seorang raja yang
menghadapi kesulitan yang berat. Lalu dia cari jalan supaya masih tetap
berkuasa. Jaman dulu orang merasa kalau ada gempa bumi, kalau ada
letusan gunung api, ada penyakit menular, semuanya itu pratanda bahwa
wahyu sedang pindah. Dan pasti cukup banyak orang masih punya perasaan
seperti itu. Karena mereka lihat banyak peristiwa yang tidak baik selama
dua tahun belakangan ini bisa timbul gagasan bahwa masa-jayanya Suharto
sedang berakhir. Dan memang, banyak orang menilai bahwa mataharinya Orde
Baru sedang terbenam. Jadi dalam hal itu bisa cocok juga dengan the
Idea of Power in Javanese Culture. T: Bayangan Suharto tentang pemerintahan itu sederhana sekali.
Katanya, "Kerajaan yang dipimpin oleh Sang Nata Batara, Sang Prabu.
Kemudian dibantu oleh Patih yang bertindak sebagai Perdana Menteri.
Disampingnya itu ada Pandita yang mendampingi Sang Nata dalam rangka
perjuangan spiritual." Udah, cuma segitu! J: Dari ucapan Suharto kami juga bisa lihat betapa dia tidak punya
konsep yang jelas tentang kepresidenan. Seolah-olah "presiden" itu suatu
konsep yang kosong atau semu. Sedangkan "raja" bagi dia itu konsep yang
cocok dengan ide-idenya tentang kebudayaan dan tradisi Jawa. Kalau Suharto berpidato resmi semua ucapannya penuh istilah dan
bahasa yang kebarat-baratan: pembangunan yang berkesinambungan,
konstitusi, pertumbuhan ekonomi, dsb. Itu memang pidato-pidato yang
ditulis oleh stafnya di Sekneg. Tapi kalau dia ngomong secara spontan
cara bicaranya berobah 100%. Ingatlah ledakan marahnya di Pekan Baru,
wejangannya yang aneh-aneh didepan KNPI, dimana dia melepaskan diri dari
bahasa resmi. Kalau dia ngomong secara spontan selalu yang nampak adalah
kejawennya. Dari mulut dan benaknya keluar konsep-konsep yang sama
sekali tidak berhubungan dengan jaman modern -- umpamanya pentingnya
Hanacaraka. Kalau mau pakai bahasa kasar, dia itu lagi 'kebadaran.' Suharto ini orang yang complicated. Dia seorang yang
dilahirkan dan dibesarkan dalam masa peralihan dari dunia lama ke dunia
modern itu. Selain itu jangan lupa bahwa pada jaman raja-raja dulu tidak
ada pemilu, tidak ada parpol, tidak ada LSM, tidak ada pers. Jadi sikon
sekarang ini sulit dibandingkan dengan jaman baheula. Bagaimana memahami pidato Suharto itu dalam konteksnya, ketika
Indonesia dilanda krisis ekonomi, kebakaran, kekeringan dan kelaparan?
"Mau tidak mau Suharto mengerti bahwa banyak bencana dibawah
kediktatorannya yang sangat panjang itu. Bencana-bencana itu dus
menyangkut kepemimpinannya baik dari sudut kejawen maupun dari sudut
modern."
MADEG PANDITO
T: Setelah menjelaskan falsafah suksesi itu, Suharto menjelaskan apa
tugas seorang pandito, "Pertama, mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Yang kedua, mengasuh anak cucu dan cicit supaya menjadi orang
yang berguna bagi negara dan bangsa. Kepada masyarakat akan memberi
saran-saran, atau 'wur-wur sumbur.' Kepada penguasa, tut wuri
handayani." Bagaimana Pak Ben memahami tugas pandito versi Suharto
ini? J: Ini sebenarnya agak lucu. Karena dalam dunia wayang pandito itu
kan orang yang dihormati karena pengalamannya dan kewicaksanaannya. Nah,
kalau setelah lengser keprabon, si pandito baru merasa harus mendekatkan
diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa, yah seolah-olah selama hidupnya dia
justeru lumayan jauh dari Tuhan. Jadi ini seperti bau-baunya orang
menjelang mati, coba tobat dikit dong! Apakah ini contoh yang bagus?
Lagipula, perhatikan kata-katanya secara terperinci. Si pandito itu
ingin lebih dekat dengan sifat Tuhan yang mana? Ee, kok Tuhan Yang Maha
Kuasa. Bukankah sebaiknya dan malahan perlu selalu didekatin itu Yang
Maha Pengasih dan Yang Maha Pemaaf? Kalau yang kedua, mengasuh anak-cucu dan cicit. Ya, itu jelas sudah
lama Suharto kerjakan dengan rajin. Tapi kalau diasuh sampai menjadi
orang yang berguna bagi negara dan bangsa, wah itu masih jauh. Perlu
dicatat juga pada jaman dulu konsep 'berguna bagi bangsa' itu nggak ada.
Ketidak-adaan ini bisa dilihat dari memoarnya Pangeran Diponegoro yang
menulis bahwa targetnya adalah "menaklukkan seluruh tanah Jawa."
Bukannya berguna bagi bangsa Jawa. Jadi pikiran "tradisional" Suharto
tentang madeg pandito sama sekali tidak ada hubungan dengan tradisi yang
sebenarnya. Kalau soal tut wuri handayani, itu ajaran Ki Hajar
yang muncul pada akhir jaman kolonial. Asalnya, filsafat birokrat
priyayi jaman Belanda, yaitu "perintah halus." Sama sekali tidak
berhubungan dengan dunia wayang, apalagi dengan Babad Tanah
Jawi. Dari pikirannya tentang madeg pandito ini bisa dilihat bahwa Suharto
punya mentalitas yang beraneka-warna. Ada unsur mental priyayi kecil
jaman kolonial, ada unsur dari wayang, ada unsur Makiavelistis dari
Babad Tanah Jawi, ada sedikit ajaran Ki Hajar Dewantoro, ada sisa
nasionalisme jaman revolusi, ada pengaruh sistim militer yang semula
diciptakan oleh tentara Prusia, dsb. Jadi ini semacam gado-gado. Justru
karena itu, orangnya menarik. T: Dalam cerita wayang banyak tokoh raja atau prabu. Misalnya ada Sri
Rama, Arjuna Sasrabahu, Dasamuka, Subali, Yudistira, Kresna, Baladewa,
Suyudana, Parikesit, dll. Masing-masing punya ciri khasnya sendiri. Pak
Ben pernah bikin buku tentang tokoh-tokoh wayang ini. Kira-kira siapa
tokoh cerita wayang yang sifatnya agak mirip dengan Suharto? J: Saya kira tidak ada. Karena dalam cerita wayang saya tidak ingat
ada tokoh yang berjiwa dingin. Tapi kalau di Babad Tanah Jawi itu
mungkin ada. Ya, bangsanya Senopati itulah. Kalau ingin mencari Suharto,
bagusnya dicek dalam Babad Tanah Jawi. Jangan dicari-cari dalam dunia
pewayangan. Kita juga harus ingat juga bahwa dunia wayang itu diselimuti dengan
suasana tertentu. Yang penting, dan ini berulang-ulang diucapkan oleh Ki
Dalang, semua yang terjadi itu terjadi karena pada akhirnya sudah
ditakdirkan oleh para dewa. Kalau Kresna tidak jujur atau membohongi
Kurawa, itu tidak salah dan tidak perlu dimaafkan atau dijelaskan secara
politik. Karena bagaimanapun Bratayuda ditakdirkan harus terjadi. Dan
tokoh ini atau tokoh itu harus mampus di lapangan waktu perangnya
terjadi. Suasana kosmologis seperti itu sedikit sekali dalam
babad-babad. T: Selama 30 tahun Suharto berkuasa ini, keadaannya mendekati keadaan
dalam Babad Tanah Jawi atau mirip ideal wayang? J: Orang Jawa pada umumnya mengira bahwa dunia wayang adalah dunia
yang realistis tentang masyarakat Jawa di jaman "sangat dulu." Ada
semacam kepercayaan bahwa Pendowo itu emangnya orang Jawa priyayi,
bangsawan Jawa yang sempurna. Orang biasa tidak sadar bahwa Mahabharata
sebenarnya diciptakan oleh seorang penyair Keling. Dan Arjuna versi
aslinya bermukim ditepi Kali Gangga, bukannya di pinggir Bengawan
Solo. Selain itu "sangat dulu" berarti Orang Jawa jelas membedakan antara
dunia wayang dan dunia babad, yang terakhir ini malahan "agak dekat."
Cerita wayang bukan cerita yang diciptakan oleh si penyair ini itu, dan
bukan sesuatu yang perlu dicek kebenarannya. Tapi Orang Jawa mengerti
bahwa babad adalah ciptaan manusia, dan ditulis oleh si Anu di keraton
Anu. Mereka sadar juga bahwa babad-babad itu adalah semacam sejarah,
yang nota bene ditulis oleh Orang-orang Jawa sendiri, bukan oleh
Belanda. Justru karena asalnya babad demikian, si penulis tidak
segan-segan menggambarkan segala macam kejelekan yang dilakukan oleh
raja-raja. Kecuali raja seorang itu yang kebetulan menjadi Gustinya --
tentu saja!
OJO-OJO
T: Bagaimana memahami pemikiran Suharto dibagian akhir pidato ini.
Dari soal suksesi mendadak dia pindah topik, kasih petuah tentang
"ojo dumeh, ojo gumunan, ojo kagetan" itu. J: Mengapa dia pakai bahasa klise itu? Saya kira pertama, karena dia
memang percaya bahwa klise itu punya makna. Kedua, Suharto ini orang
yang biasanya tertutup. Untuk manusia macam ini klise-klise berguna
untuk menyembunyikan perasaannya. Kalau Suharto omong betul-betul spontan, seolah-olah dia nongol di
depan umum cuma pakai celana kolor saja. Seolah-olah topeng
kepresidennya bisa tercopot. Lalu kliatan aslinya. Dugaan saya, di balik
topeng itu dia ini mungkin orang Jawa yang paling dingin. Dinginnya
bukan main. T: Dingin dalam arti bagaimana? J: Dingin dalam arti semuanya diperhitungkan. Kalau kejam, tidak
karena marah tetapi karena pasang strategi. Dia orang yang hati-hati,
curiga, jarang bertindak secara spontan. Kalau dia mencoba ramah, kita
tidak merasa ada kehangatan, malahan ngliat kiri-kanan dimana itu batu?
Jangan-jangan ada udang dibaliknya? T: Bagaimana Pak Ben memahami pidato Suharto itu dalam konteksnya.
Dalam keadaan kekeringan, kebakaran, kelaparan ini? J: Mau tidak mau Suharto mengerti bahwa banyak bencana dibawah
kediktatorannya yang sangat panjang itu. Bencana-bencana itu dus
menyangkut kepemimpinannya baik dari sudut kejawen maupun dari sudut
modern. Saya ingat pada waktu asap kebakaran menghilangkan matari bukan
hanya di Kalimantan dan Sumatra tapi juga sudah menyebar di Malaysia,
Muang Thai dan Filipina, untuk pertama kali Suharto merasa terpaksa
minta maaf. Bukan pada bangsa dewek, tetapi hanya kepada bangsa-bangsa
tetangga. Toh minta maaf macam ini sebelumnya tidak pernah terjadi. Tapi minta
maaf ini artinya rada semu. Karena dia tidak langsung mikul
tanggungjawab secara pribadi. Kan pengrusakan di Kalimantan akibat
kerakusan Bob Hasan dkk yang dikasih hutan begitu luas justru karena
teman main golfnya sang presiden, dan 'Oom'nya anak-anak. Kita harus ingat Suharto bisa bertahta selama 30 tahun justru karena
dia memang lihai dan pinter main politik. Saya kira pidato ini sekali
lagi menunjukkan sifat itu. Dia mengerti kapan dia harus seolah-olah
rendah hati dan mawas diri. Tapi itu tidak berarti bahwa dia tidak ingin
terus pegang kekuasaan sampai dipanggil Yang Maha
Kuasanya.
REAKSI-REAKSI
T: Bagaimana memahami reaksi para pendukungnya yang mengatakan, "Pak
Harto demokrat sejati, negarawan, sangat konstitusional, sangat
bijaksana," dsb? J: Memang pendukungnya harus omong begitu. Itu tiada berarti apa-apa.
Mereka akan bilang apa saja. Dan tidak perlu digubris. T: Kenapa orang-orang yang bukan pendukungnya masih berusaha untuk
menganggap ucapan-ucapan Suharto ini sesuatu yang serius, atau
berhubungan dengan politik modern. Kenapa mereka nggak bilang itu omong
kosong, titik! J: Saya kira ada dua penjelasan. Pertama, mental kelas menengah di
Indonesia yang bagaimanapun dalam hati kecilnya masih merasa bahwa
Suharto itu "Pak Harto." Kalau secara angan-angan mereka "melawan" suatu
rejim yang dianggapnya kelewat korup dan kejam, tapi pemimpin dari rejim
itu masih disebut "Pak Harto," itu menunjukkan bahwa dalam hati kecil
mereka masih merasa dekat dengan penguasa. Siapa tahu nanti bisa
dipanggil menjadi menteri. Saya sudah lama mengatakan kepada anak muda kalau mau betul-betul
menjadi oposisi harus merubah beberapa sikap mental dan kebiasaan
sehari-hari. Pertama, masalah penyebutan terhadap Suharto. Bisa disebut
presiden Suharto karena dia memang presiden. Bisa dikatakan Suharto
saja, karena memang itu namanya. Bisa dikatakan mantan Jenderal Suharto
karena memang dia mantan jenderal. Bisa juga disebut Haji Mohammad
Suharto, karena memang pernah naik haji dengan pesawat terbang bersama
keluarganya dan masuk TV. Tapi kalau sebutan "Pak Harto, Mbak Tutut, Mas
Bambang," yaitu bahasa akrab yang semu, dan itu keluar dari mulut
seorang oposan, yah itu menjengkelkan! Juga menunjukkan bagaimana
orang-orang ini, yang ngaku dirinya oposan, sebenarnya dalam banyak hal
cuma seperti anak kecil yang awe-awe dari jauh. Minta supaya
diperhatikan oleh orang tuanya. Itu penjelasan pertama. Kedua, karena hal yang lebih praktis. Kalau seorang profesor atau
politikus diserbu wartawan lalu ditanya, "Bagaimana komentar tentang apa
yang dikatakan Pak Harto?" Mereka tidak akan berani bilang bahwa omongan
itu nonsense, atau basa-basi kosong. Jadi yang keluar dari
bibirnya cuma yah, 'musti konstitutional,' dsb itu. Jadi ini sebagian
juga akibat keadaan pers. Selama beberapa tahun kita lihat bahwa pers
itu isinya bukan informasi penting, tapi banyak wawancara dan pidato.
Maka itu membosankan banget. T: Dalam wawancara dengan TEMPO Online (34/02, 25 Okt 97) Emha
Ainun Nadjib mengajukan interprestasi begini, "Ia minta ijin, karena dia
merasa sudah waktunya lengser keprabon. Jadi bukan salahnya sendiri
kalau ada orang mencalonkannya. Dia ingin menciptakan lakon dimana
seolah-olah dia diminta oleh rakyat lewat MPR." Apa pendapat Pak Ben
tentang interprestasi ini? J: Saya kira itu benar. Ingat bahwa rakyat tidak pernah bisa bersuara
lewat MPR. Dari 1000 anggotanya nggak ada yang tidak diangkat oleh
presiden dan bisa dicopot oleh presiden. MPR itu bikinan Suharto. Jadi
ini MPR sandiwara. Emha cukup mengerti itu. Selain itu Suharto merasa bahwa mulai tahun lalu, dengan nongolnya
Megawati, seolah-olah arwah Bung Karno sudah kembali lagi untuk
menghadapinya. Lalu nampak bagaimana Suharto dipukul dalam pemilu yang
belakangan ini. Hasilnya diluar rencana dan tidak memuaskan. Karena itu
baik Hartono maupun Harmoko dilengserken. Boleh dikatakan hancurnya PDI
resmi di pemilu itu berarti kebangkitan semacam golput yang
berhasil. Jadi untuk pertama kali selama Orde Baru skenario yang diciptakan
oleh penguasa untuk pemilu berantakan. Di DPR sekarang cuman tinggal dua
partai saja yang berarti. Padahal itu justru sesuatu yang mau dicegah
selama Orde Baru. DPR makin nampak sebagai wayang-wayangan saja. Justru
karena itu, status dan gengsinya MPR harus lebih ditingkatkan lagi, maka
itu mesti sering-sering ditonjolkan.
PERAN GANDA
T: Pidato "lengser keprabon" ini disiarkan seluruh jaringan TV di
Indonesia, dan bikin banyak orang jadi bengong. Terutama anak mudanya.
Mereka kaget. Katanya presiden, kok ngomongnya seperti ini? Kok melihat
dirinya sebagai raja? Bagaimana Suharto bisa menjalankan peran ganda
ini? Sebagai raja dan juga sebagai presiden? J: Ini bisa dibandingkan dengan sepak terjangnya sebagian anak-anak
muda dari Indonesia, Muang Thai atau Pilipina yang ditaroh menjadi
pelajar atau mahasiswa di Amerika. Tipenya anak konglomerat atau pejabat
yang bodo kemudian disekolahkan di sekolah "lunak" di Boston dan LA.
Yang paling rajin mereka pelajari adalah harga segala macam barang di
mall, dan gosip paling anget tentang bintang-bintang film,
bintang-bintang musik, bintang-bintang basket ball, dsb. Mereka rajin
juga mengikuti pertandingan football lalu bisa teriak keras-keras,
"Touchdown!" Maksud kerajinan ini ialah supaya di mata
temen-temennya mereka bisa kliatan paling maju, paling tahu, paling
ngetren. Menyolok bahwa anak-anak ini nggak ada hasrat untuk berhubungan akrab
dengan orang Amerika atau untuk betul-betul mengerti masyarakat Amerika
yang sangat beranekawarna. Kemodernan mereka itu nggak dalam. Tetapi
bisa dipakai sebagai senjata terhadap orang Indonesia lain. Mereka tidak
bener-benar masuk dunia modern di Amerika. Mereka cuma ngambil
kulit-plastiknya untuk bisa pamer kepada bangsa dewek. Kamu kan belum
punya ini? Kamu belum tahu itu kan? Aduuuuh kasihaaaan. Jadi untuk
nongol di panggung saja. Nah mentalnya presiden mungkin sedikit mirip
dengan mentalnya anak-anak penggede yang konyol itu. Buat Suharto dunia yang nyata adalah dunianya di Indonesia. Ya, dia
memang bikin perjalanan jangka 10 hari ke luar negeri. Tapi saya tidak
percaya dia punya orang asing yang betul-betul jadi temannya. Karena
seluruh mentalnya itu terarah kedalam negeri. Dan dia tahu bahwa untuk
menguasai Indonesia dia juga harus kliatan modern. Kalau mesti pidato di
TV, atau ketemu direktur IMF, bossnya Caltex atau duta besar, dia harus
bisa bicara lancar soal anggaran berimbang, defisit anggaran berjalan,
pendapatan perkapita, pemilihan umum, globalisasi. Mobnas termasuk. Tapi
apakah dia betul-betul yakin atas lembaga kepresidenan diantara sekian
banyak kepresidenan di dunia ini? Apa dia yakin betul pada UUD-45? Saya
tidak percaya itu. Mungkin hanya sebagai senjata. Satu contoh saja. UUD-45 dianggap sakral, tak boleh dirobah atau
diganggu-gugat. Tapi UUD-45 ini secara eksplisit mengatakan bahwa daerah
Indonesia adalah daerah bekas Hindia Belanda. Kalau gitu, pencaplokan
Tim Tim jelas melanggar UUD-45. Tapi penguasa senyum-senyum saja, nggak
peduli. Jangan lupa bahwa Suharto adalah seorang yang dibesarkan di desa,
lalu ikut KNIL. Tingkat pendidikannya cuma MULO dan Muhammadiyah di
Jaman Belanda. Lalu pada tahun 1967 bisa jadi presiden. Jadi, ya mungkin
dia sendiri heran. Kok saya bisa jadi presiden? Terus mungkin kaget.
Emangnya aneh. Berbeda dengan sejarahnya Ken Arok. Dia itu seorang
bajingan desa yang tahu-tahu jadi raja Singosari, suatu desa dikaki
Gunung Kawi. Lumrah, kan? Tapi kalau si Ken Arok jadi presiden, ya itu
luar biasa. T: Apakah pidato Suharto ini bakal dipercaya oleh pemuda jaman
sekarang. Apa mereka bisa mengerti maksud Suharto dan kemudian menuruti
kemauan Prabu Suharto? J: Wah, saya nggak bisa jawab. Karena sudah begitu lama nggak ke
Indonesia. Tapi saya kurang percaya kalau kebanyakan anak muda bisa
dikelabuhin oleh pidato yang beginian. Apalagi banyak anak muda melihat
sendiri apa yang terjadi tahun lalu, dalam Peristiwa 27 Juli. Setidaknya
mereka juga ingat bahwa selama ini Suharto tidak merasa
bertanggung-jawab secara pribadi atas bencana-bencana besar yang sudah
terjadi. Kalau rupiah jatuh, itu bukan salah dia. Kalau ada kebakaran di
Kalimantan dan Sumatra, lalu jutaan orang menderita, itu juga bukan
salah dia. Seolah-olah dia sama sekali tidak punya salah. Saya kira cari
orang muda yang betul-betul percaya pidato ini mungkin sulit. Tapi saya
tidak bisa buktikan itu. Ini perlu ditanyakan kepada orang-orang di
lapangan. Salah satu gejala menyolok dalam berbagai krisis sekarang ini adalah
karena jenderal-jenderal itu dieem saja. Mengapa? "Mereka nggak bisa
menemukan dalangnya, karena dalangnya itu punya bintang lima. Kalau mau
"tembak di tempat," ya ayo cepat-cepat ke istana, kan? Jadi mereka agak
kesulitan."
BIKIN DINASTI
T: Banyak orang mengamati nepotisme dalam MPR yang baru diangkat.
Bukan hanya karena tokoh-tokohnya itu orang-orang yang dekat dengan
Suharto. Karena selain adik-adiknya, anak-anak dan menantu, ada juga
pengawal, ajudan, dsb. Tetapi banyak tokoh yang juga memakai kesempatan
dekat dengan presiden ini untuk mengangkat istrinya atau anak-anak
mereka sendiri untuk duduk di MPR. Misalnya Ginanjar membawa 3 adik dan
satu anaknya. Wiranto membawa istri dan anaknya yang baru berumur 21
tahun. Beberapa gubernur (Sumbar, Kaltim, Sumsel, Jambi) datang dengan
istrinya. Beberapa menteri juga datang dengan istri mereka. Seperti
Hartono, Harmoko, Feisal Tanjung, Yogie, Sjarifuddin Baharsyah. Menurut
Ketua Golkar, "Nggak ada nepotisme. Mereka punya prestasi." Menurut Pak
Ben gimana? J: Kita harus ingat bahwa enggak ada orang yang duduk di MPR kalau
tidak disetujui oleh Suharto. Jadi kalau bininya Sjarifuddin Baharsyah
dicalonkan tapi Suharto bilang "no," ya tidak bisa naik. Begitu
juga anaknya Wiranto yang umurnya 21 tahun itu. Ini semacam sifat dari
sistim patronagenya Suharto. Karena kamu baik, maka saya kasih
tempat untuk kamu sama anakmu dan binimu. Dus punya anak-bini di MPR
cuman salah satu atribut bagi orang-orang yang untuk sementara disenangi
oleh penguasa. Tapi jangan lupa kalau mulai bikin jengkel si penguasa,
maka setiap saat siapa saja bisa direcall. Ingat kasus Sri Bintang,
Marzuki Darusman, Bambang WK, Aberson, dsb. Kita bisa mengerti semuanya dari sudut patronage. Presiden
sendiri tahu bahwa di mata banyak orang, termasuk juga orang luar
negeri, rejimnya dianggap nepotis. Karena Keluarga Besarnya -- yang
emangnya lumayan besar -- ikut-ikutan berkuasa dan ambil untung. Nah,
mungkin dia ingin kasih lihat seolah-olah itu hal yang normal di
Indonesia. Bukan hanya dia saja, tapi semua orang Indonesia juga begitu.
Anak orang lain juga "punya prestasi." Tidak hanya Tommy yang gede
prestasinya kan. Sebenarnya gejala ini sudah lama dan banyak terjadi di Asia Tenggara
pada umumnya. Di Kongres Pilipina juga banyak muncul dinasti. Kalau
suami jadi gubernur lalu istrinya menjadi wakil di DPR, itu dianggap
lumrah. Dalam politik di Muangthai itu bini dan anak juga masuk DPRnya
atas dasar kekuasaan lokal, duit, senapan, dsb. Kalau gejala ini makin
meluas di Indonesia itu mungkin berarti semacam proses Pilipinisasi atau
Thailanisasi dari politik Indonesia dalam rangka semangat ASEAN. Bisa
saza masuk 'Asian Values,' lho.
TOKOH-TOKOH
T: Beberapa tokoh dalam masyarakat menjadi lebih keras suaranya.
Misalnya Amien Rais. Dalam diskusi di LBH, ketika didesak Permadi apakah
dia berani mencalonkan diri sebagai presiden, Amien bilang, "Insya Allah
saya berani karena kita mempunyai cita-cita sama" (D&R 4 Okt).
Kemudian dalam wawancara dengan D&R Amien mengajukan beberapa isu
penting. Misalnya soal demokrasi, kejujuran seorang pemimpin,
keberagaman masyarakat, visi ke depan, mampu bekerjasama, dsb. Ada tiga
soal yang dianggap paling penting oleh Amien. Soal pengelolaan kekayaan
alam, soal pemerintahan yang bersih dan soal kualitas sumber daya
manusia. Bagaimana Pak Ben memahami pemikiran Amien Rais ini? J: Saya kurang mengerti pertanyaan ini. Karena yang Amien Rais
omongin itu boleh dikatakan klise. Ribuan orang sudah membicarakan itu
selama puluhan tahun. Saya tidak melihat ada apa-apa yang istimewa atau
yang baru. Omongan seperti itu sangat umum, sangat moralistis. Ya, baik
juga. Tapi saya tidak melihat ada apa-apa yang luarbiasa. Kita harus bisa membedakan antara omongan dan tindakannya. Kalau dia
bilang presiden harus dipilih, ini omongan yang saya anggap klise. Kalau
dia bilang saya bersedia untuk dicalonkan sebagai presiden karena saya
jelas bersih, baik, demokratis, jujur, dsb. Itu bagus. Tetapi itu masih
omongan. Yang penting kan tindakan? Lihat saja nanti apakah dia akan
meneruskan omongan dengan tindakan? Insyallah. T: Tapi pendapat Amien Rais ini menjadi berita besar. Mengapa? J: Kalau dengan omongan begitu saja lalu jadi heboh di koran, itu
cuman karena pers di Indonesia begitu dikekang. Pers haus berita tapi
banyak berita tak boleh diterbitkan. Omongan seperti ini sama sekali
tidak akan menjadi berita di negara yang persnya agak terbuka. Akan
dianggap, ya biasa-biasa saja. T: Apa Pak Ben mengamati kata-kata atau ucapan menarik dari tokoh
lain dalam lakon "Lengser Keprabon" ini? Apa ada ide atau ucapan yang
sudah Pak Ben catat dari Habibie, Gus Dur, Megawati, Sarwono, Siswono,
Mar'ie, Wiranto, Agum Gumelar, Prabowo, atau yang lainnya? J: Sama sekali tidak ada.
JENDERAL-JENDERAL
T: Salah satu hal yang kami amati selama berbagai krisis terjadi
adalah hampir tidak terdengar suara jenderal yang biasanya galak. Tidak
ada jenderal yang ngomong keras atau membuat analisa tajam tentang
kebakaran hutan, kekeringan atau krisis ekonomi. Biasanya kalau ada
apa-apa jenderal-jenderal lalu mencari, "Siapa di belakangnya?!" Atau
mereka ngumpulin wartawan lalu membanggakan analisanya yang sudah
berhasil, "Menemukan dalangnya." Atau ada jenderal yang akan
mengeluarkan perintah yang lebih buas lagi, "Tembak ditempat!" Sekarang
mereka dieeem saja. Mengapa? J: Mereka nggak bisa menemukan dalangnya, karena dalangnya itu punya
bintang lima. Kalau mau "tembak di tempat," ya ayo cepat-cepat ke
istana, kan? Jadi mereka agak kesulitan. Apalagi ini masalah yang luar
biasa besarnya. Kebakaran hutan, krisis ekonomi, dan kekeringan ini
bukan masalah 30 anak muda bikin demonstrasi di Surabaya. Bukan beberapa
orang Dayak ngamuk di Pontianak. Ini masalah yang para jenderal sendiri
tidak bisa bereskan. Mereka tidak bisa mengatasi kebakaran hutan. Mereka
tidak mengerti seluk beluknya krisis ekonomi. Jadi yang paling aman
mereka tutup mulut saja. Apalagi mereka pasti sedang nunggu-nunggu, apa
yang akan terjadi dalam situasi krisis ini? Kalau sekarang salah langkah
bisa-bisa mencilakakan karir selanjutnya. T: Diemnya itu karena memang nggak ngerti masalah atau untuk
menyelamatkan diri? J: Ya mereka mau cari aman. Karena keadaan sekarang ini sama sekali
tidak bisa disalahkan kepada PRD, "es-krim" kiri-kanan, dsb. Masak PRD
bisa bikin kebakaran di Kalimantan? Yang bener aja. Atau masa 'bahaya
laten' bisa borong bermilyar-milyar dolar, bikin krisis ekonomi? Tidak
masuk akal kan? T: Dalam wawancara dengan D&R (27 Sept) Arief Budiman
mengatakan, "Kalau bicara tentang ABRI, kita bicara ABRI sebagai siapa
dulu. Kalau orang-orang yang menduduki posisi strategis, saya kira
mereka setuju (dengan naiknya Pak Harto) karena mereka tergantung pada
Pak Harto. Tapi ABRI kan ada macam-macam: ada bawahannya dan ada
orang-orang sempalan yang nggak puas di ABRI." Selanjutnya kata Arief,
"ABRI sempalan ini menunggu momentum atau saat yang baik." Setuju
nggak? J: Itu sulit diterka. Saya dapat kesan sekarang ada semacam
tawar-tawaran antara Suharto dengan "Kaum Serdadu." Karena kita lihat
kelompok Wiranto seolah-olah "boleh" menggeser Prabowo dkk. Lalu ada
kemungkinan Wiranto bakal jadi Pangab. Mungkin juga ada semacam
tawar-tawaran tentang siapa yang akan menjadi wapres. Kalau ada kelompok-kelompok sempalan, itu saya percaya. Tapi kita
nggak tahu mereka itu nggak puasnya sejauh mana. Dan pasti
ketidak-puasan tahun lalu berbeda dengan ketidak-puasan tahun ini.
Karena krisis ekonomi sekarang ini sudah memukul setiap warganegara.
Setiap tentara, termasuk jenderalnya, juga kena. T: Apa ada dasar atau alasan kuat yang membuat elite tentara itu
pecah? J: Saya lihat faktor yang mungkin bisa membuat mereka pecah adalah
kalau Prabowo dan 'geng'nya dikasih kesempatan yang luar biasa. Tentara
bakal lihat ada faktor nepotisme di pimpinan angkatan bersenjata. Itu
bisa jadi sumber perpecahan di militer. Kalau seandainya pemerintah
ingin mempertajam lagi masalah abangan lawan santri, itu juga bisa
menjadi sumber perpecahan. Tapi saya lihat belakangan ini seolah-olah
ICMI sudah masuk tempat sampah politik. Dalam pemilu umpamanya --
seolah-olah 100% absen. Jadi mereka sudah tidak lagi bikin jengkel
tentara. Kalau tentang masalah kaya dan miskin dikalangan tentara? Yang
menarik selama 10 tahun belakangan ini kita jarang sekali mendengar
tentang jenderal yang bilyuner. Jaman jenderal yang super kaya seperti
Ibnu Sutowo dkk itu sudah jauh lewat. Kalau pada tahun 70-an orang
Indonesia ditanya siapa orang yang paling kaya, semuanya tahu
jawabannya. Kalau bukan Suharto, ya tentu Ibnu Sutowo. Belakangan ini
keadaannya sama sekali lain. Pasti bukan baju-ijo.
ISU SARA
T: Dalam salah satu seminar Rudini (LPSI) dan Adi Sasono (CIDES)
mengajukan ide untuk, "membuat undang-undang khusus untuk membatasi aset
yang dikuasai pengusaha non-pri." Pernyataan ini mengejutkan banyak
pihak. Kemudian dalam "Dialog Nasional" tentang pri-nonpri yang diadakan
oleh CIDES dan Republika tgl 28 Oktober 97 lalu banyak tokoh
diundang untuk bicara. Misalnya Sayidiman, Sofyan Wanandi, Jusuf Kalla,
ZA. Maulani, Onghokham, A. Dahana, dll. Mengapa soal SARA ini muncul
kembali pada saat ini? J: Pertama, yang menarik itu, Rudini dan Adi Sasono kok tidak
ditangkep karena menimbulkan isu SARA. Padahal ini jelas suatu usul yang
berbau rasialis. Syukur alhamdulillah mereka aman-aman saja. Kedua, saya
kira isu ini timbul dalam suasana dimana ketegangan antara pri dan
non-pri makin terasa. Dan dalam suasana dimana semua orang yang sadar
politik mengerti bahwa biang keladi dari kebakaran yang menimpa
Indonesia dan negara-negara tetangga itu di antara tokoh utamanya justru
orang-orang non-pri bangsanya Bob Hasan, Prayogo Pangestu, dkk. Sikap Bob Hasan selama kebakaran juga kliatan sombong sekali. Dan itu
menjengkelkan banyak orang. Dia sama sekali tidak mau ambil
tanggung-jawab, malahan secara gendheng menyalahkan orang-orang Dayak
atau petani dan transmigran miskin. Padahal foto satelit dan malahan
Menteri Perhutanan sudah membuktikan bahwa dia sendirilah salah seorang
biangkeladinya. Kesombongan dari kelompok kecil konglomerat non-pri itu
memang tidak kalah dengan kesombongan keluarga istana. Jadi ini suatu
isu yang setiap waktu bisa meletus dan bisa dipakai oleh kelompok
tertentu untuk kepentingan politiknya. Tapi kalau Rudini dan Adi Sasono mengajukan ide ini saya kira mereka
sedang cari angin untuk masa depannya sendiri. Boleh dikatakan dalam
setiap krisis bakal ada orang yang kerjanya mencari kambing hitam sambil
memancing di air keruh. Dan mengkambing- hitamkan non-pri itu gampang.
Tapi bukan hanya non-pri yang bisa dijadikan kambing hitam. Banyak! T: Mungkin juga ada keinginan jadi pahlawan dalam suasana kacau
ini? J: Iya, pasti. Rudini mungkin hendak menempatkan diri sebagai orang
yang secara tidak langsung berani ngritik Suharto. Seolah-olah Rudini
bilang kalau jadi presiden saya akan lebih baik dari yang sekarang.
Tidak akan tergantung pada konglomerat non-pri. Kalau Adi Sasono harapan
jadi presiden itu kecil. Jadi ini mungkin bisa diartikan sebagai usaha
mencari pengaruh dalam kelompok-kelompok Islam yang saling bersaing. T: Dalam majalah D&R 18 Okt dan 25 Okt ada debat antara
Hikam dari LIPI dengan Achmad Sumargono, Ketua Pelaksana Komite
Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam atau KISDI. Yang diperdebatkan
adalah kasus somasi (panggilan ke pengadilan) KOMPAS yang
diajukan oleh KISDI. Setelah disomasi oleh KISDI itu KOMPAS
bagi-bagi duit, pasang iklan dimana-mana, bayar ke si ini, bayar ke si
itu. Bagaimana Pak Ben memahami perdebatan Hikam itu? Dan bagaimana
tentang kasus somasinya? J: Hikam bilang ada sekelompok elite yang mengangkat diri mewakili
umat Islam sekaligus jadi polisi kebenaran dengan dalih membela
kepentingan umat. Di mata Hikam tindakan macem ini jelas tidak benar.
Sedangkan Sumargono jawab mustahil ada orang yang benar-benar mewakili
umat Islam Indonesia. Ini bukan jawaban terhadap apa yang dikatakan
Hikam. Seharusnya Margono bilang KISDI itu tidak mewakili umat dan bukan
lembaga yang pakai dalih membela kepentingan umat. Tapi apa bisa
dia? Kesan saya, yang lebih penting, kasus somasi ini menunjukkan ada
semacam -- ya, istilahnya mungkin agak keras -- 'premanisasi' di
kalangan Islam. Seolah-olah KISDI mengancam KOMPAS seperti
seorang 'debt collector' mengancam cukong. KOMPAS ada
dalam posisi seorang konglomerat atau businessman. Dari pada
susah-susah, kasih aja duitnya! Terus preman-preman itu ambil duitnya.
Dan, ya sudah, masalahnya selesai. Tapi sekali waktu preman macam begini
akan datang lagi karena mereka pernah sukses besar dengan begitu
gampang. Saya kira pendapat Hikam betul. Kedua belah pihak -- baik
KOMPAS maupun KISDI -- tidak benar. Jakob memang betul-betul
mainkan peranan konglomerat non-pri. Sedangkan kelompok KISDI ini
mainkan peranan 'tukang tagih' macem Yapto atau Yoris. Kasus ini tidak
bagus untuk kepentingan umum. Apalagi untuk kepentingan umat dalam
jangka panjang. T: Ketika krisis ekonomi melanda Asia Tenggara Mahathir menuduh Soros
dan konglomerat Yahudi sebagai biang keladinya. Walaupun dia
satu-satunya tokoh Asia Tenggara yang mengatakan ini tetapi banyak orang
yang percaya. Tokoh yang lain -- Chavalit, Ramos, Goh Chok Tong dan
Suharto -- tidak punya pikiran seperti ini. Mengapa ide seperti ini
muncul? Dan mengapa banyak pendukungnya? J: Kalau Mahathir punya pikiran demikian, itu tidak mengherankan.
Kalau baca buku "The Malay Dilemma" yang dia terbitkan
pada tahun 50-an di Malaysia, kita bisa lihat bahwa mentalnya dari dulu
penuh dengan prasangka-prasangka rasialis. Kerangka berpikir dia dalam
menghadapi masalah adalah "ras ini begini, ras itu begitu." Bukunya
penuh kecurigaan dan konspirasi khayalan. Ini buku ditulis 40 tahun yang
lalu dalam situasi yang jauh berbeda dengan jaman sekarang. Tapi saya
lihat memang Mahathir orangnya begitu. Jadi nggak aneh juga kalau dia
omongin makar Yahudi se-Dunia. Tapi sebenarnya itu tidak penting, karena
bagaimanapun dia itu cuman seorang perdana menteri dari suatu negara
kecil yang dalam konteks global sebenarnya nggak banyak artinya. Apa dia punya banyak pendukung? Itu saya masih belum lihat. Mungkin
saya kurang mengikuti koran-koran dan majalah-majalah. Tapi saya tidak
melihat banyak orang langsung membela Mahathir. Malah ada beberapa
pejabat Malaysia yang secara tidak langsung memperlihatkan rasa malu
atas gegabahnya mereka punya boss. T: Sejauh mana peranan konglomerat Yahudi dan Tionghoa dalam krisis
ekonomi Asia Tenggara? Karena mereka ini memang orang-orang yang
betul-betul punya duit banyak dan juga punya jaringan internasional. J: Ini bukan masalah suku atau ras. Masalahnya orang-orang
spekulator! They come from all over the world. Tidak hanya
Yahudi atau Tionghoa. Everybody has been speculating. Yang mula-mula
menimbulkan krisis -- mereka yang bikin begitu banyak hutang -- ada
konglomerat Tionghoanya, tapi banyak juga yang pribumi. Dan bukan
orang-orang gede saja. Di Muangthai, umpamanya, selama 10 tahun belakangan ini saya lihat
siapa saja yang punya duit sudah ikut spekulasi di sektor properti.
Banyak orang yang bangun gedung-gedung tinggi, kemudian gedung-gedung
itu kosong karena nggak ada penyewanya. Atau beli kondo dengan harapan
dua bulan lagi bisa dijual dengan harga dua kali lipat. Yang "bikin
gara-gara" adalah seluruh kelas menengahnya. Di Indonesia juga mirip
kan? Bupati itu, bini pejabat ini, seluruh kelas menengah itu mau cepet
kaya dengan spekulasi, bukan dengan produksi. Malaysia juga begitu. Jadi
siapa biangkeladi yang sebenarnya? Yah, bangsa dewek.
NASIONALISME SUHARTO
T: Kami sering mendengar Suharto memperjuangkan kepentingan nasional.
Misalnya dengan munculnya proyek mobil nasional, motor nasional, pesawat
terbang nasional. Tapi disisi lain kami lihat nasionalisme itu tipis.
Misalnya dengan hutang nasional yang sudah mencapai rekord nasional.
Menurut Econit, setelah pinjaman IMF yang baru ini maka total hutang
sudah sampai US$145 milyar. Untuk bayar bunga dan cicilannya saja sudah
bakal bikin repot seluruh rakyat. Kami lihat juga boss-boss itu tidak
banyak peduli dengan jutaan penduduk yang terkena bencana "asap
nasional" itu. Suharto sendiri cepat sekali "minta petunjuk IMF" ketika
ekonomi nasional kacau. Bagaimana memahami nasionalisme Suharto ini? J: Saya nggak begitu jelas dengan pertanyaan ini. Prinsip mobil
nasional itu saya tidak anti. Tapi kalau mobil nasional dibikin oleh
orang Korea, itu kan dagelan saja. Tapi ini bukan di Indonesia saja. Di
Malaysia juga yang dianggap mobil nasional itu nggak mungkin jadi kalau
bukan Jepang yang urus. Kalau pinjam duit di luar negeri, ya nggak
apa-apa asal bisa bayar pada waktunya. Masalahnya karena mereka sudah
minjem lalu tidak mau bertanggung jawab. Mau seenaknya pinjam tanpa
memikirkan kemungkinan krisis ekonomi di kemudian hari. Kalau perkara bencana asap nasional saya merasa sukar membayangkan
kalau boss-boss itu memang perduli. Bagaimana kalau besok pagi Bob Hasan
nongol di TVRI dan nangis mikirin nasib anak-anak suku Dayak yang
'diasep' itu. Siapa akan percaya? Apa ini tidak lebih konyol lagi?
Mungkin lebih baik mereka pura-pura tidak peduli. Nasionalisme Suharto saya kira ada. Bagaimanapun juga dia produk dari
revolusi. Cuma itu suatu nasionalisme yang sangat konservatif. Dan dia
tidak membedakan antara kepentingan bangsa dan kepentingan dirinya
sendiri.
ARUS TUNGGAL
T: Pak Ben pernah menulis makalah untuk seminar tentang "Demokrasi di
Indonesia" di Universitas Monash tahun 92. Waktu menutup makalah itu Pak
Ben bilang, "We do not exactly feel today that we are in an Age in
Motion, but we are in an era where there is a stronger sense of a single
'arus' than at any time in the last half century." Apa yang Pak Ben
maksud dengan 'arus' itu? Apakah sekarang arus itu semakin jelas? J: Pada waktu menulis itu maksud saya bukan kata 'arus' yang harus
digaris-bawahi. Tapi kata 'single.' Sampai tahun 60-an masih banyak
orang di dunia percaya bahwa kapitalisme akan hancur. Bahwa sosialisme
adalah masa depan manusia. Tapi sejak 10 tahun belakangan ini banyak
orang merasa sebaliknya. Karena amblesnya Uni Soviet, selesainya perang
dingin, dan suksesnya Tiongkok Komunis menjadi juara No. 2 di dunia
dalam rangkaian korupsi besar setelah Indonesia yang terkenal
anti-Komunis. Dengan selesainya Perang Dingin orang semakin merasa bahwa
kapitalisme itu adalah satu-satunya masa depan. Kalau sekarang ditanyakan gimana maunya negara-negara Dunia Ketiga
ini? Rasanya tidak bakal banyak menimbulkan perdebatan. Saya tertarik
pada apa yang diucapkan oleh si Jiang, anak emasnya Deng Xiao Ping,
waktu barusan mengunjungi Amerika. Dia cepet-cepet ke Wall Street, ke
Harvard dan bilang, "Kami juga mau demokrasi, lho. Kami juga menghormati
ini-itu, kok." Yang menyolok dalam kalimat ini adalah kata 'juga.' Kita lihat perbedaan besar dengan yang diucapkan oleh tokoh-tokoh
politik dunia pada tahun 50-an. Misalnya di PBB Bung Karno pernah
bilang, ayo kita rame-rame "Membangun Dunia Kembali." Ada juga yang
ngomongin, "Ayo kita hapuskan itu penghisapan manusia oleh manusia,"
dsb. Sekarang ini jarang sekali kita denger omongan begitu. Memang ada
satu usaha untuk bikin arus baru yang sedikit menyimpang dari
kemonotonan global, yaitu dicetuskannya konsep "Asian Values."
Tapi nggak laku. T: Nggak laku di Asia atau nggak laku untuk dunia pada umumnya? J: Saya kira semua tahu, "nilai-nilai Asia" ini cuma omongan
penguasa-penguasa otoriter untuk memperkokoh rejimnya dan omongan kawan
se'geng' di lapangan internasional. Orang di Asia pada umumnya tidak
merasa dirinya 'Orang Asia.' Mereka baru menjadi Orang Asia kalau ada di
Amerika atau di Eropa. Dan itu biasanya hanya atas dasar warna kulit,
bentuk mata, dan potongan badan saza di tengah orang-orang bule yang
belum tahu Indonesia atau Laos itu dimana letaknya. Kalau orang
Indonesia mangkalnya di Blitar, dia tidak merasa diri sebagai "Orang
Asia." "Asian Value" itu cuman fantasi dari segelintir pejabat, dan
hanya dipamerkan di luar negeri. Nilai-nilai yang sebenarnya hidup dalam
masyarakat Asia, ya nilai-nilai beriman, nilai-nilai Budha, Islam,
Kristen, Katolik, dsb. Dan itu bukan nilai-nilai Asia.
KEBADARAN
T: Dalam wawancara tahun lalu (Apakabar, 11 Juli 96), Pak Ben memakai
istilah 'malihan' untuk menggambarkan raksasa jahat yang bisa
merubah dirinya menjadi satria yang halus dan baik budi. Tapi pada titik
terakhir lakon raksasa malihan ini topengnya jatuh. Itu disebut
'kebadaran.' Apakah keadaan sekarang ini masih cocok dengan lakon
"satria malihan yang kebadaran" itu? J: Masih. Cuma belum sampai goro-goro. Tapi Togog dan
Bilung1) sudah masuk di 'kelir,' sudah nongol di layar. Kalau Suharto bicara spontan terlihat sebenarnya raja ini tidak paham
sejarah, tidak paham tradisi etniknya sendiri, tidak paham agamanya
sendiri, dsb. Mengapa begitu banyak orang bisa ketipu, begitu banyak
orang pinter yang sempet dibodo-bodoin? Dan mengapa bisa ditipu begitu
lama? Dimana rahasia 'kesaktian'nya Prabu Suharto ini? Menurut Pak Ben,
"Saya kira orang Indonesia pada umumnya ndak tertipu, mereka tahu siapa
Suharto. Buat mereka yang penting adalah ekonomi yang diciptakannya,
bedil yang dipergunakannya, dan ketiduran-pasca-trauma besar yang
diaturnya." Dan apa rahasia Dinasti Mataram yang bisa berumur panjang
(400 tahun)?
KELUARGA RAJA
T: Untuk mempertahankan kekuasaan raja jaman dulu mau mengorbankan
orang tuanya sendiri, anaknya, menantunya, sahabatnya, dsb. Apakah
gejala itu juga terlihat dalam sejarah raja Suharto ini? J: Yah, lakonnya Suharto belum selesai. Selama 30 tahun belakangan
ini justru dia selalu berusaha untuk menjaga kepentingan Keluarga
Besarnya. Baru sekarang timbul gejala pencekalan terhadap Probo, Bambang
cs dalam situasi yang kepepet. Tapi nasibnya si Sigit memperlihatkan
bagaimana akibatnya kalau 'putra mahkota' bikin jengkel si sinuhun. Yang lebih penting adalah fakta bahwa Presiden adalah jabatan yang
sangat berlainan dengan jabatan Raja. Presiden adalah jabatan modern,
yang berdasarkan UUD dan hukum yang sedang berlaku, plus 'mewakili'
bangsa. Raja-raja dulu tak pernah merasa menjadi wakil bangsanya. Jaman dulu di Eropa seorang raja bisa menambah luasnya kerajaan
dengan kawin dengan putri raja lain yang membawa sebagian dari kerajaan
babenya sebagai, yah semacam 'mahar.' Pada jaman nasionalisme modern itu
tidak mungkin lagi. Sehingga perkawinan pembesar menjadi hal pribadi,
tanpa efek politik. Jaman dulu dianggap lumrah kalau putra-putra si raja
dikasih jabatan penting, dan putri-putrinya didagangkan ke raja lain
atawa bangsawan yang tinggi. Itu semua bagian dari 'seni'nya menjadi
raja yang sukses. Itu lumrah. Makanya pada jaman dulu konsep nepotisme
yang negatip itu tidak ada dalam kamus Jawa, Sunda, Batak dan lainnya.
Tetapi jaman sekarang praktek-praktek tadi dicap sebagai nepotisme dan
dianggap irrasional dan anti-demokrasi. Selain itu, Asia diluar cengkeraman agama Kristen dengan tabiat
resminya yang monogami. Raja-raja Asia biasa berbini banyak, sehingga
anak-anaknya bisa jadi ratusan. Padahal 'warisan' si Babe itu terbatas
dan harus dibagi-bagi. Bagaimana caranya supaya anak-anak tidak jadi
tengkar mati-matian? Nggak ada! Makin berbiak, makin seru persaingan
diantara keturunannya. Apalagi ketika Belanda masuk dan berangsur-angsur
menarik bagian-bagian dari pulau Jawa menjadi bawahan Batavia. Dengan
demikian 'warisan' tadi makin lama makin ciut. Jadi tambah serulah
kompetisi. Diponegoro semula berontak karena tak kebagian yang
semestinya. Dan pada akhirnya raja-raja Jawa terpaksa hidup dari
subsidi-subsidi dari pusat, dari Kumpeni. Mirip gubernur-gubernur
sekarang harus hidup dari subsidi yang dibagi-bagi Pusat, biar mereka
jinak. T: Kalau tentang sabahat-sahabatnya? J: Hubungan pertemanan itu kan hubungan yang setara, tidak ada yang
lebih atas atau lebih bawah. Karena raja -- orang yang berkuasa mutlak
-- merasa dirinya wakil atau utusan atau titisan dewa, maka dia anggap
tidak ada orang yang setara atau sama dengan dia. Selain itu, karena
tidak ada hukum, konstitusi, dsb, maka raja merasa setiap saat dia bisa
saja dilengserkan. Karena itu dia selalu penuh kecurigaan. Dalam
babad-babad kata 'teman' itu juga tidak pernah nongol. Raja-raja di
Eropa juga tidak punya teman. Apa Suharto punya sahabat? Saya belum
pernah dengar.
BONEKA 'ARUS TUNGGAL'
T: Begitu ekonomi mau ambruk, cepat sekali IMF datang dan memberi
utang baru U$23 milyar. Kalau ditambah dengan bantuan negara-negara
donor, utang barunya mendekati U$40 milyar. Mengapa IMF begitu murah
hati? Dan apakah gejala ini juga terlihat dalam hubungan antara Dinasti
Mataram dengan Kumpeni dan pemerintah Hindia Belanda? J: Yah jelas. IMF dan World Bank sama sekali nggak punya maksud untuk
menggulingkan Suharto atau menggoyangkan stabilitas negara-negara di
Asia Tenggara. Mereka cuman ingin supaya Jakarta taat pada peraturannya,
menjadi "anak baek-baek." Mereka sendiri tidak tahu bagaimana jadinya
Indonesia nanti kalau mereka terlalu keras. Jaman Kumpeni lain. Belanda juga berniat memakai raja-raja kecil
bawahannya demi Rust en Orde, kalau dipribumikan sekarang
menjadi 'kamtib,' keamanan dan ketertiban itu. Raja-raja itu baru
digulingkan kalow 'mbalelo.' Dan sikap mbalelo jarang
nongol. Tapi pada jaman itu Kumpeni punya banyak kartu yang baik. Dan
Kumpeni tahu, kalau raja ini-itu ditumbangkan, masyarakat yang 95%
petani buta huruf itu tak akan banyak tahu-menahu atawa peduli. 'Masa
depan' Jawa pada masa itu jauh lebih terang di mata si bule, daripada
masa depan Indonesia sekarang ini. T: Dinasti Mataram umurnya 400 tahun. Sejak didirikan oleh Senopati
sekitar 1584 sampai Hamengku Buwono-10, Paku Buwono-12, dsb sekarang
ini. Mengapa dinasti ini bisa bertahan begitu lama? Misalnya kalau
dibandingkan dengan Dinasti Majapahit yang cuma 200 tahun. Majapahit
mulai sejak didirikan Raden Wijaya 1293 s/d Brawijaya-5 yang dikabarkan
'mukso' atau 'menghilang' di puncak G. Lawu tahun 1520. J: Mataram bisa panjang umur karena bersedia menjadi hamba Kumpeni.
Seharusnya dinasti ini habis dengan larinya Amangkurat-I ke Tegalarum
mencari bantuan dari Kumpeni. Atau habis ketika kraton Kartasura
diporak-porandakan oleh Geng Cokin yang berani anti-Belanda. Tapi
Belanda melihat bahwa dinasti ini tak punya watak yang jantan. Mereka
gampang diperalat asal dikasih subsidi, dibangunin kraton-kraton baru,
asal ada basa-basi dikit. Lama-lama raja ini menjadi boneka doang. Dan
boneka emangnya bisa hidup lama.
KESAKTIAN SANG PRABU
T: Kalau dia bicara spontan terlihat sebenarnya Suharto tidak paham
sejarah, tidak paham tradisi etniknya sendiri, tidak paham agamanya
sendiri, dsb. Mengapa begitu banyak orang bisa ketipu? Mengapa begitu
banyak orang pinter yang sempet dibodo-bodoin? Dan mengapa bisa ditipu
begitu lama? Dimana rahasia 'kesaktian'nya Prabu Suharto ini? J: Kita harus ingat bahwa saat 'kebadaran' ini hanya sekali-sekali
terjadi. Biasanya Suharto bicara dengan suara seorang Presiden, bukannya
dengan suara sinuhun. Bahwa Suharto dan isterinya punya mental
pingin-menjadi-sinuhun sebenarnya sudah lama ketahuan. Lihat saja bakal
kuburannya di Mangadeg yang seolah-olah bersaing dan mau mengatasi
bangsanya Imogiri dan kuburan-kuburan Mangkunegaran. Bandingkan dengan
Bung Karno, yang tak pernah bikin gituan. Tapi orang diem-diem ketawa
saja, tak dianggap serioes. Pernah kedengaran saudagar kecil di Solo kasih komentar tentang
Mangadeg dengan nada sinis, "Kok koyo kuburan Cino?" Emangnya megah,
tapi pada suatu hari bisa saja digusur. Saya kira orang Indonesia pada
umumnya ndak tertipu, mereka tahu siapa Suharto. Buat mereka yang
penting adalah ekonomi yang diciptakannya, bedil yang dipergunakannya,
dan ketiduran-pasca-trauma besar yang diaturnya. Kalau diem-diem dia
merasa diri seperti raja, yah biarlah. T: Rakyat Indonesia yang 'non-Jawa' itu lebih banyak. Selain yang di
luar Jawa, di P. Jawa sendiri ada suku Sunda dan Madura. Apakah mereka
juga terpengaruh oleh konsep "raja yang punya wahyu" itu? J: Apakah ada dalam budaya tetangga - Sunda, Bali, Madura? Saya
kurang tahu. Tapi diluar Jawa belum pernah saya dengar tentang konsep
wahyu. Di daerah sana, teknik menjadi raja besar agak lain. Silahkan
baca umpamanya Hikayat Hang Tuah dari Melayu. Tapi dimana-mana raja
berusaha untuk meyakinkan masyarakat bahwa dia mewakili, diutus,
inkarnasi, titisan, atawa punya 'bekking' dari Dewa. Dan Dewa ini bisa
macam-macam, tergantung jaman, agama, dan situasi. Jadi pada dasarnya sama dengan Jawa. Begitu juga dengan raja-raja
Eropa jaman dulu. Ingatlah "The Divine Right of Kings." Di Eropa
agama Kristen cukup dinodai oleh kongkalikong pemimpinnya dengan nonsens
macem ini. Mau saja para uskup menobatkan raja-raja di gereja.
Memalukan! Di Timur Tengah, jabatan Kalifah -- artinya penerus dari Nabi
Muhammad SAW -- plus Sultan diperkokoh oleh apa yang diajarkan oleh
sebagian ulama. Padahal Nabi Muhammad SAW tidak pernah mau dijadikan
seorang sultan alias prabu. Sehingga masalah lengser keprabon dereng
wonten pada Jaman Mas itu.
BAHASA DAN KEKUASAAN
T: Bung Karno juga suka memakai istilah-istilah dalam Bahasa Jawa.
Misalnya gotong royong, ganyang, gontok-gontokkan,
holopis kuntul baris, sontoloyo, dsb. Apa ada bedanya
istilah-istilah yang dipakai BK dengan yang dipakai Suharto? J: Bung Karno suka memakai kata-kata Jawa -- dengan bentuk
potong-potongan, bukan kalimat -- karena dia menikmati lezatnya,
'hidup'nya kata-kata itu sebagai semacam bumbu untuk masakan bahasa
Indonesianya. Jarang beliau pakai klise-klise yang membosankan. Dan
orang non-Jawa merasa ikut nikmat sehingga kata-kata Jawa seperti
ganyang, gotong-royong, dsb bisa cepat masuk kamus sehari-harinya. Tapi
Jawanya Suharto kebanyakannya berupa kalimat, seolah-olah pepatah. Tak
masuk diakal bahwa 'lengser keprabon madeg pandito' akan dipakai
sehari-hari oleh orang non-Jawa kecuali sebagai lelucon politik.
Satu-satunya kata Jawa yang diperkenalkan oleh Suharto dan menjadi
populer adalah: gebug!
JIWA BIROKRAT
T: Dalam sejarah Indonesia modern banyak tokoh hebat yang juga dari
suku Jawa. Misalnya Bung Karno yang satu generasi diatas Suharto.
Pramoedya yang hampir seumur dengan Suharto, Pram lahir 1925, Suharto
lahir 1921. Dan Gus Dur, satu generasi dibawah Suharto. Mereka nggak
punya ide bahwa presiden itu mirip raja. Mereka nggak kedengeran memakai
klise-klise kuno seperti Ojo Dumeh, dsb. Mereka juga nggak
tergila-gila dengan konsep Tut Wuri Handayani, dsb. Mereka beda
dengan Suharto! Mengapa? J: Kita ingat tokoh Sastro Kassir di novel-novelnya Pram yang
dinamakannya karya Buru. Dia bersedia berbuat apa saja 'demi jabatan.'
Menarik bahwa orang-orang yang disebut tadi sebagai tokoh Jawa yang
hebat tak ada diantaranya seorang pegawai negeri, baik sipil maupun
militer. Mereka orang merdeka, dan dua diantaranya memang orang
pergerakan. Sedangkan Suharto sepanjang hidup menjadi birokrat. Semula
sebagai bintara di KNIL, terus masuk polisi dan kemudian PETA bikinan
Jepang selama pendudukan Jepang, dan setelah itu masuk ABRI. Selama
jaman kolonial dan pendudukan Jepang sama sekali tak ada bukti bahwa dia
menjadi oposan atau aktivis. Malah sebaliknya, dia berhamba kepada KNIL
dan Gunseikanbu. Tentu saja tidak sendirian. Ratusan ribu orang Jawa
lain demikian. Seumur hidup saya belum ketemu dengan birokrat di negara manapun juga
yang punya jiwa yang merdeka dan kreatip. Mereka dilatih untuk
melaksanakan perintah atasannya dan tidak mbalelo. Waktu masih
muda harus membiasakan diri untuk sering kena semprot atasannya dengan
harapan 'mulia' bahwa setelah 20 tahun naik pangkat terus akhirnya
berkesempatan nyemprotin bawahannya. Oya, ojo dumeh bukan klise.
Itu bahasa sehari-hari dan maksudnya hanya sebagai teguran: jangan, asal
mumpung, jadi angkuh. Kata itu juga banyak disebut dalam pembelaannya
Disman di depan Mahmilub.
KEKEJAMAN DAN KEKUASAAN
T: Kekejaman raja-raja jaman dulu itu terjadi bukan hanya di Jawa.
Kami sudah nonton film Braveheart, tentang pemberontakan rakyat Skotland
terhadap kesewenang-wenangan raja Inggris, Edward-1, pada tahun 1297.
Waktunya kira-kira sama dengan jamannya Raden Wijaya, cicitnya Ken Arok,
mendirikan Majapahit pada tahun 1293. Pemimpin pemberontakan itu,
William Wallace (dimainkan oleh Mel Gibson) tertangkap. Dia disiksa
dengan kejam sekali. Badannya diiris-iris, lalu dipotong jadi empat dan
dikirim ke empat penjuru negeri. Kepalanya ditanam di London Bridge.
Kekejaman itu dilakukan untuk membuat takut rakyat. Budaya Jawa dan
Inggris itu beda sekali. Toh kebuasan raja terjadi juga. Apakah ini
terjadi karena budaya atau karena tidak ada kontrol dalam 'sistim
politik'nya? J: Itu kebiasan di mana-mana di jaman pra-industri. Raja-raja merasa
perlu ditakutin dan disegani. Tetapi mereka nggak punya polisi yang
besar dan teratur, apalagi tentara tetap dan profesional. Tidak punya
badan inteljen strategis. Tak punya alat penyadap tilpon karena tilpon
belum ada. Penjara modern tidak ada, malahan yang primitif juga relatif
jarang. Jadi hampir semua peralatan negara modern yang bisa dikerahkan
untuk nakutin orang itu belum ada. Maka, satu-satunya alat yang ampuh
adalah siksaan spektakuler dan eksekusi yang mengerikan yang justru
dipertontonkan kepada masyarakat. Jaman sekarang siksaan dan eksekusi tetap banyak tetapi dijalankan
diem-diem di belakang pintu tebal, dan masyarakat tak boleh
menyaksikannya. Horornya Hitler hanya mungkin atas dasar modernitas dan
jaman industri. Gulagnya Stalin begitu juga. Jadi ini bukan
perkara kebudayaan, tapi perkara jaman dan dasar ekonomi. Orang-orang buas ada di sepanjang jaman dan dalam setiap kultur. Tapi
dasar ekonomi-teknologi berubah sehingga sekarang ada perbedaannya.
Dalam Perang Vietnam, Amerika sempat membunuh kira-kira 3 juta manusia
di Vietnam, Kamboja dan Laos, sebagian besar dengan bom dan alat
supermodern, sedangkan orang Amerika yang mati 'cuman' 48 ribu manusia.
Toh kalah. Sebaliknya, pada tahun 65-66 di Indonesia ketika lebih dari
setengah juta orang Indonesia mati, alat sembelehnya jauh lebih
sederhana, karena tingkat ekonomi Indonesia emangnya sederhana: golok,
tombak, klewang, clurit, bedil, bukannya gas racun atawa bom. T: Dalam negara modern seperti di AS ini, 'raja'nya juga bisa kejam
luar biasa. Misalnya Nixon (film sejarah "Nixon" sudah dibuat oleh
Oliver Stone, Nixon dimainkan oleh Anthony Hopkins). Ini orang yang
membom Kamboja, Vietnam dan Laos. Korbannya jutaan orang, dan
penderitaan rakyat di sana -- karena bom-bom beracun, ranjau darat, dsb
-- masih terjadi sampai sekarang. Nixon membohongi rakyatnya sendiri.
Dia baru apes gara-gara bandit swasta yang dia sewa untuk ngobrak-abrik
sarang partai lawannya di hotel Watergate itu ketangkep. Supaya bisa
terus kuasa, dia tega mengorbankan teman-teman dekatnya sendiri seperti
Bob Haldeman (White House Chief of Staff), John Ehrlichman
(Counsel to the President), John Mitchell (Attorney
General). Mengapa Nixon -- orang yang sangat terdidik lalu menjadi
presiden suatu negara modern, dengan penduduk yang terdidik, dengan
lembaga-lembaga negara yang modern -- toh tindakannya tidak lebih
beradab dibandingkan raja-raja jaman dulu? J: Nixon memang bejat. Tapi ada perbedaan yang menyolok dengan
raja-raja dulu baik di Eropa maupun di Jawa: dia tidak akan terlalu
berani bunuh bangsa dewek. Ingatlah krisis besar ketika empat mahasiswa
di Universitas Kent State dibunuh polisi ketika lagi protes perang
Vietnam. Di Indonesia selama Orde Baru ngabisin nyawa mahasiswa --
seperti di Ujung Pandang tahun lalu -- yah, itu dianggep perkara kecil
dan tak pernah menggoncangkan pemerintah. Emangnya mbalelo,
lantas semestinya digebugin, kan? Sedangkan yang banyak dibunuh Nixon
itu, yah orang asing yang kampungnya jauh dari Amerika. Dan ini semua
dengan dalih 'perang.' Sepanjang sejarah manusia, perang menyucikan
segalanya. Asal tentara lagi perang, tidak dianggap kriminal kalau
membunuh manusia lain. Sedangkan raja-raja dulu biasanya minta korban bangsanya sendiri.
Pertama, karena mereka dianggap 'hamba'nya, atau 'kawula'nya, bukan
warganegara. Kedua, karena ketika itu nggak ada pers dan TV. Dan ketiga,
alat pembunuh jarak-jauh -- pembom dahsyat B-52, peluru kendali ICBM,
dllnya -- belum ada. Seandainya si raja dulu ingin menyaingi Hitler
dalam perlombaan menjadi juara "Orang paling kejam sedunia," mana bisa
menang! Alatnya masih kurang canggih. Sepanjang sejarah raja-raja kuno di Jawa, maupun sejarah Kumpeni, tak
pernah ada penguasa yang sempat ngabisin setengah juta pribumi dalam
beberapa bulan saja seperti yang terjadi tahun 65-66. Bukan karena
mereka itu lebih manusiawi, bukan.2) Tapi karena birokrasi-maut dan
alat-alat teror lain waktu itu belum terbayangkan apalagi diciptakan.
Kata Walter Benjamin, "Every document of civilization is at the same
time a document of barbarism." (Habis, wawancara tgl 3 dan tgl 20 Nop
1997).*** Catatan: Catatan editor: Togog dan Bilung (adiknya,
kadang-kadang disebut juga Sarawita) adalah punakawan
satria yang jahat. Sifat mereka itu tidak setia dan suka
pindah-pindah majikan.
Ini sebagai contoh : Kumpeni pernah membantai hampir semua
penduduk pulau Banda di 1621 [red.:lih. buku Willard A. Hanna
& thesis H.G. Aveling "Bandanese Culture and society,
about 1600" hal.16 ttg Jan Coen] - Untuk raja Jawa ambil
saja sejarah Genghiz Khan tanah Java, Sultan Agung. Dalam
1620-1625 saban usai musim panen Surabaya dan sekitarnya itu
menjadi kubangan serdadu Mataram yang merampok dan membunuhi
orang. Di 1936 Balambangan ditaklukkan dan hampir seluruh
penduduknya dibuang. [red.:lih. Sembah-Sumpah ... hal.21,
khususnya catatan kaki 23-24] PUSTAKA UNTUK WAWANCARA Kompas, 20/10/97, "Renungkan Kembali," (Memuat pidato
presiden Suharto tentang "lengser keprabon" di depan Rapim
Golkar tgl 19/10/97) Coedes, G., 1968, "The Indianized States of Southeast
Asia." The East-West Center Press, Honolulu (Buku ini banyak
mengutip Negarakertagama karangan Prapancha, (th. 1365),
Pararaton (akhir abad-15). Kisah singkat Ken Angrok juga dari
sini). Hefner, Robert W., 1990, "The Political Economy of
Mountain Java. An Interpretive History," University of
California Press, Los Angeles (Informasi tentang akhir Majapahit
sekitar tahun 1520, kemudian jatuh ke bawah kepemimpinan politik
dan spiritual Demak) Soetarno AK, Drs. R., 1987 "Ensiklopedia Wayang,"
Dahara Prize, Semarang, h 261, 290 (Tentang Togog dan Sarawita).
Maclean, Fitzroy, 1996, "Scotland, a concise history,"
Thames and Hudson, New York, h 37, 38 (Tentang Edward-1 dan
William Wallace). Aitken, Jonathan, 1993, "Nixon, a life," Regnery Publishing,
Inc., Washington D.C., Chapter 17, 18 dan 19 (Tentang Nixon,
pemboman Vietnam dan skandal Watergate). Indonesian Banda : colonialism and its aftermath in the
Nutmeg Islands / by Willard A. Hanna. Sembah-sumpah (Courtesy and Curses): The politics of
Language and Javanese Culture / by Benedict R. Anderson,
dalam "Change and Continuity in Southeast Asia" ed. by Roger A.
Long & Damaris A. Kirchhofer. Mythology and the tolerance of the Javanese / by
Benedict R. O'G. Anderson - edisi terbaru terbitan Cornell
Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell
University, 1996. Film "Bravehart" Film "Nixon" |