Bekerja Dan Maju Dalam Bisnis Koperasi: Reformasi Munuju Demokrasi Ekonomi Kerakyatan

Edi Cahyono
(Diponegoro 74, No. 6 (YLBHI) 1998)

 

Lingkungan grassroot masih salah-kaprah menempatkan koperasi di dalam agenda pengorganisasiannya. Ada yang berpikir bahwa koperasi merupakan profit center bagi pembiayaan aktivitas politik. Ke-salah-kaprah-an seperti ini telah menempatkan koperasi sebagai warung atau toko saja. Sedangkan surplus value1) yang didapatkan dari bisnis koperasi sepenuhnya dikuasai untuk aktivitas politik. Kekalutan seperti ini bisa terjadi dikarenakan kesadaran untuk share di lingkungan grassroot sangat rendah (atau tidak ada). Padahal justru awal organisasi genuine (sejati) adalah kesediaan untuk share.

Di dalam ekonomi gerakan koperasi menduduki 1 persen saja. Biasanya kalau keadaan sulit, gerakan koperasi cenderung berkembang, namun bila ekonomi sedang booming malah surut. Mengapa gerakan koperasi dalam arti "gerakan koperasi demokratik" tidak bisa berkembang. Salah satu sebabnya ialah untuk adanya gerakan koperasi yang demokratik dibutuhkan syarat-syarat demokrasi yang minimum (antara lain kebebasan berkumpul, berorganisasi). Di samping syarat-syarat pokok lain, yaitu adanya ketrampilan, enterpreneurship dan kemampuan menabung yang dijadikan sebagai modal bersama.

Dari Sosialisme Utopia ke Gerakan Koperasi

Koperasi muncul ke permukaan sebagai respon kapitalisme yang khawatir akan terjadinya revolusi sosialisme. Beberapa penggagas koperasi adalah kaum sosialis utopia seperti Robert Owen, Saint Simon, Charles Fourier, dan anarkhis Perancis Pierre Joseph Proudhon. Ide gerakan koperasi dibawa dari Inggris ke berbagai wilayah lain selama abad ke-19 sebagai konsekuensi dari Industrial Revolution yang merombak tatanan sosial-ekonomi-politik. Selama pertengahan hingga akhir 1800-an, bisnis koperasi dikembangkan berdasarkan Rochdale Principles (1844).2) Kaum sosialis utopia inilah yang memandang perubahan ke masyarakat sosialis dapat dilakukan dengan diam-diam melalui reformasi di dalam masyarakat kapitalis itu sendiri.

Karl Marx meringkas pemikiran kaum sosialis utopia ini melalui kritiknya terhadap Proudhon, penulis What is Property?, yaitu:

"...Proudhon, on the one hand, criticizes society from the standpoint and with the eyes of a French small-holding peasant (later petty bourgeois) and, on the other, applies the measuring rod he had inherited from the Socialists."3)

Lebih lanjut, menurut Marx:

"from the Socialist he borrows the illusion that in poverty there is nothing to be seen but poverty (instead of seeing in it the revolutionary, subversive aspect which will overthrow the old society)."4)

Pada awalnya mereka membangun lembaga-lembaga sosial khususnya untuk menolong orang sakit, para alkoholis dsb. Bermunculan lah koperasi. Secara prinsip, kolektif dibangun untuk saling berbagi dan meratakan kesejahteraan di antara sesama anggota. Motto mereka adalah 'keeping our money working in our community.' Ide ini untuk membangun komunitas yang memungkinkan adanya hak-hak yang sama (equal rights) sebagai produsen, sekaligus konsumen demi kemajuan komunitas mereka.

Meskipun berawal dari Inggris, mungkin negeri yang saat ini cukup berhasil mengembangkan aktivitas koperasinya adalah Kanada (di samping Spanyol dengan Mondragon-nya yang legendaris). Di Kanada terdapat 489 grup koperasi--jumlah terbesar terletak di Propinsi Quebec, meliputi 380 grup.

Sejarah koperasi di Kanada dimulai sekitar 1900 ketika pertama kali dibangun credit union. Kemudian pada 1909, beberapa koperasi di Ontario dan Nova Scotia bergabung membentuk Cooperative Union of Canada guna membantu pengembangan koperasi. Setelah Perang Dunia I, para imigran Eropa yang telah memiliki pengalaman panjang berkoperasi mengembangkannya di Kanada; imigran Eropa Timur di New York; imigran Finlandia ke Upper Midwest dan New England; dan para Bohemian di Ohio dan Pennsylvania memulai langkah-langkahnya dengan koperasi-koperasi grosir supermarket (wholesale) dan pengembangan kompleks perumahan; pada saat yang sama bertumbuhan pula koperasi-koperasi pertanian (farmers' cooperatives) dari Nova Scotia hingga British Columbia, dan dari New England hingga California.

The Cooperative League of the USA (sekarang disebut National Cooperative Business Association) diorganisir dalam tahun 1916 oleh sekelompok aktivis koperasi konsumen New York. Di tahun 1940an lembaga ini telah menjadi organisasi payung dari seluruh negara bagian, memberikan saran dan mempromosikan usaha-usaha koperasi. Kelompok-kelompok pendukung lainnya termasuk American Institute of Cooperation dan The Cooperative Housing Foundation of Canada, berperan sebagai penghubung antara koperasi-koperasi lokal dengan pemerintah pusat.

Di tahun 1920-an bisnis koperasi meluas ke banyak sektor ekonomi khususnya jasa keuangan. Antara 1920 dan 1925, misalnya, jumlah credit union di AS meningkat duakali; antara 1925 dan 1930 meningkat tigakali.

Pembangunan koperasi berlanjut selama 1930an dan 1940an khususnya tantangan yang muncul dari resesi dunia 1930 dan ambruknya ekonomi sehabis perang. Agen-agen pemerintah mendukung melalui kebijakan yang menguntungkan dan membiayai program-program koperasi. Koperasi-koperasi pertanian membantu para petani bertahan dari depresi, dan koperasi penyediaan listrik desa membelanjakan listrik untuk hampir setengah juta keluarga-keluarga AS di 42 negara bagian. Di kota-kota, koperasi membantu mewujudkan perumahan untuk rakyat selama waktu setelah perang.

Konsentrasi dalam pembangunan koperasi sebagai salah satu tulang punggung ekonomi rakyat ini dilakukan sebagai langkah yang harus diambil mengingat di saat yang sama negeri-negeri baru sosialis bermunculan di Eropa. Pemerintah AS sangat membantu pemulihan kembali perekonomian Eropa seusai perang melalui Marshall Plan-nya (1948) sebagai cara menyetop derasnya pertumbuhan negeri-negeri sosialisme di Eropa Timur ciptaan Joseph Stalin.

Demikian, koperasi ikut berperan dalam meluaskan sektor-sektor ekonomi AS dan Kanada. Sekitar 90 juta dari 235 juta warga AS dan 10 dari 25 juta warga Kanada menjadi anggota koperasi. Koperasi Kanada mempekerjakan lebih dari 70.000 orang dan memiliki kekayaan lebih dari 45 milyar dollar. Sedang di AS, koperasi memiliki kekayaan lebih dari 73 milyar dollar AS.

Aliansi Koperasi Internasional (The International Co-operative Alliance), berpusat di Genewa, Swiss, beranggotakan organisasi-organisasi dan afiliasi di 66 negeri di Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Afrika, India, Asia dan Australia. Koperasi-koperasi ini banyak yang bekerja dalam perdagangan dan pembangunan internasional.

Beragam kolektif bisnis seperti pertanian, pengolahan kayu dan hutan, distribusi pangan, pembangunan perumahan, manufaktur, per-bank-an, per-kredit-an, pabrik roti, percetakan, toko buku, jasa periklanan, kerajinan tangan, biro perjalanan, turisme, green house (rumah akrab lingkungan), penitipan anak, pabrik garrmen, jasa taksi, penggilingan, restoran, konstruksi, siaran radio, dan sebagainya cukup eksis dan dapat diandalkan sebagai lembaga ekonomi di masyarakat. Mereka pun mempunyai pusat-pusat studi dan pengembangan, di beberapa universitas terdapat jurusan yang khusus disiapkan untuk memikirkan masa depan koperasi.

Sebagai sebuah bisnis tentu saja koperasi berorientasi mencari laba. Sebagai suatu bisnis, di dalam masyarakat kapitalis mereka harus siap bersaing untuk mendapatkan pembeli. Ini tidak mudah. Untuk itu, sebagai misal, beberapa koperasi pertanian dan manufaktur di India, Meksiko (khususnya di Mondragon), dan partner koperasi distribusi mereka di Eropa, Amerika dan Kanada memperkenalkan kembali barang-barang yang diproduksi dan dimanufaktur tanpa diuji-cobakan terhadap hewan, atau tidak mengandung zat kimia, dan untuk produk-produk pertanian mereka mempromosikan produk-produk organik (sayur, buah, beras, dsb.), yang tidak menggunakan pupuk kimia produk pabrik. Ini menjadi strategi dalam menarik pembeli, mengingat isu lingkungan menjadi cukup penting dalam dasawarsa-dasawarsa belakangan ini. Dengan cara ini, koperasi produksi barang-barang organik dapat menguak pangsa pasarnya sendiri yang sebelumnya telah dikuasai big business (monopoli) swasta. Memungkinkan mereka dapat bersaing dengan produksi non-koperasi, meskipun kadangkala harga jual produk-produk koperasi sedikit lebih mahal dari non-koperasi. Masyarakat umum percaya bahwa koperasi menawarkan hidup lebih sehat.

Koperasi di Indonesia

Koperasi di Indonesia sangat berbeda dengan yang telah berkembang di negeri maju. Gerakan koperasi di Indonesia tidak mengalami proses perjuangan dan tantangan serta konflik yang menyebabkan koperasi memang benar-benar perlu untuk ditegakkan. Sistem perekonomian kolonial yang dibangun Belanda dan Jepang memang menghasilkan kemiskinan yang berpengaruh luas pada masyarakat Indonesia. Namun masyarakat bumiputera lebih meresponnya dengan perlawanan politik melalui pembentukan berbagai serikat hingga partai politik.

Meskipun kemudian dalam merumuskan UUD'45 dirasakan perlu menegaskan adanya sistem perekonomian yang bersifat kolektif (pasal 33), namun akar dan sejarah dari gerakan koperasi sendiri tidak ada. Dalam perjalanan pembangunan ekonomi Indonesia berbagai pihak menginterpretasikan sendiri-sendiri makna rumusan UUD'45--yang lahir dalam kondisi perang tersebut.

Koperasi pertama yang didirikan di bumi Indonesia terjadi di masa kolonialisme Hindia Belanda, yaitu melalui lingkungan Bestuur Beambten (Pegawai Negeri) dibentuk koperasi di Purwokerto pada tahun 1896 dan di Mojokerto pada tahun 1886. Entah latah atau tidak, nampaknya jenis yang dibikin di jaman Hindia Belanda tersebut berjalan hingga hari ini menjadi Koperasi Pegawai Negeri.

Di tahun 1920-an, pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk jawatan koperasi sebagai bagian dari Kementrian Perekonomian. Jawatan ini mempunyai cabang di semua propinsi dan kantor inspeksi di tiap kabupaten. Ada dua sekolah menengah koperasi pada masa itu yaitu di Yogyakarta dan di Bandung. Tahun 1927 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang mewajibkan pemerintah untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan mengenai prinsip-prinsip koperasi dan pelaksanaannya. Namun, sebenarnya yang terjadi adalah sikap pasif dari aparat pemerintah dalam mengembangkan koperasi. Mereka hanya memberikan petunjuk dan keterangan jika diminta.

Perkembangan setelah Proklamasi kemerdekaan, adalah di tahun 1946, jawatan koperasi Yogyakarta menyelenggarakan kursus selama seminggu untuk kader-kadernya di tiap kabupaten. Koperasi dibentuk di daerah perkotaan dan pedesaan. Kemudian dilakukan penumpukan modal melalui wajib menabung 10 sen (di luar jumlah harga barang yang dibeli) setiap kali terjadi pembelian. Sistem pendistribusian barang dengan menggunakan jalur kelurahan digunakan kartu yang diserahkan ke panitian distribusi. Diperkirakan telah didapat sekitar Rp. 2 juta pemasukan dari 400.000 keluarga Yogyakarta yang membeli antara tahun 1946 hingga akhir 1948. Sistem koperasi ini lenyap dengan serbuan Belanda ke Yogyakarta pada Desember 1948.

Ada kebingungan rakyat tentang kekuasaan resmi pamongpraja dan pemerintahan desa dalam hubungannya dengan organisasi rakyat termasuk koperasi, khususnya selama kurun revolusi 1945-1949. Setelah kondisi pulih, tahun 1952 dibentuk kembali koperasi baru di Kulon Progo dan Bantul.

Meskipun tingkat pertumbuhan koperasi di Yogyakarta sangat pesat dalam kurun 1952 hingga 1957 - diketahui ada 310 koperasi di penghujung tahun 1957 jenisnya adalah: koperasi desa serbaguna (kredit), koperasi pegawai negeri, koperasi simpan pinjam, koperasi produksi, koperasi konsumsi, dan koperasi lumbung --, namun di tahun 1957 telah terjadi pembubaran sejumlah koperasi. Alasan utama pembubaran koperasi adalah: anggota tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi hutang.

Yang perlu pula ditegaskan adalah kesadaran berkoperasi memang sangat rendah. Seringkali anggota suatu koperasi melakukan pembelian secara maksimal dari koperasi (karena harganya murah) namun kemudian dia jual sedikit lebih mahal pada pasar bebas (sejauh tetap dijual sedikit lebih murah dari harga pasar umum).

Dan, koperasi sangat bergantung pada fasilitas pemerintah yang ada untuk dapat beroperasi dan menekan harga lebih murah dari harga pasar bebas. Menteri Distribusi J. Leimena menjelaskan bahwa kebijakan demokrasi terpimpin yang diterapkan sejak 5 Juli 1959 memerlukan pengawasan ketat atas harga bahan-bahan pokok. Sehingga berpengaruh terhadap penyaluran distribusi barang melalui koperasi, dan toko-toko yang berada di bawah pengawasan pemerintah serta sistem penjatahan yang dilakukan di lingkungan pegawai negeri.5)

Demikian akhirnya yang benar-benar dapat bertahan nampaknya adalah jenis koperasi yang dibangun di dalam organisasi-organisasi instansi pemerintahan. Jenis ini meluas dan menginspirasikan lahirnya koperasi-koperasi sejenis yang kemudian didirikan di berbagai lingkungan kerja, termasuk koperasi karyawan (buruh) yang dibangun di dalam pabrik-pabrik. Dapatlah kita fahami konteks bicara Mohammad Hatta sebagai founding father (Bapak) koperasi Indonesia, ketika berkata koperasi adalah "wadah aparat produksi satu-satunya sebagai jawaban positif terhadap penolakan kita terhadap kapitalisme liberalisme dan penolakan kita terhadap Marxisme dan Komunisme."6) Koperasi di Indonesia memang tidak pernah menjadi sebuah bisnis yang disiapkan untuk bersaing di pasar bebas. Bahkan, ada kemungkinan anggota koperasi yang ada pun tidak memahami makna dari bentuk ikatan ko-operatif koperasi. Bergabungnya mereka ke koperasi adalah dikarenakan tidak ada cara lain untuk mendapatkan barang-barang tertentu (khususnya kebutuhan pokok sehari-hari) dengan lebih murah (dibayar dengan angsuran) dari harga pasar (dan cash).

Dalam perkembangannya koperasi memang menjadi beragam. Namun praktek kolektivisme koperasi tidak terjadi. Jadilah gerakan koperasi hanya dipahami sebagai jargon yang didengang-dengungkan oleh pemerintah. Belakangan banyak pihak lebih memilih membentuk yayasan ketimbang membentuk koperasi. Karena sebagai yayasan, bisnis yang dilakukan yayasan akan terhindar dari pajak, dan memungkinkan melakukan penumpukan kekayaan secara individual. Sedangkan bila badan usahanya berbentuk koperasi akan menghambat penumpukan kekayaan yang dilakukan oleh segelintir orang.

Praktek koperasi di Indonesia menjadi lebih buruk lagi selama kurun Orde Baru, disebabkan digunakannya koperasi sebagai alat pemerintah untuk melakukan perdagangan secara monopoli dan mengorbankan lapisan sosial tertentu untuk menyangga -- menjadi kurban dari -- 'pembangunan.' Bentuk relasi koperasi akhirnya menjadi aneh kalau bukan sesuatu yang mengingkari arti koperasi itu sendiri. Katakanlah Koperasi Unit Desa (KUD) yang sebetulnya menjadi penjarahan produk-produk desa yang dilakukan secara monopoli dan kemudian diperdagangkan pula secara monopoli dan harga dipatok oleh pemerintah yang sebetulnya tidak mempunyai kedudukan sebagai anggota di KUD. Sementara, KUD sendiri menjadi instrumen pemaksaan perdagangan terhadap petani, khususnya pupuk.

Jenis lain dari koperasi di Indonesia adalah 'koperasi' borjuis. 'Koperasi' di sini hanya sebuah kedok untuk berlangsungnya hubungan yang sebetulnya kapitalistik. Yaitu, pengusaha mengatur strategi terhadap buruh-nya bahwa pada suatu saat buruh tersebut akan memiliki alat produksi. Jadi, seolah-olah buruh memiliki kontrol terhadap jalannya perusahaan. Bentuk koperasi ini dapat ditemui pada koperasi taksi, sarana angkutan umum (seperti angkutan pinggir kota), dan sebagainya. Dalam praktek 'koperasi' seperti ini, buruh-buruh transportasi tersebut tetap harus mengumpulkan dan menyetorkan sejumlah uang, kurang lebih sama dengan buruh transportasi yang bekerja di perusahaan non-koperasi, kepada perusahaan. Pihak perusahaan menyebut setoran ini sebagai biaya angsuran untuk memiliki kendaraan. Biasanya, proses mengangsur ini berlangsung sekitar tiga hingga lima tahun. Pada kenyataannya kendaraan yang dipergunakan terus-menerus selama tiga hingga lima tahun akan menjadi barang yang tidak berdaya-guna dan tidak berharga lagi. Sehingga, jelas bentuk koperasi seperti ini sebagai strategi pengusaha menipu para buruh-nya.

Secara ringkas Revrisond Baswir, Direktur IDEA, menjelaskan perkembangan koperasi Indonesia selama 32 tahun berkuasanya rejim Orde Baru sebagai:

Salah satu korban korporatisme Orde Baru adalah gerakan koperasi. Selama lebih dari 30 tahun, gerakan koperasi tidak hanya telah diselewengkan oleh Orde Baru sebagai alat kekuasaan, tapi juga telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga berubah wujud menjadi persekutuan majikan.

Akibatnya, terhitung sejak diterbitkannya UU No. 12/1967 (yang kemudian diperbaharui melalui UU No. 25/1992), gerakan koperasi kehilangan kredibilitasnya sebagai gerakan ekonomi rakyat yang mandiri dan demokratis. Sedangkan peluang koperasi untuk memperjuangkan perbaikan nasib rakyat sangat jauh terpinggirkan.7)

Ekonomi Indonesia yang runtuh sejak Juli 1997, seharusnya menyadarkan kita semua bahwa tatanan 'pembangunan' Orde Baru memang tidak punya fondasi. Bahwa secara makro tidak ada yang dapat disebut sebagai 'perekonomian nasional' karena memang sudah demikian tergantung terhadap ekonomi uang yang dikondisikan oleh finance capital internasional.8) Penutupan L/C (letters of credit) yang dilakukan bank-bank asing terhadap investasi dan perdagangan dengan Indonesia -- disebabkan ketidak-mampuan pemerintah dan sektor swasta untuk membayar utang yang telah jatuh tempo -- telah melumpuhkan seluruh kapasitas bisnis 'nasional' di dalam negeri.

Mau dibawa ke mana Indonesia? Rejim transisi Habibie menyodorkan penguatan ekonomi rakyat dan koperasi dengan menunjuk Adi Sasono sebagai menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil (menkop dan PUK). Namun, belakangan justru pemerintahan transisi ini lebih cenderung mengambil alih (baca: merampas) big business yang selama ini dikuasai distributor dan penyalur Cina:

Menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil (menkop dan PUK) Adi Sasono dilaporkan hendak menguasai jalur distribusi yang ditinggalkan para distributor keturunan Cina. Adi Sasono menunjuk jalur koperasi, unit-unit usaha yang berada di bawah departemennya, untuk mengambilalih jalur distribusi bahan makanan. Pertengahan bulan Juli, Adi menunjuk sejumlah koperasi masjid di kampung-kampung untuk menyalurkan bahan pangan dan minyak goreng.

Jaringan koperasi di seluruh Indonesia, menurut informasi yang dihimpun SiaR akan digunakan sebagai jaringan distribusi bahan pangan menggantikan jaringan distribusi pengusaha Cina yang ketakutan karena kerusuhan Mei lalu dan teror yang terus mereka terima.

Beberapa waktu lalu Adi Sasono mengatakan, stok minyak goreng di Bulog habis. Pernyataan Adi ini dinilai aneh, karena sebagai Menkop dan PUK ia tak memiliki kewenangan mengumumkan hal itu. Seorang peneliti mengatakan Adi Sasono sengaja mengemukan hal yang sebenarnya tak benar itu untuk membentuk opini bahwa para produsen dan penyalur Cina menimbun komoditas itu.

Hari berikutnya, pernyataan Adi ini memang secara tak langsung dibantah Kepala Bulog Beddu Amang, .... Beddu mengatakan, stok minyak goreng masih ada hanya memang belum ada di gudang Bulog melainkan masih berada di tempat lain. Ambisi Adi, yang dulu ketika aktif di Lembaga Studi Pembangunan (LSP) berhaluan sosialis itu mendapat dukungan Presiden BJ Habibie. ...

Ambisi Adi ini diwujudkan Habibie. Selasa (5/8/98) lalu, Habibie menunjuk Induk Koperasi Pasar (Inkopas) untuk menjadi distributor tunggal minyak goreng selama seminggu.

"Kalau koperasi tak bisa ya diajari dong," ujar Habibie ketika menerima produsen minyak goreng di Bina Graha.

Habibie juga mengatakan, jalur distribusi minyak goreng biar dikuasai koperasi saja, sedang pengusaha besar berkonsentrasi di produksinya. Ditunjuknya koperasi jadi distributor minyak goreng dan bahan makan lainnya dikritik seorang peneliti Econit. Peneliti itu mengatakan, koperasi tak punya kemampuan untuk mengambilalih jalur distribusi itu. "Ini seperti atlet angkat besi. Biasanya hanya mampu mengangkat barbel lima puluh kilo sekarang disuruh mengangkat barbel seratus lima puluh kilo," katanya.9)

Cuplikan di atas menunjukkan adanya karakter anarcho-syndicalism10) dari pemerintahan B.J. Habibie; tidak tercermin kegigihan membangun sistem perekonomian yang fair dan demokratik, dan tentu sangat jauh dari upaya membangun koperasi sejati.

Manajemen Koperasi

Hal yang cukup penting dari koperasi adalah bahwa mereka membangun sistem manajemen terbuka dan dikontrol oleh anggota dan para pekerjanya. Azas mereka dalam membangun koperasi adalah capital share atau berbagi modal (uang, gedung, peralatan kantor, tenaga, pikiran dsb.) untuk mewujudkan satu tujuan yaitu membangun kesejahteraan bersama dalam kolektif. Kesadaran anggota untuk membayar iuran dibentuk oleh tujuan tersebut. Dan, agar setiap anggota tahu seluk-beluk koperasi, bila seseorang berminat masuk menjadi anggota koperasi, dia harus terlibat dengan aktifitas-aktifitas yang dilakukan koperasi tersebut dalam tenggang waktu tertentu. Dengan demikian keterlibatan seseorang di dalam koperasi bukan semata-mata untuk membeli saham dan menantikan pembagian deviden saja.

Namun, di Barat, disebabkan persaingan bisnis yang ketat koperasi telah berubah dan menggunakan tenaga kerja tetap dan profesional agar laju aktifitas produksi tidak terganggu. Meskipun beberapa kriteria pokok beroperasinya koperasi tetap dipertahankan, seperti:

  • Keanggotaan terbuka - siapapun dapat menjadi anggota koperasi;
  • Kontrol demokratis - satu anggota, satu suara, tanpa menghiraukan jumlah saham yang dikuasai anggota;
  • Promosi pendidikan - anggota belajar tentang gerakan koperasi dan mengoperasikan koperasi milik mereka sendiri;
  • Distribusi deviden berdasarkan kekerapan penggunaan jasa koperasi - bukan berdasarkan proporsi seseorang dalam investasi;
  • Pembatasan keuntungan dari saham yang ditanamkan anggota di koperasi;
  • Kerjasama aktif antar sesama koperasi.11)

Yang perlu pula untuk diketahui adalah struktur unit produksi dan relasi kekuasaan anggota sebagai terlihat dalam bagan berikut ini.

Dengan menggunakan relasi seperti ini koperasi di Barat menempatkan diri sebagai kompetitor sistem produksi kapitalistik (buruh-majikan). Yang membedakan hubungan produksi ko-operatif (membership) dari yang kapitalistik adalah pada koperasi surplus value (deviden) dibagikan ke seluruh anggota, sedangkan di kapitalistik surplus-value diambil oleh majikan.

Mungkinkah membangun koperasi demokratik di Indonesia?

Jawabnya: mungkin.

Prasyaratnya, ada kemauan untuk membentuk koperasi dari komunitas-komunitas sosial; dan pemerintah tidak dalam posisi menghalangi atau menginfiltrasi koperasi sehingga merubah visi, misi-nya.

Perlu pula menjernihkan makna koperasi bukan sebagai aktivitas sampingan dan menciptakan penghasilan tambahan untuk anggotanya. Kembalikan pemahaman koperasi ke bisnis ekonomi yang tidak melakukan penghisapan surplus value, tetapi mengembalikan surplus value kepada anggota/kolektif. Kekuatan koperasi adalah kekuatan kontrol kolektif. Dengan demikian mempersempit kemungkinan timbulnya korupsi, sebagaimana umum terjadi dalam bisnis kapitalistik.

Satu pandangan tentang kekuatan kerja kolektif misalnya yang diajukan untuk membangun organisasi buruh yang kuat, pada jaman Demokrasi Liberal (1955-1959) di Indonesia, mengatakan:

Bekerdja dengan kolektip adalah sumber dari kebenaran dari segala aktivitet organisasi. Kemungkinan salah dalam pekerdjaan kolektip sangat ketjil. Bekerdja setjara kolektip selalu didengung-dengungkan. Kemana kita pergi tak pernah kita tidak mendengar perkataan kolektip. Didalam rapat2 pleno, badan pimpinan dan sebagainja mempertinggi pekerdjaan kolektip selalu mendjadi program.

....

Kolektip didalam arti jang sesungguhnja mempunjai beberapa tjiri chusus jaitu:

kesatuan perasaan dan fikiran ialah: perasaan dan fikiran buruh.

persaudaraan sedjati.

pertanggungan djawab bersama.

pembagian pekerdjaan jang rapi.12)

Kapitalisme yang berkembang selama kurun Orde Baru memang berpengaruh luas pada masyarakat kota-kota di Indonesia. Relasi-relasi sosial pra-kapitalistik dijungkir-balikkan dan dikoneksikan ke relasi sosial kapitalistik.

Namun, kapitalisme ini kini sedang diuji, tidak saja di tingkat negeri sebatas Indonesia, namun di tingkat global, atau paling tidak regional Asia. Terjadi satu upaya penstrukturan kembali peranan finance capital internasional di Asia. Upaya baru ini sangat anti terhadap praktek kolusi-korupsi-nepotisme (KKN) demi mewujudkan perdagangan bebas (free trade) yang sedang disiapkan melalui forum-forum seperti NAFTA, AFTA, APEC dsb. Isu KKN sebetulnya sudah ada sejak lama, baru saat ini dicuatkan dan dijadikan sebagai masalah untuk menghantam rejim-rejim yang tidak bersedia tunduk pada code of conduct internasional. Namun, bagaimanapun kondisi chaos ini akan segera membaik, mengingat kebutuhan finance capital internasional adalah kelangsungan pengedukan surplus value sebesar-besarnya dari mana pun. Segera satu rejim bersedia tunduk terhadap packages (paket-paket) kebijakan yang disodorkan World Bank dan International Monetary Funds (IMF)13) -- sebagai tangan-tangan finance capital internasional -- disetujui, dapat dipastikan kondisi investasi membaik secepatnya.

Dalam kondisi chaos saat sekarang, di mana investor ragu menanamkan modal di Indonesia, adalah waktu yang tepat untuk membangun komunitas-komunitas bisnis kolektif koperasi. Minoritas masyarakat kota, metropolis, disebabkan oleh hubungan produksi kapitalistik, mungkin yang paling tidak siap karena telah terkondisi menjadi sangat individual dan berlingkungan sosial sebatas keluarga inti. Namun, sebenarnya, di luar masyarakat kota, suatu relasi sosial yang non-individualistik masih hidup. Ini merupakan pra-kondisi menguntungkan untuk membentuk koperasi.

Kita perlu membangun sistem ekonomi secara mandiri yang dapat tumbuh menjadi kuat, terbebas dari prasyarat-prasyarat yang diajukan oleh pihak lain dalam membangun perekonomian. Sudah cukup model 'pembangunan' Orde Baru selama 32 tahun yang berakhir porak-poranda dan menciptakan kesengsaraan rakyat luas. Bagaimanapun, krisis struktural yang ada telah membengkakan pengangguran menjadi hampir 80 juta penduduk Indonesia (sekitar 40 persen dari jumlah penduduk).

Haruskah kita tetap tinggal diam, dan menanti datangnya perubahan dari pengkucuran pinjaman asing yang baru? Sadarlah bahwa hutang yang ada selama ini bukan solusi dari perekonomian kita, bahkan sebaliknya akan semakin memurukan kita!

Kinilah saatnya kita membangun koperasi demokratik yang tahan diterpa badai.

Jakarta, 18 Agustus 1998.


  1. Surplus value atau nilai lebih adalah selisih antara nilai yang diciptakan oleh kerja buruh dengan nilai dari tenaga kerjanya. Jika selama hari kerja yang lamanya delapan jam seorang buruh menciptakan nilai yang sama dengan Rp. 100.000,-, sedangkan nilai tenaga kerjanya hanya Rp 5.600,-, maka nilai lebihnya adalah Rp. 94.400,-. Nilai lebih ini dimiliki oleh kaum kapitalis sebagai laba. (Untuk penjelasan ini lihat misalnya A. Aleksejev, Hukum Ekonomi Pokok Kapitalisme Modern, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1957, hal. 25; juga lebih tajam dapat dilihat pada E. Aarons, Economics for Workers, Current Book Distributors, 40 Market Street, Sydney, second edition, April 1959, hal.: 13-17).

  2. Rochdale Principles tercermin dalam rapat anggota yang demokratik, di mana setiap anggota mempunyai satu suara (one man one vote). (Ima Suwandi, Seluk Liku Koperasi Karyawan Perusahaan, Bhratara, Jakarta 1985, hal.: 9.) Dapat pula dilihat Anggaran Dasar (Act Rules) dari CRS (Collective Resource and Services) Workers' Co-op, dalam "Prospective Member Handbook" yang membahas perihal voting (hal.: 5). Tidak dikenal apa yang di Indonesia disebut sebagai musyawarah untuk mufakat.

  3. Karl Marx, "On Proudhon (Letter to J.B. Schweitzer)," London, January 24, 1865, dalam Karl Marx and Frederick Engels, Selected Works, volume I, Moscow, 1951, hal.: 355.

  4. Ibid., hal.: 357. Kritik terhadap Proudhon dapat dilihat pula dalam Frederick Engels, "The Housing Question," Selected Works, volume I, Moscow, 1951, hal.: 495-574. Melalui kutipan-kutipan langsung tersebut saya mengkoreksi Kwik Kian Gie yang melihat bahwa seolah-olah gagasan-gagasan koperasi ini dibuahkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. (Lihat Kwik Kian Gie, "Koperasi Sebagai Sokoguru Keadilan Ekonomi: Bentuknya Atau Jiwanya," Analisis Ekonomi Politik Indonesia, Gramedia & IBII, Jakarta 1995, hal.: 363.

  5. Untuk bagian-bagian dalam penjelasan kurun 1920-an hingga 1960-an ini lihat Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, diterjemahkan oleh H.J. Koesoemanto dan Mochtar Pabotinggi, Gadjah Mada University Press, 1981, hal.: 243 - 256.

  6. Pidato radio Moh. Hatta dalam memperingati Hari Koperasi, 12 Juli 1955, diambil dari Kwik Kian Gie, loc.cit., hal.: 365.

  7. "Pernyataan Sikap IDEA Mengenai Reformasi Koperasi Paska Orde Baru," Institute of Development and Economic Analysis (IDEA), Yogyakarta, 4 Juni 1998.

  8. Sebuah buku yang mendiskusikan peranan modal internasional dalam menciptakan krisis moneter sejak Keynes (1930-an) hingga krisis tahun 1990-an adalah kumpulan tulisan yang diedit oleh Werner Bonefeld dan John Holloway, Global Capital, National State and Politics of Money, St. Martin's Press (tidak diketahui tahun terbitnya).

  9. "Adi Sasono Berambisi Kuasai Jalur Distribusi," SiaR, 5 Agustus 1998.

  10. Tentang apa yang dimaksud dengan anarcho-syndicalism lihat Leon Trotsky, On The Trade Unions, Pathfinder Press, Inc., second edition, 1975.

  11. Pamflet dari CRS Workers' Co-op, What is a workers' co-op anyway?

  12. Warsosukarto, "Memelihara Pekerdjaan Kolektip," Warta Sarbupri, No. 1, th. ke VII, Achir Djanuari 1956, hal. 10.

  13. Package yang sudah pasti disodorkan dan harus diterima adalah Structural Adjusment Programmes (SAP) yang meminimalisir peranan negara di dalam pendidikan dan perdagangan, dan pencabutan berbagai hambatan bisnis terhadap investor asing. SAP selama ini telah diberlakukan di negeri-negeri Amerika Latin dan Afrika. SAP adalah rangkaian kebijakan penyesuaian yang dipaksakan oleh WB dan IMF ke negeri-negeri di belahan bumi Selatan (South) yang mencari dukungan finansial dari kedua lembaga tersebut. Berisi "pengaturan" ekonomi di satu negeri agar memungkinkan membayar hutang-hutangnya dan membuat keuangan negeri tersebut kuat di masa mendatang. Program-program tersebut diyakini diambil dari kebutuhan-kebutuhan partikular negeri-negeri di mana WB dan IMF beroperasi. Bagaimanapun, SAP mengajukan tujuan umum mempromosikan pasar bebas, deregulasi ekonomi. Untuk menerima ini, SAP mempromosikan: 1) swastanisasi, 2) penghapusan subsidi pemerintah misalnya untuk pangan, 3) pengurangan tunjangan publik misalnya kesehatan, kesejahteraan pendidikan, 4) devaluasi mata-uang agar biaya ekspor lebih murah dan akan lebih bersaing/kompetitif, 5) produksi barang-barang untuk ekspor, 6) desakan investasi asing dengan menarik perusahaan-perusahaan multinasional. (Dikutip dari Common Cause: An Education Pack for British Trade Unionists, CTUC.)

Hosted by www.Geocities.ws

1