Spektrum Kemerdekaan Indonesia: Sebuah tinjauan selektif

Soegiri DS.

 

l. Beda antara Perang Kemerdekaan dan Revolusi
Beberapa penulis sejarah tentang perjuangan rakyat Indonesia untuk kemerdekaan nasional masih menyoalkan apakah bentuk perjuangan yang langsung menyusuli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu suatu revolusi atau suatu perang kemerdekaan? Suatu keterangan yang mapan berdasarkan pengertian dasar tentang revolusi belum juga tampak di antara tulisan-tulisan yang ada. Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, perjuangan rakyat Indonesia yang menyusulnya pada umumnya disebut Revolusi Agustus 1945. Walaupun di dalam kenyataan sudah berdiri sebuah Republik sebagai pencerminan adanya relatif kemerdekaan politik, ekonomis Republik Indonesia masih belum bisa membebaskan diri dari pengaruh modal monopoli asing. Maka untuk kebebasan ekonomi dan politik bagi Indonesia, perjuangan dikatakan perlu dilanjutkan untuk menyelesaikan Revolusi Agustus 1945 sampai ke-akar-akarnya. Sedang penyebutan perjuangan untuk mencapai Kemerdekaan Penuh bagi Indonesia tidak banyak terjumpai, baik dalam format lisan maupun tulisan.

Sebagai materi perbandingan bisa dicermati kutipan-kutipan beberapa tulisan yang ada hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia dan beberapa pandangan sosiologis penulis-penulis luaran mengenai masalah revolusi. Sartono Kartodirdjo misalnya, sebagai seorang guru besar sejarah pada Universitas Gajahmada Yogyakarta, di dalam majalah Prisma Agustus 1981 no. 8, halaman 3, dengan judul Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektifisme Struktural, antara lain mengatakan: "Akhir-akhir ini Sejarah Revolusi Indonesia sangat menarik perhatian umum terutama mengenai cara menginterpretasikannya. Nama yang dipakai, seperti Revolusi Kemerdekaan atau Perang Kemerdekaan, hanya dapat dipahami apabila dikembalikan kepada definisi serta teori revolusi yang digunakan. Timbulnya pelbagai gambaran sejarah tentang suatu gejala sejarah luar biasa seperti Revolusi adalah sangat wajar tidak lain karena interpretasi dari sudut penglihatan tertentu menyoroti aspek-aspek, dimensi-dimensi ataupun faktor-faktor tertentu pula. Ikatan zaman, ikatan situasi serta ikatan-ikatan lainnya, menentukan posisi penafsir sejarah dan karenanya juga sudut penglihatannya. Maka dari itu pada umumnya yang sangat menarik dari Sejarah Revolusi Indonesia bukan saja fakta-fakta tentang peristiwa-peristiwanya, melainkan bagaimana pandangan ataupun gambaran mengenai peristiwa-peristiwa itu. ���� Revolusi kita merupakan masa pergolakan (bahasa Jawa gegeran) yang ditandai oleh ,srobotan�, �gedoran�, �pendaulatan�, di samping sebagai masa perjuangan".

Sartono Kartodirdjo tampak tidak membawakan diri pada pemantapan pengertian dasar mengenai revolusi dan penegasan tentang bentuk perjuangan rakyat Indonesia menyusuli Proklamasi Kemerdekaan sebagai revolusi atau Perang Kemerdekaan. Di dalam alam pikiran Sartono Kartodirdjo masih ada kejumbuhan pengertian antara revolusi dan perjuangan yang berkecamuk di dalam pergolakan. Dengan menyatakan bahwa Revolusi Indonesia merupakan masa pergolakan (bahasa Jawanya gegeran), persepsi Sartono Kartodirdjo menunjukkan kesingkatan waktu bagi berlakunya yang ia sebut revolusi itu.

Berbeda di dalam membawakan diri dengan Sartono Kartodirdjo adalah Anthony Reid, seorang sejarawan yang sudah meraih gelar Ph. D. dalam Sejarah Asia Tenggara di Cambridge University, Inggris. Dalam hubungannya dengan perjuangan rakyat Indonesia pada pasca awal proklamasi kemerdekaan, dengan judul Revolusi Sosial: Revolusi Nasional, bisa dikutip tulisannya di dalam majalah Prisma nomor sama, halaman 33, sebagai berikut: "Revolusi Indonesia telah diragukan dalam waktu lebih dari seperempat abad, terutama pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Di Indonesia, para ahli strategi dari kelompok militer yang berkuasa berusaha untuk menghindari istilah tersebut dan lebih menyukai �perang kemerdekaan�, karena mau memaksakan suatu format non-revolusioner, stabil kepada negara sambil tetap mengangkat peristiwa-peristiwa tahun 1945-50 sebagai sumber legitimasi. Angkatan Bersenjata di mana pun, terutama di Amerika Serikat dan Eropa, masa yang sama menyaksikan kegairahan dengan keberhasilan nyata Vietnam dan Cina dalam memobilisasikan dan memberikan makan kepada penduduknya, sehingga banyak kaum aktivis, dan tidak sedikit jumlah sarjana, cenderung memberikan definisi baru kepada istilah �revolusi� agar lebih cocok dengan mobilisasi kaum tani yang berhasil oleh sebuah partai Leninis. Kedua pihak membangun stereotip politik dari istilah �revolusi�, dan bisa sepakat bahwa Indonesia belum mengalaminya.

Konsep �revolusi� adalah yang paling sentral di dalam seluruh analisa sejarah perbandingan. Pengertian apa pun yang diberikan oleh kaum politisi, para sejarawan harus mempertahankannya sebagai suatu alat analisa yang obyektif, yang sangat tidak tergantung pada apa pun yang disetujui atau tidak disetujui tentangnya. Revolusi adalah restrukturasi fundamental dari suatu sistem politik dengan kekerasan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Meskipun sangat banyak ragam revolusi yang dikenal dunia, pola tertentu dapat dilihat hampir dalam semuanya, bermula dengan tindakan membangkang, menghancurkan rezim lama, dan berakhir dengan memaksakan suatu jenis rezim baru yang relatif stabil-biasanya sesuatu yang sangat berbeda dari yang dapat dilihat oleh para revolusioner pada tahap pertama".

Segi kebenaran yang terkandung di dalam keterangan Reid adalah bahwa Indonesia, bertolak dari proklamasi kemerdekaan 1945, memang belum pernah mengalami revolusi. Beda dengan bentuk perjuangan di Vietnam dan di Tiongkok yang saat berlakunya hampir bersamaan dengan Indonesia. Namun di Vietnam sesudah berhasilnya perang kemerdekaan dan di Tiongkok sesudah berhasilnya perang pembebasan, ada revolusi demokratis yang membongkar akar feodalisme. Walaupun karakter burjuis dari dua revolusi itu masih ada, Partai Pekerja Vietnam dan Partai Komunis Tiongkok memegang tampuk pimpinan. Bentuk perjuangan yang demikian tidak dialami di Indonesia. Kritik Reid bahwa kelompok militer yang berkuasa di Indonesia menyukai penamaan �perang kemerdekaan� untuk memaksakan suatu format non revolusioner, sebagai sikap yang oposan adalah positif. Kendati demikian, dilihat dari kenyataan yang ada, yang berlangsung di Indonesia tidak lain adalah memang suatu Perang Kemerdekaan, bukan suatu Revolusi. Hal ini tidak perlu dilebih-lebihkan. Sepanjang pandangan Reid, revolusi adalah restrukturisasi fundamental dari suatu sistem politik dengan kekerasan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Khususnya jika hanya dibatasi dalam kerangka sistem politik, walaupun dengan kekerasan, dan di dalam keberlangsungan selama waktu yang singkat, pandangan Reid tidak tepat. Pandangan semacam itu bisa diartikan bahwa sebuah revolusi tidak merombak struktur masyarakat secara mendasar, meskipun melalui penggantian dari kolonialisme ke kemerdekaan politik, sedang keberlangsungannya dibatasi pada pergolakan yang berlaku di dalam waktu singkat. Padahal mengenai masalah waktu, sebuah revolusi yang menciptakan perubahan mendasar terhadap struktur masyarakat, seperti yang ditunjukkan oleh dua revolusi besar, yaitu Revolusi Burjuis Prancis dan Revolusi Sosialis Russia, dua-duanya memerlukan waktu persiapan dan penahapan yang berjangka waktu tidak pendek.

Pandangan tentang batas pengertian revolusi yang agak melengkapi pendapat Reid terdapat di antaranya di dalam tulisan Manuel Kaisiepo, salah seorang Anggota Dewan Redaksi Prisma. Di dalam majalah Prisma 9 September 1982 dengan judul Murba di Tengah Persaingan, halaman 74, ia berpendapat bahwa "Bila revolusi bisa dilihat sebagai suatu proses restrukturisasi suatu sistem sosial dan politik dalam suatu masyarakat secara fundamental dan dalam jangka waktu yang relatif singkat, maka perjuangan rakyat Indonesia mewujudkan kemerdekaannya dari penjajah mulai memasuki tahap-tahap yang benar-benar intens sehingga dapat disebut sebagai revolusi adalah pada periode sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 sampai dengan periode Konperensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949".

Kaisiepo memandang revolusi tidak hanya mencakupi sistem politik saja, melainkan meliputi juga sistem sosial. Meskipun demikian, periode sejak proklamasi kemerdekaan 1945 sampai dengan periode KMB 1949 yang ditandai dengan adanya perjuangan bersenjata, bukanlah perombakan mendasar terhadap sistem sosial. Jadi bukan suatu revolusi. Jarak relatif pendek antara dua periode tersebut adalah masa perang kemerdekaan. Kemerdekaan yang dicapai bagi Indonesia saja tidak penuh dan hanya suatu kompromi di dalam wujud perjanjian KMB yang menempatkan ekonomi Indonesia masih banyak bergantung pada kekuatan modal monopoli asing.

Kutipan-kutipan mengenai pandangan beberapa penulis di atas tentang revolusi menunjukkan masih adanya batas pengertian yang tidak seragam, selain pada umumnya masih memancangkan diri pada berlakunya suatu revolusi di dalam waktu yang singkat. Ronald Ye-Lin Cheng yang mengumpulkan karangan banyak penulis mengenai Sosiologi Revolusi menjadi satu buku tersendiri, di dalam kata pengantar antaranya mengatakan, bahwa "�.. setelah terjadinya suatu revolusi yang besar, seperti misalnya Revolusi Prancis 1789, selalu berkumandang adanya myte, legenda, dan peninggalan-peninggalan yang membikin berbauran atau kompleksnya pikiran orang. Misalnya Michelet menganggap bahwa Revolusi Prancis telah menghancurkan kejahatan kekuasaan politik lama, mengangkat massa terlepas dari kesengsaraan, dan mengantar masyarakat Prancis bagaimanapun juga menuju kemajuan, kebebasan, dan keadilan. (Jules Michelet, History of the French Revolution). Sebaliknya dari itu, Burke menganggap bahwa Revolusi Prancis merupakan peragaan daripada kejahatan, bahwa ia menjadi penyebab membeludaknya kekerasan dan kekejaman di pihak rakyat di dalam keadaan di luar batas; jika tidak teratasi, akhirnya rakyat akan menjadi murka di dalam wujud anarki atau kebengisan (Edmund Burke, Reflection on the Revolution in France)."

Menurut Ye-Lin Cheng, pada dasarnya ada tiga kategori di dalam mendefinisikan revolusi: (1) revolusi adalah suatu perubahan politik yang membawakan pergantian akan kekuasaan politik setempat (misalnya dari sebuah monarki absolut menjadi kekuasaan politik rakyat); (2) revolusi adalah suatu perubahan sosial, mencakupi beberapa aspek dari fenomena sosial (agama, ekonomi, atau politik), yang terjadinya mendadak dan dengan kekerasan; (3) revolusi adalah suatu perubahan yang mendasar, meliputi semua aspek dari fenomena sosial (Dale Yoder, Current Definitions of Revolution).

Jika berbicara mengenai revolusi politik, oleh Ye-Lin Cheng ada dua bentuk klasifikasi yang disarankan. Yang pertama, revolusi-revolusi itu dibagi di dalam dua macam: (1) revolusi istana yang bersifat privat, (2) revolusi istana yang bersifat umum, (3) revolusi kolonial, (4) revolusi nasional yang besar, dan (5) revolusi yang sistematis. Metode klasifikasinya berdasar atas dua kriteria: kadar perubahan sosialnya tercakup, dan meliputi luas penduduk serta daerah geografisnya. (George Pettee, Revolution-Typology and Process). Misalnya, revolusi istana baik yang privat maupun yang umum pada pokoknya bertujuan untuk mengubah struktur dan personalia pemerintahan di dalam daerah geografis yang sangat terbatas; revolusi kolonial dan revolusi nasional yang besar bertujuan merubah seluruh lingkup lembaga-lembaga pemerintahan di seluruh negeri (misalnya dari monarki menjadi demokrasi). Dalam hal revolusi yang sistematis, pergantian dari sistem pemerintahan yang satu ke sistem pemerintahan yang lain, tujuannya adalah adanya perubahan-perubahan pemerintahan di dalam skala dunia yang luas (misalnya demokrasi menggantikan monarki sebagai sistem kekuasaan politik yang dominan di dunia). Namun, banyak orang di bidang ilmu sosial dan humaniora yang lebih suka menyebut perubahan-perubahan di dalam sistem pemerintahan sebagai pemberontakan. Maka dari itu, ada perbedaan antara "pemberontakan" (perubahan di dalam suatu sistem) dan �revolusi� (perubahan terhadap sistemnya itu sendiri). Berdasarkan klasifikasi ini, revolusi-revolusi istana yang bersifat privat, revolusi-revolusi istana yang bersifat umum, dan sementara revolusi kolonial adalah �pemberontakan-pemberontakan�; adapun sementara revolusi kolonial, revolusi-revolusi nasional yang besar, serta revolusi-revolusi yang sistematis adalah "revolusi-revolusi".

Metode klasifikasi lainnya berdasarkan pandangan Ye-Lin Cheng ada enam kategori: (1)Jacquerie, (2) pemberontakan milenarian, (3) pemberontakan anarkistis, (4) revolusi komunis Yakobin, (5) coup d�état konspiratorial, dan (6) pemberontakan massa yang berkarakter militer. Klasifikasi ini berdasar atas empat kriteria: target dari aksi revolusioner (pemerintahan, rezim, dan komunitas), identitas partisipan-partisipan revolusi (massa, elite-elite- pimpinan-massa, dan elite-elite), tujuan revolusi atau ideologi, dan apakah revolusi itu bersifat spontan atau diperhitungkan (Chalmers Johnson, Revolution and the Social System).

Lebih lanjut oleh Ye-Lin Cheng dijelaskan, bahwa istilah Jacquerie dipakai untuk mengkarakterisasikan pemberontakan massa kaum tani yang tujuannya sangat terbatas seperti merestorasi hak-hak yang hilang atau menghapuskan beban-beban penderitaan yang khusus. Pemberontakan milenarian tampil dari adanya harapan bahwa suatu perubahan yang menyeluruh dan radikal akan terjadi di dunia di dalam milenium. Pemberontakan anarkistis terjadi sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan yang sudah diciptakan di dalam sistem sosial. Revolusi komunis Yakobin adalah suatu gerakan untuk adanya perubahan fundamental dan tuntas di dalam sistem politik. Coup d�état konspiratorial adalah suatu usaha kelompok kecil rakyat untuk menggantikan penguasa yang ada. Pemberontakan massa yang berkarakter militer melibatkan massa yang dimobilisasi di bawah pimpinan konspiratorial dari komandan tertinggi militer di dalam usaha menggulingkan pemerintahan.

Sampai berapa ekstensif ukuran perubahan sosial itu, berdasarkan pandangan Huntington, perincian klasifikasinya adalah bahwa: jika target dari aksi revolusionernya komunitas, perubahan sosialnya paling ekstensif; jika targetnya sebuah rezim, perubahan sosialnya kurang ekstensif; dan jika yang menjadi target pemerintahan, perubahan sosialnya paling kurang ekstensif ketimbang semuanya tadi. Perbedaan antara revolusi-revolusi yang spontan dan yang diperhitungkan, perbandingan yang dipakai adalah klasifikasi revolusi-revolusi yang berbeda antara Timur dan Barat (Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Society). Pandangan mendekati lengkap yang dikutip di dalam buku Ye-Lin Cheng adalah kesimpulan Hyndman, bahwa "Revolusi, dalam arti lengkapnya, merupakan suatu perubahan mendalam di bidang ekonomi, sosial, dan politik di dalam sebuah komunitas yang besar" (Henry M. Hyndman, The Evolution of Revolution, hlm.12).

Tema pokok di dalam bagian tulisan ini adalah masalah perang kemerdekaan Indonesia yang berlangsung sesudah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Tema ini dikaitkan dengan pendefinisian revolusi, karena selama ini perjuangan rakyat Indonesia yang bertolak dari proklamasi kemerdekaan, umumnya disebut Revolusi Agustus 1945. PKI pun masih juga menggunakan penyebutan itu. Untuk bisa memantapkan diri tentang penggunaan penamaan Revolusi Agustus 1945 bagi bentuk perjuangan rakyat Indonesia ketika itu yang ditandai dengan adanya perjuangan bersenjata, masalah pendefinisian revolusi perlu dikaji lebih lanjut.

Revolusi selalu bersifat perubahan yang mendasar. Bagi sistem masyarakat, di dalam perjalanan sejarah telah dialami adanya beberapa kali perubahan mendasar yang penampilannya berbentuk sistem masyarakat lama diganti dengan sistem masyarakat baru. Perubahannya meliputi segala aspek bangunan atas. Yaitu aspek-aspek masyarakat: politik, yuridik dan kebudayaan beserta lembaga-lembaganya, yang didasari dengan perubahan total bangunan dasar berupa hubungan produksi. Yang dimaksudkan dengan hubungan produksi adalah hubungan antara manusia dan manusia di dalam kesatuan produksi atau bisa juga disebut sebagai hubungan ekonomi. Di dalam masyarakat kapitalis hubungan itu pada pokoknya adalah antara kaum kapitalis dan kaum buruh. Bentuknya hubungan antara pihak yang menindas dan pihak yang ditindas. Meskipun bangunan dasar masyarakat merupakan penentu terhadap kualitas masyarakat dan kualitas revolusi, namun politik sebagai aspek yang memimpin dan berperan menentukan terhadap pergantian kekuasaan, merupakan faktor dominan bagi keberhasilan revolusi serta kelanjutannya. Jadi antara bangunan dasar dan aspek politik ada hubungan timbal-balik yang saling menentukan. Sepanjang pengalaman di dalam sejarah, perubahan mendasar terhadap sistem masyarakat pada umumnya terjadi melalui tindak kekerasan. Kongkritnya kekerasan bersenjata. Banyak orang yang hanya melihat digunakannya kekerasan bersenjata saja, tanpa memberikan kualifikasi apakah yang berlaku revolusi atau bukan. Adanya hanya mengidentikkan bentuk kekerasan bersenjata dengan revolusi. Padahal esensi masalahnya bagi revolusi yang dikenakan pada sistem masyarakat, adalah terjadinya perubahan yang mendasar, dengan atau tanpa menggunakan kekerasan bersenjata. Adapun digunakannya kekerasan bersenjata adalah karena penguasa kekuasaan lama tidak mau menyerahkan kekuasaan dengan jalan damai. Jadi kekerasan bersenjata digunakan karena terpaksa.

Revolusi seperti yang dimaksudkan di atas, yang lebih lanjut bisa disebut revolusi saja, tidak identis dengan perang kemerdekaan. Perang kemerdekaan adalah perjuangan bersenjata yang dilakukan oleh rakyat sebuah nasion melawan kekuasaan penjajah. Perang kemerdekaan tidak selalu mengarah ke perubahan revolusioner, artinya perubahan mendasar terhadap sistem masyarakat. Ia bisa hanya dilakukan untuk menegakkan suatu negara merdeka yang kinerja pemerintahannya berada di tangan warga-warga nasion itu sendiri tanpa adanya perombakan terhadap sistem masyarakat. Indonesia adalah di antara contoh-contoh kenyataan yang ada. Periode sesudah Proklamasi Kemerdekaan sampai dengan ditandatanganinya perjanjian KMB adalah periode Perang Kemerdekaan. Bagi Indonesia periode itu hanya melahirkan kemerdekaan politik yang relatif dan formal. Ekonomis Indonesia masih belum bisa melepaskan diri dari dominasi modal monopoli asing. Di samping itu, terutama di pedesaan, feodalisme yang anti demokratis dan selama ratusan tahun berperan sebagai penyangga kolonialisme, masih menyisa di bumi Indonesia. Selama lebih dari tiga puluh tahun di bawah kediktatoran militer Soeharto, sistem masyarakat Indonesia tidak mengalami perubahan yang berarti ketimbang pada masa penjajahan. Di bidang ekonomi rezim Indonesia ketika itu kebalikannya dari semakin bebas dari modal monopoli asing. Apa yang disebut sebagai "dana bantuan", sebenarnya adalah utangan berbunga yang mengikat seperti yang dikucurkan oleh World Bank (Bank Dunia) dan IMF (Dana Moneter Internasional). Itulah utangan yang semakin mencekek leher rakyat Indonesia dengan bertambah membengkaknya utang luarnegeri. Utangan yang dimanfaatkan juga di bawah operasi Soeharto beserta keluarga dan kroni-kroninya berupa KKN dalam menumpuk kekayaan pribadi yang berlimpah-limpah. Kebebasan politik rezim Indonesia selama waktu itu pun semakin terserimpung juga oleh ikatan perjanjian utang luarnegeri. Kebebasan ekonomi dan politik pemerintah Indonesia sekarang saja, meski dikemas dengan selaput "reformasi", masih belum juga berkasatmata.

Revolusi juga berbeda dengan coup d�etat atau untuk singkatnya disebut saja coup, yang merupakan perebutan kekuasaan politik secara tiba-tiba, dilakukan oleh hanya sebuah grup atau elemen-elemen di dalam pemerintahan, tanpa ada dukungan massa luas. Sebuah coup tidak melahirkan perubahan yang mendasar terhadap sistem masyarakat. Revolusi tidak sama dengan pemberontakan, yang bisa berupa usaha yang gagal untuk berevolusi. Pemberontakan bisa juga berupa ekspresi kekerasan sebuah atau beberapa golongan di dalam masyarakat dengan maksud dan tujuan yang hanya terbatas, bertolak dari ketidakpuasan atau keinginan untuk adanya perubahan-perubahan yang bersifat parsial. Bentuk-bentuk gerakan atau aksi lainnya seperti Jacquerie dan revolusi istana tersebut di atas, yang lingkup operasinya sempit, lebih jelas untuk tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori revolusi.

Perjuangan rakyat Indonesia sesudah Proklamasi Kemerdekaan, yang ditandai dengan adanya pengangkatan senjata, bukanlah revolusi, melainkan perang kemerdekaan. Partisipasi Wikana di dalam ikut mencetuskan proklamasi kemerdekaan sebagai kader pimpinan yang bertanggung jawab atas PKI di bawah tanah untuk daerah Jawa Barat, begitu juga pemuda-pemuda pejuang lainnya seperti Aidit, Ismail Bakri dan Armunanto yang sudah diasuh oleh pimpinan PKI, tidak mencerminkan kepemimpinan PKI pada saat itu. Menjelang proklamasi kemerdekaan, Pamoedji sebagai pemimpin utama PKI bersama-sama dengan beberapa kader tinggi lainnya dibunuh oleh Jepang. Sementara kader pimpinan dan tidak sedikit dari anggota PKI ada yang masih meringkuk di dalam penjara. Apalagi sepeninggal Pamoedji, PKI berada di dalam dua faksi yang masing-masing melakukan kegiatan sendiri secara terpisah. Faksi yang satu berada di bawah pimpinan Soekisman dan Soetrisno Sipoen, yang sepeninggal Pamoedji mendapatkan kuasa dipercayakan meneruskan kepemimpinan PKI. Namun, dua-duanya ditangkap oleh Jepang dan meringkuk di dalam penjara sampai pasca awal Proklamasi Kemerdekaan. Faksi lainnya berada di bawah pimpinan Widarta dan Soekardiman alias Kecil.

Kenyataan itu membedakan situasi Indonesia dengan Vietnam dan Tiongkok. Di Indonesia pada saat Proklamasi Kemerdekaan tidak ada kepemimpinan Partai Komunis. Tidak ada pula konsep kongkrit yang berpola mengembangkan perang kemerdekaan seperti halnya Vietnam dan perang pembebasan seperti halnya Tiongkok ke arah perombakan revolusioner ke Sosialisme. Sosialisme yang diawali dengan tahap revolusi burjuis demokratis tipe baru. Tahap awalan ini sudah disebut sebagai revolusi karena secara mendasar menjebol akar feodalisme yang masih menyisa. Feodalisme yang tidak memberikan ruang kehidupan bagi Demokrasi. Karakter masyarakatnya yang kapitalis untuk sementara masih ada, sebab syarat-syarat obyektif yang ada belum cukup matang untuk terwujudnya Sosialisme. Maka di dalam tahap ini adalah penting untuk tetap terkonsolidasi serta berkembangnya Persatuan Nasional Demokratis yang berlandasan pada persatuan buruh dan tani dengan klas buruh sebagai kekuatan tulang punggung. Persatuan nasional yang dimaksudkan adalah sebuah persatuan yang meliputi lingkungan daerah di mana nasion Indonesia berada dan berciri karakteristik anti imperialis. Itulah persatuan nasional yang ditegakkan berdasarkan prinsip-perinsip demokratis, yang menjamin kebebasan politik setiap peserta dan menghimpun kekuatan-kekuatan yang termasuk kategori klas-klas sosial yang demokratis. Disebut klas-klas sosial demokratis karena berada di luar kategori tuantanah-tuantanah feodal dan klas-klas sosial lainnya yang tidak demokratis dan anti rakyat seperti kaum kapitalis birokrat serta kaum kapitalis monopoli. Maka di samping klas buruh dan kaum tani, di dalam persatuan nasional termasuk juga burjuasi non birokrat dan non monopoli, burjuasi sedang, burjuasi kecil dan kaum inteligensia. Kelainan mengenai faktor-faktor agama, etnik, pandangan hidup dan keyakinan politik bukan pantangan bagi persatuan nasional. Demokrasi atau kekuasaan politik rakyat selama tahap sebelum memasuki Sosialisme adalah wahana politik yang berperan preventif, yang bisa menjamin bahwa tahap ini tidak lain hanya menjurus ke arah terwujudnya sistem masyarakat baru, masyarakat Sosialis. Pimpinan politik yang seharusnya paling konsisten mampu membendung dominasi burjuasi, meski revolusi belum menginjakkan kaki pada tingkat Sosialisme, adalah Partai Komunis atau Partai Klas Buruh. Kemungkinan supaya tertutup bagi kembalinya keadaan seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman Revolusi Burjuis Prancis. Burjuasi jangan ada kesempatan untuk bisa kembali berkuasa yang memberikan peluang bagi berlangsungnya eksistensi kapitalisme sebagai faktor dominan di dalam masyarakat. Demikianlah, mengapa bentuk revolusi yang demikian ini disebut Revolusi Burjuis Demokratis Tipe Baru atau Revolusi Demokrasi Baru.

2. Nasion dan Daerah Nasional Indonesia

Dengan adanya gerakan-gerakan di beberapa daerah menuntut pemisahan dari Republik Indonesia atau otonomi luas dan masalah Timor Timur, soal Nasion dan Daerah Nasional Indonesia menjadi masalah yang aktual. Di bawah ini adalah kutipan tulisan Bakri Siregar, Mohammad Yamin, majalah Prisma 3 Maret 1982, hlm. 82 dan 83. Isinya menyebutkan:

"Bahwa sejak mula berdirinya Republik, ada perbedaan pendapat antara Dwitunggal Soekarno-Hatta. Bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan, menurut Hatta, ada dua masalah penting yang merupakan titik tolak perbedaan. Pertama, sehubungan dengan kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Karena Soekarno hanya sedikit pengertiannya tentang ekonomi, akhirnya ia menyetujui pendapat Hatta. Tetapi ketika Belanda membangkang penyelesaian Irian Barat, dia jadi mengubah sikapnya. Kedua, batas-batas geografis yang sesungguhnya dari wilayah Republik Indonesia (Howard P. Jones, Indonesia: The Possible Dream (Singapore: Mas Ayu, 1973), 273).

Dalam hal ini Soekarno sependapat dengan Yamin yang mengusulkan wilayah yang meliputi kerajaan Majapahit, suatu konsep Indonesia Raya yang dianut Yamin sudah sejak tahun 1920-an. Jadi di samping konsep etnis Indonesia Raya, Yamin mendasarkan diri pada kesatuan nusantara terdahulu di bawah Majapahit, seperti diungkapkan dalam Negarakertagama, dan hasrat akan persatuan yang dirasakan oleh bangsa Indonesia sejak masa-masa prasejarah.

Dalam mengajukan usul ini di Panitia Penyelidik Kemerdekaan dan memperdebatkannya, Soekarno maupun Yamin juga didorong oleh utusan-utusan Malaya yang menginginkan daerah mereka digabungkan dalam Republik Indonesia, karena mereka yang akan didominasi oleh orang Cina ( J.A.C. Mackie, Konfrontasi, the Indonesia Malaysia Dispute 1963-1965 ( Kualalumpur: Oxford University Press, 1974), hal. 20 ).

Usul konsep Indonesia Raya Soekarno-Yamin pada tanggal 11 juli 1945 diterima dengan suara mayoritas, 39 setuju. Hatta menolak konsep wilayah ini, dengan berpegang kepada faktor-faktor yang mempersatukan, yang terdapat dalam wilayah jajahan Hindia Belanda. Konsep ini hanya mencapai 19 suara setuju. Pihak Jepang berusaha meyakinkan untuk berpegang pada konsep wilayah Hindia Belanda pula. Walaupun tidak jelas dinyatakan dalam Konstitusi pada akhirnya pendapat Hatta yang menang. Namun, kiranya konsep Indonesia Raya Majapahit ini tetap bertahan dalam benak Soekarno, demikian Hatta ( Howard Jones, op. Cit., hal. 373 ).

Konsepsi Maphilindo memang cocok dengan tujuan Soekarno, dan sesuai pula terutama dengan anutan Yamin. Dalam tahun 1959 Yamin mengemukakan pendapat adanya hasrat mengenai konfederasi Indonesia, Malaya dan Philipina, sebagai "bangsa-bangsa yang berasal dari satu rumpun dan mempunyai kebudayaan yang identik", yang disebutnya �Konfederasi Austronesia�), hal. 478 ). (Anak Agung Gede Agung, Twenty Years� Indonesian Foreign Policy, 1945-1965 ( Mounton: The Hague, 1973). Hanya, ketika Soekarno melancarkan konfrontasi dan komando �Ganyang Malaysia� dengan gencar, Yamin telah tiada".

Dari ulasan Bakri Siregar di atas, pendapat Hatta sebagai seorang pakar ekonomi, kendati pandangan politiknya Sosial Demokratis versi Barat, tapi lebih realistis ketimbang Soekarno. Untuk menentukan suatu Daerah Nasional yang berarti mengusir kekuasaan penjajah dari suatu negeri, diperlukan perjuangan yang berat. Jika Daerah Nasional yang akan ditentukan meliputi juga daerah kekuasaan penjajah negeri lain, beban perjuangannya menjadi bertambah. Sebab di samping yang dihadapi penjajah rangkap, misalnya sekaligus menghadapi Belanda yang menjajah Indonesia dan Inggris yang menjajah Malaya, rakyat yang dijajah pun tidak akan begitu saja menyetujui batas daerah nasional yang ditetapkan oleh rakyat negeri lain. Contoh yang masih hangat adalah sikap rakyat Timor Timur. Mereka melalukan perlawanan dan perjuangan sengit dalam membela kemerdekaan mereka. Mereka tidak setuju daerah mereka begitu saja diintegrasikan dengan Indonesia dan dijadikan Propinsi ke 27 Indonesia. Sebagai hasil jajak pendapat dan desakan gencar masyarakat internasional, formal Timor Timur oleh Indonesia diserahkan kembali kepada rakyatnya. Adapun sebagai kelanjutannya, pada pokoknya adalah masalah rakyat Timor Timur sendiri dalam menghadapi semua tantangan bagi kemerdekaan mereka supaya diri mereka bisa bebas dari segala pengaruh kekuatan luar.

Adapun pikiran Hatta tentang masalah menentukan Daerah Nasional pada pokoknya realistis, walaupun di dalam versi federasi seperti yang tercermin di dalam Perjanjian KMB dan di dalam sikap Hatta sesudah perjanjian itu ditandatangani. Namun demikian, pikiran Hatta yang lebih realistis ketimbang Soekarno, tidak menutupi dosa dan tanggung jawabnya terhadap pembunuhan ribuan rakyat Indonesia yang tidak bersalah di dalam peristiwa Madiun. Dengan diterimanya perjanjian KMB, ia adalah penanggung jawab utama yang menjadikan Indonesia tidak sebagai negara yang merdeka penuh karena ekonomis masih banyak bergantung pada modal-modal monopoli asing dan politis tidak sepenuhnya bebas.

Soekarno di dalam pendiriannya memang selalu menekankan pentingnya mempersatukan semua corak opini yang mendukung kemerdekaan nasional Indonesia. Kendati demikian, pandangannya di dalam menggariskan Daerah Nasional banyak dipengaruhi oleh pola pemikiran Yamin yang tidak serealis seperti Hatta. Pandangan Soekarno tidak berlandasan pada kategori sejarah yang menentukan epoka tertentu, epoka modern, di mana di dalamnya di-indikasikan bahwa proses perkembangan Kapitalisme dan penghancuran Feodalisme sekaligus merupakan proses penggabungan manusia di dalam Nasion. Di Eropa Barat, tempat kelahiran kapitalisme, batas Daerah dan Negara Nasional terjadi paling awal ketimbang di bagian-bagian dunia lainnya. Kebutuhan akan pasar ekonomi kapitalis melahirkan Daerah dan Negara yang kompak di Eropa Barat seperti Inggris, Prancis, Jerman dan Italia. Untuk Eropa Barat, Irlandia merupakan perkecualian, meskipun tidak mengubah wajah umum negara-negara Eropa Barat. Daerah-daerah seperti Eropa Timur pada epoka yang sama, yang menunjukkan lemahnya pertumbuhan kapitalisme dan masih mengindikasikan adanya sisa-sisa hubungan produksi feodal, pembentukan Daerah dan Negara Nasional tidak sestabil seperti Eropa Barat. Negeri-negeri di Timur dan di luar Eropa yang batas daerahnya sudah menjadi menetap, adalah sesudah Kapitalisme perkembangannya terkonsolidasi pada tingkat puncaknya, tingkat Imperialisme. Maka menentukan batas Daerah Nasional bagi Indonesia setepatnya dibatasi saja pada daerah wilayah kekuasaan Hindia Belanda, sehingga rakyat Indonesia tidak menghadapi musuh terlalu banyak. Di samping itu, dipandang dari segi bahasa, daerah, hubungan ekonomi, kebudayaan (dalam hal ini tercermin antaranya dengan bentuk bahasa), dan nasib rakyatnya yang pernah dijajah oleh Kolonialisme Belanda, jadi bukan karena faktor etnik, Indonesia sudah memiliki kesatuan yang bermotif kuat untuk disebut sebagai Nasion. Menentukan Daerah Nasional berdasarkan lingkup daerah yang merangkumi tempat keberadaan Nasion Indonesia adalah yang tepat. Daerah Nasional yang ditetapkan berdasarkan wilayah kekuasaan Kerajaan Majahit dulu yang bertolak dari sumpah Palapa Gajahmada, terlalu jauh bergeser ke belakang. Yaitu ke jaman feodalisme, jaman yang menunjukkan masih tidak menentunya daerah dan kekuasaan negara, jaman pra kapitalisme, jaman sebelum lahirnya Nasion dan Negara Nasional.

Berdasar atas wawasan di atas, adanya usaha-usaha memisahkan diri dari Republik Indonesia berarti kembali ke jaman purbakala. Di sini dapat dikemukakan saran umum, tapi tidak berarti mempercayakan diri kepada pemerintah Indonesia pasca Soeharto-Habibie. Meskipun menampilkan garis politik "reformasi dan demokrasi", golongan penguasa di Indonesia sekarang masih perlu dikaji karena dirinya masih belum terlepas dari kepentingan pribadi dan golongan. Masih tampak adanya kecenderungan menarik hati terutama para penguasa Amerika Serikat untuk mendapatkan tambahan utang luarnegeri berbunga yang berkedok "dana" dan "bantuan", tapi ikut mencampuri penghidupan rakyat yang bersifat menentukan. Keprihatinan yang kuat untuk menegakkan kehidupan ekonomi yang mandiri tidak cukup tercengkam. "Reformasi" dan kehidupan demokratis masih bisa diterobosi oleh golongan-golongan dan oknum-oknum yang tanpa Soeharto meneruskan politik dan kultur Soeharto. Seperti misalnya masalah Aceh, sementara ini perlu ada kebijaksanaan. A priori memusuhi golongan-golongan dan oknum-oknum yang berkecenderungan memisahkan diri karena menjadi korban penindasan Soeharto beserta aparat kekuasaannya, pada tingkat sekarang hanya menguntungkan dan memberikan angin kepada militer dan polisi yang masih belum bebas dari budaya �gebug� dan �libas� a la Soeharto.

Sebagai pegangan dasar, masalah-masalah yang timbul di daerah-daerah, yang membangkitkan adanya usaha memisahkan diri, sebaiknya tidak dicarikan solusinya di dalam bentuk pemisahan. Bagi Indonesia, baik di dalam lingkup nasional maupun internasional, pemisahan pada umumnya tidak populer. Yang penting adalah bahwa gerakan massa rakyat yang mengarah pada Persatuan Nasional Demokratis atas dasar persatuan buruh dan tani dengan klas buruh sebagai tulang punggung, pertama-tama perlu dikembangkan dan diperkuat supaya ada landasan integritas yang stabil. Untuk itu, adanya sebuah Partai Klas Buruh yang tepat garis politiknya serta solid di bidang politik, ideologi dan organisasi adalah esensial.

Sementara itu, pada tahap pertama, penyelesaiannya bisa diusahakan untuk ditangani oleh pemerintahan demokratis yang bersedia bekerjasama dengan gerakan massa rakyat. Pemerintahan yang berpegangan pada prinsip membela serta mempertahankan integritas nasional, bebas dari pengaruh dan sisa-sisa kekuatan peninggalan serta penerus rezim militer Soeharto, baik yang terang-terangan maupun yang berselubung. Penyelesaiannya tidak cukup dengan hanya adanya kunjungan-kunjungan dan pidato-pidato tokoh-tokoh politik, walaupun tokoh-tokoh itu berpengaruh. Adapun implementasinya, Pemerintah Pusat selalu menghubungkan kepentingan dan aspirasi khusus rakyat daerah tertentu dengan kepentingan serta aspirasi rakyat-rakyat daerah-daerah lain. Pemerintah Pusat tidak hanya memikirkan kepentingan Pusat saja dan Pemerintah Daerah hanya memikirkan kepentingan daerahnya sendiri saja. Pada umumnya yang menjadi pusat persoalan adalah masalah ekonomi. Di Indonesia, daerah-daerah yang pada umumnya mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri adalah daerah-daerah yang kaya akan sumber alam yang vital seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Irian Jaya. Di samping itu, agama yang fungsi utamanya ada kaitannya dengan kehidupan, bisa menjadi faktor yang menentukan dan berpengaruh terhadap nilai-nilai yang dominan di dalam masyarakat. Khususnya di Aceh, agama Islam dilihat dari posisi struktural dan kadar komunitasnya, pengaruhnya berakar dalam dan luas di dalam masyarakat. Maka para ulama adalah besar kewibawaannya, tidak saja di dalam struktur keagamaan dan di dalam lingkup komunitas Islam, melainkan juga di dalam kehidupan politik dan masyarakat. Hal itu berbeda dengan di Jawa, terutama Jawa Tengah. Sejak Mataram Sultan Agung, agama Islam di dalam posisi struktural ditempatkan di bawah dominasi Kerajaan. Sinkretisme Islam-Hindu-Animisme lebih hidup sebagai kepercayaan orang-orang Jawa, terutama di lingkungan keraton Yogyakarta dan Surakarta. Pada era Mataram pasca Majapahit, Sunan Giri dan penghulu-penghulu kerajaan semula bukan hanya penasehat-penasehat raja. Terhadap kekuasaan politik pun berperan menentukan juga. Kemudian, sesudah Sunan Giri ditaklukkan oleh Sultan Agung, penghulu-penghulu sebagai kepala agama Islam, agama resmi kerajaan, kedudukan mereka dirubah tidak lebih dari hanya sebagai abdi-abdi kerajaan. Untuk menunjukkan bahwa penguasa tertinggi adalah raja, di samping sebagai bentuk daya tarik, para penghulu jika menghadap raja tidak lagi bersorban. Mereka mengenakan �kuluk� di kepala dan meskipun dipayungi dengan payung berseret ke-emasan posisinya tidak lain dari abdi kerajaan.

Untuk kasus Aceh, tidak saja masalah ekonomi, masalah agama, khususnya agama Islam menduduki juga tempat sentral. Di samping itu, sesudah Soeharto berkuasa, kekejaman perlakuan aparat kekuasaan terhadap rakyat, militer dan polisi, sangat menonjol. Maka dari itu, tentara dan polisi perlu bersih dari kultur �gebug� dan �libas� peninggalan rezim Soeharto, dan tidak cukup hanya dengan DOM diganti penamaannya menjadi PPRM, tapi operasi militer dan polisi masih menunjukkan kekejaman yang menghantui rakyat. Keresahan di bidang ekonomi di Aceh adalah disebabkan karena terlalu sedikitnya bagian kekayaan yang dijatahkan untuk pengembangan ekonomi daerah dan perbaikan nasib rakyat. Dalam hal ini perlu ada kebijaksanaan baru yang berarti adanya keseimbangan antara sistem alokasi dan distribusi pemerintah pusat dan kepentingan pemerintah daerah. Akselerasi pengembangan ekonomi, terutama di bidang produksi dan teknologi tidak usah mesti berlebih-lebihan sehingga menciptakan membengkaknya kesenjangan antara pendapatan pemerintah (tidak saja pusat, tapi juga daerah) dan rakyat, begitu juga antara pendapatan golongan kaya dan golongan miskin. Untuk daerah Aceh, pandangan dan sikap para ulama sebagai golongan yang berwibawa dan disegani di dalam masyarakat, perlu mendapatkan penghargaan di dalam rangka menyelesaikan masalah daerah. Sedang pada masa menghadapi pembaruan sekarang ini, visi dan partisipasi para mahasiswa serta kaum inteligensia juga berperan penting. Adapun di dalam menghadapi "Gerakan Aceh Merdeka" (GAM), Pemerintah Pusat perlu mengkondolidasi diri dengan baik sampai posisinya di Aceh, termasuk militer dan polisi, mendapatkan dukungan dari rakyat. Penyelesaian yang terbaik adalah dengan jalan damai. Sudah barang tentu hal itu bergantung pada perkembangan kongkritnya, pada bagaimana posisi serta sikap GAM dan terutama pada bagaimana kemauan baik pemimpin-pemimpinnya.

Adapun integritas Indonesia sebagai suatu nasion yang utuh, perlu dipertahankan di dalam bentuknya yang sekarang. Sengketa-sengketa di daerah-daerah yang bisa merong-rong integritas nasional seperti yang terjadi di daerah Maluku mengambil bentuk perbedaan agama atau perbedaan etnik. Pengalaman telah menunjukkan, bahwa sengketa-sengketa yang ada pada umumnya diububi oleh oknum-oknum atau golongan-golongan di luar yang bersengketa langsung. Dalam hubungan ini yang terutama dicanangkan justru klik Soeharto beserta keluarganya, pihak militer dan polisi, begitu juga orang-orang dan golongan-golongan yang tanpa Soeharto meneruskan politik dan kultur Soeharto. Biasanya di dalam sengketa-sengketa itu yang dipakai sebagai tema pokok adalah membesar-besarkan perbedaan kedudukan ekonomis antara golongan-golongan penduduk yang bertempat tinggal di dalam satu lingkungan masyarakat yang sama. Misalnya golongan penduduk etnik Tionghoa kedudukan ekonomisnya lebih baik ketimbang golongan penduduk �asli�. Ada pula aspek lain di mana golongan penduduk pendatang yang beragama Islam ekonomis kedudukannya lebih baik ketimbang golongan penduduk �asli� yang beragama Kristen. Jadi di dalam konteks ini, konflik-konflik yang dikobarkan antara golongan-golongan penduduk baik berdasarkan perbedaan etnik maupun agama, pada hakekatnya hanya merupakan bentuk luar saja. Yang menjadi tema pengobaran sengketa-sengketa itu jika dihubungkan dengan perkembangan situasi politik Indonesia sekarang, bisa mempunyai latar belakang yang bersegi banyak. Bertolak dari pamrih golongan atau oknum tertentu meraih keuntungan ekonomis, sengketa-sengketa itu bisa dikobarkan. Tapi kemungkinan lain tidak tertutup. Bisa sebagai pembauran atau pengalihan sasaran politik, dan bisa juga sebagai upaya menciptakan disintegrasi nasional merong-rong politik pemerintah pusat atau merebut kekuasaan politik. Situasi yang dipilih dan dianggap baik untuk membakar sengketa-sengketa biasanya pada saat rakyat sedang mengalami kesusahan, terutama yang menyangkut penghidupan. Maka masalah-masalah daerah yang bersegi banyak memerlukan perbaikan-perbaikan, jika perlu dan mungkin malah perombakan-perombakan, yang dipusatkan pada kepentingan dan aspirasi rakyat banyak. Segi-seginya yang meliputi kehidupan ekonomi, sosial, budaya, agama, etnik, tatanan dan kinerja politik, penanganannya bergantung pada situasi dan kondisi kongkrit setempat. Segi ekonomi, terutama yang bersangkutan langsung dengan perbaikan penghidupan rakyat banyak menduduki tempat terdepan sebagai prioritas untuk ditangani. Militer dan Polisi supaya tidak langsung melibatkan diri di dalam persengketaan dengan memilih pihak, sehingga membikin bertambah kompleksnya situasi. Maka struktur serta perlakuan militer dan polisi pun memerlukan perbaikan atau perombakan juga. Mengenai segi yang terakhir ini adalah penting untuk pertama-pertama menyejarahkan pengaruh sisa-sisa kultur �gebug� dan �libas� a la Soeharto. Perombakan-perombakan terhadap pimpinan militer dan polisi supaya didasari dengan prinsip-prinsip demokratisasi dan ideologis berlambaran pada kemanunggalan tentara dan polisi dengan rakyat. Militer dan polisi dari atas sampai ke bawah perlu tergembleng untuk betul-betul cinta kepada rakyat, bebas dari perasaan dan pikiran sebagai golongan tersendiri yang superior ketimbang rakyat pada umumnya. Tugas pokok militer adalah membela serta mempertahankan kedaulatan dan integritas nasional. Militer bukan wahana perampas kemerdekaan rakyat negeri lain. Aneksasi Indonesia terhadap Timor Timur oleh rezim diktatur militer Soeharto, meskipun dikemas dengan selaput �integrasi�, adalah suatu pengalaman pahit yang tidak saja berarti penindasan terhadap rakyat Timor Timur, tapi juga pencemaran terhadap martabat Indonesia di mata dunia internasional. Urusan perlindungan terhadap rakyat akan keamanan dan keselamatan mereka merupakan tugas pokok polisi. Masalah-masalah yang bisa mengundang persoalan-persoalan disintegrasi serta masalah-masalah sengketa agama dan etnik pada prinsipnya tidak memerlukan campur tangan pihak asing. Terutama jika pihak asingnya adalah wakil-wakil kapitalis adidaya Amerika yang selalu mempunyai pamrih di belakang layar. Baik politis maupun ekonomis mereka tidak bisa dipercayai untuk berkemauan baik mengentas Indonesia sebagai negara yang politis dan ekonomis mandiri.

3. Agama, Islam dan Marxisme

Di Indonesia, agama berdampak kuat terhadap kehidupan orang banyak, terutama agama Islam yang meliputi sebagian terbesar penduduk Indonesia. Maka sengketa antar golongan-golongan yang berbeda agamanya, di samping berintensitas tinggi, juga meliputi orang-orang dan golongan-golongan penduduk yang berjumlah banyak. Kenyataan telah menunjukkan, bahwa sengketa antar golongan-golongan yang berbeda agamanya, dilihat dari jumlah orang yang terlibat, lebih banyak, dan dari waktu keberlangsungannya, lebih lama ketimbang sengketa antar golongan-golongan etnik. Jadi, masalah agama di Indonesia penting untuk mendapatkan tempat ulasan khusus yang bisa dikaitkan dengan batas pengertian umumnya, sejarah dan penampilannya, terutama yang sehubungan dengan masalah politik. Maksud pokok di sini adalah bagaimana agama pada umumnya yang bersifat mempertahankan dan menjunjung tinggi nilai-nilai positif kehidupan, sebaliknya dari mencerai-beraikan, tidak merintangi pembinaan persatuan antar pelbagai golongan di dalam usaha memperbaiki tingkat hidup rakyat, menegakkan demokrasi serta membela dan mempertahankan integritas nasional.

Jika menelusuri perjalanan sejarah dan kehidupan manusia, agama terjumpai di setiap tingkat perkembangan masyarakat. Studi tentang agama mengindikasikan adanya gambaran penting tentang keinginan manusia untuk memperoleh nilai positif di dalam hidupnya, sehinggga bisa mendapatkan tempat yang baik di akhirat. Dengan percaya serta memeluk suatu agama, manusia lalu mempunyai pegangan bahwa hidup tidaklah kebetulan dan sia-sia. Efek agama terhadap perilaku manusia, terutama ada kaitannya dengan masalah moral. Memang ada perdebatan, apakah keberadaan moral itu mutlak berkaitan dengan agama atau bisa tanpa agama. Namun, agama pada umumnya mempunyai bimbingan moral. Hukum yang berlaku bagi perilaku manusia di bidang moral, kebanyakannya mempunyai dasar keagamaan, yang dimanifestasikan di dalam bentuk ajaran-ajaran tertulis dan tindakan petugas-petugas kelembagaan agama. Sejak kekuasaan Hammurabi dari Babylonia yang terkenal, yaitu pada sekitar abad ke delapanbelas sebelum Masehi, sudah ada undang-undang tentang ketetapan-ketetapan moral yang dinyatakan sebagai amanat Tuhan yang adil.

Menurut pendefinisian filsafawan A.N. Whitehead, agama adalah apa "yang dilakukan oleh seseorang berdasar atas jati dirinya sendiri. Namun, agama selalu mempunyai seginya yang bersifat sosial dan diekspresikan sebagai pedoman bagi perilaku seseorang. Di satu pihak ada sebuah organisasi yang kuat, seperti misalnya gereja, sedang di pihak lain ada model hidup keagamaan dalam bentuk menyepi di dalam hutan" (Geoffrey Parrinder, An Illustrated History of the Word�s Religions, hlm. 10)

Di samping adanya lembaga keagamaan yang terorganisasi, ada sebuah kepercayaan yang malahan dikatakan sebagai bentuk awal agama, yaitu yang disebut animisme. Di kalangan penduduk Indonesia, animisme hidup naluri sebagai kepercayaan orang banyak. Misalnya makam orang besar yang karismatik seperti makam presiden Soekarno, berkekuatan menghipnos lapisan luas masyarakat sebagai penziarah. Di dalam bulan �Ruwah�, bagi penduduk suku Jawa, memuja leluhur dengan mengadakan selamatan dan membagi-bagikan makanan, begitu juga berziarah ke makam leluhur atau sanak saudara, berpeluang menanamkan serta memupuk kekeluargaan di antara anggota-anggota keluarga dan sesama anggota masyarakat selingkungan.

"Pada tahun 1871, Edward B. Tylor menggunakan istilah �animisme� dalam menguraikan teorinya tentang agama. Bertolak dari anima, kata bahasa Latin untuk roh, teori tentang animisme mengetengahkan, bahwa berdasar atas impian, persepsi imajinatif, bayangan halusinatif dan kematian, rakyat yang masih primitif menganggap diri mereka dihuni oleh roh yang tidak berbadan wadak. Sesudah kematian, muncul di dalam imajinasi, adanya roh yang bersifat langgeng, bahwa roh menyusupi berbagai obyek, dan dinilai sebagai obyek pemujaan. Herbert Spencer, seorang sosiolog dan filsafawan menganggap, bahwa agama berasal dari persepsi imajinatif atau dari munculnya anggapan tentang adanya roh sesudah kematian, yang menempatkan roh para leluhur sebagai obyek pemujaan. Namun, Tylor, Spencer, dan lainnya yang mengemukakan teori tadi tidak dapat membuktikan, bahwa rakyat yang primitif di jaman pra sejarah, benar-benar berfikir demikian, dan menempatkan roh menjadi obyek pemujaan hanyalah berdasar atas perkiraan belaka. Jika toh pernah ada pikiran yang demikian, tidak bisa dipastikan bahwa hal itu bersifat universil. Animisme yang berbentuk demikian, kini sudah tidak lagi dipakai sebagai bahan penjelasan di dalam studi mengenai masalah agama.

Sesuatu yang dimaksudkan sebagai pelurusan terhadap teori tentang animisme, dikemukakan oleh R.R. Marett pada tahun 1899, yang mengatakan bahwa �manusia primitif pada mulanya tidak memikirkan adanya roh, tapi mempunyai kepercayaan tentang adanya kekuatan atau kekukatan-kekuatan di luar kehidupan pribadi manusia (impersonal) di dunia; hal itu ia sebut �animatisme�. Hipotesisnya ada kaitannya, lebih banyak secara kebetulan, dengan kata-kata mana yang dipakai oleh orang-orang Melanesia dari lingkungan Pasifik, di dalam menyatakan pendapat mereka tentang adanya kekuatan spiritual atau rohaniah. Adanya orang-orang yang membayangkan di dalam persepsi mereka dan percaya terhadap adanya kekuatan impersonal, dikonstatasikan sebagai asal-usul agama. Marett menganggap bahwa orang-orang jaman dulu kala lebih banyak adalah aktor-aktor ketimbang pemikir-pemikir, bahwa tentang agama oleh mereka tidak banyak dipikirtuntaskan selain ditampiltuntaskan berbentuk tarian�. �Menurut penyelidikan yang lebih belakangan ditunjukkan, bahwa dengan mana, yang dimaksudkan oleh orang-orang Melanesia bukan kekuatan impersonal yang ada di dalam semesta seperti yang dikatakan oleh Marett dan lain-lain, tapi lebih banyak berupa kualitas spiritual yang ditentukan perbedaannya oleh manusia "(Geoffrey Parrinder, ibid, hlm. 11-13).

Pikiran-pikiran Tylor, Spencer, Marett dan lain-lain, di sini hanya diketengahkan sebagai gambaran umum dan bahan pertimbangan. Mengenai penggunaan istilah, yang pada umumnya dipakai adalah versi Tylor. Sedang mengenai pengertian, versi Marett adalah yang popular. Di Indonesia kepercayaan animistis di kalangan rakyat cukup kuat, tidak saja dalam hal memuja orang-orang yang telah meninggal, tapi juga kepercayaan terhadap adanya �badan-badan halus (spiritual)� yang menghuni lautan, gunung, pepohonan, benda-benda yang dianggap keramat dan lain-lain. Sinkritisme Islam-Hindu-Animisme, di kalangan penduduk suku Jawa masih hidup menjelajahi kepercayaan serta pandangan hidup orang banyak, dan dikualifikasikan sebagai ciri khas �kejawen�.

Untuk adanya gambaran yang bersifat komparatif dan lebih melengkapi bagian tulisan ini, Geoffrey Parrinder menulis sebagai berikut: "Agama yang universil pada setiap tingkat sejarah dan kehidupan manusia, tidak harus berarti bahwa semua individu adalah religius , atau religius pada peringkat yang sama. Sekarang ini sementara orang ada yang menyatakan dirinya tidak beragama, meragukan atau malah memusuhi semua bentuk agama. Mereka itu disebut ateis jika mereka mengingkari adanya kekuatan supernatural, atau dikatakan agnostisis jika mereka berpendirian bahwa kekuatan supernatural itu tidak dapat diketahui atau dibuktikan dengan pasti". Namun, tuduhan ateis terhadap seseorang atau suatu paham tidak selalu tepat pada tempatnya. Di dalam bagian tulisannya yang sama, Geoffrey Parrinder mengatakan, bahwa "Sokrates dihukum mati di Atena karena dituduh mengajarkan ateisme kepada anak-anak muda, walaupun sebenarnya ia hanya mengkritik adanya mitos terhadap dewa-dewa Yunani, dewa-dewa yang menurut Sokrates dianggap tidak bermoral (immoral). Padahal Sokrates percaya terhadap adanya roh yang langgeng (immortal) dan adanya suatu kekuatan gaib yang genius, yang dia percaya memberikan bimbingan kepadanya" (Geoffrey Parrinder, Ibid, hlm.9).

Pada abad ke 17, ada visi baru di kalangan kaum filsafawan. Di dalam menangani masalah-masalah keduniaan, mereka tidak lagi mau terikat oleh dogma-dogma religius. Mereka hanya mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nonteologis. Misalnya Francis Bacon dan René Descartes berkeyakinan, bahwa manusia mempunyai kekuatan nalar yang bersandar pada eksistensi dirinya sendiri. Isaac Newton dan Voltair percaya, bahwa universum dikendalikan berdasar atas hukum-hukum alam yang tidak berada di tangan Tuhan. Visi baru ini dikenal sebagai sekularisme. Visi baru ini berbeda dengan ateisme dan agnostisisme. Ia tidak langsung memusuhi agama, tapi memisahkan diri dari keagamaan di dalam menangani masalah-masalah keduniaan. Misalnya sesudah kekuasaan politik di Turki tidak lagi berada di tangan Empirium Ottoman, di bawah pimpinan Kemal Attaturk agama dipisahkan dari negara. Tindakan itu merupakan salah satu bentuk sekularisme. Di satu pihak hal itu berarti bertoleransi terhadap agama, di lain pihak kelaliman Empirium Ottoman yang mensalahgunakan agama diakhiri. Beda misalnya dengan politik kaum kolonialis Belanda, yang dengan menampilkan Snouck Hurgronje berusaha memisahkan agama Islam dari politik dengan tujuan supaya rakyat Aceh hanya menekuni agama saja tanpa memikirkan masalah politik, sehingga tidak melawan penjajah Belanda. Dalam hal ini agama disalahgunakan untuk meninabobokkan rakyat.

Sejak awal abad ke-20 dengan bangkitnya gerakan nasional Indonesia, sudah terjadi perdebatan-perdebatan yang hangat antara pemimpin-pemimpin gerakan yang mengibarkan panji-panji agama Islam dan pemimpin-pemimpin gerakan yang berorientasi sekular. Pemimpin-pemimpin itu pada umumnya dikategorikan ke dalam golongan intelektual. "Kaum intelektual Muslim yang kebanyakan, ketika itu telah dipengaruhi oleh reformisme Islam di Timur Tengah, yang berasal dari Mesir sampai abad ke-19. Sedangkan sebagian terbesar kaum intelektual yang berorientasi sekular pada saat yang sama, dipengaruhi oleh ide-ide sosialis yang ada di atau yang berasal dari Nederland, di mana sejumlah penting kaum intelektual Belanda pun telah berada di bawah pengaruh Marxisme" (George Mc Turnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1952, halaman 74. Dikutip oleh M. Pabotinggi, Intelektual Pemimpin, Prisma 6, Juni 1982, halaman 44).

Perdebatan yang gencar ketika itu antara lain adalah antara Muhammad Natsir di pihak golongan Islam dan Soekarno sebagai seorang nasionalis sekular. Natsir adalah seorang intelektual Islam berasal dari Sumatra Barat yang di samping berpendidikan tradisional Islam, telah menyelesaikan sekolahnya di Negeri Belanda. Natsir menentang keras konsep kenegaraan Soekarno yang sekularistis, dengan antaranya menyatakan pendapatnya bahwa "proteksi terhadap Islam di sebuah negara �netral� sebagaimana yang dijamin oleh Soekarno itu tidak berarti apa-apa, karena di bawah kekuasaan penjajahanpun proteksi semacam itu sudah diberikan. Dan dengan mengingatkan Soekarno akan pengorbanan kaum Muslimin Indonesia selama berabad-abad penindasan, dan perjuangan melawan Belanda serta golongan kecil yang setia kepadanya, Natsir menyatakan bahwa jaminan semacam itu samasekali tidak sepadan. Lagipula, menurut dia Islamlah yang seharusnya melindungi negara, bukan sebaliknya" (M. Pabotinggi, Ibid., hal. 49). Barangkali ucapan Soekarno untuk menjamin proteksi terhadap Islam di sebuah negara �netral� (maksudnya Indonesia Merdeka, pen.), membuat sakit hati Natsir. Tetapi bahwa menurut keterangan Natsir di bawah kekuasaan penjajah Belanda proteksi terhadap Islam telah diberikan, kenyataannya tidak demikian. Islam yang dilindungi oleh penjajah Belanda adalah Islam versi Snouck Hurgronje yang dimanfaatkan supaya orang hanya menekuni agamanya saja untuk melupakan perjuangan melawan penjajah. Natsir sendiri yang menjabat Perdana Menteri sesudah perjanjian KMB ditandatangani, pada permulaan tahun 1951 pemerintahnya mengeluarkan Undang-Undang Darurat Larangan Mogok, sehari sebelum berlakunya pemogokan umum buruh minyak perusahaan besar Belanda BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij) yang sudah diumumkan dan diketahui oleh pemerintah Natsir. Itulah tindakan pemerintah Natsir yang justru menguntungkan bagi kepentingan modal besar Belanda dan bertentangan dengan kepentingan kaum buruh untuk perbaikan nasib. Orang menjadi bertanya-tanya terhadap ucapan Natsir bahwa �Islam yang seharusnya melindungi negara, dan bukan sebaliknya�. Panji-panji Islam yang pernah dikibarkannya tinggi-tinggi tidak dimanfaatkannya untuk melindungi negara dan rakyat Indonesia dari rong-rongan modal monopoli asing. Justru Soekarnolah yang lebih konsisten. Ide Soekarno yang tercetus di dalam Pancasila justru mencerminkan proteksi negara Indonesia sesudah Proklamasi Kemerdekaan terhadap Islam dan terhadap agama, meskipun di dalam konteks yang memerlukan perbaikan yang berpicu pada kebebasan beragama dan kebebasan mengutarakan pandangan hidup. Pada jaman modern di mana pikiran manusia dan ilmu makin berkembang, orang atau golongan yang ingin melacak kebenaran bagi kehidupan yang terlepas dari kepercayaan keagamaan atau ketuhanan perlu dijamin kebebasannya. Hanya saja, demi persatuan nasional, yang bersangkutan supaya tidak mengkonfrontasikan keyakinannya melawan agama.

Perdebatan antara Natsir dan Soekarno itu sudah lama lewat dan terjadinya sebelum adanya Republik Indonesia. Masa kini bukanlah masa konfrontasi langsung antara kekuasaan kolonialisme Belanda dan rakyat Indonesia. Kekuatan-kekuatan pokok yang dihadapi rakyat Indonesia sekarang yang perlu dicegah dominasinya terhadap kekuasaan negara, yang pertama-tama tetap Soeharto bersama keluarga serta kroni-kroninya yang di belakang layar masih mampu memainkan peran tidak kecil di bidang politik, ekonomi dan militer, di samping sekaligus termasuk juga kekuatan-kekuatan yang berselubung reformasi. Tidak pula dapat dilewatkan sebagai sasaran pokok, kekuatan-kekuatan yang di Indonesia melincirkan pengokohan serta peluasan operasi kapitalisme monopoli internasional, kapitalisme monopoli dan birokrat domestik, tanpa mempedulikan kehidupan kapitalisme nasional, kapitalisme sedang dan kecil. Kekuatan-kekuatan pokok di atas adalah sumber kerentangan hidup rakyat.

Memanfaatkan kehidupan demokratis yang ada untuk memperkuat dan memperluas Persatuan Nasional Demokratis, dewasa ini adalah sangat urgen. Apalagi rakyat Indonesia dewasa ini sedang menghadapi usaha akut kaum separatis merongrong integritas nasional. Sengketa-sengketa dan prasangka-prasangka yang hanya merusak Persatuan Nasional Demokratis perlu dihindari. Toleransi yang lebih besar antara berbagai golongan yang berbeda pendapat sangat diperlukan. Sesuai dengan perkembangannya yang sekarang, masyarakat Indonesia yang merangkumi pelbagai golongan, di dalam menangani masalah-masalah keduniaan ada yang menempuh jalan berdasarkan pandangan keagamaan dan ada yang sekular. Jika ada pihak yang berpendirian, bahwa hanya pandangannya sendiri saja yang benar dan yang lain salah, pendirian a priori semacam itu hanya bisa dimasukkan ke dalam kategori fundamentalisme yang tidak demokratis. Pendirian itu berarti tidak juga membantu pembinaan Persatuan Nasional Demokratis. Tidak berarti anti Islam atau anti agama pada umumnya, masalah-masalah keduniaan, termasuk masalah negara, demi persatuan nasional, sebaiknya penyelesaiannya ditangani bersama, tanpa berprasangka karena kelainan agama, etnik, pandangan hidup dan keyakinan politik.

Pada tahun 1921, berlangsung perdebatan sengit di dalam partai Sarekat Islam antara faksi Komunis yang ketika itu dipimpin oleh Semaun dan Tan Malaka di satu sisi, sedang di sisi lain Haji Agus Salim yang mewakili faksi Islam. Itulah perdebatan yang berkulminasi menjadi perpecahan yang terbuka. (Tan Malaka meninggalkan PKI sesudah gagalnya pemberontakan rakyat tahun 1926 dan pada tahun 1948 adalah tokoh utama pendiri Partai Murba. Semaun juga meninggalkan PKI dan sekembalinya di Indonesia pada tahun 1953 setelah hidup bertahun-tahun dan berkeluarga di Uni Soviet, mengggabungkan diri dengan Partai Murba - pen.). Argumentasi Salim yang bisa diikuti dari kutipan-kutipan yang ada ialah, bahwa "Mohammad telah mengkhotbahkan ilmu ekonomi Sosialis dua belas abad sebelum Marx dilahirkan" (Kahin, op.cit. halaman 76). Salim juga berpendapat "bahwa semua kebajikan Marxisme dapat ditemukan di dalam Islam, sedang semua kekurangan, kesalahan dan keaiban Marxisme tidak terdapat di dalam Islam" (Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia. (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973), halaman 124. (Kutipan-kutipan tulisan Kahin dan Noer diambilkan dari tulisan M. Pabotinggi, Intelektual Pemimpin, Prisma 6 Juni 1982, halaman 47). Dua buah kutipan dari argumentasi Salim itu hanya merupakan pernyataan di dalam garis besarnya saja. Sedang bagaimana rincian detailnya adalah yang lebih penting. Orang perlu tahu apa yang dimaksudkan oleh Salim dengan ekonomi Sosialis yang telah dikhotbahkan oleh Mohammad, dan apa saja kongkritnya yang menunjukkan bahwa semua kebajikan Marxisme dapat ditemukan di dalam Islam, sedang semua kekurangan, kesalahan dan keaiban Marxisme tidak terdapat di dalam Islam. Sampai sekarang orang tidak pernah melihat bukti-bukti kongkrit dari ucapan Salim itu di dalam kenyataan. Di samping itu, pada saat terjadinya perdebatan itu Marxisme sebagai teori ilmu pengetahuan belum cukup dikenal di Indonesia, meskipun di kalangan kaum Komunis. Bagi orang-orang yang menganut paham Sosialisme pada saat itu, umumnya yang ada di dalam pikiran mereka adalah gambaran mentah tentang masyarakat yang secara popular disebut sebagai �Masyarakat Sama Rata Sama Rasa�. Sosialisme ilmiah berdasarkan Marxisme masih belum cukup dikenal. Yaitu Sosialisme yang didasari dengan pengalihan total alat-alat produksi menjadi milik seluruh masyarakat. Sosialisme yang mengabdikan produksi tidak lagi kepada nafsu komersial kaum kapitalis dalam mengejar keuntungan maksimum, tapi langsung kepada kepentingan masyarakat untuk membuka jalan bagi perbaikan tingkat hidup orang banyak. Sosialisme yang bukan menyemboyankan terwujudnya "Masyarakat Sama Rata Sama Rasa". Semboyan masyarakat Sosialis adalah "dari masing-masing sesuai dengan bakatnya, kepada masing-masing sesuai dengan hasil kerjanya" Di dalam masyarakat Sosialis kerja masih ditempatkan sebagai sarana hidup dengan prinsip "barang siapa tidak bekerja, tidak akan bisa makan". Sedang di dalam masyarakat Komunis saja, masyarakat tidak berkelas yang masih merupakan jangkauan sangat jauh, semboyannya bukan "Sama Rata Sama Rasa", tapi "dari masing-masing sesuai dengan bakatnya, kepada masing-masing sesuai dengan kebutuhannya". Orang-orang Komunis Indonesia pada waktu itu diri mereka belum cukup dipersenjatai dengan teori Sosialisme ilmiah berdasarkan Marxisme, yang berlandasan pada Materialisme Dialektis dan Historis. Mereka lebih banyak hanya membayangkan hari depan gemilang di dalam apa yang disebut dengan masyarakat "Sama Rata Sama Rasa". Pada tahun-tahun itu masih belum cukup diketahui sulitnya membangun Sosialisme. Sosialisme yang karena lahir langsung dari kandungan masyarakat kapitalis masih belum bebas sepenuhnya dari sisa-sisa kapitalisme di banyak bidang: ekonomis, moral dan intelektual. Sosialisme yang masyarakatnya masih belum bebas dari adanya klas-klas, pertentangan dan perjuangan klas. Sosialisme yang perwujudannya perlu bertahap. Yang memerlukan solidaritas berupa saling bantu dan keserempakan bertindak rakyat-rakyat beserta kekuasaan-kekuasaan politik demokratis berbagai negeri. Sosialisme yang pembangunannya bisa menjumpai kegagalan. Maka apa yang diperdebatkan di atas untuk masa sekarang adalah abstrak.

Di Indonesia pada waktu ini, jika menggunakan istilah yang diwarisi dari Rezim Diktatur Militer Soeharto, Ajaran Komunisme dan Marxisme serta Partai beraliran Komunis di Indonesia, formal dilarang melalui apa yang disebut dengan Tap MPRS No. 25/1966. Larangan hasil rekayasa ini adalah follow up dari sebuah konspirasi avonturis dengan sebutan �Gerakan 30 September 1965�, dan PKI dianggap yang mendalanginya. Sebuah konspirasi yang ditumpangi dengan teror misterius dan membawa korban terbunuhnya petinggi-petinggi militer seperti Ahmad Yani yang meskipun tidak suka kepada kaum Komunis tapi mendukung Soekarno. Sebuah konspirasi yang justru membuka peluang bagi Soeharto dan klik militer di sekelilingnya untuk naik ke pentas kekuasaan dengan menjatuhkan presiden Soekarno serta pemerintahan yang dipimpinnya. Mayoritas terbesar kader serta anggota PKI, termasuk yang berkedudukan memimpin, apalagi kader-kader dan anggota-anggota organisasi-organisasi massa yang dianggap berada di bawah payung PKI, tidak tahu-menahu tentang adanya konspirasi di atas. Mereka yang tidak tahu apa-apa dan tidak samasekali terlibat di dalam konspirasi "G. 30 S.", tidak bisa di "gebyah uyah", dipukulratakan, untuk hanya asal dikutuk, dipaksa mengaku salah dan apa lagi diharuskan ikut bertanggung jawab. Konspirasi di atas bukan politik PKI. Bukan pula penerapan Marxisme sesuai dengan perkembangan jaman, sesuai dengan syarat-syarat kongkrit serta ciri-ciri khas masyarakat Indonesia. Jadi tidak ada faktor yang bisa begitu saja, tanpa rekayasa, dijadikan sebagai motif untuk melarang PKI dan melarang penyebaran Marxisme.

Rezim Diktatur Militer Soeharto memang berkepentingan melarang PKI dan penyebaran ajaran Marxisme. Dengan larangan itu rezim Soeharto mendapatkan jalan yang lapang untuk mempertahankan dan mengkonsolidasi kekuasaan. Itulah kekuasaan represif terhadap jutaan rakyat yang tidak berdosa dengan menangkap, menahan, memenjarakan, mengasingkan, membunuh dan menyiksa secara sangat biadab, serta membikin terdamparnya ratusan orang di negeri-negeri asing. Sebuah kekuasaan yang hanya mendatangkan malapetaka bagi penghidupan jutaan rakyat Indonesia. Sebuah kekuasaan yang melapangkan penumpukan kekayaan Soeharto sekeluarga beserta kroni-kroninya dengan menguras kekayaan rakyat. Sebuah kekuasaan yang membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya modal monopoli asing di Indonesia dan menempatkan posisi ekonomi Indonesia jauh dari bisa dikatakan mandiri. Sebuah kekuasaan yang mencekek leher rakyat Indonesia dengan utang luarnegeri yang berjumlah milyardar dolar Amerika. Sebuah kekuasaan yang semakin menyerimpung kebebasan politik pemerintah Indonesia karena terutama jiratan perjanjian utang luar negeri. Bagaimanapun juga Soeharto beserta keluarga, kroni-kroni dan bekas anggota-anggota rezimnya membantah, dosa mereka adalah dosa besar yang tidak ada tolok bandingnya selama Indonesia Merdeka. Dosa itu tidak bisa hanya dibiarkan dan terulang kembali. Sebagai pelajaran sejarah yang negatif bagi rakyat, dosa itu tidak bisa hanya dilupakan atau dimaafkan begitu saja tanpa ada imbalannya yang setimpal. Tidak kali itu saja PKI dipukul dengan dikambing hitamkan �mengobarkan pemberontakan�. Burjuasi reaksioner Indonesia yang berkuasa pernah menumpas kaum Komunis di dalam Peristiwa Madiun 1948 yang berlumuran darah. Suatu teror di dalam rangka �Red Drive Proposal� yang didalangi oleh komplotan reaksioner internasional di bawah dominasi kaum imperialis Amerika, tapi yang ditempeli etiket palsu sebagai �pemberontakan Komunis�. Kejadian itu adalah sebuah provokasi yang membuka pintu bagi agresi militer Belanda, dan kemudian disusul dengan penandatanganan Perjanjian KMB yang melapangkan jalan bagi investasi modal monopoli asing dan menempatkan Indonesia meskipun politis relatif merdeka, tapi tidak mandiri di bidang ekonomi. Mereka yang masih menggondeli pencabutan �Tap MPRS No. 25/1966� supaya bisa berfikir dan memberikan penilaian obyektif. Tidak bisa hanya dengan �asal� saja menuduh PKI anti nasional, anti demokrasi, penyulut kerusuhan, dalang dukun santet, pengambil keuntungan atas kemelaratan, pemecah belah persatuan, suka menusuk dari belakang, penghalal segalanya, ateis dsb., tanpa memberikan kesempatan kepada pihak yang dituduh untuk membela diri. Usul pencabutan �Tap� di atas bukanlah bahan tertawaan dan dagelan. Andaikata setuju dengan pencabutan �Tap� itu, tidaklah tepat jika pertimbangannya berdasar atas kemanusiaan dan pembebasan anak cucu tertuduh. Pertimbangan yang tepat tidak juga bertolak dari menutupi dosa dan kehawatiran akan pembalasan dendam, melainkan dari prinsip menggalang dan memperkuat Persatuan Nasional Demokratis. Tidak bertolak dari pamrih pribadi atau golongan, tidak berat sebelah, terlepas dari semua prasangka, bebas dari pengaruh hasutan, propaganda serta pembuktian-pembuktian palsu Rezim Diktatur Militer Soeharto, dan bersih dari tekanan kekuatan-kekuatan internasional, terutama tekanan kaum imperialis Amerika. �Tap MPRS No. 25/1966� adalah hasil rekayasa sebuah rezim militer yang tidak demokratis. Keberlakuannya adalah sebagai dalih yang dimanfaatkan untuk membendung perkembangan perjuangan klas buruh yang bersatu dengan kaum tani dan merusak Persatuan Nasional Demokratis. Hanya saja tidak usah ditunggu-tunggu supaya �Tap� tersebut dicabut. Gerakan rakyat tidak bergantung pada pencabutan formalnya dan tidak perlu berhenti karenanya.

Tentang Marxisme, yang menarik adalah yang ditulis oleh sementara penulis di dalam posisi bandingnya dengan Islam. Marxisme dan Islam dua-duanya dikatakan mengandung nilai-nilai Sosialisme yang tidak bertentangan satu sama lain. Di dalam majalah Prisma No. 2, februari 1982, hal. 89 - 95 , Amil Khalil telah mengulas buku yang ditulis oleh profesor Syed Hussein Alatas dari Malaysia yang berjudul Islam dan Sosialisme. Di bawah ini adalah sebuah kutipan dari ulasan itu:

"Menurut pendapat profesor Alatas Islam dan Sosialisme bukanlah dua hal yang bertentangan. Memang, dalam ajaran Islam terdapat komitmen yang sangat kuat terhadap cita-cita sosialis tertentu. Hal ini menyebabkannya berbicara tentang Sosialisme di dalam Islam dan tentang '�Sosialisme Islam�. Namun, dia memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa sementara Islam tidak bertentangan dengan Sosialisme karena ia sudah mengandung cita-cita sosialis yang sentral, ia tidak harus sesuai dengan semua bentuk pemikiran sosialis. Pada khususnya, dia mengingkari kesesuaian yang mungkin ada antara Islam dan Marxisme. Isyu yang kedua ini, mungkin bisa dimengerti, sedikit sekali mendapat perhatian di dalam buku tersebut. Selain mengacu kepada beberapa tulisannya yang terdahulu, mengidentifikasikan aspek-aspek tertentu dari Marxisme yang tidak dapat diterimanya, dan menunjukkan bahwa Islam bertentangan dengan doktrin-doktrin ateistik, dia tidak langsung membuat pembahasan untuk membuktikan bahwa Islam dan Marxisme bertentangan pada tingkat-tingkat tertentu yang khusus.

Artikel Kassim Ahmad rupanya bertolak persis dari titik ini ketika dia secara langsung mencoba membuktikan adanya pertentangan antara Islam dan Marxisme pada tingkat sistem filosofisnya���".

Pada umumnya, yang merupakan ganjalan bagi pemikir-pemikir Islam adalah doktrin-doktrin Marxisme yang dianggap ateistis. Orang bisa memberikan tafsir yang demikian. Tapi Marxisme yang dicetuskan berdasar atas pikiran Marx bukanlah ateisme. Ia bukan penggelaran teori ilmu pengetahuan yang semata-mata dikonfrontasikan menghadapi agama untuk melawan agama. Ia adalah sebuah teori ilmu pengetahuan keduniaan yang ditempatkan untuk bisa berpotensi memobilisasi kekuatan-kekuatan yang bisa membawakan perubahan fundamental terhadap sistem masyarakat. Tujuannya yang terakhir adalah menghapuskan penindasan atas manusia oleh manusia. Di dalam tulisan Amil Khalil yang sama, disebutkan bahwa karya dan ajaran-ajaran Nabi sendiri maupun ide-ide politik dari pemikir-pemikir terkenal di dalam tradisi Islam (Ibnu Khaldun, al-Afghani, Tjokroaminoto antara lain) membuktikan adanya komitmen sosialis yang persisten dan berakar di dalam tradisi Islam, yaitu bahwa "antara lain, tradisi ini mengarahkan perhatian sepenuh-penuhnya kepada orang-orang miskin, yang terperas dan tertindas di dalam masyarakat; mengendalikan penimbunan kekayaan dan kekuasaan berlebih-lebihan di tangan segelintir orang; rasa hormat terhadap kerja dan menganggapnya sebagai sumber nilai; menolak kontrol monopolistik terhadap sumber-sumber sebuah negara, terutama sumber-sumber yang memuaskan kebutuhan pokok rakyatnya; keyakinan terhadap kesamaan fundamental manusia".

Kendati di dalam Islam ada ajaran-ajaran yang mengandung nilai-nilai Sosialisme, tidak mutlak isi dan formulasinya mesti ada presisi kesamaan dengan nilai-nilai Sosialisme di dalam Marxisme. Islam yang lahir pada zaman sebelum terbentuknya masyarakat kapitalis modern, menurut profesor Alatas di dalam tulisan yang sama "tidak eksklusif dan memang menuntut dari umatnya bahwa mereka harus mencari pengetahuan lebih lanjut di luar ayat-ayat suci Islam. Dengan demikian, sementara ide-ide sosialis yang dasar sudah bisa ditemukan di dalam ajaran Islam, ini juga tidak berarti bahwa karena itu, tidak ada lagi yang bisa, atau perlu, ditambahkan".

Jauh sebelum menjadi presiden Indonesia, Gus Dur pernah menulis, bahwa "Dalam proses perubahan sosial, agama hanya berfungsi suplementer dan hanya menyediakan �sarana� bagi proses perubahan itu sendiri, bukan agama yang membuat perubahan itu. Dunia itu berkembang menurut pertimbangan �dunia�-nya sendiri. Agama hanya mempengaruhi sejauh dunia itu siap dipengaruhi, tidak lebih dari itu. Begitu agama mengubah dirinya menjadi penentu, tidak lagi hanya mempengaruhi tetapi menentukan, maka dia telah menjadi duniawi. Kalau hal ini yang terjadi, pada gilirannya ia bisa mengundang sikap represif. Agama menjadi represif, untuk mempertahankan diri" (Abdurrachman Wahid, Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama, Prisma 9, September 1982, hal. 63 dan 64).

Pandangan Gus Dur yang berarti tidak menyetujui agama dimanfaatkan sebagai media represi, relatif berjiwa demokratis dan tidak se negatif seperti yang dikatakan sebagai pandangan Tan Malaka. Poeze mengatakan bahwa "Tan Malaka dengan sia-sia telah berusaha meyakinkan Kongres ke-4 Comintern pada tahun 1922 bahwa kaum Komunis hendaknya bekerja bergandengan tangan dengan Pan-Islamisme berhubung dengan potensi revolusioner mereka" (Poeze, op.cit., halaman 594, diambilkan dari kutipan Mochtar Pabotinggi, Kaum Intelektual Pemimpin dan Aliran-aliran Ideologi di Indonesia Sebelum Revolusi 1945, Prisma 6, juni 1982, halaman 52). Tentang kebenaran usaha Tan Malaka meyakinkan Kongres ke-4 Comintern sangat meragukan. Namun, terlepas dari benar dan tidaknya, usaha meyakinkan tentang perlunya kaum Komunis bergandengan tangan dengan Pan-Islamisme menunjukkan pandangan yang justru menguntungkan bagi kekuatan-kekuatan represif yang mensalahgunakan Islam. Mengenai Pan-Islamisme Lenin telah mengatakan, bahwa "perlu ada ketegasan tentang adanya keharusan berjuang melawan Pan-Islamisme dan yang ada kesamaannya dengan itu, bahwa gerakan pembebasan melawan imperialisme Eropa dan Amerika jangan sampai memperkuat posisi kaum Khan, tuantanah-tuantanah, kaum mollah dsb. Hal ini di dalam rangka keharusan menyokong perjuangan kaum tani di negeri-negeri terbelakang melawan tuantanah-tuantanah besar, melawan semua manifestasi sisa-sisa feodalisme dan menghubungkannya se-erat mungkin dengan perjuangan revolusioner klas buruh di Eropa" (Lihat tulisan Lenin Le Mouvement de Libération Nationale des Peuples d�Orient, halaman 312).

Amil Khalil memberikan ulasan lanjutnya demikian:

"Marx, dalam analisanya tentang masyarakat-masyarakat Eropa, menyoroti agama sebagian besar sebagai gejala sosial. Dan, memang agama bilamana dilembagakan menjadi seperangkat kekuatan sosial yang penting. Secara historis, mereka yang mengendalikan lembaga-lembaga agama, telah mengarahkannya ke pelbagai arah yang berbeda. Para pemimpin agama yang berpengetahuan dan berpandangan luas memungkinkan dan kadang-kadang memulai perubahan sosial atau membela hak-hak mereka yang ditindas melawan mereka yang berkuasa. Ajaran-ajaran moral dan kompasionate di dalam kebanyakan agama memberikan argumen-argumen persuasif ke arah-arah semacam itu. Di pihak lain, lembaga-lembaga agama dan pemimpin-pemimpin agama juga dikenal memainkan sejenis peranan yang akan menguntungkan mayoritas, mereka mengesahkan kekuasaan dan kontrol dari segelintir manusia yang berprivilese dengan memberikan kekuatan pengakuan agama kepada status quo.

Di dalam situasi semacam ini, ajaran-ajaran moral dan kompasionate dari agama menjadi senjata ideologis yang bisa dipergunakan oleh mereka yang berkuasa melawan yang tertindas. Yang kaya dan berkuasa diajak untuk menjadi kompasionate dan murah hati. Yang miskin dan terhisap diajak untuk bekerja lebih keras atau memperkuat keyakinannya bahwa kekayaan dan kekuasaan tidak penting di mata Allah. Bukannya mencoba memahami bahwa ketidakadilan atau penghisapan adalah akibat dari lembaga-lembaga sosial dan hubungan sosial di antara kelompok-kelompok rakyat, umat dibimbing untuk menganggap bahwa hal-hal ini sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan atau tidak penting. Dalam konteks seperti ini, mana para pemimpin agama dan umat beriman mengizinkan ajaran-ajaran agamanya untuk menghindari �timbulnya kesadaran baru�, agama menjadi suatu kekuatan yang memperkukuh kesadaran palsu dari pemeluknya. Dan adalah di dalam analisa semacam inilah bahwa kaum Marxis menuduh bahwa agama menjadi candu bagi rakyat.

Dengan demikian penting bagi penganut-penganut agama dan para pemimpin agama sendiri untuk memperjelas posisinya sendiri dan posisi agamanya terhadap masalah-masalah sosial yang timbul di dalam masyarakatnya. Sebagai suatu institusi di dalam masyarakat, ia harus menghubungkan dirinya dengan masalah-masalah ketidakadilan dan penghisapan. Bilamana isyu ini digeser ke pinggir sebagai sesuatu yang tidak relevan dengan agama, maka agama tidak memainkan suatu peranan yang progresif. Sebagai gantinya, secara otomatis agama berperan untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka yang berkuasa dan mereka yang tidak berbelas. Tetapi justru karena itu, penafsiran Islam yang sempit dan berpaling ke dalam (inward looking) mendapatkan penganut yang sudah siap di dalam masyarakat yang eksploitatif".

Amil Khalil mengakhiri ulasannya dengan mengatakan:

"Suatu bidang persesuaian lainnya antara kaum Marxis dan kaum Muslim terdapat di dalam praktek perjuangan melawan kolonialisme dan penghisapan ekonomik, apakah hal ini berada dalam bentuk imperialisme ekonomi atau oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya di dalam suatu negara. Ada banyak contoh-contoh dalam sejarah tentang kerjasama semacam itu dalam perjuangan melawan kekuatan-kekuatan yang dianggap berdiri menghalang jalan menuju masyarakat yang lebih baik. Pergerakan Pembebasan Palestina, aliansi antara Islam-Marxis di Libanon dan perjuangan pembebasan di Eritrea, Oman, dan atas peri tertentu bahkan di Iran adalah kasus-kasus yang sangat terkenal. Atas dasar pengalaman yang ditimba bersama, mungkin bidang-bidang persamaan yang lain bisa diolah pada tingkatan teori sosial".

Dari ulasan-ulasan di atas, yang bisa ditarik sebagai kesimpulan bukan bagaimana memaksakan adanya kesamaan-kesamaan antara Islam dan Marxisme, yang satu sama lainnya lahir di dalam epoka sejarah yang tidak sama. Yang penting ialah bahwa komposisi pemeluk-pemeluk agama, dilihat dari kedudukan sosial di dalam hubungan produksi, tidaklah seragam meskipun agamanya serupa. Ada kapitalis besar, sedang dan kecil. Ada buruh, tuantanah, tani kaya, tani sedang, tani miskin dan buruhtani. Pendeknya ada klas-klas, yang di dalam hubungan produksi mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan bisa berlawanan satu sama lain. Keseragaman agama Islam pada masa Empirium Ottoman, mulai dari Sultan sampai pada rakyat jelata, di dalam kehidupan tidak ada kepentingan pokok yang seragam. Sultan adalah pihak yang menindas dan rakyat jelata pihak yang ditindas, meskipun agama mereka serupa, yaitu Islam. Maka persatuan di dalam komposisi Nasakom, meskipun pemrakarsanya presiden Soekarno dan didukung oleh partai-partai politik yang penting pada masa �Demokrasi Terpimpin�, sebagai pola persatuan tidak ada nilai obyektifnya untuk dipertahankan. Mengenai golongan agama misalnya, klas-klas yang terangkum di dalamnya seperti tuantanah-tuantanah feodal dan kaum kapitalis birokrat yang tidak demokratis dan anti rakyat, tidak termasuk ke dalam kekuatan demokratis yang bisa memperkuat persatuan nasional. Ditambah lagi misalnya, penggolongan yang terpisah antara kaum Nasionalis dan kaum Komunis, menanamkan kesan bahwa kaum Komunis bukan pejuang Kemerdekaan Nasional. Padahal kaum Komunis seperti yang di Indonesia, justru berjuang dengan gigih di dalam berpartisipasi menegakkan Negara Nasional Demokratis. Pengkotak-kotakan di dalam Nasakom, justru menyerimpeti pengembangan Persatuan Nasional Demokratis yang luas. Pengkotak-kotakan itu bisa membendung kebebasan memilih pihak, karena adanya pemagaran atas dasar agama dan aliran politik.

Komposisi penganut-penganut formal Marxisme bervariasi juga. Ada Komunis Marxis - Leninis, ada Komunis Reformis, ada Sosial Demokrat, ada Trotskyis dll. Mereka mewakili pandangan politik yang berbeda-beda dan di dalam hubungan produksi mewakili kedudukan serta kepentingan yang berlainan, bahkan ada yang berlawanan. Marxisme yang oleh kaum Sosial Demokrat misalnya dikatakan hanya sebagai sarana analisis, tidak dimanfaatkan untuk melawan kekejaman penghisapan kapialisme yang pada zaman sekarang perkembangannya sudah memuncak pada tingkat monopoli dan globalisasi berskala dunia.

Adapun mengenai masalah agama dan Marxisme, agama sebagai panutan seseorang, entah Islam, entah Kristen, entah Budha dll, tidak pada tempatnya dipertentangkan dengan Marxisme. Dari sudut pandang keduniaan, baik agama maupun Marxisme, dua-duanya mempertahankan dan menjunjung tinggi nilai-nilai positif kehidupan. Titik-titik temu bersifat keduniaan yang bisa berpotensi memperbaiki tingkat hidup rakyat, mempertahankan dan mengembangkan kehidupan demokratis serta memperkokoh Persatuan Nasional Demokratis, lebih baik jika dicari serta digali dari nilai-nilai baru yang terdapat pada perkembangan jaman modern.

Pandangan fundamental antara Marx, Lenin, Stalin dan Mao Ze Dong tidak berbeda. Pandangan Marx bukan semata-mata suatu kritik, sedang yang lain-lain di atas sudah berupa ideologi seperti pendapat sementara orang. Perbedaannya yang pokok ialah bahwa Marx dan yang lain-lain tadi hidup pada jaman yang berbeda. Marx hidup pada jaman kapitalisme pra monopoli, sedang yang lain-lain tadi pada jaman kapitalisme monopoli atau imperialisme. Menerapkan Marxisme sesuai dengan perubahan jaman, sesuai dengan kondisi kongkrit serta ciri-ciri khas sesuatu masyarakat tidak gampang. Pengalaman telah menunjukkan adanya kekeliruan yang tidak sedikit dan cukup besar nilainya. Kegagalan pun terjadi juga, dan tidak hanya di dalam format kecil-kecilan. Kekeliruan dan kegagalan adalah pelajaran penting bagi penganut-penganutnya untuk tidak terulang kembali. Adapun bagi yang bukan penganut-penganutnya, diperlukan sekali adanya pengertian dengan menjauhi segala prasangka untuk menghindari kesalahpahaman dan pertentangan yang tidak perlu, terutama di dalam rangka memperkokoh dan memperluas Persatuan Nasional Demokratis.

4. Posisi kaum intelektual Indonesia dan peran mereka di bidang politik

Kaum intelektual di negeri-negeri sedang berkembang pada umumnya mempunyai tempat tersendiri sebagai suatu golongan; beda dengan di negeri-negeri kapitalis berindustri di Barat. Menurut Harry Benda dibedakan antara posisi intelektual di dalam masyarakat yang �sudah maju� dan masyarakat yang �sedang berkembang�. "Di dalam masyarakat Barat, kaum intelektual tidak membentuk kelas sosial tersendiri. Mereka hidup sebagai pelengkap kelas-kelas lainnya, dan akan ditentukan dari segi wawasan, gaya hidup, dan persepsi diri, bukan dari segi posisi ekonomi atau kedudukan sosial atau kepentingan-kepentingan bersama. Sebaliknya, di dalam masyarakat yang sedang berkembang kaum intelektual memperoleh kedudukan dan pengaruh semata-mata karena mereka adalah intelektual. Anggota-anggotanya membentuk sebuah kelas tersendiri dan karenanya kaum intelegensia di sana memegang kekuasaan politik "secara independen �. sebagai inteligensia, dan bukan sebagai juru bicara kekuatan-kekuatan sosial yang sudah berakar" (Harry J. Benda. "Non-Western Intelligentsias as Political Elites", dalam Political Change, ed. Kautsky, hlm. 237 - J.D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, hlm. 24).

Kaum inteligensia di negeri-negeri yang dikatakan sedang berkembang seperti Indonesia memang merupakan golongan tersendiri di dalam masyarakat sebagai intelektual. Namun, hal itu tidak berarti bahwa mereka berada di dalam suatu kesatuan yang utuh. Dinilai dari sudut pandang posisi klas serta asal klas di dalam hubungan produksi, demikian juga dilihat dari visi politik mereka, mereka bisa tergolong ke dalam klas-klas feodal, burjuis besar, sedang dan kecil, tani atau buruh. Hanya saja secara umum kaum intelektual bisa digolongkan ke dalam kategori klas burjuis kecil. Kaum inteligensia adalah sebaliknya dari keterangan Benda, bahwa mereka bukan juru bicara kekuatan-kekuatan sosial yang sudah berakar. Tergantung pada visi dan aktivitas kaum inteligensia, mereka justru bisa mewakili kekuatan-kekuatan sosial di dalam konteks komposisi klas di atas.

Di Indonesia bisa dikatakan, bahwa mulai berkelopaknya kategori inteligensia di kalangan penduduk pribumi pada masa penjajahan, adalah sesudah munculnya �politik etis� yang diprakarsai oleh Gubernur Jendral C. Th. v. Deventer. Suatu politik untuk melunakkan perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda. Di samping itu, pemerintah kolonial dengan politik �lunak�nya itu bisa memanfaatkan tenaga kerja terdidik dari kalangan orang-orang pribumi, terutama di bidang administrasi. Yang dibutuhkan adalah tenaga-tenaga penyervis kepentingan pemerintah dan perusahaan-perusahaan penting Belanda dengan pembayaran yang relatif murah. Pendidikan bagi orang-orang pribumi tidak saja dibuka untuk tingkat sekolah dasar dan menengah, tapi juga sampai pada sekolah tinggi. Dari generasi akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, yang telah lulus sekolah dasar berbahasa daerah dengan ukuran bisa membaca dan menulis, ada kesempatan untuk bekerja di bidang administrasi. Krisis ekonomi dunia pada sekitar tahun tigapuluhan melanda juga Indonesia. Banyak perusahaan Belanda yang jatuh bangkrut, seperti dengan ditutupnya banyak paberik-paberik Gula. Oleh karenanya pada saat itu orang-orang dari generasi tua lulusan sekolah dasar berbahasa daerah kebanyakan lalu kehilangan pekerjaan. Orang-orang dari generasi baru yang dipilih dan dicadangkan menggantikan peran orang-orang lama di bidang administrasi, pada umumnya adalah mereka yang berpendidikan sekolah berbahasa Belanda. Yang telah menamatkan sekolah dasar berbahasa Belanda pun tidak juga mudah mendapatkan pekerjaan karena kurangnya jumlah lowongan kerja. Kendati kesempatan memasuki sekolah-sekolah berbahasa Belanda, mulai dari sekolah dasar sampai pada sekolah tinggi, lebih terbuka, orang tidak mudah mendapatkan pekerjaan sesudah tamat sekolah. Padahal untuk bisa memasuki sekolah-sekolah berbahasa Belanda, meskipun untuk hanya sekolah dasar, diperlukan biaya yang mahal. Nasib yang lebih jelek lagi adalah bagi anak-anak dari lapisan terendah masyarakat, karena orang tua mereka tidak mampu membiayai mereka memasuki sekolah berbahasa Belanda. Sampai pada saat menjelang pendudukan Jepang, sekolah-sekolah tinggi yang ada di Indonesia jumlahnya hanya sedikit. Yaitu Sekolah Tinggi Hukum, Sekolah Tinggi Kedokteran, dua-duanya di Jakarta, dan Sekolah Tinggi Teknik, khusus bidang ilmu bangunan air di Bandung. Kaum inteligensia pribumi lulusan sekolah tinggi jumlahnya tidak banyak dan mereka pada umumnya terdiri dari anak-anak priyayi dan golongan menengah ke atas yang tidak miskin.

Kesempatan bersekolah pada waktu pendudukan Jepang terbuka lebih luas karena murahnya biaya sekolah. Yang terasa kurang pada waktu itu adalah tenaga guru yang mempunyai kemampuan sepandan dengan apa yang diajarkan. Keadaan yang demikian dialami juga pada saat-saat awal Indonesia Merdeka. Sejak masa pasca tahun 1950-an sampai sekarang, jumlah inteligensia di Indonesia makin berkembang, berkat lebih terbukanya kesempatan belajar dan lebih murahnya biaya sekolah. Bagi pelajar-pelajar dari golongan yang mampu akan biaya sekolah, terdapat kesempatan lebih baik untuk meneruskan pelajaran pada sekolah-sekolah tinggi di luar negeri dengan biaya sendiri. Yang kurang atau tidak mampu meneruskan belajar di luar negeri dengan biaya sendiri, bisa mendapatkan stipendium dari pemerintah, baik melalui ujian atau seleksi khusus maupun berdasar atas ikatan dinas. Pada masa sebelum era Soeharto tidak sedikit jumlah pelajar Indonesia yang mendapatkan rekomandasi meneruskan pelajaran tingkat sekolah tinggi di negeri-negeri Sosialis berdasar atas hubungan baik antara organisasi-organisasi kemasyarakatan tertentu Indonesia dan sementara negeri Sosialis. Di samping itu, banyak pelajar dari lapisan terendah masyarakat yang terpaksa belajar di sekolah tinggi di Indonesia sambil bekerja. Kendati di Indonesia dewasa ini mereka yang tergolong kategori inteligensia jumlahnya lebih banyak, dibandingkan dengan di Barat jumlah itu masih belum memadai. Keadaan ekonomi Indonesia masih jauh di bawah taraf negeri-negeri Barat, sehingga sebagian terbesar orang tua tidak ada kemampuan membiayai anak mereka untuk bisa meneruskan belajar di sekolah tinggi. Batas inteligensia sebagai golongan, baik dipandang dari posisi sosial maupun ekonomi, di Barat tidak tampak menyolok. Titel kesarjanaan di negeri-negeri Barat tertentu tidak menjadi pameran kebanggaan orang dan tidak lagi merupakan tanda pengenal untuk dipasang mendampingi nama. Beda sekali dengan di Indonesia, di mana bagi seseorang, di samping titel kesarjanaannya yang selalu mendampingi namanya merupakan kebanggaan diri sebagai orang yang terpandang di dalam masyarakat, perannya masih dianggap penting untuk bisa memperoleh posisi sosial atau politik yang baik.

Pada masa penjajahan Belanda, sebagian dari kaum inteligensia Indonesia banyak yang cukup puas dengan hidup sebagai pengabdi dan pengikut politik pemerintah kolonial. Yang mereka pikirkan hanya kepentingan hidup pribadi beserta keluarga dan keturunan mereka. Pada mereka tidak ada pikiran untuk melawan kolonialisme dan solider terhadap nasib sebagian terbesar rakyat yang menderita. Namun sebagian lainnya yang jumlahnya tidak juga sedikit, tidak menghendaki berlangsungnya penjajahan. Pandangan yang mereka ketengahkan dan mereka bawa di dalam kegiatan politik berbeda-beda. Di antara mereka ada yang muncul dengan Nasionalisme, baik sekular maupun religius. Terutama Islam yang paling menonjol di antara yang religius. Marxisme mempunyai tempat dampakan khusus, yang dimanifestasikan dengan pandangan Sosial Demokrasi yang berasimilasi dengan Nasionalisme atau dengan pandangan yang jika meminjam istilah burjuis adalah pandangan Komunis. Karena sebagian terbesar golongan di dalam masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam, kaum intelektual Indonesia yang kebanyakan muncul dari golongan ini. Namun pemimpin-pemimpin politik yang lahir dari golongan ini tidak saja terdiri dari mereka yang mengibarkan bendera Islam. Di antara mereka termasuk juga pemimpin-pemimpin Nasionalis, Sosialis dan Komunis. M. Pabotinggi mengatakan bahwa "karena kaum Muslimin merupakan bagian yang terbesar dalam masyarakat Indonesia, maka kebanyakan kaum intelektual Indonesia, termasuk mereka yang kemudian menjadi pemimpin-pemimpin terkemuka dalam gerakan-gerakan Sosialis maupun Komunis, berasal dari kelas menengah Islam, dengan sedikit pengecualian dari kaum ningrat dan golongan-golongan minoritas agama" (M. Pabotinggi, Inteletual Pemimpin, Prisma 6, juni 1982, halaman 43). Kendati hanya di lingkungan keluarga kecil, dampak pandangan Marxis Sosialis di luar Sosial Demokrasi, terdapat juga di kalangan kaum ningrat di Yogyakarta. Misalnya, B.R.M. Hertog, sesudah menjadi salah seorang bupati Keraton Yogyakarta bernama K.R.T Djojonegoro, yang pernah belajar pada fakultas Indologi di Leiden Negeri Belanda, pernah aktif sebagai anggota Perhimpunan Indonesia (P.I.) dan berorientasi Sosialis. Ia adalah Ketua Panitia Penyelenggara Kongres Pemuda Pertama di Yogyakarta setelah Proklamasi Kemerdekaan. Setelah kongres tersebut, ia dipilih menjadi Ketua Dewan Pimpinan Pesindo Daerah Jawa Tengah Selatan. Kakaknya, Prof. Ir. K.R.T. Purbodiningrat, aktif di dalam gerakan perdamaian dan anggota Dewan Nasional S.O.B.S.I. Ia juga berorientasi Sosialis.

Pada masa awal Indonesia Merdeka, golongan intelektual yang menonjol aliansinya sebagai intelektual serta aktif di bidang politik adalah Kelompok Sjahrir. Kelompok ini berkembang pada masa pendudukan Jepang, terutama golongan mudanya. Kelompok ini yang langsung diasuh oleh Sjahrir, haluan politiknya adalah Sosial Demokrasi versi Eropa. Sjahrir yang sekularistis memang ada perbedaannya dengan Hatta yang religius. Tapi karena Hatta adalah mentor Sjahrir, dua-duanya berhaluan Sosial Demokrasi. Sebuah haluan yang kemudian mendasari pembentukan Partai Rakyat Sosialis (Paras). "Paras, yang dibentuk oleh pengikut-pengikut Sjahrir dimaksudkan sebagai pembangunan kembali Pendidikan Nasional Indonesia yang lama yang kerangkanya, dengan sesuatu cara, telah berhasil mempertahankan eksistensinya secara ilegal selama akhir dasawarsa 1930 dan masa pendudukan Jepang (pimpinan partai ini antara lain terdiri dari orang-orang seperti Djohan Sjahroezah, Sukemi, Soegra, Wangsa Widjaja, dan Soegondo Djojopuspito), tetapi partai ini juga menerima masukan "darah segar" yaitu para pemuda yang telah dihimpun Sjahrir di sekitar dirinya pada masa pendudukan Jepang seperti Soebadio, Sitorus, dan yang agak lebih tua, Dr. Sudarsono" (J.D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, halaman 197).

Sebagai catatan bisa disebut lagi partai lain pada waktu itu yang juga mencantumkan nama sosialis. Itulah Parsi (Partai Sosialis Indonesia), yang pembentukannya berada di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin. Cikal bakal pengikutnya berpusat pada Gerindo yang dibentuk pada tahun 1937 dan terkenal penampilan politiknya menggalang front persatuan luas yang berkaitan langsung dengan perjuangan umum anti fasis berskala dunia. Parsi yang berfusi dengan Paras serta namanya diganti menjadi Partai Sosialis, diketuai oleh Sjahrir. Wakil Ketua-Wakil Ketuanya adalah Amir Sjarifuddin dan Oei Gwe Hwat, sedang Tan Ling Djie Sekretaris Jendralnya. Umur partai hasil fusi ini tidak panjang. Pada bulan februari 1948 Partai Sosialis akhirnya pecah menjadi dua partai. Faksi yang berada di bawah pimpinan Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Faksi yang berada di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin, Oei Gwe Hwat dan Tan Ling Djie mempertahankan nama Partai Sosialis. Dari sejak semula, dilihat dari sudut pandang politik pemimpin-pemimpin utama dua partai tersebut, sudah tampak adanya perbedaan yang mendasar. Meskipun teman Sjahrir Sal Tas pernah mengatakan, bahwa bagi Sjahrir meninggalkan Marxisme berarti meninggalkan perjuangan radikal, namun "Sjahrir selalu menyatakan dirinya sebagai seorang Demokrat. Ia mengkhawatirkan apa yang ia sebut sebagai bahaya totaliterisme. Kecemasan inilah yang memustahilkan Sjahrir untuk bersedia tunduk kepada jenis disiplin suatu partai Komunis" (Lihat J.D. Legge, Ibid., halaman sama). Berbeda dengan Amir Sjarifuddin, walaupun formalnya ia adalah seorang Sosialis dan Wakil Ketua Partai Sosialis sebelum pecah, pada saat yang sama ia adalah pemimpin utama C.C. PKI di bawah tanah.

"Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Minangkabau, pada tahun 1909, sebagai anak seorang ahli hukum yang bekerja pada pemerintah sebagai jaksa dan kemudian, pada tahun 1913, sebagai Hoofd Jaksa (Jaksa Kepala) di Medan. Dengan demikian, sejak semula Sjahrir mendapatkan dirinya berada dalam lingkungan di mana pendidikan profesional Barat dihargai, dan ketika masih kecil ia juga mengalami bentuk-bentuk pengaruh intelektual lainnya" (J.D. Legge, Ibid., halaman 43). Dari sejak masih mahasiswa di Negeri Belanda, Sjahrir begabung dengan " Perhimpunan Mahasiswa Sosial Demokrat Amsterdam, yang, walaupun merupakan sebuah organisasi mahasiswa independen, mempunyai hubungan dengan Partai Buruh Sosial Demokrat (SCAP)(Soebadio Sastrosatomo, "Sjahrir: Suatu Perspektif", dalam Mengenang Sjahrir, ed. Anwar, hlm. xiv). Dengan demikian ia memiliki pengalaman berpartisipasi secara langsung dalam kehidupan politik di Belanda sendiri. Bahkan partisipasinya itu menjadi semakin langsung ketika ia mendapat pekerjaan di sekretariat Federasi Buruh Transpor Internasional. Seperti dikatakan oleh Sal Tas, sekalipun suatu sekretariat internasional "bukanlah serikatburuh yang sesungguhnya" (Sal Tas, "Souvenirs of Sjahrir"), namun ia setidak-tidaknya telah memberikan suatu pengalaman kepada Sjahrir mengenai pergerakan Sosialis Eropa. Wajarlah bila Sjahrir juga menjadi anggota Perhimpunan Indonesia, dan wajar pula bila di sana ia mendapat perhatian Hatta dan dipilih olehnya sebagai salah seorang anggota kelompok yang dipersiapkan untuk menggantikan pimpinan yang lebih tua pada organisasi itu (Soebadio Sastrosatomo, "Sjahrir: Suatu Perspektif", hlm. xv). Pada tahun 1931 ia bersama Hatta dipecat dari PI (J.D. Legge, Ibid., halaman 45).

Sjahrir terkenal sebagai intelektual pemimpin yang sangat pro Barat dan telah jauh meninggalkan akar masyarakat tradisional dari mana ia berasal. "Surat-surat Sjahrir dari tempat pengasingannya penuh dengan kata-kata yang merendahkan tentang keterbelakangan masyarakat Indonesia. Dalam suatu pembahasan panjang-lebar mengenai soal itu ia menunjukkan bahwa "bentuk-bentuk kesenian Timur yang banyak dipuji-puji itu" sebenarnya hanyalah "unsur-unsur dasar yang sederhana peninggalan zaman feodal yang sudah lampau, yang tak mungkin menghasilkan suatu tumpuan yang dinamis bagi orang-orang abad ke-20 (Sjahrir, Out of Exile, hlm. 85 dan 146). "Kebutuhan-kebutuhan spiritual kita adalah kebutuhan-kebutuhan abad ke-20; masalah-masalah dan pandangan-pandangan kita adalah masalah dan pandangan di abad ke-20. Kecenderungan kita tidak lagi ke arah mistik, tetapi ke arah realitas, kejelasan dan obyektivitas". Selanjutnya ia mengatakan: "Dalam hal ini kita, kaum intelektual, jauh lebih dekat dengan Eropa dan Amerika ketimbang dengan Boroboedoer atau Mahabharata, atau dengan kebudayaan feodal yang masih dijumpai dalam masyarakat Timur kita?" (Ibid., hlm. 67). Gandhi dan Tagore dikecam keras, yang satu karena menekankan pandangan spiritual, moral dan keagamaan Timur dan yang lainnya karena menghendaki suatu campuran antara ilmu pengetahuan Barat dan kearifan Timur (Ibid., hlm. 68). Sjahrir, sebaliknya, menghendaki agar perkembangan Asia dilihat dengan cara yang rasional yang sama dengan cara yang digunakannya dalam meninjau evolusi masyarakat Eropa. Ini merupakan tema yang sering dibahasnya. Ketika menulis dari Banda Neira untuk edisi ulang tahun Poejangga Baroe pada tahun 1938, ia kembali menandaskan pentingnya rasionalitas dan modernitas bagi suatu kebudayaan Indonesia yang baru (Nomor Peringatan Poejangga Baru, 1933 - 1938). Dan dalam majalah itu pula ia kembali mencemoohkan kebudayaan tradisional" (J.D. Legge, Ibid., hlm. 54 - 55).

Sjahrir sebagai intelektual yang merasa dirinya lebih dekat dengan Eropa dan Amerika ketimbang dengan Borobudur atau Mahabharata, menilai bentuk-bentuk kesenian Timur dari satu segi saja, yaitu sebagai peninggalan zaman feodal yang sudah lampau. Di samping menganggap sepi terhisapnya tenaga kerja rakyat di dalam membangun Borobudur, ia mengabaikan potensi luhur penciptanya. Borobudur tidak akan bisa berdiri megah sebagai salah satu bangunan yang terhitung ke dalam tujuh keajaiban dunia, tanpa adanya tenaga kerja yang diperas dan kreasi gemilang bangunan penciptanya, meski diaku dan memberikan nama harum kepada pihak penguasa. Menilai negatif terhadap pemerasan tenaga kerja membangun Borobudur, mempunyai arti penting sebagai sikap memihak golongan tertindas dan melawan golongan penindas. Suatu penilaian negatif yang berarti positif bagi perjuangan melawan berbagai macam penindasan di dalam rangka menegakkan demokrasi. Bangun arsitektur Borobudur yang berciri khas, yang berbeda dengan umumnya bangun arsitektur candi-candi Hindu, bernilai positif karena menampilkan kepribadian karya cipta budaya Indonesia yang tidak dipengaruhi oleh unsur asing. Tidak berarti menanamkan xenophobia di kalangan rakyat, menampilkan nilai kepribadian cipta budaya Indonesia berdampak positif kepada perkokohan kemandirian Indonesia. Meskipun cerita mitologi Mahabharata tidak asli Indonesia, bentuk penampilannya di dalam pewayangan yang berpengaruh dalam dan luas di kalangan rakyat, bisa berperan menggugah entusiasme orang banyak dan bisa menjadi faktor penting memobilisasi massa luas. Segi memobilisasi massa inilah yang oleh Sjahrir dan kelompoknya sejak masa PNI (pendidikan) tidak dijadikan pola aktivitas. Memang orang tidak perlu bersitegang pada tradisi lama peninggalan feodal yang berdampak negatif terhadap gerak dinamika rakyat untuk maju. Orang tidak usah menelan mentah-mentah isi tulisan-tulisan seperti �Serat Centhini� yang mengagungkan feodalisme. Untuk masa kini dan masa depan, modernisasi seni dan budaya tidak berarti mencemoohkan samasekali unsur-unsur tradisional. Unsur-unsur tradisional sebagai pelengkap bentuk-bentuk baru, asal tidak mengurangi dinamika dan tidak mengerem kemajuan, entah berasal dari Jawa, Sumatra atau daerah-daerah lainnya, dengan penilaian yang bebas dari segala purbasangka, di mana perlu masih bisa dipertahankan dan bisa mempunyai daya mobilisasi yang kuat terhadap massa rakyat.

Di bidang filsafat, �Penghargaan Sjahrir yang tinggi terhadap rasionalisme, mendekatkan dirinya kepada empirisisme Inggris dan Prancis. Ia tidak tertarik kepada filsafat yang dianggapnya spekulatif dari sementara filsafawan-filsafawan Jerman seperti Kant dan Hegel. Yang menarik perhatiannya adalah filsafawan-filsafawan Inggris dan Prancis seperti Hume, Comte, Mill dan Spencer, demikian juga Bertrand Russel, Eddington, dan Julian Huxley� (Sjahrir, Out of Exile, hlm. 141, J.D. Legge, Ibid., hlm. 51). Filsafawan-filsafawan yang namanya termasuk ke dalam deretan pertama adalah penganut-penganut positivisme klasik. Positivisme adalah kategori sistem filsafat idealis yang mendasarkan diri pada pengalaman dan pengetahuan empirisis dari fenomena alam, yang menganggap metafisika dan teologi sebagai sistem pengetahuan yang tidak memadai dan tidak sempurna. Doktrin pertamanya pada abad ke 19 yang disebut positivisme dikemukakan oleh filsafawan Prancis Auguste Comte, yang juga pakar matematika dan penemu sosiologi. Namun, ulasan konseptualnya terurai di dalam pandangan filsafawan Inggris David Hume, filsafawan Prancis Duc de Saint-Simon dan filsafawan Jerman Immanuel Kant. Comte memilih penggunaan istilah positivisme dengan motif, bahwa baginya pandangan filsafatnya menunjukkan �kenyataan� dan �kecenderungan konstruktif� yang diekspresikan sebagai aspek teoretis doktrinnya. Ia terutama ada minat untuk mereorganisasi kehidupan sosial bagi kebaikan manusia melalui ilmu pengetahuan dengan mawas kekuatan-kekuatan alam. Dua komponen pertama dari positivisme, filsafat dan kebajikan (program tentang ulah individu dan sosial), oleh Comte kemudian dipaterikan secara menyeluruh pada konsepsi agama. Kendati Comte menolak untuk percaya pada eksistensi transendental, ia mengakui bahwa agama mempunyai nilai di dalam memberikan sumbangan kepada stabilitas sosial. Maka ia mengusulkan perlunya agama manusia mendorong terjalinnya ulah sosial yang baik. Namun, sementara murid-murid Comte ada yang tidak bisa menyetujui perkembangan religius dari pandangan filsafatnya, karena dianggap berlawanan dengan pandangan filsafat positivismenya yang asli. Banyak doktrin Comte di kemudian hari lalu diolah dan dikembangkan oleh filsafawan sosial Inggris John Stuart Mill, Herbert Spencer dan filsafawan fisisis Ustria Ernst Mach. Di samping Comte, David Hume mengenai segi etika, sumbangannya terdapat pada teori ekonomi yang berpengaruh terhadap filsafawan Skotlandia dan bapa teori ekonomi kapitalis Adam Smith. Hume mempunyai kepercayaan bahwa kekayaan adalah bergantung pada barang dagangan, bukan pada uang dan pada efek atas syarat-syarat sosial di dalam kehidupan ekonomi.

Di antara filsafawan-filsafawan yang tergolong deretan kedua, yang paling populer adalah Bertrand Russel. Eddington lebih menekuni bidang astronomi dan fisika, sedang Julian Huxley bidang biologi dan menulis. Adapun Bertrand Russel, seorang filsafawan Inggris, adalah juga pakar matematika dan peraih hadiah nobel. Pandangannya memberikan tekanan pada analisis logika. Meskipun bukan Marxis, ia menolak idealisme yang pada umumnya berposisi dominan di bidang filsafat dan yang menganggap obyek serta pengalaman sebagai produk dari intelek (nalar). Russel percaya, bahwa obyek yang diserap oleh citarasa, memiliki realitas yang tak terceraikan dengannya dan yang tidak bergantung pada otak. Ia adalah seorang Pasifis dan sekaligus Sosialis. Seusai Perang Dunia Pertama, ia pernah mengunjungi Uni Soviet, tapi ia tidak puas dengan bentuk Sosialisme yang dipraktekkan di sana ketika itu. Ia pernah mengajar di Universitas Peking antara tahun 1918 - 1932. Di Amerika Serikat ia dilarang untuk mengajar karena menyerang agama dan menganjurkan kebebasan seksual. Meskipun selama Perang Dunia Kedua ia telah melepaskan pasifismenya, namun ia gigih dan aktif menentang persenjataan nuklir. Pada tahun 1950 ia meraih hadiah nobel di bidang literatur dan filsafat. Ia juga memperoleh gelar sebagai seorang jamhur humaniora dan kebebasan berfikir. Pada usia 89 tahun ia dipenjarakan karena berdemonstrasi anti persenjataan nuklir. Sebagai filsafawan ia memberikan sumbangan besar kepada pengembangan positivisme logis (Selama awal abad ke 20, sebuah kelompok filsafawan yang menekuni perkembangan ilmu pengetahuan modern menolak pemikiran-pemikiran positivis tradisional yang berketetapan, bahwa pengalaman pribadi adalah basis pengetahuan yang benar. Mereka memberikan tekanan pada pentingnya pembenaran (verifikasi) ilmiah. Kelompok ini menjadi terkenal sebagai kaum Positivis Logis. Antara lain mereka terdiri dari Ludwig Wittgenstein dari Ustria, Bertrand Russel dan G.E. Moore dari Inggris. Karya Wittgenstein Tractatus Logico-philosophicus (1921; Jerman-Inggris teks paralel, 1922) menunjukkan pengaruh menentukan di dalam menolak doktrin-doktrin metafisis yang dianggap tidak ada artinya dan menerima empirisisme sebagai suatu keharusan yang logis. (Microsoft, Encarta� 98 Encyclopedia).

Bahwa di bidang filsafat Sjahrir menaruh penghargaan tinggi kepada rasionalisme serta mendekatkan diri pada positivisme klasik dan positivisme logis, mengindikasikan penolakannya kepada teori filsafat Marxis Materialisme Dialektis dan Historis, terutama aspek dialektisnya. Menolak aspek ini jika dikenakan pada sistem masyarakat berarti menegasi perkembangan masyarakat yang tidak hanya berhenti pada kapitalisme saja. Sesuai dengan kecenderungan pandangan filsafat Syahrir, maka konsep Sosialismenya tidak menjangkau keluar dari kerangka kapitalisme. Di samping itu baginya yang ditonjolkan adalah kekuatan berfikirnya yang mengutamakan rasionalisme. Di dalam bergaul dengan sementara pengikut dan simpatisan Sjahrir, tampak sekali bagaimana mereka mengagumi kecerdasan dan cara berfikir Sjahrir yang analitis. Sedar akan kemampuan dirinya, di dalam menghadapi Belanda ia yakin bahwa jalan berunding akan lebih berhasil daripada perjuangan bersenjata. Namun, jalan yang ditempuh oleh Sjahrir menggugah timbulnya kontroversi yang tajam. Ada segi-segi di dalam Persetujuan Linggajati yang menunjukkan tidak mampunya wahana berunding Sjahrir menghadapi sikap Belanda yang kepala batu. Yaitu bahwa sebuah Negara Federasi pembentukannya tanpa mengikutsertakan Republik Indonesia. Begitu juga bahwa seorang wakil Mahkota Belanda adalah pemegang otoritas tertinggi sampai �penyerahan kedaulatan�. Segi-segi tersebut membikin Sjahrir kehilangan kepercayaan dari kalangan Sayap Kiri. Akibatnya kabinet yang dipimpinnya terpaksa dibubarkan. Sjahrir yang membanggakan kepandaiannya berdiplomasi, tapi berkecenderungan meremehkan peran perjuangan bersenjata rakyat, tidak bisa menggoyahkan sikap kerasnya Belanda yang mengandalkan kekuatan militer yang lebih unggul ketimbang Republik. Hanya mengandalkan �kelihaian� berdiplomasi saja, ternyata bagi Sjahrir tidak banyak yang bisa dicapai.

Tidak saja di bidang diplomasi, di bidang pendidikan dan perekrutan kader pun hasilnya tidak banyak. Apalagi di dalam memobilisasi massa. Dari sejak pengorganisasian P.N.I. (pendidikan), yang diutamakan oleh golongan Hatta dan Sjahrir bukan bagaimana mengobarkan semangat dan memobilisasi massa seperti halnya Soekarno, "melainkan tugas yang kurang spektakular, yakni mendidik anggota-anggota pergerakan dan mempersiapkan diri untuk suatu perjuangan jangka-panjang �.." (J.D. Legge, Ibid., hlm. 37). Di dalam perjuangan jangka panjang, yang tampak malah semakin menipisnya pengaruh Kelompok Sjahrir. Sebelum dibubarkan, PSI di bawah pimpinan Sjahrir, dari hasil "Pemilihan Umum tahun 1955 hanya memperoleh 5 kursi di DPR. Padahal sebelumnya mempunyai 15 orang wakil di antara 236 orang anggota DPR Pada saat itu PSI menduduki urutan ketiga di antara 17 fraksi yang diakui secara resmi. Hanya Masyumi dan PNI, masing-masing dengan 41 anggota, mengunggulinya" (Lihat J.D. Legge, Ibid., hlm. 243).

Djohan Sjahroezah sebagai salah seorang tokoh penting dari kalangan kelompok Sjahrir, menantu Haji Agus Salim, orangnya berwatak halus dan pandai bergaul, sangat dibanggakan di dalam merekrut kader-kader dan membentuk kelompok-kelompok untuk �perjuangan jangka panjang�. Namun, dari sebagian pengalaman yang ada, ternyata apa yang dipersiapkan oleh Djohan Sjahroezah untuk �perjuangan jangka panjang� tidak menunjukkan sesuatu yang bernilai tinggi. Sesudah BPM kembali beroperasi pada tahun 1950-an di daerah-daerah sumber minyak sekitar Surabaia seperti Wonokromo dan Lidah, begitu juga di Kawengan (dekat Cepu) dan di Cepu, tidak terdapat adanya jejak yang penting dari hasil perekrutan kader yang dilakukan oleh Djohan Sjahroezah. Pada saat itu, di dalam waktu yang amat singkat, masa kaum buruh minyak di daerah-daerah sumber minyak di atas menggabungkan diri dengan Perbum (Persatuan Buruh Minyak) dan SOBSI tanpa melalui banyak kesulitan. Djono Djemblung yang ditokohkan di dalam SBM (Serikatburuh Minyak) pada masa Perang Kemerdekaan, sejak tahun 1950-an tinggal namanya saja yang tercatat di dalam sejarah organisasi serikatburuh minyak. Roeslan Widjajasastra, anak asuh Djohan Sjahroezah yang pernah bekerja pada satu tempat kerja dengan dia di bekas instalasi minyak BPM Bandaran Surabaia pada masa pendudukan Jepang, sesudah berpisahnya Kelompok Sjahrir dengan Partai Sosialis, telah menyeberang meninggalkan hubungan baik pribadi maupun politis dengan Djohan Sjahroezah. Roeslan Widjajasastra kemudian menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Pesindo dan sesudah tahun 1950-an menjadi salah seorang Sekretaris Jendral SOBSI di samping salah seorang anggota pimpinan tertinggi PKI. Kader-kader lainnya yang juga termasuk sebagai anak asuh PSI tapi formal telah meninggalkan lingkungan PSI adalah: Mohammad Munir, Ketua Dewan Nasional SOBSI dan salah seorang anggota pimpinan tertinggi PKI. Di badan kenegaraan ia adalah anggota Dewan Nasional. Sekarang berarti anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kamaroesjaman ( nama lengkapnya Kamaroesjaman bin Ahmad Mubaidah), Wakil Ketua Biro Khusus C.C. PKI. Ia mengantongi surat legitimasi sebagai agen intelijen militer sejak masa dini. Pernah berkedudukan sebagai salah seorang Wakil Sekretaris Umum SBPP (Serikatburuh Pelabuhan dan Pelayaran). Hartoyo, salah seorang Wakil Ketua BTI (Barisan Tani Indonesia) serta anggota DPR. Soemardi, anggota dekat keluarga keraton Pakualaman, pernah berkedudukan sebagai salah seorang anggota Pimpinan Pusat SBPP. Yang terakhir ia ditarik ke dalam Front Nasional. Sesudah adanya pembongkaran luas mengenai kegiatan Biro Khusus C.C. PKI oleh Kamarusjaman di depan Mahmilub, banyak orang yang terutama memasalahkan Mohammad Munir dan Kamaroesjaman. Dua orang ini adalah orang-orang kepercayaan yang hubungannya dekat sekali dengan D.N. Aidit.

Adapun 4 orang tersebut yang berkomplot sejak masa muda mereka, mula-mula adalah anak asuh langsung Mohammad Tauchid, orang yang berasal dari kalangan Taman Siswa dan anggota pimpinan pusat BTI pada masa Perang Kemerdekaan. 4 orang tadi adalah bekas murid-murid sekolah Tauchid di Sekolah Dagang Menengah di Yogyakarta. Meskipun Tauchid tidak langsung direkrut oleh Sjahrir ke dalam kelompoknya, ia bergabung dengan PSI. Munir memang telah menjadi korban rezim Soeharto. Ia dieksekusi karena keterlibatannya di dalam peristiwa Blitar Selatan. Kamaroesjaman tidak diketahui dengan jelas di mana sekarang dia berada. Namun ada sumber yang mengatakan, bahwa ia berada di salah satu negeri di Amerika Sentral. Ia di sana dikatakan diselamatkan oleh CIA karena dianggap banyak tahu tentang rahasia kemiliteran Indonesia. Mengenai Munir, menanjaknya kariernya sampai menjadi Ketua Dewan Nasional SOBSI dan salah seorang anggota pimpinan tertinggi P.K.I., prosesnya relatif cepat. Bahwa ia berkecimpung di dalam organisasi buruh adalah berkat hubungan baiknya dengan Koesna Poeradiredja SH, tokoh PSI yang aktif di bidang itu. Dengan memanfaatkan kekosongan pimpinan SOBSI Jakarta Raya, ia menghimpun tenaga-tenaga untuk menghidupkan SOBSI setempat sampai berhasil dipercaya menjadi orang pertamanya. Sesudah Pimpinan Pusat SOBSI yang dibangun oleh Ismail Bakri dan teman-temannya dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta, Munir ikut aktif dan malahan mendapatkan kepercayaan untuk duduk di pimpinan pusatnya. Dipandang dari sudut pengalaman di dalam gerakan buruh dan kemampuan memimpin, sebenarnya Ismail Bakri lebih tepat menjadi orang pertama. Ismail Bakri pernah bekerja sebagai masinis kepala kereta api dan oleh Angkatan Muda Kereta Api diwakilkan untuk bergabung dengan pemuda-pemuda yang diasramakan di Menteng 31. Karena Munir juga mempunyai kegiatan di kalangan serikatburuh kendaraan bermotor bersama-sama dengan Aidit, akhirnya ia yang dipercayakan memimpin SOBSI dan kedudukan Ismail Bakri lalu digeser. Bakri selanjutnya meninggalkan SOBSI, aktif di B.T.I. dan kemudian menjadi orang pertama Komite Daerah Besar (C.D.B.) PKI Jawa Barat. Meskipun Munir sudah mendapatkan kepercayaan menjadi salah seorang pemimpin tertinggi SOBSI, ia belum bisa menduduki posisi sebagai orang pertama selama waktu beberapa tahun. Pemimpin tertinggi SOBSI yang masih hidup dari hasil kongres di Malang pada masa Perang Kemerdekaan tinggal Nyono. Maka untuk sementara Nyono yang menduduki tempat tertinggi sampai pada akhirnya sesudah Kongres Ke-empat SOBSI pada tahun 1964 Munir bisa terpilih menjadi Ketua. Sesudah itu, Nyono meninggalkan SOBSI untuk memimpin PKI Daerah Jakarta Raya sampai pada ajalnya sebagai korban eksekusi rezim diktatur militer Soeharto.

Penerimaan Sjahrir, dan katakanlah kelompoknya juga yang pragmatis fragmentaris terhadap Marxisme, tercermin di dalam pandangan mereka tentang Sosialisme. Oleh Legge disebutkan, bahwa "Segelintir dari mereka yang kelak akan ditarik ke dalam kelompok Sjahrir sudah mengenal secara langsung karya-karya Marx dan Engels dalam bahasa Jerman, atau terjemahannya di dalam bahasa Belanda; tetapi agaknya, sebagian terbesar pengetahuan mereka tentang pemikiran Marxis berasal dari komentar-komentar, umpamanya, yang terdapat pada karya Sidney Hook, Towards an Understanding of Karl Marx (1933), dan bukan dari karya-karya aslinya. Para pelajar itu juga mengenal tulisan-tulisan sosialis Eropa, yakni P.J. Troelstra dari Belanda, Otto Bauer dari Austria, dan Jean Jaures dari Perancis. Yang amat penting adalah karya H.P.G. Quack, De Socialisten, yang bagi anggota-anggota kelompok itu merupakan suatu ensiklopedia sosialis yang komprihensif" (P.G. Legge, Ibid., hlm. 139). Maka dilihat dari bacaan terbatas dan tidak asli, di samping asal klas Sjahrir serta kelompoknya sebagai golongan menengah, pandangan mereka mengenai Sosialisme tidak bertolak dari Materialisme Dialektis dan Historis Marxis. Sosialisme mereka bukan sintese pertentangan pokok yang tak terdamaikan antara klas buruh dan burjuasi, tapi masih berputar di dalam kerangka kapitalisme dengan bentuk "perekonomian campuran yang menggabungkan unsur-unsur sosialis dan kapitalis serta memberi tempat kepada modal luar negeri maupun dalam negeri" (Lihat P.D. Legge, Ibid., hlm. 244). Rumus �perekonomian campuran�, artinya kombinasi perekonomian kapitalis dan sosialis, adalah rumus umum yang juga menjadi pola Sosial Demokrasi Eropa. Rumus itu yang umumnya dipakai oleh kaum Sosial Demokrat Eropa dikatakan sebagai �jalan tengah�. Di dalam praktek, meskipun kaum Sosial Demokrat memakai etiket Sosialisme dan menempuh �jalan tengah� di bidang ekonomi, yang mereka lawan dengan getol adalah Sosialisme ilmiah dan Ekonomi Sosialis yang membongkar akar kapitalisme. Sistem masyarakat kapitalis dan ekonomi kapitalis tidak mereka ganggu-gugat. Ada sifat yang identis dengan umumnya orang-orang atau golongan-golongan yang di bidang politik menyatakan diri sebagai kekuatan tengah atau poros tengah. Pada umumnya yang mereka lawan dengan keras adalah kekuatan kiri, bukan kekuatan kanan.

Tulisan Legge pada halaman yang sama menyebutkan, bahwa Kelompok Sjahrir "mempertahankan dipeliharanya lembaga-lembaga demokratis dan penciptaan suatu masyarakat "modern" yang diilhami oleh prinsip-prinsip kesamaan derajat, keadilan sosial dan penghormatan terhadap individu". Namun tidak saja berdasar atas keterangan Legge di atas, dengan mempertimbangkan sikap sebagian Kelompok Sjahrir yang masih hidup serta kemungkinan juga generasi penerus mereka yang tidak setuju dengan kediktaturan rezim militer Soeharto, apa saja versi Sosialisme yang mereka tampilkan, mereka bisa dikategorikan sebagai golongan demokratis dan bukan sasaran politik untuk dimusuhi. Di dalam lingkup kehidupan demokratis yang relatif ada dewasa ini, sikap mereka selanjutnya masih bisa dikaji berdasarkan perkembangan pengusutan semua kejahatan politik dan ekonomi Soeharto, keluarga, rezim beserta kroni-kroninya. Di samping itu juga berdasarkan perkembangan gerakan massa rakyat untuk Persatuan Nasional Demokratis yang berbasiskan persatuan buruh dan tani dengan klas buruh sebagai tulang punggung. Kendati ada sikap positif pihak lain di dalam kerjasama dengan mereka, faktor penentu terakhir adalah sikap mereka sendiri.

PKI yang formalnya merupakan Parpol terlarang, pada masa surutnya gerakan buruh Indonesia sekarang bukan pengemban daya tarik bagi bergabungnya pejuang-pejuang kiri seperti Sidik Kertapati dan Joeliarso. Beda dengan masa tahun 1950-an. Ketika itu PKI tampil dengan darah segar peremajaan dan berkobarnya semangat menuntut kemerdekaan 100% dengan menyerukan pembatalan Perjanjian KMB. Bagi penerus perjuangan klas buruh yang konsisten, kini adalah masa keprihatinan untuk menyatukan diri baik ideologis, politis maupun organisatoris. Pola lama di dalam menggalang persatuan dengan berbagai golongan perlu ditinjau kembali sesuai dengan syarat-syarat obyektif, tema dan sasaran pokok perjuangan masa sekarang. Segala ulah emosional karena luka-luka lama di dalam konflik-konflik politik supaya bisa dikendalikan dan jangan sampai menjadi kendala bagi tergalangnya Persatuan Nasional Demokratis seluas mungkin.

Pengalaman selama Indonesia Merdeka telah menunjukkan posisi dan peran kaum inteligensia, terutama di bidang politik. Segi kelebihan yang menonjol ketimbang pejuang-pejuang yang berasal dari golongan non intelektual pada umumnya adalah bahwa kaum inteligensia lebih luas menguasai pandangan teori dan lebih mampu memimpin. Segi kekurangannya, perasaan mereka tidak langsung tersintuh oleh pahitnya kehidupan lapisan bawah masyarakat. Maka tidak sedikit di kalangan mereka yang tidak cukup militan menghadapi kesulitan, terutama di dalam perjuangan jangka panjang. Dua segi itu terdapat di kalangan inteligensia di hampir seluruh barisan, termasuk juga di barisan kaum Komunis. Khusus selama situasi berada pada keadaan relatif damai, adanya kekurangan tadi tidak transparan. Segi kekurangan tadi memang tidak hanya terdapat di kalangan kaum inteligensia saja. Di kalangan lapisan bawah masyarakat non intelektual pun terdapat juga, terutama dengan tidak adanya cukup stamina di dalam perjuangan jangka panjang yang umumnya disebabkan karena penderitaan hidup dan belum kongkritnya hasil perjuangan yang dapat dirasakan. Yang penting bagi masa sekarang adalah bagaimana secara berangsur semua kekurangan tadi bisa diatasi, baik yang ada pada golongan inteligensia maupun non inteligensia, tapi terutama golongan inteligensia. Jurang antara dua golongan tersebut perlu diratakan melalui kesempatan pendidikan yang lebih luas, terutama bagi golongan ekonomi lemah. Untuk masa sekarang urgensinya adalah bagaimana mendorong dan mengembangkan gerakan massa rakyat, sehingga partisipasi rakyat di dalam kehidupan politik menjadi lebih besar, kehidupan demokratis lebih terkonsolidasi dan berkembang, Persatuan Nasional Demokratis menjadi lebih kokoh, dan perbaikan serta kesejahteraan hidup rakyat tambah terjamin.

Untuk perjuangan lebih lanjut bagi golongan inteligensia ada dua pilihan. Jika perjuangan kaum inteligensia hanya berhenti pada tingkat menuntaskan �reformasi� di dalam kerangka kehidupan demokratis saja, katakanlah tingkat itu sebagai pilihan pertama, perjuangan itu tidak akan menghasilkan demokrasi yang sesungguhnya, demokrasi sebagai kekuasaan politik rakyat. Tingkat yang demikian, meskipun dikembangkan menjadi kemandirian negara di bidang ekonomi dan politik, dengan menarik pelajaran dari pengalaman Revolusi Burjuis Prancis, bisa menjadi represif terhadap lapisan luas masyarakat yang berporoskan klas buruh seperti yang umumnya berlaku di negeri-negeri kapitalis di Barat sampai sekarang. Oleh karenanya sebagai pilihan kedua, kaum inteligensia perlu meletakkan sandaran pada kekuatan klas buruh. Hanya dengan menempuh jalan menurut pilihan kedua, kaum inteligensia bisa langsung berpartisipasi di dalam kehidupan politik menuju terlaksananya Demokrasi sejati, Demokrasi yang berpadu dengan Sosialisme. Selama situasi belum matang sampai pada tingkat Sosialisme, kehidupan demokratis yang merupakan kenyataan dan keharusan obyektif jika alternatif lain memang tidak ada, perlu dikonsolidasi dan dikembangkan. Di dalam kehidupan demokratis, pemerintah dan komponen-komponennya beserta lembaga-lembaga negara perlu didemokratisir secara tuntas. Militer dan polisi yang masing-masingnya merupakan kesatuan tersendiri, perlu dirombak menjadi tentara dan polisi yang manunggal dengan rakyat. Syarat - syarat potensial bagi tergalangnya kemandirian negara di bidang politik, dan terutama di bidang ekonomi perlu diperkuat. Namun, untuk tuntasnya pilihan kedua, dilihat dari syarat-syarat obyektif yang ada dewasa ini, jalannya masih bisa panjang

Bagi negeri-negeri seperti Indonesia, dalam perjalanan ke arah Sosialisme masih memerlukan tahap-tahap di mana kapitalisme masih bercokol di dalam masyarakat. Keadaan yang demikian bisa memakan waktu lama. Untuk sementara waktu mungkin hanya berlaku di dalam lingkup satu negara Demokratis yang berdiri sendirian secara mandiri. Kendati belum memasuki Sosialisme, negaranya perlu didorong dan diperjuangkan supaya klas buruh yang dijadikan sebagai sandaran kekuatan utama. Sebab klas buruh yang bersatu dengan kaum tani adalah kekuatan tulang punggung di dalam lingkup Persatuan Nasional Demokratis, yang di negeri-negeri tersebut perlu ditegakkan. Klas buruh dengan tentu saja Partai Klas Buruh yang tepat garis politiknya, solid di bidang politik, ideologi dan organisasi, adalah kekuatan tulang punggung yang seharusnya paling bisa diandalkan membawakan berkembangnya Demokrasi menuju Sosialisme.

Dewasa ini, gerakan masa rakyat berintikan klas buruh, baik nasional maupun internasional, lebih berperan penting ketimbang masa lalu. Gerakan masa rakyat tersebut mempunyai arti penting sebagai basis kekuatan berdirinya negara-negara Demokratis. Adanya saling bantu di antara banyak negara-negara Demokratis penting artinya sebagai bentuk solidaritas politik mendasari usaha bersama meramu syarat-syarat materiil dan kulturil ke arah Sosialisme, dengan nilai setinggi mungkin sesuai dengan kapasitas yang tersedia. Kekompakan gerakan rakyat nasional dan internasional berintikan klas buruh yang berpadu dengan persatuan negara-negara Demokratis, merupakan kekuatan baru untuk memungkinkan terciptanya cukup syarat-syarat yang dapat mencegah jangan sampai kegagalan terulang kembali seperti yang dialami oleh Uni Soviet, Negara-negara Sosialis Eropa Timur, Tiongkok dll. Di samping itu, kekuatan baru tersebut, politis, ekonomis dan militer, berkondisi lebih baik dari keadaan sekarang. Kondisi lebih baik itu bisa diarahkan untuk menciptakan syarat-syarat baru, yang melalui tindak keserempakan bisa memiliki kemampuan mengakhiri keunggulan imperialisme dunia yang berada di bawah dominasi kaum imperialis Amerika.

5. Peristiwa Tiga Daerah, demokratisasi dan trauma Komunis

Peristiwa Tiga Daerah terjadi pada akhir tahun 1945 di kabupaten-kabupaten Brebes, Tegal dan Pemalang, yang semuanya termasuk ke dalam wilayah daerah karesidenan Pekalongan. Berdasar atas pemberitaan-pemberitaan koran di Yogyakarta, dari Peristiwa Tiga Daerah itu nama tokohnya yang pertama-tama menonjol adalah Sardjio. Sejak masa pendudukan Jepang, nama Sardjio sudah dikenal sebagai seorang Komunis yang aktif bergerak di bawah tanah. Kempeitai Yogyakarta berusaha menguntit gerak langkah Sardjio, tidak saja dengan mengerahkan tenaga-tenaga penyelidik Dinas Rahasia Kepolisian, tapi Kantor Pos �bagian menyensur surat-surat� pun diberi instruksi rahasia juga untuk menyelidiki siapa saja yang berhubungan surat-menyurat dengan dia. Namun, Jepang tidak berhasil menyiduk Sardjio. Tahu-tahu, pada awal Perang Kemerdekaan, nama Sardjio muncul di koran-koran sebagai salah seorang tokoh penggerak peristiwa 3 Daerah yang diangkat menjadi residen Pekalongan. Tokoh-tokoh lainnya sebagai penggerak peristiwa 3 Daerah yang namanya menonjol adalah Kresna Midjaja alias Kamid, seorang bekas kondektur kereta api dan Komunis. Sedang Widarta, pemimpin utama satu di antara dua faksi PKI di bawah tanah sejak masa pendudukan Jepang, di dalam peristiwa 3 Daerah namanya malah tidak menonjol.

Tentang Peristiwa Tiga Daerah telah ada sebuah buku di dalam 11 Bab yang mendetail, ditulis oleh Anton E. Lucas, Ph. D.,sebagai kerangka desertasi. Judul buku itu adalah The Bamboo spear pierces the payung ( Bambu runcing menembus payung ), sebuah kiasan bagaimana rakyat jelata membersihkan golongan priyayi, yaitu pejabat-pejabat pangreh praja sebagai elite bikrokrat. Lucas memang telah melakukan sebuah studi dengan cermat. Tulisannya dimulai dengan mengumpulkan fakta-fakta melalui komunikasi lisan dengan para pelaku dan saksi yang tersebar di berbagai tempat di Jawa. Hasil studi arsip pengadilan terhadap tokoh-tokoh Tiga Daerah tidak didapatkan di Indonesia, melainkan di Algemeen Rijksarchief di Negeri Belanda. Sebabnya karena ketika Belanda melakukan �aksi� militer, mereka merampas dan memboyong arsip Republik ke negeri mereka. Di bagian tulisan ini, saduran historis tentang Peristiwa Tiga Daerah bahannya tidak langsung diambilkan dari tulisan Lucas, tapi dari tulisan Abdurrachman Suryomihardjo yang dimuat di dalam majalah Prisma No. 8, Agustus 1981.

Pada masa penjajahan Belanda, di daerah pesisir Utara sebagai tempat kehadiran pabrik-pabrik gula, kaum pangreh praja pada umumnya bertindak sebagai pelayan kaum kapitalis asing yang berarti ikut memeras rakyat, terutama kaum tani. Sebagai pemungut pajak dan pelaksana hukum, kedudukan mereka menjadi terpencil serta bertentangan langsung dengan kepentingan rakyat. Dengan pendudukan Jepang, penghidupan rakyat, terutama di desa-desa semakin rapuh. Menjelang tahun 1944, mulai timbul bencana kelaparan. Banyak orang yang meninggal karenanya. Penduduk dipaksa makan bekicot dan berbagai macam serabut akar-akaran. Yang membikin sakit hati rakyat biasa bukan terutama orang-orang Jepang, tapi justru tindak kekerasan serta kesewenang-wenangan kaum pangreh praja, yang mengatur pemungutan dan penyetoran padi dengan paksa. Sesudah Indonesia merdeka, penderitaan rakyat yang sudah terendam sejak masa penjajahan Belanda membeludak di dalam bentuk kekerasan. Yang menjadi sasaran adalah golongan-golongan yang kedudukan ekonomisnya baik dan yang dianggap sebagai biangkeladi pihak penguasa. Maka yang dilaberak rakyat dengan tindak kekerasan adalah golongan Tionghoa, orang-orang Eropa, tercatat lebih dari 100 orang Eropa yang dibunuh, dan pejabat-pejabat pangreh praja.

Dengan terjadinya gerakan di Tiga Daerah, perubahan-perubahan yang meluas terjadi di dalam bentuk penggantian penguasa-penguasa lama peninggalan masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang dengan tokoh-tokoh baru, mulai dari residen, bupati, wedana, camat sampai pada kepala desa. Kejadian itu seperti yang dilukiskan oleh Lucas dilambangkan sebagai "terkoyaknya payung". Di Jawa, payung memang melambangkan kedudukan para priyayi yang mengungguli rakyat biasa, dan dengan tumbangnya kekuasaan para priyayi sebagai pejabat pangreh praja, menjadi terkoyaklah payung itu. Untuk jabatan residen dan bupati, diangkat tokoh-tokoh Komunis dan Muslim. Para pejabat pangreh praja yang terlatih sejak masa penjajahan Belanda dan berkedudukan sebagai wedana serta camat, kebanyakan diganti oleh pemimpin-pemimpin Muslim. Kepala-kepala desa banyak yang dipilih langsung oleh rakyat. Suatu bentuk khas di dalam perubahan-perubahan itu ialah adanya faktor fenomenal yang berdampak kuat terhadap kehidupan di tingkat desa. Itulah keberadaan kaum Lenggaong. Mereka terdiri dari orang-orang yang berpengaruh di kalangan rakyat pedesaan, yang terlatih dan menguasai ilmu �silat� serta �ilmu dalam�. Mereka adalah orang-orang terpandang dan disegani. Sudah naluri sejak dulu, kegiatan mereka tidak bertentangan dengan kepentingan rakyat jelata, melainkan melawan penguasa-penguasa represif asing serta tuantanah-tuantanah. Maka perubahan kekuasaan politik yang terjadi ketika itu basis kekuatannya berupa perpaduan antara unsur-unsur tradisional pembangkang kekuasaan represif asing, dan rakyat kebanyakan yang sejak lama menderita, terutama kaum tani.

Bagi kaum penggerak perubahan, yang menjadi prioritas adalah merombak dan mendemokratisir kekuasaan politik. Yang sampai sekarang berlaku, sedang ketika berlangsungnya Peristiwa Tiga Daerah masih belum seluruhnya, adalah dihapusnya kedudukan Wedana menjadi �pembantu Bupati�. Di samping merombak dan mendemokratisir kekuasaan politik, pembagian tanah juga ditempatkan sebagai prioritas. Hubungan antar golongan terwujud dengan adanya kerjasama baik antara golongan Komunis dan Islam, sebuah kerjasama yang berlangsung sebagai kekuatan politik setempat yang penting sampai tahun 1965. Kaum penggerak perubahan juga menghendaki penghapusan semua sebutan aristokratis bagi kaum priyayi dan berbagai bentuk sopan-santun feodal. Ragam bahasa Jawa yang mereka gunakan hanya Ngoko, sebuah ragam bahasa yang mencerminkan persamaan dan kerakyatan, tapi yang oleh kaum priyayi dianggap kasar. Meskipun sopan-santun feodal dan bahasa Jawa, tidak saja Ngoko tapi juga Kromo, kini masih berlaku, �pasaran�nya sudah semakin menciut. Dua aspek kultur Kejawen tersebut semakin terdesak oleh popularitas kultur pembaruan masa Indonesia merdeka dan semakin populernya pemakaian bahasa Nasional.

Perubahan-perubahan drastis yang terjadi di Tiga Daerah, ternyata tidak ditanggapi positif oleh semua golongan yang ada. Golongan militer dengan korps perwiranya yang mempunyai kesetiaan mendalam terhadap kaum priyayi yang telah ditumbangkan kekuasaannya, merasa terancam juga oleh kaum Komunis dan golongan Muslim radikal. Dengan dalih mempertahankan �ketertiban� dan �status quo�, TKR sebagai kekuatan militer dikerahkan untuk menangkap dan memenjarakan 1600 aktivis penggerak Peristiwa Tiga Daerah. Dengan demikian pada pokoknya gagal dan berakhirlah gerakan Tiga Daerah, kendati ada dampaknya yang positif terhadap perubahan-perubahan sosial tertentu.

Dilihat dari aspek lokal, gerakan Tiga Daerah tidak mempunyai dukungan kekuatan bersenjata. Situasinya menjadi bertambah kompleks karena memboncengnya teror yang sangat ganas dengan Kutil, seorang bekas tukang cukur yang menjadi tokoh legendaris sebagai lambang kekerasan dan kekejaman. Secara nasional perubahan-perubahan yang berlaku di Tiga Daerah tidak ada ko-ordinasinya dengan Pemerintah Pusat. Para penggeraknya, dan tingkat pemikiran pada umumnya ketika itu memang tampak belum cukup bisa mencekam situasi, di mana rakyat Indonesia sedang berada di dalam masa perang kemerdekaan menghadapi Belanda sebagai musuh utama. Masih kurang terpikir, bahwa sewaktu-waktu Belanda bisa melancarkan agresinya dan merusak hasil-hasil perubahan yang telah diperoleh. Di samping itu, komposisi golongan-golongan yang ada tidak cukup luas untuk bisa menerima perubahan-perubahan mendasar pada sistem kekuasaan politik dan apalagi jika yang dikenakan sistem masyarakatnya. Masih belum dibedakan antara perjuangan yang dipusatkan terhadap Belanda sebagai agresor yang mau mengembalikan kolonialisme di Indonesia dan sikap menghadapi golongan-golongan yang masih belum tanggap terhadap perubahan-perubahan baru yang dianggap terlalu radikal. Namun, di antara golongan-golongan yang masih belum tanggap itu tidak berarti bahwa mereka tidak mendukung Republik. Ketika Belanda menduduki daerah Pekalongan, tidak semua dari mereka ikut Belanda. Sebagian ada yang menolak bekerjasama dengan Belanda dan melarikan diri ke daerah Selatan.

Kekuatan politik pokok sebagai penggerak Peritiwa Tiga Daerah adalah kelompok pemimpin-pemimpin dan orang-orang Komunis dari faksi PKI di bawah tanah kelanjutan masa pendudukan Jepang. Widarta adalah pemimpin utamanya. Sangat disesalkan, bahwa pada saat itu di dalam PKI ada dua faksi yang masing-masing tidak tunduk kepada satu sama lainnya. Masing-masing faksi melakukan kegiatan sendiri yang terpisah. Faksi yang dipimpin oleh Widarta dan Soekardiman alias Kecil mengaku sebagai penerus PKI di bawah tanah sepeninggal Pamoedji. Faksi satunya lagi berada di bawah pimpinan Soekisman dan Soetrisno Sipoen. Menurut faksi ini mandat pimpinan PKI di bawah Pamoedji diberikan kepada mereka. Hal itu antara lain mereka buktikan bahwa uang pemberian Van Der Plas sebanyak 25.000,-- gulden kepada Amir Sjarifuddin sebagai dana membiayai gerakan anti fasis yang sesuai dengan garis politik Komintern, mereka yang memegangnya. Sebagian dari uang itu dimanfaatkan untuk membiayai penerbitan majalah stensilan "Menara Merah". ( Pada masa pendudukan Jepang pernah ada tulisan menarik di dalam Menara Merah. Antara lain disebutkan, bahwa Indonesia akan dibebaskan oleh tentara Merah (tentara Soviet) yang dirintis di barisan depan oleh tiga orang tokoh penting, yaitu Muso, Alimin dan Efendi, disingkat Musalef. Yang dimaksudkan dengan Efendi adalah Rustam Efendi, yang sesudah datang kembali di Indonesia menggabungkan diri dengan Partai Murba seperti halnya Semaun - pen.). Dari keterangan kader-kader tua PKI yang aktif bergerak sejak reorganisasi PKI tahun 1935, di samping masalah mandat sebagai penerus, tidak terdapat keterangan yang menunjukkan adanya kontradiksi di antara dua faksi tersebut yang berdasar atas perbedaan pendirian mengenai garis politik. Malah banyak cerita-cerita yang mengesankan bercampuraduknya kontradiksi-kontradiksi dengan persoalan pribadi. Jadi suatu kontradiksi tidak mendasar, tapi berbuntut negatif yang tidak perlu terulang kembali. Sesudah pimpinan PKI di bawah tanah pada masa Perang Kemerdekaan tersusun dengan Amir Sjarifuddin sebagai pemimpin utamanya, faksi Widarta-Soekardiman tidak diikutsertakan. Buntut dari perpecahan ini yang ada sangkut pautnya langsung dengan kedahsyatan Peristiwa Tiga Daerah dengan berlimpahnya tetesan darah manusia, mengindikasikan adanya efek sangat tragis yang tidak diceritakan di dalam tulisan Lucas.

Pimpinan tertinggi PKI di bawah tanah yang di antara kader-kadernya yang penting ikut duduk di dalam pemerintahan Republik ketika itu, tidak memberikan tanggapan positif terhadap Peristiwa Tiga Daerah. Situasi di Tiga Daerah yang tidak jelas bagi orang luaran, tapi bertambah kompleks karena gerakan teror yang mendompleng dengan pembunuhan-pembunuhan yang sangat kejam, berbuntut sangat tragis dengan dijatuhkannya hukuman mati terhadap Widarta atas instruksi pimpinan tertinggi PKI di bawah tanah. Widarta dieksekusi di dalam kandang kuda, di sebuah desa dekat Parangtritis, pantai Selatan Yogyakarta, oleh kader-kader PKI sendiri yang formilnya mempunyai kedudukan resmi di dalam aparat kekuasaan negara. Kejadian sangat tragis itu disampaikan kepada isteri Widarta dengan berselubung. Yaitu dengan keterangan rekaan bahwa Widarta meninggal karena kecelakaan dengan tenggelamnya kapal yang ia tumpangi di dekat pulau Onrust.

Adapun sebagian dari aktivis-aktivis Tiga Daerah lainnya ada yang diadili, sebagian lagi ada yang dibebaskan. Karena �aksi� militer Belanda pada tanggal 21 Juli 1947, pemimpin-pemimpinya yang terpenting mendapatkan amnesti dari presiden Soekarno. Oleh PKI pimpinan D.N. Aidit, Widarta bersama anggota-anggota faksinya direhabilitasi melalui penyelesaian yang tidak banyak kader dan anggota PKI mengetahui motif-motifnya dengan jelas. Dengan demikian, anggota-anggota faksi Widarta yang masih hidup lalu bergabung menyatukan diri dengan PKI pimpinan Aidit. Oleh C.C. PKI pimpinan Aidit keluarga Widarta diurusi penghidupannya. Di antara kader-kadernya yang terpenting, Soekardiman alias Kecil sejak tahun 1950-an aktif memimpin sebuah serikatburuh. Kresna Midjaja alias Kamid pada saat yang sama mula-mula aktif juga memimpin sebuah serikatburuh pegawai negeri. Ia kemudian meninggalkan aktivitas serikatburuh. Selanjutnya ia aktif di bidang pekerjaan yang sesuai dengan usianya yang semakin mendekati tua, tapi ada hubungannya dengan pengalaman pribadinya. Baik Soekardiman maupun Kamid, dua-duanya menunjukkan kesetiaan dan partisipasi aktif mereka di dalam meneruskan perjuangan PKI. Adapun di luar tokoh-tokoh terpenting PKI., yang penting untuk disebut namanya adalah Kutil. Sebagai tokoh legendaris lambang kekerasan dan kekejaman selama Peristiwa Tiga Daerah, ia dijatuhi hukuman mati yang baru dapat dilaksanakan pada tanggal 5 Mei 1951.

Terlepas dari dampak perubahan-perubahan demokratis yang pernah dibuktikan di dalam Peristiwa Tiga Daerah, golongan kiri dan PKI di bawah tanah pasca Proklamasi Kemerdekaan sebagai inti kekuatan politiknya, sudah sejak waktu dini ada pikiran tentang pentingnya perombakan demokratis dilakukan terhadap aparat negara warisan masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Pikiran ini terutama berpusat pada perombakan demokratis kepolisian negara. Kebencian rakyat yang mendalam terhadap polisi tercermin antara lain dengan diculiknya Soedarsono Blenduk, bekas kepala PID (Politieke Inlichtingen Dienst) Yogyakarta pada masa penjajahan Belanda dan Kepala Kepolisian Rahasia pada masa pendudukan Jepang, yang masih dipakai dengan jabatan sama selama masa awal Indonesia Merdeka. Ia bukan Soedarsono Mayor Jendral, Komandan Divisi III TNI Jawa Tengah dan bekas Kepala Kepolisian Daerah Yogyakarta. Penculikan dilakukan oleh sekelompok tentara di bawah pimpinan Litnan Marsoedi, bekas bundantjo Heiho, anak buah Soeharto. Ketika itu Soeharto berkedudukan sebagai Komandan Batalyon 10 TNI di Yogyakarta dan masih berpangkat mayor. Pada tahun 1965 Marsoedi berpangkat Brigadir Jenderal. Tanpa ada bukti kesalahan, ia dituduh terlibat di dalam peristiwa G.30 S. Oleh rezim diktatur militer Soeharto ia diringkus di dalam tahanan selama 7 tahun di luar prosedur hukum dan sampai sekarang tidak diberi hak pensiun. Adapun penculikan itu sendiri yang tidak ada hubungannya dengan apa yang terpikir oleh pimpinan PKI dan golongan kiri ketika itu, tidak menghasilkan perubahan demokratis di lingkungan korps kepolisian. Efeknya malah menimbulkan kemarahan di kalangan polisi karena ditanggapi sebagai suatu penghinaan. Kemarahan terutama tercermin dari sikap korps pimpinan muda kepolisian, karena merasa tidak kalah penting partisipasi mereka di dalam perjuangan membela Republik. Persatuan Pegawai Polisi Yogyakarta yang pada saat itu diketuai oleh Sumaryo Inspektur Polisi, terkenal nama populernya dengan Maryo King Kong, back kesebelasan sepakbola PSIM, cepat-cepat mengambil keputusan untuk mengirimkan sebuah delegasi ke Pusat Kepolisian Negara yang ketika itu berkedudukan di Purwokerto. Delegasi membawa mandat menuntut diperkuatnya persenjataan polisi negara untuk mencegah terulangnya kembali penculikan terhadap anggota korps kepolisian. Tuntutan itu ditanggapi positif oleh Pimpinan Pusat Kepolisian Negara. Sebagai hasilnya, kesatuan-kesatuan bersenjata polisi yang sejak masa pendudukan Jepang disebut sebagai �Polisi Istimewa�, lalu diperkuat persenjataannya, yang sebelumnya relatif memang lemah. Namanya semula dirubah menjadi "Mobiele Brigade", yang kemudian dikongkritkan menjadi �Brigade Mobil� (Brimob). Jadi penculikan tadi malah menambah kuatnya potensi aparat kepolisian negara, terutama kekuatan bersenjatanya. Suatu aparat kekuasaan yang di dalamnya masih tetap belum bersih dari unsur-unsur yang bermentalitas sebagai pengabdi penjajah Belanda. Kendati demikian, dampak kemerdekaan bagaimanapun juga tidak kecil. Pada awal Perang Kemerdekaan, terutama dari kalangan angkatan muda kepolisian Yogyakarta, tidak sedikit yang meninggalkan kepolisian dan menggabungkan diri dengan tentara, partai-partai politik dan kesatuan-kesatuan perjuangan yang pada umumnya berhaluan kiri. Yang tetap bertahan di dalam kepolisian, banyak yang menunjukkan kesetiaan kepada Republik, terbukti dengan penolakan mereka bekerja dengan Belanda selama masa pendudukan. Di antara yang ikut Belanda ada beberapa yang mati dibunuh oleh penduduk karena diketahui sebagai tukang tunjuk sejak masa penjajahan, ada yang bunuh diri sebelum terbuka pengkhianatannya, ada yang bisa menghilang tanpa meninggalkan jejak, dan ada yang diterima kembali bekerja setelah Perjanjian KMB ditandatangani.

Selama Perang Kemerdekaan, di antara mereka yang tetap bertahan bekerja sebagai polisi ada kader-kader PKI dan golongan kiri di kalangan angkatan mudanya yang secara diam-diam aktif mempersiapkan syarat-syarat ke arah perombakan demokratis aparat kepolisian. Aktivitas persiapan itu sudah berhasil membina kekuatan-kekuatan induk di tempat-tempat tertentu dengan mendapatkan dukungan massa luas, kesatuan-kesatuan Mobiele Brigade dan kesatuan-kesatuan bersenjata lainnya. Amat disayangkan, bahwa aktivitas persiapan itu menjumpai kendala dengan terjadinya peristiwa pelucutan senjata terhadap Kesatuan Mobiele Brigade Bojonegoro yang dipimpin oleh Ispektur Polisi II Asmaun, bekas Tjudantjo PETA pada masa pendudukan Jepang. Pelucutan dilakukan oleh pasukan pusat Mobiele Brigade yang berkedudukan di Mojokerto di bawah komando Komisaris Besar Polisi Mohammad Yasin. Peristiwa itu terjadi sebelum dan tidak ada hubungannya dengan Peristiwa Madiun, meskipun menyangkut diri Asmaun sebagai seorang anggota Partai Sosialis Bojonegoro.Yang menjadi masalah ialah bahwa Asmaun dengan paksa menembak lemari besi (brandkast) berisi uang dari bagian keuangan Kepolisian Bojonegoro, dengan maksud membagi-bagikan uang hasil penembakan paksa lemari besi itu kepada anak buahnya karena terlambatnya pembayaran gaji. Asmaun ditangkap dan dikirimkan ke dalam tahanan Pusat Kepolisian Negara yang dari Purwokerto sudah dipindahkan ke Yogyakarta. Ketika masih hangat-hangatnya Peristiwa Madiun, Asmaun dibebaskan dari tahanan dan lalu ditempatkan bekerja di Kantor Pusat Kepolisian dengan status percobaan. Dengan pasukan Mobiele Brigade Bojonegoro dilucuti, kekuatan golongan kiri di dalam aparat kepolisian menjadi bertambah lemah. Di tambah dengan terjadinya Peristiwa Madiun, usaha ke arah implementasi perombakan demokratis terhadap aparat kepolisian menjadi dibatalkan. Pembatalan ini bagaimanapun juga membuktikan, bahwa PKI tidak memimpin pemberontakan dalam Peristiwa Madiun. Namun ada segi positif sebagai jasa kader-kader PKI dan golongan kiri di dalam kepolisian Yogyakarta selama berlangsungnya Peristiwa Madiun.Yaitu bahwa sebagian besar tokoh-tokoh kiri yang ada di Yogyakarta sebagai Ibukota Republik dapat diselamatkan dari penangkapan polisi seperti Soedisman, Wikana, Abdoelmadjid, Loekman, Nyoto, Ngadiman, Soepeno, Krisoebanoe, Lagiono, Setiadi, K. Werdoyo dll.

Tentang Peristiwa Madiun telah ditulis di dalam buku putih yang diterbitkan oleh C.C. PKI. Peristiwa itu terang bukan pemberontakan Komunis. Kendati demikian, kejadian yang tragis itu adalah suatu pelajaran penting bagi perjuangan rakyat Indonesia sekarang dan di hari kemudian. Di dalam Peristiwa Tiga Daerah, banyak di antara golongan-golongan sosial setempat, termasuk kekuatan bersenjatanya, masih belum dapat menerima dengan baik dilakukannya perubahan-perubahan yang drastis. Menjelang Peristiwa Madiun, peleburan partai-partai kiri yang tergabung di dalam FDR menjadi PKI yang berarti menonjolnya posisi dan peran kaum Komunis di dalam perjuangan Kemerdekaan Nasional, di Indonesia masih menghadapi perlawanan keras dari pihak burjuasi pada umumnya. Yang lebih penting lagi dari itu ialah bahwa kaum kolonialis Belanda dan kekuatan-kekuatan internasional yang didominasi oleh imperialisme Amerika menginginkan supaya Perang Kemerdekaan Indonesia segera dihentikan. Mereka sangat �ngiler� untuk cepat-cepat menanamkan modal di Indonesia sebagai negeri yang kaya raya akan sumber bahan mentah yang amat vital. Bagi mereka, menonjolnya posisi dan peran PKI di dalam perjuangan Kemerdekaan Nasional merupakan kendala besar, sangat merintangi. Maka bagi mereka membasmi kaum Komunis adalah mutlak.

Bersumber pada informasi informal yang disampaikan oleh Muso ketika itu, di kalangan pemimpin-pemimpin tinggi Komunis Indonesia dipengaruhi oleh adanya pikiran yang bersifat terlalu mengandalkan diri pada bantuan Uni Soviet. Tidak sepenuhnya sama seperti yang ditulis di dalam Menara Merah di atas, dasarnya adalah keterangan Muso.Yaitu bahwa jika tidak didahului dengan Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hirosima dan Nagasaki, kekuatan militer Uni Soviet merupakan faktor penentu bagi berakhirnya Perang Dunia Kedua. Sebabnya tentara Soviet telah berhasil melumpuhkan pasukan induk tentara Jepang di Mancuria dan pada saat itu Soviet sudah langsung menyatakan perang terhadap Jepang. Aspek inilah yang berdominasi pada pikiran pemimpin-pemimpin tinggi Komunis Indonesia ketika itu, sehingga peran kaum imperialis Amerika di Asia dan Pacifik dikecilkan, apalagi peran kaum kolonialis Belanda. Menonjolnya posisi dan peran PKI ketika itu banyak didorong oleh faktor tersebut. Betapapun juga keunggulan Uni Soviet di bidang militer, kaum Komunis Indonesia tidak bisa hanya menggantungkan diri pada bantuan Uni Soviet. Seperti halnya Tiongkok sebelum pembebasan, meskipun daerah basis utama kekuatan revolusioner di sana berbatasan dengan Uni Soviet, tapi perjuangan revolusioner rakyat Tiongkok tidak menggantungkan diri pada bantuan Uni Soviet. Peristiwa Madiun telah menunjukkan, bahwa kepada ribuan kaum komunis yang dikejar-kejar dan dibunuh, tidak ada kekuatan luar yang menolong langsung mereka.

Di kalangan kader-kader tinggi PKI sebelum Muso datang, yang terutama berdominasi di lingkungan intelektualnya adalah pikiran sangat membesar-besarkan keberadaan Indonesia ketika itu di dalam pengaruh atmosfir �Sekutu� di mana kaum imperialis Amerika menduduki tempat dominan dan dianggap sebagai penentu terhadap berakhirnya Perang Dunia Kedua. Aspek itu yang menjadi motif pokok mengapa peran politik PKI tidak menonjol. Pimpinan PKI di bawah tanah yang lebih banyak dipengaruhi oleh golongan intelektualnya lebih memusatkan kader-kadernya yang penting pada Partai Sosialis, Partai Buruh dan Pesindo, bukan pada PKI yang bekerja terbuka. Belajar dari pengalaman pahit melalui pasang-surutnya perjuangan, baik sikap terlalu menonjol maupun terlalu bersembunyi bagi PKI, tidak perlu terulang kembali. Yang penting adalah bagaimana berdasarkan situasi obyektif yang dihadapi, menilai secara tepat kekuatan sendiri, tidak memperbesar jumlah lawan dan memusatkan diri untuk bisa mengalahkan musuh utama. Maka secara nasional adalah sangat penting untuk menggalang persatuan seluas mungkin dengan kekuatan-kekuatan sosial yang ada, demikian juga mendidik serta memobilisasi massa seluas-luasnya berdasarkan persatuan buruh dan tani dengan klas buruh sebagai tulang punggung. Di dalam menggalang persatuan, kongkritnya persatuan nasional, jalan yang ditempuh bukan didasari dengan anggapan pentingnya bergabung dan ditariknya sebanyak mungkin golongan inteligensia yang bertitel sarjana, mengeproach golongan tengah dengan berpakaian perlente dsb. Menggalang persatuan nasional bukan hanya sebagai usaha dari atas dengan menarik-narik oknum-oknum serta golongan-golongan tertentu yang dianggap baik dan bisa ditarik, tapi belum tentu dan apalagi memang tidak demikian. Masalah persatuan nasional akan mendapatkan pemecahan yang baik dengan adanya Partai Klas Buruh yang kuat dan tepat garis politiknya. Yaitu Partai Klas Buruh sebagai kekuatan tulang punggung yang cukup terkonsolidasi di bidang politik, ideologi dan organisasi. Adanya Partai Klas Buruh yang demikian pun tidak berarti bahwa persatuan nasional hanya digalang dari atas tanpa dilandasi dengan mendidik dan memobilisasi massa seluas-luasnya dari lapisan bawah masyarakat yang berintikan klas buruh dan yang bersatu dengan kaum tani. Kaum Trotkyis dan Internasionale IV mengecam penggalangan persatuan nasional, tapi merusak persatuan dengan golongan-golongan yang dirugikan oleh kapitalisme birokrat dan kapitalisme monopoli baik asing maupun domestik. Formal mereka berpegangan pada persekutuan buruh dan tani, bukan persatuan buruh dan tani, yang pembinaannya berdasarkan kepemimpinan klas buruh di dalam lingkup kediktaturan proletar. Dalihnya supaya hegemoni burjuasi dapat diakhiri. Pola semacam itu hanyalah sebuah demagogi yang pada hakekatnya klas buruh merangkul setengah-setengah kaum tani dan tangan besi dilibaskan terhadap burjuasi non monopoli dan non birokrat, serta burjuasi sedang dan kecil. Efeknya membikin larinya golongan-golongan yang semestinya bisa ditarik, justru malah meninggalkan klas buruh. Posisi klas buruh menjadi terisolasi dan musuh klas buruh menjadi bertambah banyak. Pada waktu sekarang, rakyat Indonesia sedang menghadapi ancaman disintegrasi nasional yang akut. Berbagai gejolak politik yang berlatar belakang pamrih subyektif individu dan golongan berada pada tingkatnya yang sengat. Maka terbentuknya persatuan nasional yang luas berdasarkan pola di atas adalah urgen.

6. Melacak kebenaran tentang Tan Malaka

Selama ini, adanya ulasan-ulasan yang menyangkut diri Tan Malaka, baik di dalam bentuk lisan maupun tulisan, masih mengandung segi-segi yang kontroversial, termasuk yang pernah dikemukakan juga oleh Lembaga Sejarah PKI. Sejak tahun 1965 dengan dilarangnya PKI dan selanjutnya mundurnya gerakan klas buruh Indonesia, ada golongan-golongan dan orang-orang tertentu yang berkecenderungan mengagungkan ketokohan Tan Malaka. Kecenderungan itu sejalan dengan kegiatan golongan-golongan dan orang-orang berkategori Trotskyis dan Internasionale Ke Empat. Mereka memanfaatkan kevakuman gerakan revolusioner klas buruh setelah Uni Soviet dan negara-negara Sosialis Eropa Timur menghilang ke dalam sejarah. Mereka aktif berusaha tampil ke depan menggantikan peran gerakan revolusioner klas buruh, baik nasional maupun internasional, di dalam konteks pembawaan yang membikin vulgair perjuangan revolusioner kaum Marxis yang konsisten.

Sanjungan terhadap Tan Malaka memang tidak hanya terjadi belakangan ini saja. Pada masa penjajahan Belanda, karena terpukulnya PKI dengan gagalnya pemberontakan tahun 1926, nama Tan Malaka ada yang menyanjung-nyajungnya, kendati di dalam bentuk yang terselebung. Matumona misalnya, salah seorang penulis novel yang namanya tidak asing dengan antara lain karya-karyanya �Pacar Merah Kembali Ke Tanahair� dan �Jaman Gemilang�, dikenal sebagai pengagum Tan Malaka. Tulisannya �Pacar Merah Kembali Ke Tanahair�, konon dikatakan sebagai kiasan perjalanan hidup Tan Malaka. Pada saat akhir pendudukan Jepang, di kalangan pemuda-pemuda di asrama Menteng 31 sudah banyak dibisikkan, bahwa apabila orang ingin tahu tokoh pimpinan terbaik untuk Indonesia Merdeka, Tan Malakalah orangnya. Nama Tan Malaka muncul dan tenggelam sesuai dengan pasang surutnya perjuangan klas buruh dan perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Di saat surut ia mengambil alih peran perjuangan dari semestinya maju malah menjadi kabur. Di saat pasang perannya menjadi arus balik kemajuan. Sekarang ini muncul kembali sanjungan terhadap Tan Malaka pada saat orang sedang ramai mempersoalkan tentang dicabut dan tidaknya apa yang disebut dengan TAP MPRS No.25/1966. Munculnya sanjungan itu pada saat ini bisa berdampak negatif terhadap peran kaum Komunis Indonesia yang partisipasi aktif mereka di dalam perjuangan menegakkan Republik Indonesia tidak bisa dianggap sepi begitu saja.

Pada tanggal 3-11-2000, TEMPO Interaktif mengetengahkan sebuah berita internet yang berjudul Rehabilitasi Nama Tan Malaka, Upaya Jujur Terhadap Sejarah. Di dalamnya memuat berita ringkas tentang sebuah seminar yang dibuka oleh sejarawan DR. Anhar Gonggong tentang buku Tan Malaka yang berjudul �Menuju RI�. "Menurut Anhar", demikian antaranya isi berita itu, "kesalahan pemerintah selama ini adalah mempertahankan trauma komunis yang sebenarnya tidak patut pada masa ini. "Kita seharusnya mengembalikan keberanian untuk jujur karena memang sejarah menghendaki kita, baik sebagai individu maupun sebagai warga bangsa untuk selalu jujur,"ungkapnya. "Selain itu, ia juga menyatakan bahwa buah pikiran Tan Malaka yang terekam dalam puluhan buku dan kini menjadi warisan bangsa Indonesia itulah yang membuat nama Tan Malaka patut ditulis dalam buku sejarah sebagai pahlawan kemerdekaan.

Tak pernah ada yang tahu secara pasti di mana Tan Malaka lahir dan mati. Pendiri partai Murba ini lebih banyak dikenal melalui sekitar 27 buku, brosur dan ratusan tulisan yang dimuat dalam surat kabar terbitan Hindia Belanda dan Belanda. Tak kurang dari Soekarno, Hatta dan Syahrir yang pernah memuji karya-karyanya. "Dia pencinta Republik Indonesia yang sejati," ujar Soekarno suatu saat dulu.

Dalam buku-bukunya Tan Malaka banyak memberikan gagasannya yang bersumber pada pemikiran Karl Marx tentang bagaimana masyarakat Indonesia setelah penjajahan, padahal pada masanya Indonesia belum lagi beranjak dari penjajahan Belanda. Sempat menjadi pengurus PKI (Partai Komunis Indonesia), namun karena berselisih dengan Muso, ia keluar dan mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia). Pada pemerintahan Orde Baru, nama Tan Malaka tidak banyak dibicarakan orang karena pemerintah tidak mengakui dirinya sebagai salah satu tokoh nasional, dan cenderung melihatnya sebagai pemikir komunis di mana buku-bukunya tidak beredar di pasaran".

Di dalam Tempo Interaktif di atas antara lain juga disebutkan bahwa "Pemikiran-pemkirian cemerlang Tan Malaka yang tertuang dalam buku-bukunya seperti Madilog, Menuju RI dan otobiografi Dari Penjara ke Penjara, sebetulnya kini mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia". Sayang sekali, bahwa di dalam bagian tulisan ini tidak bisa dikemukakan tanggapan langsung terhadap buku-buku berbentuk stensilan seperti Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), Menuju RI dan Dari Penjara ke Penjara. Buku-buku itu yang pernah tersimpan di dalam perpustakaan penulis, telah dirampas tanpa jejak oleh pemuda-pemuda Muslim korban hasutan rezim diktatur militer Soeharto. Namun, sedikit tanggapan bisa dikemukakan di sini atas tulisan AG Eka Wenats Wuryanta di dalam Kompas, rubrik internet 29 Mei 2000, terutama yang mengenai Madilog. Di bawah ini adalah sebagian kutipan dari tulisan itu:

"MADILOG mengartikulasikan seluruh semangat dan keprihatinan Tan Malaka atas Indonesia. Dapat dikatakan, sebenarnya Madilog lahir dari refleksi kritis Tan Malaka atas situasi kolonialisme dan praksis kapitalisme brutal yang diterapkan Belanda pada masyarakat Indonesia waktu itu.

Ada beberapa pokok masalah yang ditanggapi Tan Malaka dalam Madilog. Pertama, mengapa Indonesia begitu lama dijajah dan diperas habis-habisan oleh sistem kapitalisme? Masalah kedua adalah setelah itu apa yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia, bukan saja mampu mengusir penjajah tetapi jangan sampai Idonesia dijajah lagi.

Tan Malaka mengindentifikasi masalah utama bangsa Indonesia yang terkungkung penjajahan adalah masalah mentalitas dan cara pikir feodal. Tan Malaka merefleksikan keadaan bangsanya sebagai bangsa yang tidak bisa lepas dari riwayat mistisisme, feodalisme, dan sejarah perbudakan (hal. 26-37, 528-539).

Dengan kata lain, sebenarnya Tan Malaka menulis Madilog itu dalam rangka mencerdaskan bangsanya untuk perjuangan politik membebaskan diri dari penjajahan. Dalam jangka panjang, dengan peningkatan cara berpikir dan kecerdasan itu, bangsa Indonesia jangan sampai jatuh ke tangan penjajah atau suasana penjajahan kembali. Bangsa ini harus merdeka secara phisik maupun dalam cara berpikirnya.

Madilog mengajak berpikir alternatif dan aktif. Tan Malaka mengingatkan bahwa cara pikir yang ia tawarkan adalah cara pikir yang dinamis dan kritis (hal. 19). Hanya dengan cara pikir aktif, maka bangsa Indonesia akan sampai pada kesadaran rasional, kritis, filosofis, serta punya martabat tinggi. Dengan kesadaran itu, bangsa ini akan menjadi kuat dan dinamis.

Kalau kita mau merenungkan kata Madilog itu sendiri maka sebetulnya setiap kata mempunyai makna yang berbeda tetapi bersinergi membangun mentalitas rasional. Pertama, materialisme Tan Malaka berbeda dengan pengertian materialisme marxis. Materialisme Tan Malaka adalah kemampuan pola pikir yang realistis dan pragmatis menanggapi semua realitas yang dihadapi (hal. 141-148).

Kedua, dialektika-menurut Tan Malaka-adalah proses kelanjutan yang harus dilakukan pada manusia yang sudah mempunyai pola pikir yang realistis dan pragmatis. Proses pikir dialektika adalah proses pikir dinamis yang harus dipunyai manusia. Dialektika membutuhkan proses tesis-antitesis-sintesis pada setiap pemikiran. Pemikiran selalu mengembangkan diri justru dalam setiap perlawanan pemikiran yang diberikan (hal. 123-141).

Ketiga, Tan Malaka melihat bahwa poin pragmatisme dan dialektika pemikiran harus dimodali dengan logika sebagai jalan penentuan tepat-tidaknya cara berpikir (hal. 130-135, 196-261).

Meski Madilog sarat dengan pengetahuan ilmiah dan analisis kritis terhadap masyarakat Indonesia, Tan Malaka tetap mecatat spiritualitas dasar kebangsaan, yaitu keragaman masyarakat Indonesia. Justru dalam keragaman agama, suku, golongan, Indonesia menampakkan kekayaan kebangsaan (hal. 339-469)".

Kata-kata Tan Malaka bahwa �Indonesia begitu lama dijajah dan diperas habis-habisan oleh sistem kapitalisme�, hanya menarik garis anti kapitalisme pada umumnya yang berkonotasi sektarisme dan berarti mempersempit penggalangan Persatuan Nasional Demokratis. Di dalam taraf perjuangan kemerdekaan nasional untuk Indonesia, di antara kekuatan-kekuatan kapitalis tidak dibedakan mana yang dikategorikan sebagai musuh dan mana sebagai sekutu. Tidak kongkrit menempatkan kolonialisme Belanda sebagai representan kapitalisme monopoli yang disangga oleh feodalisme sebagai musuh utama. Tidak ada kejelasan bahwa kapitalisme nasional non birokrat dan non monopoli setidaknya perlu dinetralisir, sedang kapitalisme tengahan dan kecil bukan musuh. Memasuki Sosialisme pun memerlukan proses yang bertahap. Supaya ada kesinambungan kehidupan ekonomi dan mencegah stagnasi, tahap yang masih berada di dalam kerangka kapitalisme tidak bisa hanya dilewati begitu saja. Sosialisme tidak dibangun dengan hanya tangan kosong. Ekonomi Sosialis dibangun dengan menggali dan memanfaatkan warisan masyarakat lama, masyarakat kapitalis.

Tidak jelas, apakah pembebasan bangsa Indonesia, jika yang dimaksudkan nasion Indonesia, melalui revolusi yang berarti merombak secara mendasar struktur masyarakat, meskipun bertahap, atau hanya perombakan struktur politik seperti keadaan Indonesia bertolak dari perjanjian KMB? Sepintas lalu, seperti umumnya pemikir-pemikir pragmatis, Tan Malaka tampak mengindikasikan pikiran yang seolah-olah progresif. Apakah berdasarkan apa yang titulis di atas, dengan Tan Malaka menulis Madilog ia akan mampu mencerdaskan bangsa Indonesia dengan perjuangan politik membebaskan diri dari penjajahan? Sampai kini, Madilog tidak menunjukkan dampaknya yang positif terhadap rakyat Indonesia di dalam perjuangan untuk kemerdekaan nasional. Tan Malaka membanggakan apa yang dikatakannya sebagai spiritualitas dasar kebangsaan yang dimanifestasikan oleh masyarakat Indonesia di dalam keragaman agama, suku dan golongan. Dewasa ini persatuan nasional tidak mempunyai landasan yang kuat. Selagi keadaannya demikian, keragaman umum agama, suku dan golongan di dalam lingkup masyarakat modern yang sepenuhnya didominasi oleh struktur hak milik yang bermuatan antagonisme dan perjuangan klas, di Indonesia justru mudah dimanfaatkan oleh Soeharto beserta keluarga dan kroni-kroninya yang memiliki uang berlimpah-limpah untuk merong-rong integritas nasional. Syarat obyektif yang sementara ini menguntungkan bagi usaha pecah-belah adalah kenyataan bahwa rakyat kebanyakan yang tergolong lapisan bawah masyarakat hidupnya masih serba susah, meskipun kemerdekaan Indonesia sudah diproklamirkan lebih dari 50 tahun yang lalu.

Tan Malaka tidak dapat dibilang sebagai seorang Marxis. Dialektika yang dijiwai dengan pragmatisme dan dimodali dengan logika adalah komposisi pemikiran hypotetis campuraduk yang subyektif . Itulah pencerminan pemikiran idealis yang berlawanan dengan dan tidak bertolak dari Dialektika Marxis yang materialis, yang menampilkan pemikiran obyektif, yang menempatkan materi, fenomena alam serta masyarakat sebagai faktor primer dan ide sebagai faktor sekunder. Pemikiran pragmatis pada umumnya yang menegasi kebenaran obyektif dan nilai kebenaran absolut, hanyut di dalam arus relativisme. Di bidang teori, pemikiran kaum Revisionis misalnya yang mengaku dirinya Marxis, tapi pada kenyataannya mengingkari kebenaran universil Marxisme adalah pragmatisme dan relativisme sekaligus. Materialisme Dialektis Marxis tidak menegasi pemikiran kritis, namun tidak perlu dibubuhi dengan Logika yang bersumber pada pemikiran subyektif. Logika yang subyektif tidak bertolak dari kebenaran obyektif yang bersumber pada fenomena alam dan masyarakat. Materialisme Dialektis Marxis cukup berpola kritis, sebagaimana halnya di dalam menentang Dogmatisme dan Doktrinerisme. Bentuk pemikiran kritis Marxis untuk perjuangan pembebasan rakyat Indonesia adalah menerapkan Marxisme yang disesuaikan dengan perkembangan jaman dan kondisi kongkrit serta ciri-ciri khas masyarakat Indonesia. Penampilan rumusannya tidak dengan menggunakan kata-kata sinis menelan, membebek, membeo, meniru-niru dsb. seperti yang ditulis oleh Tan Malaka di dalam Dari Penjara ke Penjara, yang seolah-olah kritis, tapi seperti yang tercermin di dalam Madilog justru mengingkari prinsip-prinsip universil Marxisme jika tidak dikatakan anti Marxisme. Kutipan tulisan Tan Malaka berbunyi demikian:

"Menelan saja semua-semua putusan yang diambil oleh pemikir revolusi di Rusia tahun 1917 ataupun oleh Marx pada pertengahan abad ke-19 dan melaksanakan putusan Marx dan Lenin di tempat dan pada tempo berlainan itu di Indonesia ini dengan tiada mengupas, mengaji dan menimbang keadaan di Indonesia sendiri, berarti membebek, membeo, meniru-niru. Marxisme bukannya kaji apalan (dogma), melainkan satu petunjuk untuk aksi revolusi" (M. Kaisiepo, Murba di Tengah Persaingan, Prisma 9, September 1982, kutipan tulisan Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, jilid II (Djakarta: Penerbit Widjaya, 1947), halaman 96).

Keterangan lebih lanjut di bawah ini tentang Tan Malaka mengandung perbedaan ketimbang yang pernah diketengahkan oleh Lembaga Sejarah PKI. Berikut ini adalah isi pokok cerita Alimin kepada penulis pada tahun 1946, ketika Kejaksaan Agung RI sedang tengah-tengahnya mengusut kasus Peristiwa 3 Juli 1946 dan Alimin baru saja datang kembali di tanahair. Pada waktu itu yang pertama-tama menjadi tekanan di dalam cerita Alimin adalah bagaimana ia menghubungkan aspek-aspek penting dari pengalamannya berpartisipasi di dalam revolusi demokratis di Tiongkok dengan perjuangan rakyat Indonesia untuk kemerdekaan nasional. Sebagai kata pembukaan, dengan penglihatan yang di arahkan pada jam tangan penulis, ia mengatakan bahwa di Tiongkok rakyat berevolusi di bawah syarat-syarat kehidupan yang jauh lebih susah ketimbang rakyat Indonesia. Di Tiongkok orang yang ikut berevolusi makannya susah, sampai ada yang terpaksa minum air kencing. Di Indonesia banyak orang yang ikut aktif berevolusi, demikian istilah yang ia gunakan, pakaiannya utuh dan memakai jam tangan. Menjawab pertanyaan penulis mengenai hubungan Tan Malaka dengan Komintern, Alimin dengan nada keras mengatakan, bahwa Tan Malaka tidak pernah ada kedudukan apapun di dalam Komintern. Ia menemui Tan Malaka di Manila setelah mendengar Tan Malaka berada di sana, tanpa mengetahui bahwa Tan Malaka menentang keputusan Konperensi Prambanan. Ketika bertemu dengan Tan Malaka, oleh Alimin digambarkan bagaimana Tan Malaka tampak hidup serba susah dan mencari uang dengan main biola. Alimin datang menemui Tan Malaka dengan membawa tugas Profintern, bagian dari Komintern yang mengurusi gerakan buruh. Di samping Profintern, Komintern juga mempunyai bagian yang mengurusi gerakan tani, yaitu Kristintern. Oleh Alimin tugas Profintern mengurusi gerakan buruh di Timur Jauh dipercayakan kepada Tan Malaka. Untuk itu Tan Malaka diberi uang dana yang cukup. Tidak lama kemudian setelah Alimin berada kembali di Eropa, ia mendengar bahwa uang dana tersebut oleh Tan Malaka tidak dimanfaatkan untuk kepentingan tugas yang disampirkan kepadanya. Uang dana itu oleh Tan Malaka dipakai untuk biaya mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia), di luar pengetahun Komintern. PARI didirikan di Bangkok oleh Tan Malaka bersama-sama dengan Soebakat, Soegono dan Djamaluddin Tamin. Oleh Alimin dikemukakan, bahwa Tan Malaka jangan sampai diadili di depan sidang pengadilan terbuka. Tan Malaka bisa menarik pelajaran dari sidang pengadilan terbuka di Leipzig pada waktu Hitler berkuasa, di mana Georgi Dimitrov memanfaatkan sidang pengadilan itu sebagai arena membelejeti kejahatan dan otoriterisme Hitler dengan Nazinya, tanpa menggunakan pembela.

Oleh karena pertemuan dengan Alimin di atas berlangsung pada saat Peristiwa 3 juli 1946 sedang hangat-hangatnya menjadi persoalan, di samping tentang Tan Malaka, Alimin juga bercerita mengenai Soebardjo dan Iwa Koesoemasoemantri. Dua-duanya ikut terlibat di dalam Peristiwa 3 juli 1946. Alimin bercerita tentang tugas yang dipercayakan oleh Pimpinan Pusat Komintern kepadanya untuk mencari tenaga intelektual Indonesia yang bersedia mengikuti pendidikan Marxisme pada Universitas Lenin. Yang mengikuti pendidikan itu antara lain yang ia sebut adalah Chou En Lai, Ho Chi Min dan dia sendiri. Mula-mula pandangan Alimin mengarah ke Mohammad Hatta untuk ditarik. Tapi ia urungkan dengan mengingat bahwa Hatta adalah seorang Sosial Demokrat. Kemudian Alimin berhasil menarik Imam Soebardjo dan Iwa Koesoemasoemantri. Namun Imam Soebardjo hanya selama setahun lalu menarik diri dengan alasan terlalu berat mengikuti kuliahnya. Dengan motif serupa, Iwa Koesoemasoemantri kemudian menarik diri juga, tapi waktunya agak lebih lama. Malah Iwa Koesoemasoemantri sempat kawin dengan seorang wanita Rusia dan menghasilkan seorang anak perempuan (Putri Iwa Koesoemasoemantri ini akhirnya berhasil menamatkan sekolah tinggi teknik menjadi insinyur - pen.)

Bahwa Tan Malaka mendirikan PARI bersama-sama dengan kawan-kawan dekatnya, tidak bisa dinilai seperti yang dikatakan oleh Hatta. Antara lain Hatta mengatakan "bahwa ia menghormati Tan Malaka sebagai seorang nasionalis yang penuh dedikasi, yang menggunakan komunisme untuk kepentingan nasionalisme, dan sebagai seorang menolak pengarahan apa pun dari Moskow" (George McTurman Kahin, "Mohammad Hatta sebagai Pemikir Bebas", dalam Meutia Farida Swasono, op.cit., halaman 457. - M. Kaisiepo, Murba di Tengah Persaingan, Prisma 9, September 1982, hal. 88). Mendirikan PARI dengan menggunakan dana Komintern yang diberikan oleh Alimin di luar pengetahuan Komintern adalah perbuatan korupsi, suatu tonjokan dari belakang terhadap gerakan klas buruh revolusioner internasional. Perbuatan itu tidak bisa dinilai bahwa Tan Malaka adalah seseorang yang konsisten terhadap keyakinannya sebagai Komunis. Tan Malaka mendirikan PARI bukan karena berselisih dengan Muso. Mendirikan PARI bukan suatu dedikasi nasional yang pantas dihargai. Apalagi karenanya ia disebut sebagai �pencipta Republik Indonesia yang sejati�, terutama sesudah nama PARI oleh kelompok Tan Malaka dirubah menjadi kependekan dari Proletaris Aslia (Asia-Ustralia) Republik Internasional. Perubahan nama ini disebar luaskan di dalam bentuk stensilan oleh anggota-anggota Partai Murba pada masa akhir Perang Kemerdekaan. Berdasar atas sumber intelijen RI pada saat pengusutan kasus Peristiwa 3 juli 1946, ditemukan sebuah informasi bahwa perubahan nama menjadi Proletaris Aslia Republik Internasional merupakan penyesuaian dengan semboyan Jepang menciptakan apa yang disebut dengan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, dengan sedikit varian tambahan Ustralia di samping Asia. Perubahan nama itu sejalan dengan masuknya Tan Malaka ke dalam gerakan di bawah tanah Jepang �Naga Hitam�. Gerakan itu diorganisasi oleh badan intelijen Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Petugas-petugas intelijen RI pada era awal kemerdekaan telah mendapatkan sumber informasi mengenai masuknya Tan Malaka ke Indonesia di daerah Banten dengan bantuan Kaigun. Ia menyamar melalui romusha dengan memakai nama depan aslinya Ibrahim. Nama asli lengkapnya adalah Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Maka tidak mengherankan jika kemudian Tan Malaka muncul di daerah Banten, bekerja di perusahaan Jepang Bayah Kozan. Organisasi intelijen Kaigun memang merekrut kader-kader berkebangsaan Indonesia. Di antara mereka adalah Zulkifli Lubis. Tidak jelas bagaimana hubungannya dengan Tan Malaka. Namun, terutama pada masa organisasi rahasia Lubis masih bernama BRANI (Badan Rahasia Negara Indonesia), oleh Lubis dan inti pimpinan organisasinya ditampung elemen-elemen pengikut Tan Malaka dari kalangan Partai Murba dan Laskar Rakyat Jawa Barat, di samping elemen-elemen lain termasuk yang dari kalangan militer dan polisi. Seperti misalnya wakil Lubis, mayor Mohammad (nama lengkapnya dengan tambahan sendiri adalah Mohammad Ahmad Sakyamuni), seorang jebolan Sekolah Tinggi Kehakiman, bukan berasal dari kalangan Kaigun, tapi bekas aktivis GPII.

Tan Malaka dan Peristiwa 3 Juli 1946 ada saling kaitannya. Ia bahkan dianggap sebagai dalangnya, bagaimanapun juga ia membantahnya. Situasi politik menjelang peristiwa itu memang sangat panas. Perasaan umum menunjukkan ketidak puasan terhadap perundingan dengan Belanda yang berjalan sangat lamban tanpa ada kemajuan yang dicapai. Kelompok-kelompok pemuda pada umumnya tidak ada kesabaran lagi menantikan hasil perundingan. Mereka lebih memilih bertempur mengangkat senjata melawan Belanda ketimbang berunding. Perdana Menteri Sjahrir yang memimpin delegasi Indonesia berunding dengan Belanda menjadi sasaran kritik yang sangat pedas. Situasi semacam itu oleh Tan Malaka bisa dimanfaatkan dengan baik sebagai daya tarik mengerumuni dirinya. Maka di dalam waktu singkat ia memperoleh dukungan dari kalangan pemuda, badan-badan perjuangan dan tentara, partai-partai politik serta tokoh-tokoh terkemuka. Tokoh seperti Mayor Jendral Soedarsono yang bisa ditarik ke dalam kelompok Tan Malaka tampak karena ia ingin menunjukkan heroisme sebagai imbalan atas keterlibatannya selaku pejabat tinggi polisi pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Namun, dengan ia terjun ke dalam kelompok Tan Malaka, ia menjadi hanyut mengikuti arus yang tidak memberikan martabat baik seperti yang ia inginkan semula. Sebagai pemimpin ia ada sifatnya yang bisa dikatakan positif. Ketika masih berkedudukan sebagai kepala polisi daerah Yogyakarta ia lebih disayang oleh anak buahnya ketimbang Soedarsono Blenduk yang terutama di mata golongan kiri namanya cemar. Mayor Jenderal Soedarsono pada masa awal Perang Kemerdekaan lebih banyak aktif di luar jawatan kepolisian. Ia banyak aktif di KNI daerah Yogyakarta. Ketika rakyat menyerbu Markas Jepang di Kotabaru Yogyakarta ia berada di barisan depan. Di dalam penyerbuan itu tidak terdengar adanya nama Soeharto dan "grup Pathuk". Kader-kader PKI baik di dalam maupun di luar PETA yang aktif bergerak di bawah tanah selama pendudukan Jepang, dan secara rahasia mengadakan pertemuan setiap minggu di Blitar yang ada hubungannya dengan pemberontakan PETA, tidak pernah juga mendengar nama Soeharto apalagi menyaksikan ke-ikutsertaannya di dalam pemberontakan itu. Adapun yang mengenai Soedarsono, justru karena nama baiknya dengan penyerbuan di atas, ia lalu dipilih untuk diangkat menjadi Komandan Divisi III TNI Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jendral.

Atas prakarsa Tan Malaka, �pada tanggal 1 Januari 1946 di Demak Idjo Yogyakarta, diadakan rapat persiapan untuk membentuk federasi yang kemudian diberi nama "Persatuan Perjuangan". Rapat persiapan itu kemudian disusul dengan kongres pertamanya yang diadakan tanggal 3 sampai 5 Januari 1946 di Purwokerto dan dihadiri oleh 138 organisasi rakyat. Dalam kongres ini Tan Malaka berpidato yang intinya menekankan pentingnya persatuan dan kemerdekaan 100 persen. Bagian terpenting dari pidatonya itu ialah apa yang dikenal sebagai "Minimum Program" yang terdiri dari 7 pasal, yaitu:

Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100 persen.
Pemerintah Rakyat (dalam arti sesuainya haluan pemerintah dengan kemauan rakyat).
Tentara rakyat (dalam arti sesuainya haluan tentara dengan kemauan rakyat).
Melucuti tentara Jepang.
Mengurusi tawanan bangsa Jepang.
Mensita (membeslag, confiscate) dan menyelenggarakan pertanian musuh (kebon).
Mensita (membeslag) dan menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang dan lain-lain)�. (M. Kaisiepo, Murba di Tengah Persaingan, Prisma 9, September 1982, halaman 78).

Isi Program Minimum tersebut adalah sebuah demagogi yang tidak realistis. Republik Indonesia belum meliputi daerah integral seperti sekarang dan masih menghadapi Belanda yang menduduki sebagian besar wilayah Indonesia dengan kekuatan bersenjata yang jauh lebih unggul ketimbang Republik Indonesia. Republik Indonesia yang daerahnya masih sempit, keadaannya tidak sama seperti Russia setelah kemenangan Revolusi Oktober 1917. Bagi Russia pada saat itu, berunding dan berkompromi dengan Jerman yang menghasilkan Perjanjian Perdamaian Brest-Litovsk adalah untuk mempertahankan dan mengkonsolidasi keutuhan daerah sebagai landasan membangun Sosialisme. Sebagai pelajaran sejarah, membela prinsip dan kebenaran di dalam perjuangan menghadapi lawan tidak berarti tidak mengenal samasekali kompromi bilamana memang diperlukan. Suatu kompromi yang tidak berarti kapitulasi, tapi yang dilakukan karena diri sendiri belum mempunyai kekuatan yang memadai di dalam menghadapi musuh, ada perlunya. Yaitu suatu kompromi yang menjamin terciptanya syarat-syarat baru yang bisa dikembangkan untuk mencapai tujuan pokok. Adalah suatu ilusi bahwa Belanda akan mengakui kemerdekaan Indonesia 100% pada saat rakyat Indonesia masih berada pada posisi relatif lemah dan sedang mengumpulkan kekuatan di dalam perjuangan untuk kemerdekaan. Sampai kini, lebih dari limapuluh tahun sejak Proklamasi Kemerdekaan, rakyat Indonesia masih belum menikmati penuhnya kemerdekaan jika terutama berbicara mengenai kemandirian ekonomi. Belajar dari masa awal Perang Kemerdekaan dulu, seginya yang negatif, termasuk juga di kalangan golongan kiri, adalah adanya kecenderungan terlalu mengandalkan perundingan dan kurangnya kepercayaan diri akan pentingnya perjuangan bersenjata sebagai basis perjuangan umum. Tokoh-tokoh Komunis, baik tertutup maupun terbuka yang datang dari Negeri Belanda masih banyak dipengaruhi jika tidak dikatakan menjalankan garis Pimpinan Pusat CPN. Pada umumnya mereka menerima Uni Verband (Hubungan Unitaris) dengan Belanda.

Isi Program Minimum tersebut di samping yang mengenai masalah berunding atas pengakuan kemerdekaan 100 persen, pada umumnya bersifat garis besar dan bernada ekstrem. Dengan Pemerintah Rakyat dan Tentara Rakyat tidak jelas tentang kategori rakyat yang dimaksudkan; terlalu umum. Melucuti tentara Jepang pada saat Program Minimum itu diketengahkan pada pokoknya sudah tidak ada persoalan lagi. Mengurusi tawanan bangsa Jepang menunjukkan adanya nada bersimpasi terhadap Jepang dan memperkuat hasil penyelidikan intelijen RI bahwa Tan Malaka adalah anggota gerakan di bawah tanah Jepang �Naga Hitam�. Mensita kekayaan musuh sebagai formulasi umum bisa diartikan mensita alat-alat produksi milik musuh. Pada saat itu di samping tidak realistis karena masih sempitnya daerah Republik, juga bersifat provokatif yang bisa memancing agresi militer Belanda.

Peristiwa 3 Juli 1946 didahului dengan diculiknya Perdana Menteri Sjahrir di Solo oleh Mayor Abdul Kadir Jusuf (terkenal dengan panggilan "Jusuf Bokser") atas perintah Mayor Jendral Soedarsono. Penculikan terjadi pada tanggal 27 Juni 1946 pada saat iklim politik di Solo sedang panas karena adanya gerakan menentang otoritas keraton. Oleh pihak penculik Sjahrir dibawa ke Boyolali. Hanya ditahan selama 3 hari kemudian lalu dibebaskan. Apa motif penculikan dan isi interogasi pihak penculik tidak jelas. Kelihatannya Sjahrir memang bukan sasaran utama golongan Tan Malaka, begitu pula Soekarno dan Hatta. Di dalam Peristiwa 3 Juli 1946 sasaran utamanya adalah Amir Sjarifuddin. Jadi pada hakekatnya yang menjadi sasaran utama adalah golongan Komunis. Dengan demikian semboyan persatuan yang didengungkan oleh Tan Malaka adalah suatu demagogi yang mengarah ke tindakan represif dan pengucilan terhadap kaum Komunis sebagai salah satu kekuatan tangguh melawan Belanda. Pada jam dua tengah malam yang diserbu dengan pasukan yang kuat persenjataannya adalah rumah kediaman Amir Sjarifudddin, dan ada yang menyaksikan katanya pasukan itu berada di bawah pimpinan langsung Mayor Jendral Soedarsono. Pertempuran sengit terjadi yang berakhir dengan gagalnya serbuan itu, sementara Amir Sjarifuddin berhasil meloloskan diri. Akhirnya Mayor Jendral Soedarsono ditangkap oleh pasukan yang setia kepada pemerintah Republik. Tokoh-tokoh lainnya yang juga ditangkap adalah Mohammad Yamin, Soebardjo, Iwa Koesoemasoemantri dan masih banyak lagi. Mereka kemudian ditahan di bekas garnizun "Fort Vredesburg". Adapun Tan Malaka sudah lebih dulu ditangkap di Madiun pada bulan Maret 1946 bersama-sama dengan antara lain Soekarni, Gatot dan Chaerul Saleh. Lebih jelas lagi bahwa yang menjadi sasaran utama golongan Tan Malaka adalah kaum Komunis, terbukti dari sikap mereka mendukung kabinet Hatta sesudah mereka dibebaskan dari penjara. Mohammad Yamin sebagai salah seorang tokoh inti Persatuan Perjuangan yang Program Minimumnya berlandasan pada �berunding atas pengakuan kemerdekaan 100 persen�, ikut di dalam Konperensi Meja Bundar sebagai penasihat delegasi Republik Indonesia. Itulah sebuah konperensi tanpa didasari dengan pengakuan kemerdekaan 100 persen dan yang hanya menelorkan kemerdekaan politik �formal� bagi Indonesia, tapi ekonomi Indonesia masih berada di bawah dominasi modal monopoli asing.

Tan Malaka ada yang mengkategorikan sebagai Trotskyis, terutama karena telah meninggalkan PKI dan dilihat dari ulah kekiri-kiriannya. Namun Komite Internasional dari Internasionale ke-Empat (ICFI) menolak penyamaan politiknya dengan politik Tan Malaka. Di Srilangka, Partai Langka Samasamaja (LSSP) yang pernah terkenal sebagai partai Trotskyis, oleh ICFI dikategorikan sebagai partai burjuis. Di sini tidak berarti membenarkan garis politik ICFI. Penolakan ICFI terhadap politik Tan Malaka dan politik Partai Langka Samasamaja adalah untuk menutupi belangnya sebagai organisasi pseudo revolusioner. Sebabnya bekas pengikut-pengikutnya banyak yang memanifestasikan diri di dalam politik yang tidak ada ubahnya seperti politik burjuasi.

Adapun Tan Malaka dilahirkan di Pandan Gadang Sumatera Barat. Ia dikatakan mati ditembak oleh tentara Republik Indonesia pada tanggal 19 februari 1949. Mengenai kematian Tan Malaka, sumber-sumber beritanya bersifat kontruversial. Adapun mengenai daerah di mana ia mati pada umumnya sudah ada pemberitaan yang sama, yaitu di daerah Blitar. Tidak seperti yang pada umumnya dikemukakan selama ini tentang bagaimana Tan Malaka mati, ada sumber keterangan dari pemuda-pemuda pejuang gerilya dari daerah Blitar pada akhir tahun 1949, yang menyatakan bahwa Tan Malaka dibunuh oleh orang yang pernah mengagumi dirinya, yaitu mayor Sabaruddin, salah seorang komandan batalyon Divisi IV TNI Jawa Timur. Tan Malaka dianggap tidak konsekwen dengan ucapan-ucapannya yang selalu menyengat. Selama berada di daerah gerilya ia hanya bersembunyi, sedang sisa-sisa pasukan Pesindo yang tercecer setelah Peristiwa Madiun menunjukkan keberanian dan kegigihan melawan Belanda. Maka untuk situasi tingkat sekarang adalah memprihatinkan jika di antara tokoh bersejarah yang ditonjolkan adalah Tan Malaka, apalagi jika ia disanjung sebagai �guru bangsa� seperti yang juga disebut oleh artikel di dalam Tempo di atas. Ia lebih tepat dinilai sebagai guru negatif klas buruh dan rakyat Indonesia. Setidaknya ia bisa dikatakan sebagai seseorang yang membawakan segi-segi kontruversial di pandangan golongan-golongan yang ada di kalangan rakyat Indonesia. Kendati ia pernah aktif di dalam gerakan buruh dan gerakan nasional, ia bukan tokoh yang konsisten, yang pantas mendapatkan penghargaan sebagai teladan. Penokohan positif terhadap Tan Malaka bukanlah faktor stimulans bagi penggalangan Persatuan Nasional Demokratis yang luas pada masa sekarang, begitu pula bagi pengembangan perjuangan klas buruh dan demokrasi.

7. Tantangan situasi sesudah Soeharto turun panggung

Sesudah berkuasa lebih kurang empat Windu lamanya, akhirnya Soeharto turun panggung. Pada hari Kemis 21 Mei 1998 pukul 09.10 Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia. Pernyataan itu diumumkannya dari Istana Negara seusai pertemuan dengan pimpinan DPR. Secara formal jabatan presiden diserahkan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie yang sekaligus di dalam upacara yang sama diambil sumpah formal atas jabatannya. Apa yang disebut dengan kabinet Pembangunan VII seketika itu juga dinyatakan demisioner.

Turunnya Soeharto dari panggung kekuasaan didahului dengan gegap-gempitanya demonstrasi-demonstrasi ratusan ribu mahasiswa di ibukota yang membawa korban gugurnya beberapa orang dan berklimaks dengan para mahasiswa menduduki Gedung DPR. Gurubesar-gurubesar pada umumnya juga mendukung tuntutan mahasiswa. Semua fraksi DPR menginginkan Soeharto mundur juga, kendati dengan motif �mundur dengan hormat�. Di daerah-daerah pergolakan-pergolakan juga terjadi, terutama yang dimanifestasikan oleh demonstrasi-demonstrasi mahasiswa di kampus-kampus yang mendapat dukungan juga dari massa luas rakyat. Sejalan dengan berkecamuknya pergolakan di Indonesia, reaksi dari luarnegeri terutama diucapkan sehari sebelumnya oleh Menteri Luarnegeri Amerika Serikat Madeleine Albright. Ia pada pokoknya menyerukan bahwa sudah pada saatnya Soeharto menyerahkan kekuasaan sesudah dipegangnya selama lebih dari 30 tahun. Namun, bagaimanapun juga tuntutan-tuntutan mahasiswa dan rakyat Indonesia adalah positif dan berdampak kuat terhadap mundurnya Soeharto dari pentas kekuasaan. Jika Soeharto tetap mengangkangi kekuasaannya, bisa juga ia lakukan, tapi kekuasaan di tangannya tidak akan bisa dipertahankan lebih lama lagi.

Di dalam wawancaranya dengan Radio Nederland Gus Dur menerangkan, bahwa ada mahasiswa Indonesia yang disogok dengan 300 ribu dolar oleh CIA lewat Perusahaan Belanda Unilever untuk mendorong demonstrasi. Terlepas dari keterangan itu, adanya tekanan keras dan merupakan garis umum masyarakat internasional yang berada di bawah dominasi imperialisme Amerika bukan sesuatu yang mustahil. Bagi kepentingan para pemodal monopoli luar, terutama Amerika, keselamatan terhadap investasi dan pengembangan modal mereka di Indonesia tampak terancam oleh semakin menghebatnya perlawanan rakyat dan digoyahkan oleh rong-rongan Suharto sekeluarga beserta kroni-kroninya yang semakin intensif menumpuk kekayaan untuk kepentingan sendiri.

Di bawah ini adalah sebuah kutipan mengenai peran politik Amerika Serikat terhadap negara-negara "sedang berkembang" yang ada hubungannya dengan saat-saat yang diperlukan bagi muncul dan tenggelamnya militerisme. "Adapun hasil atau tujuan dari militerisme dalam politik, satu hal yang selalu menyebabkannya yaitu krisis negara dan masyarakat atau yang dilihat seperti itu. Dalam hubugan dengan ini dalam tahun 1950-an dan 1960-an pada masa perang-dingin, beberapa ahli politik Amerika memajukan teori-teori yang pro-militerisme di dunia ketiga. Mereka menganjurkan itu sebagai satu-satunya unsur moderen (karena teknologi, organisasi, sistem komunikasi, sifat nasionalnya dan lain-lain) di negara-negara sedang berkembang dan yang dapat memperkuat negara sebagai organisasi yang dianggapnya unsur penting bagi pembangunan. (Lihat: M. Janowitz, Military Institutions and Coersion In The Developing Nations. The University of Chicago Press, 1964, buku yang mungkin paling mengajukan teori tersebut. Demikian juga sebenarnya S.E. Finer. The Man on Horseback. The Role of the Military in Politics. Penguin Books, 1975. Lebih netral adalah: Amos Perlmutter. The Military and Politics in Modern Times. Yale University Press, 1977). Anehnya teori ini datang dari Amerika yang mungkin paling anti militer dalam sejarah di antara negara-negara Barat dan di mana peranan negara dalam masyarakat dilihat sebagai "kebutuhan jelek" (necessary evil) artinya makin sedikit peranannya makin baik bagi masyarakat. Namun mungkin anjuran militerisme bagi dunia ketiga terletak pada ketakutan Amerika akan ancaman komunisme bila unsur negara tidak diperkuat di negara-negara tersebut yang menunjukkan politisasi tinggi sekali sesudah pertentangannya dengan penguasa nasional. Akhir-akhir ini setelah pengalaman perang Vietnam dan ketidak-pastian kup-kup militer yaitu bisa yang kiri yang kanan, yang nasionalis yang populis dan lain-lain maka para ahli politik sekali lagi mulai menguji teori militerisme bagi dunia ketiga dan mulai menolaknya. (Lihat umpamanya: Gary S. Fie; eds. "Who Benifits from Economic Development? - A Reexamination of the Brazilian Growth in the 1960�s dalam: The American Economic Review, September 1977 pp. 570 ff.; Peter B. Evans, "The Military, the Multinationals and the "Miracle The Political Economy of the "Brazilian Model" of Development" Studies in Comparative Internasional Development, Vol. IX (Fall) No. 3, 1974, pp. 26. Ff". (Onghokham, "Kedudukan Politik Kaum Militer dalam Sejarah," Prisma 12, Desember 1980, hal. 36 - 37).

Telah gugurnya negara-negara Sosialis Eropa dengan Uni Soviet di barisan depan, munculnya Tiongkok sebagai negara Sosialis semu, dan mundurnya gerakan revolusioner klas buruh internasional termasuk Indonesia, mendorong adanya "rethinking" bagi terutama Amerika Serikat untuk tidak lagi mendukung militerisme bagi negara-negara "sedang berkembang". Bagi Amerika Serikat, mempertahankan militerisme pada saat ini yang pada umumnya korup serta menindas rakyat, hanya akan menggugah semakin berkembangnya perlawanan rakyat terhadap rezim-rezim militer yang ada dan hanya berdampak negatif bagi pengaruh ekonominya terhadap rezim-rezim yang bersangkutan. Untuk sementara ini sebagai salah satu perkecualian adalah negara seperti Mianmar, karena masih menghadapi golongan-golongan bersenjata yang melawan rezim setempat.

Baik Soeharto maupun Habibie kini formal sudah tidak lagi duduk di atas singgasana kekusaan negara. Kendati demikian, Indonesia pasca Soeharto-Habibie di terutama bidang ekonomi masih belum mengindikasikan kemajuan-kemajuan yang memadai. Pikiran golongan-golongan yang terutama duduk di dalam pemerintahan, dalam menangani dan mengatasi kehidupan ekonomi masih banyak cenderung mau menggantungkan diri pada �bantuan� luar, khususnya Amerika Serikat. Hal ini berarti menambah utang yang semakin mencekek leher rakyat dan merong-rong kebebasan politik pemerintah Indonesia. Program ekonomi yang jelas untuk menegakkan kemandirian Indonesia, meskipun di dalam bentuk perealisasian yang berangsur dan bertahap, masih berada di dalam taraf yang memerlukan perjuangan sengit. Kekuasaan politik pasca Soeharto dan Habibie, yang tercermin di dalam garis politik formal pemerintahan Gus Dur - Megawati adalah " Reformasi dan Demokrasi ". Di dalam tulisan Gus Dur yang berjudul "Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama", Prisma 9, September 1982, bagian terakhir, isinya mencerminkan pendiriannya sebagai seorang kiai yang mengenai masalah-masalah keduniaan menganut pandangan filsafat "eksistensialisme". Maka tidak mengherankan bahwa sikap dan tindakan-tindakan Gus Dur bersifat individualis. Dengan mengabaikan prosedur demokratis tanpa bersandar pada kekuatan dan aspirasi massa di bawah, ia main �bongkar pasang� menteri-menteri serta pejabat-pejabat penting negara baik sipil maupun militer. Prinsip tatakrama dalam kerjasama dengan sahabat tidak ia pedulikan. Ia juga tidak acuh terhadap kenyataan kongkrit mengenai imbangan kekuatan politik di dalam menarik golongan kiri. Lambat-laun Megawati beserta pimpinan PDI-P semakin menjauhi dia dan merangkul golongan kanan sebagai sahabat baru. Dia akhirnya terkucil dan tidak mampu bertahan lagi menduduki kursi kepresidenan.

Kehidupan politik masa sekarang bukanlah seperti yang berlaku pada era sebelum tahun 1965. Sementara ini masih belum ada gerakan massa luas yang kuat. Kekuasaan politik masih mudah diterobosi oleh kepentingan perseorangan dan golongan, bukan kepentingan rakyat yang kebanyakan. Militer dan polisi masih menduduki posisi sebagai golongan tersendiri yang berwewenang mencampuri urusan politik. Mereka masih diberi hak prioritas mendudukkan wakil-wakil di dalam lembaga-lembaga negara tanpa melalui pemilihan. Meskipun melalui pemilihan versi almarhum Jenderal Nasution, dengan militer dan polisi tetap berposisi sebagai golongan tersendiri yang diberi kesempatan aktif di dalam kehidupan politik, bukan suatu pemecahan yang baik. Perjuangan masih perlu dilanjutkan supaya wewenang militer dan polisi seperti selama era Soeharto yang berbudaya menindas rakyat tidak terulang kembali. Baik kini maupun di kemudian hari, rakyat Indonesia hanya memerlukan militer dan polisi yang manunggal dengan rakyat, bukan yang memusuhi rakyat.

Maka dari itu sementara ini yang cukup penting untuk ditangani adalah bekerja baik dan tekun tanpa terlalu banyak kobar. Kehidupan demokratis yang ada perlu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menciptakan syarat-syarat bagi perbaikan penghidupan rakyat yang langsung berpeluang baik sebagai wahana pendidikan dan mobilisasi rakyat seluas mungkin. Untuk itu perlu diorganisasi kaum buruh, kaum tani, inteligensia, mahasiswa, pelajar, pemuda, wanita dan golongan-golongan lainnya. Tulang punggung kekuatan di antara berbagai golongan yang perlu diorganisasi adalah klas buruh.

Klas buruh sebagai kekuatan tulang punggung yang bersatu dengan kaum tani, adalah basis persatuan nasional yang perlu ditegakkan di atas prinsip-prinsip demokratis. Itulah kekuatan-kekuatan penting untuk diorganisasi menjadi fondamen ke arah penegakan Demokrasi sejati, bukan Demokrasi Burjuis. Demokrasi sebagai kekuasaan politik yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat yang kebanyakan. Demokrasi yang berpadu dengan Sosialisme.

Sebagai tulang punggung di dalam kehidupan politik adalah Partai Klas Buruh, sebuah partai politik yang seharusnya mendapatkan dukungan massa seluas mungkin, tepat garis politiknya, cukup solid di bidang politik, ideologi dan organisasi. Yaitu Partai Klas Buruh yang cukup teruji, cukup tergembleng konsistensinya membela dan memperjuangkan kepentingan pokok serta aspirasi klas buruh. Tanpa ada Partai Klas Buruh yang demikian, tidak ada kekuatan politik yang bisa diandalkan membawa Demokrasi memasuki Sosialisme. Sebelum syarat-syarat obyektifnya matang untuk memasuki Sosialisme, sebagai solidaritas politik yang dilandasi gerakan nasional dan internasional masa rakyat berintikan klas buruh, Indonesia atau negeri mana saja yang sudah berhasil menegakkan negara Demokratis, berkepentingan mengambil pra karsa menghidupkan serta mengembangkan kerjasama dalam bentuk saling bantu dan keserempakan bertindak dengan negara-negara Demokratis lainnya. Pertama, untuk meramu bersama syarat-syarat materiil dan kulturil menuju Sosialisme. Kedua, dengan memanfaatkan kondisi baru yang politis, ekonomis dan militer lebih tangguh dari sekarang, keunggulan imperialisme dunia yang didominasi oleh kaum imperialis Amerika perlu diakhiri. Untuk maksud itu, tindak keserempakan yang sesuai dengan perkembangan kondisi baru, bisa berperan menentukan. Kondisi baru supaya tetap terkonsolidasi dan berkembang sebaik-baiknya, sehingga kegagalan seperti yang dialami oleh Uni Soviet, negara-negara Sosialis Eropa Timur, Tiongkok dll. tidak terulang kembali. Perjalanan masih bisa jauh dan penuh liku-liku. Banyak macam rintangan dan kesulitan masih mungkin menanti. Namun, jalan buntu bukan harapan masa depan.

Hosted by www.Geocities.ws

1