Pajak Penghasilan: Kasus PT. RajabranaEdi Cahyono
Dalam tahun 1995 lalu buruh PT. Rajabrana (dan PT. Wasindo Agung)--beralamat di Jl. Raya Bogor Km 35, Cimanggis-Bogor, dan berkantor pusat di Jl. Cempaka Putih Tengah II/1, Jakarta Pusat,--mengadakan pemogokan dengan tuntutan penghapusan pajak penghasilan yang dikenakan ke upah mereka berdasarkan PP 21. Modal PT. Rajabrana adalah perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) didirikan pada 9 Pebruari 1977, berdasarkan persetujuan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) nomor: 14/A/SP.01/BKPM/ II/7. PT. Rajabrana telah 2 kali mengajukan proposal ke BKPM. Di dalam proposal ke BKPM ini tercantum, antara lain:
===================================
PT. Rajabrana mengerjakan produksi garmen merek: Liz Wear, Liz Sport, Liz Elizabeth, Koret, Bechamed, Savilli, Studyo, CTS, Sarto dsb. Produk-produk ini 60 persen diekspor ke AS dan sisanya ke Jerman, Belanda, Singapura. Dikerjakan oleh sekitar 8.000 buruh. Seluruh material (kain, benang, kancing dsb.) didatangkan dari luar negeri. Pabrik ini hanya melakukan penjahitannya hingga menjadi pakaian jadi. Upah Buruh Bagaimanakah sebetulnya proses penghitungan upah buruh PT. Rajabrana sehingga layak terkena pajak? Berdasarkan informasi pada akhir tahun 1995, buruh-buruh pabrik ini mengungkap bahwa:
======================================
======================================
====================================== Kerja Lembur Yang menjadi pertanyaan buruh-buruh pabrik tersebut adalah pertama, perhitungan yang dimasukkan dalam komponen upah namun kemudian dikeluarkan lagi, yaitu Iuran JHT, Potongan JK+JKK+JPK. Kedua, potongan Pph berdasarkan PP.21. Sebetulnya Pph yang dikenakan terhadap penghasilan buruh di perusahaan ini tidak tepat. Mengapa? Sebab untuk mendapatkan penghasilan melebihi Rp 144.000,- (batas tidak kena pajak) per bulan adalah, buruh-buruh tersebut telah dipaksa untuk bekerja 7 hari dalam seminggu (tidak ada hari libur), selain rata-rata buruh harus kerja lembur sampai jam delapan malam (di pabrik ini hanya berlangsung 1 shift). Dalam sebulan rata-rata buruh melakukan lembur di atas 120 jam. Cara memperhitungkan jam kerja dan lembur ini adalah sebagai berikut: Jam kerja dari 07.00 - 15.00, dan lembur seperti ini: jam 15.00 - 16.00 = 1,5 jam Bila seorang buruh bekerja lembur hingga pukul 18.00 hanya dihitung 5 jam (artinya yang 0,5 jam digugurkan oleh pihak perusahaan), dan bila buruh tersebut bekerja hingga pukul 20.00 dihitung 8 jam kerja lembur. Perhitungan untuk hari libur (Minggu) diterapkan penghitungan 2 kali lipat ketimbang hari biasa. Dalam hitungan kerja lembur seperti ini banyak buruh bekerja lembur sekitar 160 jam setiap bulannya. Selain itu merekapun tidak diperbolehkan mengambil cuti tahunan. Oleh sebab itu pihak perusahaan menggantikannya dalam bentuk uang (lihat Cuti Tahunan di atas yang diperhitungkan dalam uang). Artinya, buruh-buruh perusahaan ini telah dijadikan mesin. Dalam kondisi seperti itu, tepatkah pemerintah memajaki penghasilan buruh? Penghasilan yang terlihat melampaui Rp 144.000,- di atas didapat melalui pemaksaan kerja oleh pengusaha terhadap seluruh buruh di perusahaan tersebut. Mogok Terjadilah, pada 26 April s/d 9 Mei 1995 buruh-buruh PT. Rajabrana dan PT. Wasindo Agung melakukan pemogokan. Para buruh memblokir semua jalan masuk ke lingkungan pabrik, dan tidak memperkenankan orang luar memasuki kawasan itu, termasuk petugas keamanan yang didatangkan dari Kodim Depok, Polres Bogor, Koramil, dan Polsekta Cimanggis. Blokade di jalan masuk berupa gang di permukiman penduduk ini, dilakukan dengan memasang bangku panjang melintang. Puluhan buruh wanita bergerombol di tempat itu, sehingga tidak memungkinkan orang ke luar-masuk. Setiap kali ada yang mencoba, mereka segera mengepung, menarik-narik, dan diteriaki. "Kami akan terus mogok kerja. Berapa hari saja sampai tuntutan agar pengelola pabrik menghapus potongan PPh. Pemotongan itu tidak manusiawi. Berapa sih penghasilan kami, sementara harga barang-barang semuanya sudah naik termasuk tempat kos," ujar sejumlah buruh. Beberapa orang buruh mengatakan, seharusnya penghasilan semua buruh di dua pabrik itu tidak dikenai PPh. Sebab penghasilan yang mereka terima dalam satu bulan atau kalau dihitung per hari, belum memenuhi syarat sebagai penghasilan yang terkena pajak. Salah seorang buruh lajang yang sat itu memperlihatkan daftar upah bulan April 1995 ke wartawan. Di kertas itu di antaranya tertera gaji pokok sesuai UMR (baru) Rp 69.000, upah lama Rp 45.125, tunjangan makan Rp 11.250, tunjangan transpor Rp 12.500, dan lainnya. Total penghasilannya Rp 165.872. Tapi jumlah itu kemudian dikurangi PPh Rp 11.100 jaminan kesehatan Rp 4.885, Jamsostek Rp 2.760, dan iuran SPSI Rp 250. Total penghasilan bersih yang diterima buruh itu Rp 146.877. "Ada teman saya yang total upahnya hanya Rp 121.000 juga terkena PPh sebesar Rp 4.000," kata seorang buruh lainnya. (Kompas, 27/4/95) Seusai Pemogokan Patut diketahui adalah, seusai pemogokan, di mana pihak perusahaan di depan wakil rakyat di DPR telah berjanji tidak akan mem-phk buruh-buruh-nya, ternyata ingkar. Tiga bulan setelah itu, secara bertahap pihak perusahaan mem-PHK buruh-buruh yang terlibat pemogokan, dan terutama yang dianggap menjadi dalangnya. Beberapa yang dapat disebutkan dari divisi garment adalah: Kasta, Sutaji, Alip, Ratna. Dan yang tidak terhitung adalah PHK terhadap ratusan buruh dari divisi sweater. Kebijakan phk massal ini diredam melalui bentuk hubungan kerja baru terhadap buruh-buruh yang terkena phk tersebut. Yaitu, beberapa ditawarkan untuk menguasai mesin jahit, melalui mesin-mesin jahit yang dikuasakan tersebut dibangun hubungan sub-kontrak dengan pihak perusahaan. Agar para sub-kontraktor tidak dapat mengambil-alih produk akhir, maka mereka hanya diperbolehkan mengerjakan bagian-bagian tertentu saja dari proses produksi, hasil produk secara utuh tetap dikerjakan di pabrik. Sedangkan untuk menutup kebutuhan atas tenaga kerja yang berkurang banyak, disebabkan oleh phk massal, pabrik melakukan perekrutan baru. Namun, yang perlu diketahui adalah, dalam perekrutan buruh baru ini telah diajukan sistem kerja kontrak yang berlaku selama 6 bulan. Sistem kerja konktrak ini tentu saja semakin mengurangi hak-hak buruh. Catatan Penutup Diskusi tentang pajak penghasilan ini harus dikedepankan kembali, mengingat dalam bulan April 1996 ini upah buruh Jabotabek akan naik menjadi Rp 5.200/hari atau Rp 156.000/bulan. Jumlah sebesar ini akan terkena Pph 10 persen. Bila Pph ini dikenakan maka buruh hanya akan menerima Rp 4.680/hari atau hanya terjadi kenaikan Rp 80,- dari upah lama (naik 1,73%). Padahal harga kebutuhan sehari-hari telah melambung demikian tinggi, melampaui tingkat inflasi yang diakui pemerintah sebesar 8,64 persen. Sudah waktunya bagi buruh untuk bersatu dan mempertanyakan ke pemerintah kelayakan dari pajak penghasilan ini. Perlu kiranya mengkaji kembali perkataan Kepala Pusat Penyuluhan Perpajakan Drs Yohad Hardjosemitro dan Staf Pemungutan PPh Direktorat PPH Ditjen Pajak Tjondro Hermono yang pernah mengatakan bahwa pengusaha pemberi kerja dilarang mengenakan PPh atas upah buruh, jika upah yang diterimanya dalam satu hari tidak melebihi Rp 14.400. Sebab sejalan dengan penetapan batas "Penghasilan tidak kena pajak" (PTKP) sejak 1 Januari 1994 yang menjadi Rp 1,728 juta setahun, Dirjen Pajak pun menetapkan upah harian senilai Rp 14.400 ke bawah sebagai batas tertinggi PTKP atas upah buruh.(Kompas, 17/3/94) Penggugatan terhadap pajak penghasilan ini harus dilakukan. Mengingat, jumlah upah buruh belum pernah layak untuk menutup kebutuhan hidup; adalah tidak tepat pemerintah memajaki penghasilan buruh ini. |