Catatan Untuk Sandra

Edi Cahyono

 

Disampaikan pada diskusi peluncuran buku Sandra: Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia, 21 Maret 2008, TURC-Jakarta.

TURC menerbitkan ulang karya Sandra Sedjarah Pergerakan Buruh Indonesia, PT. Pustaka Rakjat, 1961. Mungkin, ini sebagai upaya untuk menghangatkan kembali bahwa di masa lalu Indonesia�sejak kurun kolonial Hindia-Belanda (Nederlands-Indie)�, di negeri ini pernah dilahirkan begitu banyak serikat buruh (pekerja). Suatu kondisi yang (dalam hal populasi) kira-kira mirip dengan Indonesia saat sekarang�kurun reformasi (pasca Orde Baru)�, di mana jumlah serikat membludag. Surya Tjandra, TURC, mengharapkan saya memberi ulasan untuk peluncuran penerbitan ulang buku Sandra ini.

Terus terang saya tidak mengenal siapa Sandra, namun bukunya memang pernah saya baca lebih duapuluh tahun yang lalu. Banyak hal saya sudah tidak ingat tentang buku Sandra; saya bongkar-bongkar lagi koleksi tua saya dan akhirnya buku apek ini bisa saya dapatkan.

Sandra mengawali penulisannya dengan mengangkat persoalan yang berbeda sama sekali tentang alasan-alasan yang sering mengemuka bila sekelompok buruh bermaksud mendirikan serikat buruh. Sandra menyampaikan, bahwa pada awalnya serikat buruh didirikan oleh para pekerja berkebangsaan Belanda�saya menyebutnya buruh �impor,� meskipun sekarang sering digunakan sebutan ekspatriat�yang bekerja di Hindia-Belanda. Berserikat adalah kecenderungan di Eropa pada akhir abad ke-19. Saat itu Eropa telah menjadi negeri modern. Kapitalisme telah mematangkan kondisi sosial-ekonomi-politik-budaya masyarakat Eropa.

Berserikat menjadi standar kehidupan sosial-politik masyarakat Eropa, termasuk Negeri Belanda (Holland/Nederland). Sehingga warga-negara Belanda yang kemudian pergi ke wilayah koloni Hindia-Belanda untuk bekerja di berbagai perusahaan, mendirikan serikat-serikat buruh. Bagaimana pun ini merupakan prestise tersendiri bagi orang-orang Eropa tersebut. Pada awalnya, mereka mengabaikan buruh-buruh bumiputera�warga lokal Hindia-Belanda�untuk dapat terlibat dengan kehidupan berserikat. Jadi, pada awal pembentukan serikat buruh, serikat ini beranggotakan eksklusif buruh impor saja.

Serikat-serikat buruh orang-orang Eropa di Hindia-Belanda yang berdiri sejak akhir abad ke-19, berturut-turut lahir Nederlandsch-Indisch Onderwijzers Genootschap (NIOG) tahun 1897; Staatsspoor Bond (SS Bond) didirikan di Bandung pada 1905; Suikerbond (1906); Cultuurbond, Vereeniging v. Assistenten in Deli (1907); Vereeniging voor Spoor-en Tramweg Personeel in Ned-Indie, berdiri 1908 di Semarang; Bond van Geemployeerden bij de Suikerindustrie op Java (Suikerbond) tahun 1909 di Surabaya; Bond van Ambtenaren bij de In-en Uitvoerrechten en Accijnzijn in Ned-Indie (Duanebond) tahun 1911; Bond van Ambtenaren bij den Post-, Telegraaft-en Telefoondienst (Postbond) tahun 1912; Burgerlijke Openbare Werken in Ned-Indie (BOWNI) tahun 1912; Bond van Pandhuis Personeel (Pandhuisbond) (1913).

Ciri serikat-serikat buruh ini adalah: Tidak ada motif-motif ekonomi dalam proses pendiriannya. Tidak ada masalah pada sekitar tahun berdirinya serikat-serikat buruh tersebut misalnya, soal rendahnya tingkat upah, atau pun buruknya kondisi sosial tenaga kerja �impor.� Faktor yang mendorong pembentukan mereka adalah pertumbuhan pergerakan buruh di Negeri Belanda.1 Pada sekitar 1860-1870 di Nederland sedang mengalami pertumbuhan pergerakan buruh. Dan sejak 1878 ada pengaruh gerakan sosial-demokrat yang mendorong berdirinya National Arbeids Secretariats (NAS) sebagai induk organisasi.2

Pada saat itu di Hindia-Belanda ada ketentuan pasal 111 Regeling Reglement (RR) yang melarang dilakukannya rapat dan pembentukan sebuah organisasi tanpa ijin khusus dari pemerintah kolonial. Namun disebabkan pada tahun 1903 pemerintah kolonial menerapkan desentralisasi susunan pemerintah kolonial seperti Bandung, Semarang, Surabaya, Batavia menjadi suatu gemente dan pengaturannya dilaksanakan oleh gementeraad (dewan kota). Menjadikan 111 RR tidak berlaku.

� hak berserikat dan berkoempoel diakoe tentang praktijknja, artinja diberi kelapangan, meskipoen beloem ditetapkan didalam oendang-oendang. Dengan segera peroebahan-peroebahan itoe kelihatan pengaroehnja: gerakan politiek jang amat ramai terbitlah dalam golongan bangsa Eropah.3

Pembentukan serikat-serikat oleh buruh �impor� ini selain merupakan pengaruh dari perkembangan gerakan buruh yang berlangsung di Eropa pula merupakan bagian dari kepentingan �politik� terbatas kehidupan kota.

Perkembangan selanjutnya dalam keanggotaan serikat-serikat buruh ini tidak hanya merekrut anggota �impor� saja, akan tetapi juga menerima kalangan bumiputera. Ini terjadi sebagai pengaruh semangat etis.

Program Pendidikan yang merupakan salah satu program dalam politik balas jasa Etische Politiek di awal 1900 memberi nuansa baru dalam perkembangan intelektual bumiputera. Ditambah lagi dengan pembentukan serikat-serikat oleh buruh �impor,� telah memicu serikat buruh dibangun oleh kaum bumiputera dalam masa-masa sesudahnya. Beberapa di antaranya yang dapat disebutkan adalah:

Perkoempoelan Boemipoetera Pabean (PBP) tahun 1911; Persatoean Goeroe Bantoe (PGB) tahun 1912; Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB) berdiri tahun 1912; Persatoean Pegawai Pegadaian Boemipoetera (PPPB) tahun 1914; Opium Regie Bond (ORB) dan Vereeniging van Indlandsch Personeel Burgerlijk Openbare Werken (VIPBOUW) tahun 1916; Personeel Fabriek Bond (PFB) tahun 1917.

Di kalangan Tionghoa pada 26 September 1909, di Jakarta, dibentuk Tiong Hoa Sim Gie dipimpin oleh Lie Yan Hoei. Empat bulan kemudian kelompok ini merubah nama menjadi Tiong Hoa Keng Kie Hwee yang kemudian menjadi inti dari Federasi Kaum Boeroeh Tionghoa.

Perhimpoenan Kaoem Boeroeh dan Tani (PKBT) didirikan tahun 1917, di lingkungan industri gula. Organisasi ini dikembangkan dari Porojitno yang dibentuk oleh Sarekat Islam (SI) dan ISDV Surabaya pada tahun 1916. PKBT kemudian dipecah menjadi dua di tahun 1918 yaitu Perhimpoenan Kaoem Tani (PKT) dan Perhimpoenan Kaoem Boeroeh Onderneming (PKBO). PKBO kemudian digabung dengan Personeel Fabriek Bond (PFB), sebuah organisasi yang dibentuk oleh Soerjopranoto tahun 1917.4

Saya agak ragu untuk melihat buku Sandra sebagai sebuah karya seorang sejarawan, meskipun judul buku menyebut kata �sedjarah.� Seorang sejarawan ada keterikatan metodik dalam melakukan penulisan yaitu harus menjawab pertanyaan dasar: who, where, when, why, dan how. Sementara posisi terhadap fakta-fakta yang dikumpulkan harus dilihat dalam kacamata kritik dari dalam yang dikenal dengan historical-mindedness�bagaimana melihat berbagai peristiwa dengan sang penulis menempatkan diri berada di dalam peristiwa tersebut, bukan berada di luar peristiwa.

Saya juga meragukan Sandra seorang ensiklopedik yang baik dalam mempersiapkan buku ini. Karena, sekilas, saya melihat dia telah mengabaikan kelompok yang melahirkan gerakan berhaluan sosialis (kiri) yang justru penting dalam menetapkan tonggak-tonggak pasang-surut sejarah perkembangan serikat buruh sebagai sebuah gerakan sosial-politik. Sandra sama sekali tidak memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan luar biasa dari Vereniging Spoor-Traam Personen (VSTP)�didirikan pada 14 November 1908 di Semarang, Jawa Tengah oleh 63 buruh "impor" Eropa yang bekerja pada 3 jalur kereta Nederlansch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), Semarang-Joana Maatschappij Stoomtram (SJS) dan Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS),5 �yang pada April 1923, dengan dukungan 8.500 buruh, melakukan mogok terbesar dalam sejarah gerakan buruh di Hindia Belanda. Terbesar, karena telah menghentikan bisnis akibat transportasi se-Jawa mogok. Pemogokan ini pula yang membuat pemerintah kolonial menyiapkan serangkaian upaya pembungkaman gerakan buruh/rakyat, yang puncaknya terjadi pada tahun 1926/27. Suatu pemberontakan yang gagal dan berakhir dengan seluruh jaringan gerakan dihancurkan melalui pembuangan tokoh-tokohnya ke Boven Digoel (Tanah Merah).

Sementara, kelompok diskusi Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) yang didirikan oleh Sneevliet pada tahun 1916 menjadi lingkungan yang berperan besar dalam penggodokan para aktivis VSTP menuju kematangan ideologi sosialimenya�dalam perkembangannya, ISDV-VSTP bermetamorfosis menjadi Partai Komunis di [H]India (PKI) (23 Mei 1920).

Sandra, sedikit menyebut, misalnya, alasan berdirinya serikat-serikat tertentu lebih dilandaskan oleh keyakinan (agama): Islam, Katholik/Kristen dsb. Sayang tidak dlakukan penggalian lebih lanjut: mengapa dapat terbentuk serikat buruh dengan landasan keagamaan. Padahal basis pembentukan serikat buruh, seharusnya, adalah hubungan kerja industrial: buruh vs pengusaha, yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama.

Terbersit dibenak saya, sepertinya, Sandra menghindar menyentuh�membicarakan�ideologi. Hal ini, untuk saya, menjadikan bukunya kering nuansa. Dia begitu banyak menyampaikan fakta, namun fakta tersebut tidak memiliki greget karena tidak dianalisis dan diintepretasikan. �Sedjarah� Sandra menjadi hanya deretan nama dan tahun atau who, where dan when; sementara why dan how tidak tersentuh. Padahal, dua pertanyaan terakhir tersebut penting sekali untuk mendeskripsikan konteks dari fakta-fakta.

Meskipun demikian, saya tetap salut dengan Sandra yang memiliki akses cukup baik kepada sumber-sumber yang dia inginkan. Ada begitu banyak publikasi/penerbitan�dulu disebut orgaan�serikat telah dia gali, di luar serangkaian literatur berbahasa Belanda. Semestinya dengan literatur sebanyak itu Sandra dapat menghasilkan karya yang lebih kaya makna. 8 (delapan) buah Lampiran pada bagian akhir buku, bagaimanapun, merupakan naskah bernilai untuk kita yang hidup di masa berbeda ini mempelajari kembali kehidupan serikat-serikat buruh di masa lalu.

�������

Catatan:

  1. Sandra, 1953, "Sedjarah Gerakan Buruh di Indonesia," Tindjauan Masalah Perburuhan, 3-4, VI, Juni-Juli, Kementrian Perburuhan Republik Indonesia, 1954, hal 7. Madjid Siregar, Perkembangan Serikat Buruh di Beberapa Negara, Penerbit Kebangsaan Pustaka Rajat N.V., Djakarta. Hal 29-40.

  2. Sandra, 1961. Sedjarah Pergerakan Buruh Indonesia. PT. Pustaka Rakjat. Djakarta. Hal. 8-9.

  3. J.J. Schrieke, Atoeran-Atoeran dan Asas-Asas Pembagian Kekoeasaan (Desentralisasi), Terj. Agus Salim, Balai Pustaka, Batavia, 1922, hal. 9-14.

  4. F. Tichelman, Socialisme in Indonesie. De Indische Sociaal-Democratische Vereeniging: 1897-1917, Foris Publication, Dordreecht, 1985, hal. 15, 46, 269.

  5. John Ingleson, "'Bound, Hand and Foot': Railway Workers And The 1923 Strike in Java," Indonesia, 31 (April 1981), Cornell Modern Indonesia Project, hal. 53-87.

Hosted by www.Geocities.ws

1