Siasat Rakyat Mengatasi Krisis:

Pamflet SOLIDARITAS

 

Pengantar

Indonesia sekarang berada dalam situasi ekonomi yang paling buruk dalam sejarahnya. Pemerintahan Abdurrahman Wahid, yang disebut sebagai pemerintahan demokratis pertama dalam puluhan tahun terakhir, belum mampu memperbaiki situasi porak-poranda yang diwariskan oleh rezim Orde Baru. Dengan nasehat dan tekanan dari lembaga keuangan internasional serta para �pakar ekonomi�, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang jelas tidak menguntungkan rakyat. Tidak perlu menjadi ahli untuk tahu bahwa APBN yang disusun oleh pemerintah sekarang tidak adil. Bagaimana mungkin adil jika pemerintah menyatakan bersedia menalangi utang perusahaan kerabat dan kroni Soeharto ratusan trilyun rupiah, sementara menyediakan dana kesehatan dan pendidikan bagi penduduk hanya belasan trilyun rupiah saja?

Rakyat terus membayar pajak, baik secara langsung maupun tidak dan pendapatan pemerintah pun terus meningkat. Dalam tahun anggaran 2001 pajak penghasilan diperkirakan jumlahnya mencapai Rp 54,22 trilyun atau 53% dari total pendapatan pajak. Apakah adil jika kemudian sebagian besar dana itu digunakan untuk pengeluaran yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat? Dalam RAPBN yang sama dikatakan bahwa pembayaran hutang luar negeri akan sebesar Rp 54,62 trilyun. Artinya seluruh dana yang dikumpulkan susah payah dengan cara banting tulang oleh rakyat akan habis dalam sekejap untuk membayar hutang-hutang yang dibuat oleh rezim Soeharto, perusahaan keluarga dan kroninya di masa lalu. Sementara sektor pendidikan hanya akan menerima dana Rp 11,22 trilyun, yang hanya cukup untuk membayar gaji guru dan memperbaiki sebagian gedung sekolah yang rusak parah. Itulah gambaran nyata ekonomi kita sekarang.

Pemerintah juga akan mengurangi subsidi di berbagai bidang, terutama BBM dan kebutuhan pokok. Itu atas anjuran IMF yang rupanya sekarang sudah menjadi menteri keuangan de facto di Indonesia. Artinya harga-harga bahan pokok akan melonjak tinggi, yang pasti akan disusul oleh harga-harga lainnya. Sekolah pun akan semakin mahal karena anggaran pemerintah begitu rendah, makanan tidak terbeli dan orang semakin susah berpergian karena biaya transportasi semakin mahal saja. Dalam RAPBN 2001 terlihat bahwa dana kesejahteraan rakyat akan terus berkurang, karena pemerintah harus menyimpan uangnya untuk membayar hutang luar negeri dan menyuntik modal kepada bank serta perusahaan yang bangkrut.

Hasil lain dari krisis adalah ditutupnya sejumlah besar perusahaan. Para pengusaha yang menikmati �kejayaan� Orde Baru selama bertahun-tahun mulai angkat kaki ketika melihat pelindungnya kesulitan. Akibatnya banyak sekali orang dipecat dan menjadi pengangguran, yang menurut pemerintah sendiri sudah mencapai angka 19 juta orang. Para pengusaha beralasan bahwa krisis membuat mereka bangkrut dan tidak dapat melanjutkan kegiatannya di Indonesia. Padahal yang terjadi sesungguhnya, para pengusaha ini melarikan diri dari tanggung jawab membayar hutang dan menyerahkan semua urusan mereka kepada pemerintah. Sebagian uang mereka bawa ke tempat lain untuk membuka perusahaan baru, dan pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah apalagi menghukum mereka. Penderitaan pun berlipat-lipat, jutaan orang yang dipecat ini pun masih harus ikut menanggung beban hutang yang ditinggalkan oleh bekas majikan mereka.

Mereka yang masih bertahan sebagai buruh atau pegawai pun tidak lebih baik nasibnya. Dalam dua tahun terakhir tingkat upah merosot drastis. Sekalipun jumlah uang yang diterima (upah nominal) itu bertambah, tapi daya belinya semakin merosot. Kita tinggal menghitung berapa liter beras yang bisa kita beli dengan upah pada tahun 1996 misalnya dengan upah yang kita terima sekarang, untuk tahu bahwa upah sesungguhnya (upah riil) yang kita terima itu semakin kecil. Buruh yang berasal dari keluarga petani sebenarnya diharapkan bisa mengirim uang ke kampung pada saat lebaran, tapi kenyataannya banyak yang tidak jadi pulang kampung karena tidak punya uang atau harus kerja lembur untuk bertahan hidup. Dengan berkurangnya dana kesejahteraan dari pemerintah seperti disebutkan di atas, maka beban hidup para buruh dan pegawai pun semakin berat saja.

Jika melihat kebijakan ekonomi sekarang, masa depan bahkan terlihat lebih suram. Tingkat kemiskinan dan penderitaan diperkirakan akan semakin parah, sungguh terbalik dengan janji-janji para �pakar ekonomi�, anggota DPR dan pejabat pemerintah yang mengatakan bahwa situasi sekarang sudah mulai membaik. Tentu saja, bagi mereka yang bergelimang jabatan dan harta krisis sepertinya tidak terasa. Sayangnya gaji besar yang mereka terima tidak pernah dipakai untuk berjalan ke kampung-kampung dan melihat bahwa semakin banyak orang yang akan dipaksa bekerja 10-12 jam sehari dengan upah yang bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan paling dasar sekalipun.

Terlepas dari janji-janji indah yang mereka berikan selama dua tahun terakhir, tidak ada pejabat atau ahli yang bisa menjamin bahwa kebijakan pemerintah sekarang akan membawa kesejahteraan. Mereka selalu berbicara bahwa kebijakan ekonomi sekarang memang merupakan �pil pahit� yang harus ditelan agar perekonomian sedikit lebih sehat. Tapi coba kita tanya kepada mereka, negeri mana di dunia yang bisa membaik keadaan ekonominya jika mengikuti kebijakan ekonomi seperti diterapkan pemerintah sekarang?

Pengalaman rakyat di Afrika dan Amerika Latin adalah pelajaran berharga. Pada tahun 1980-an puluhan negeri di kedua wilayah itu jatuh dalam perangkap hutang dan terpaksa mengikuti kebijakan �mengencangkan ikat pinggang� seperti Indonesia sekarang. Dana kesejahteraan dipotong, subsidi untuk rakyat dikurangi, karena pemerintah harus menanggung hutang rezim-rezim sebelumnya, baik yang dibuat oleh swasta maupun pemerintah sendiri. Dan para pemimpin yang baru dengan dukungan para �pakar� selalu mengatakan hal yang sama: "Rakyat harus bersabar, keadaan sekarang memang sulit, tapi ini semua hanya berlangsung sebentar. Ekonomi akan segera membaik dan kita semua akan hidup sejahtera." Di bawah bimbingan IMF dan Bank dunia pemerintah di masing-masing negeri merumuskan �strategi pembangunan baru� yang disebut �program penyesuaian struktural� (structural adjustment program). Tapi apa yang terjadi kemudian? Semua negeri yang mengikuti kebijakan ekonomi itu masih hidup dalam jeratan hutang yang bahkan lebih besar dan standar hidup rakyatnya semakin buruk saja.

Sebenarnya istilah �pil pahit� itu sama sekali tidak tepat. Kebijakan �mengencangkan ikat pinggang� bukan hanya pahit rasanya, tapi juga membunuh. Kebijakan itu sama sekali bukan pil atau obat untuk menyembuhkan apapun. Para ahli ekonomi yang mendukung kebijakan itu mirip seperti dukun di zaman kuno yang bilang bahwa pengorbanan jiwa anak yang masih suci bisa membuat tanah lebih subur dan memanggil hujan. Tapi kita tahu pengorbanan jiwa tidak pernah membuat tanah subur dan membawa kemakmuran di zaman kuno, dan sekarang pun tidak. Dengan kata lain tidak ada kebijakan ekonomi yang membawa kemakmuran jika dimulai dengan penderitaan, apalagi kematian, bagi mayoritas rakyat.

Ada juga pemerintah dan ahli ekonomi yang menyadari kelemahan program ekonomi mereka, tapi kemudian berdalih dan mengatakan "kita tidak punya pilihan lain". Kata-kata itu mirip mantra yang terus diulang walau tak pernah terbukti ampuh. Apa yang mereka katakan itu sebenarnya bohong belaka. Tentu saja masih banyak alternatif bagi kita. Perekonomian itu bukan seperti organsme biologis yang mengikuti hukum-hukum alam. Perekonomian adalah buatan manusia, atau lebih tepatnya produk dari sebuah masyarakat. Dan karena itu kita bisa mengubahnya, dan jelas masih banyak pilihan yang tersedia bagi kita. Ucapan kaum elit dan para ahli bahwa kita tidak punya pilihan lain selain membuat rakyat semakin sengsara untuk �memetik hasilnya di masa datang�, hanya menunjukkan kebangkrutan mereka secara intelektual dan tidak adanya komitmen pada kepentingan bersama.

Sudah jelas bahwa kita tidak bisa berharap pada kaum elit untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi bangsa ini. Tak satupun partai politik di DPR yang punya rencana alternatif menghadapi krisis sekarang. Bahkan di tengah kesulitan seperti sekarang banyak pejabat yang masih tega mencuri dana anggaran untuk kepentingan pribadi. Tahun 2000 Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan bahwa 95% dana BLBI yang diambil dari anggaran pemerintah ternyata bocor dan menguap entah ke mana. Karena itulah kita, sebagai warga biasa, harus punya rencana sendiri. Jika kita punya rencana yang jelas, kita bisa menekan pemerintah untuk menjalankannya dan juga bertindak langsung sesuai kemampuan masing-masing.

1. Sita Kekayaan Soeharto dan Antek-anteknya

Kekayaan Soeharto sendiri diperkirakan mencapai sekitar US$40 milyar, sementara jika digabung dengan kekayaan anak, keluarga, dan antek-anteknya, mungkin jumlahnya setara dengan total hutang luar negeri Indonesia. Terlalu banyak saksi dan bukti bahwa harta itu umumnya diperoleh dengan cara-cara tidak sah, mulai dari merampas tanah petani dengan kekerasan sampai pada manipulasi kredit yang akhirnya menciptakan hutang luar negeri yang luar biasa besar. Para pengusaha sendiri mengeluh bahwa dalam setiap proyek yang diserahkan penanganannya pada swasta, mereka harus menghadapi pengusaha keluarga Cendana.

Setelah Soeharto mundur mulai dilakukan pemeriksaan terhadap keluarga Cendana dan antek-anteknya, tapi hanya terbatas pada kasus-kasus kecil seperti kasus Bambang Trihatmodjo, Tommy Soeharto dan Bob Hasan. Soeharto sendiri diperiksa karena dianggap menyalahi aturan yayasan yang dikelolanya, bukan karena menggelapkan uang negara milyaran rupiah sebagai presiden. Sudah jelas bahwa hasil pemeriksaan itu takkan dapat menjangkau harta keluarga itu dan antek-anteknya yang tersebar di seluruh dunia.

Pemerintah sebenarnya tidak perlu menunggu proses hukum dan pembuktian terlalu lama, karena sistem hukum memang dibuat sedemikian rupa pada masa kekuasaan Soeharto sehingga tidak mungkin dipakai untuk menangani kasus-kasus seperti itu. Lihat saja bagaimana para pengacara keluarga Soeharto �atas nama hukum� melakukan pembelaan dan bahkan memungkinkan Tommy Soeharto yang sudah divonis hukum penjara untuk melarikan diri. Hanya tindakan drastis dari pemerintah dengan menyita seluruh aset keluarga Cendana yang dapat menyelesaikan persoalan itu, dan disusul kemudian dengan proses hukum terhadap setiap individu yang terlibat di dalamnya.

Rakyat sementara itu sebenarnya sudah bergerak lebih dulu dengan menduduki dan mengambilalih sejumlah aset keluarga Soeharto dan antek-anteknya. Masalahnya aksi-aksi itu, seperti dalam kasus peternakan Tapos di Bogor, masih berlangsung sporadis dan spontan. Seharusnya ada kerjasama antara lembaga-lembaga yang selama ini mempelajari dan menelusuri masalah korupsi, baik dari pemerintah maupun LSM, dengan aksi-aksi rakyat yang diserukan mahasiswa dan sudah dijalankan oleh rakyat itu, menjadi sebuah gerakan sistematis dan non-kekerasan.

2. Hentikan Korupsi dan Adili Para Pelaku

Korupsi adalah masalah laten birokrasi negara selama puluhan tahun. Di masa Soeharto, korupsi merajalela dan warisannya terus dirasakan sampai sekarang. Arus reformasi yang konon bertujuan membersihkan birokrasi dari penyimpangan dan penyelewengan ternyata tidak berhasil. Dalam tahun anggaran 1999/2000 Badan Pemeriksa Keuangan menemukan 929 buah penyimpangan dengan nilai Rp 166 trilyun atau 71% dari total realisasi anggaran yang diperiksa. Kasus terbesar adalah penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI sebesar Rp 138 trilyun atau 95,78% dari keseluruhan dana yang disalurkan. Artinya kurang dari 5% dana yang sungguh-sungguh disalurkan sesuai dengan program kerja dan aturan yang berlaku. Selanjutnya masih ada kasus-kasus Yanatera Bulog, korupsi di yayasan-yayasan milik Markas Besar TNI dan Polri, serta komputerisasi administrasi SIM yang keseluruhannya mencapai Rp 5,2 trilyun.

Artinya sekitar dua pertiga dari pengeluaran negara telah diselewengkan, entah masuk ke kantong pribadi para pejabat, melunasi hutang dan mengatasi masalah-masalah yang ditinggalkan oleh rezim Orde Baru dan manipulasi lainnya. Saat ini proses pemeriksaan terhadap para pejabat yang melakukan kejahatan ini sangat lamban. Mereka yang terlibat dengan cepat bisa memindahkan uang yang dicuri ke bank-bank di luar negeri atau �menitipkannya� kepada rekening milik saudara dan kroninya. Gerak lambat pemerintah membuat mereka leluasa bergerak dan bahkan mengulangi kejahatan yang sama, seperti terbukti masih terus terjadi kebocoran dan penyimpangan sebanyak Rp 16,5 trilyun pada tahun anggaran selanjutnya. Sungguh mengenaskan bahwa jumlah sebanyak itu lenyap di tangan para birokrat sementara jutaan orang terpaksa hidup di bawah garis kemiskinan.

Adalah kewajiban tiap warga negara untuk memerangi korupsi dan karena pemerintah terlihat lambat kita perlu juga memikirkan tindakan-tindakan langsung untuk memerangi dan mencegahnya. BPK seharusnya mengumumkan daftar penyelewengan beserta nama departemen serta pejabat yang terlibat di dalamnya. Rakyat bisa langsung memberikan sanksi sosial seperti pengucilan dari pergaulan masyarakat, serta tuntutan terus-menerus agar para koruptor ini diadili. Jika pemerintah masih bersikap lamban, maka tidak ada salahnya jika dilakukan tindakan penyitaan aset yang jelas-jelas merupakan hasil korupsi, dan menjadikannya milik negara. DPR perlu didesak mengeluarkan undang-undang tentang hak warga negara melakukan penangkapan terhadap para koruptor, yang di negeri lain dikenal dengan sebutan �citizen arrest�. Tanpa tindakan drastis semacam itu korupsi tidak akan mungkin dihentikan. Para �pakar ekonomi� pasti akan berteriak panik: "Itu tindakan anarkis!" dan meminta pemerintah menghentikannya. Tapi bagi kita itulah jalan terakhir, sebagai pemilik negeri ini, untuk menghentikannya karena pemerintah, apalagi para �pakar ekonomi� itu tidak bisa memberikan jalan keluar yang cepat dan jelas.

3. Batalkan Hutang Luar Negeri

Jumlah hutang pemerintah kepada bank-bank asing sekarang sudah 92% dari GDP dan cicilan hutang setiap tahun menghabiskan 45% dari total pendapatan pemerintah. Hutang itu takkan mampu dibayar kembali oleh Indonesia, terutama karena jumlahnya semakin besar seiring dengan naiknya suku bunga. Tapi pemerintah terus berusaha untuk membayar setiap dolar walau itu berarti mengorbankan kepentingan rakyat. Menurut pemerintah dan para ahli, jika kita tidak membayar hutang itu maka International Monetary Fund (IMF) dan bank-bank asing tidak mau meminjamkan uang mereka. Para pejabat di lembaga-lembaga keuangan internasional itu akan menyebut Indonesia tak bisa dipercaya dan bahkan berkhianat terhadap norma-norma internasional. Para kapitalis internasional akan menyebut kita kriminal karena tidak mau membayar hutang. Lalu semua investor akan menarik modal mereka dan perekonomian semakin ambruk.

Ocehan seperti itu kita dengar setiap hari, tapi mari kita lihat apa fakta sesungguhnya. Sesungguhnya IMF dan bank-bank asing itulah yang kriminal karena memaksa pemerintah membayar kembali pinjaman yang dikucurkan pada masa kekuasaan rezim Soeharto. Para pejabatnya tahu persis bahwa pinjaman itu selalu bocor karena dicuri oleh para pejabat atau dialihkan kepada para kroni keluarga Soeharto untuk kepentingan mereka. Tapi setiap tahun lembaga-lembaga itu mengeluarkan laporan yang memuji kinerja ekonomi rezim Soeharto dan bahkan menggolongkannya sebagai salah satu �keajaiban Asia�. Dan selama puluhan tahun mereka terus memberi pinjaman kepada salah satu kediktatoran yang paling korup di dunia. Rakyat Indonesia tidak pernah diajak bicara ketika rezim Soeharto menerima pinjaman itu, apalagi ketika Soeharto dan antek-anteknya menghamburkan uang itu atau mencurinya dari kas negara. Tentu saja DPR saat itu tidak mungkin dijadikan ukuran, karena Golkar dan partai-partai tidak lain ikut menikmati banjir dana itu baik secara langsung atau �jalan belakang�.

Di bawah hukum internasional, hutang yang diberikan kepada pemerintah yang tidak mewakili rakyatnya disebut �odious debt� dan masyarakat yang hidup di bawah pemerintahan seperti itu tidak perlu membayar hutang itu kembali. Pemerintah Gus Dur sekarang berhak menolak membayar hutang itu kembali. Bank-bank swasta di Jepang, Eropa dan Amerika Serikat yang meminjamkan uang mereka kepada Soeharto tahu persis apa resikonya. Tidak ada hukum di bawah kapitalisme yang memberi hak kepada pemilik bank untuk menuntut balik pinjaman yang bermasalah dan penuh resiko. IMF dengan begitu melawan hukum pasar bebas dengan menuntut negeri seperti Indonesia untuk membayar kembali �odious debt�. Lembaga ini seperti centeng yang menjamin bank-bank swasta memperoleh kembali uang yang sebenarnya tidak berhak mereka dapat.

Jika IMF dan bank-bank asing ingin menuntut pemerintah Gus Dur ketika menggunakan haknya untuk menolak membayar hutang, mari kita bawa perselisihan itu ke pengadilan internasional. Pemerintah Indonesia bisa menang dalam kasus itu, dan justru IMF serta bank-bank asing yang selama bertahun-tahun mendukung kediktatoran Soeharto dengan meminjamkan uang mereka akan menghadapi badai kritik dari seluruh penjuru dunia. Banyak dari kita yang mungkin belum pernah mendengar gerakan internasional untuk menghapus hutang negeri-negeri Dunia Ketiga yang mirip situasinya dengan Indonesia dan berhadapan dengan IMF serta bank-bank di negeri industri maju. Opini publik internasional tentunya akan berada di pihak Indonesia karena semua orang tahu betapa korup dan brutalnya rezim Soeharto selama 32 tahun. Jika mereka mengkritik rezim Soeharto dan berpihak pada rakyat yang menjadi korbannya, tentu mereka tidak akan mendukung lembaga-lembaga yang mendukung rezim Soeharto secara finansial dan akan membuat rakyat Indonesia menjadi korban kesekian kalinya dengan menagih hutang warisan Soeharto.

Para ahli ekonomi pasti berteriak. "Tidak masuk akal! Kita akan hancur kalau menolak membayar hutang!" Itu tidak benar. Perekonomian tidak akan lebih parah dari sekarang jika hutang itu tidak dibayar. Justru kebijakan �mengencangkan ikat pinggang� itulah yang akan menghancurkan hidup kita. IMF sudah mendesak pemerintah agar segera memberlakukan kebijakan itu sebagai prasyarat untuk menerima pinjaman. Dana yang mereka kucurkan tidak membawa keuntungan apapun karena persyaratannya begitu berat. Dan lebih penting lagi tidak satu sen pun dari uang �pinjaman� itu akan sampai ke tangan rakyat. IMF akan mengirim �pinjaman� itu kepada Bank Indonesia, yang akan langsung menyetornya kembali ke bank-bank di Jepang, Eropa dan Amerika Serikat sebagai pelunasan hutang. Untuk �jasa� IMF meminjamkan uang kepada pemerintah agar bisa melunasi hutang-hutang lama Soeharto, kita dipaksa menerima kebijakan �mengencangkan ikat pinggang� itu. Sangat tidak masuk akal bahwa kita harus menderita karena membayar hutang yang tak pernah kita rasakan manfaatnya.

Mari kita lihat kenyataan secara jernih. IMF bukanlah �dewa penyelamat� yang prihatin terhadap ekonomi Indonesia. Lembaga itu dan bank-bank asing hanya mau mengeruk keuntungan dari kita. Dan tentunya, sebagai pemilik bank yang baik, mereka mau mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Mereka tidak tertarik pada perkembangan ekonomi Indonesia apalagi nasib rakyatnya. Karena itu kita harus menghimpun kekuatan untuk menentang kebijakan mereka yang merugikan. Kita tidak bisa bersikap mengikuti apa saja yang dikatakan IMF seperti yang dilakukan pemerintah Gus Dur sekarang. Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli sama saja, keduanya hanya mengekor kepada keinginan IMF. Bahkan Kwik Kian Gie mengatakan pencapaian terbesar semasa menjadi menteri adalah penandatanganan letter of intent dengan IMF - sebuah dokumen yang disusun oleh IMF sendiri! Dan ahli-ahli ekonomi sekarang bertindak seperti pengawas yang melihat apakah langkah-langkah pemerintah sudah cukup menyenangkan para pejabat IMF.

Jika kita mengatakan pemerintah harus melawan IMF dan bank-bank asing, para ahli ekonomi akan melecehkan: "Kalian mau membuat Indonesia terasing dari perdagangan dunia dan kembali ke zaman Soekarno. Itu tidak mungkin!"Anggapan mereka salah sama sekali. Kita tidak mengatakan agar Indonesia menolak semua pinjaman. Usul kita agar Indonesia punya posisi tawar yang lebih kuat di hadapan bank-bank asing dan lembaga keuangan internasional. Tujuannya agar Indonesia bisa menyuarakan kepentingannya sendiri bukan mengekor kepada kepentingan IMF atau bank asing, dan berhenti bersembah-jongkok melayani tuntutan kriminal lembaga-lembaga itu. Indonesia seharusnya terlibat dalam pergaulan internasional dengan aturannya sendiri, bukan dengan aturan-aturan yang ditetapkan para lintah darat di Washington, London atau Tokyo.

4. Hentikan Penjarahan Uang Rakyat untuk Bayar Hutang Swasta

Kejahatan Orde Baru masih berlangsung sekalipun Soeharto sudah turun tahta. Selama 32 tahun diperkirakan para pengusaha swasta membuat hutang US$57,7 milyar dan sekarang jumlah luar biasa besar itu akan dibebankan kepada rakyat. Caranya sederhana saja. Perusahaan yang punya hutang luar biasa besar itu mengaku bangkrut, lalu menyerahkan semua urusan hutangnya kepada pemerintah. Aset-aset perusahaan yang tidak seberapa nilainya diserahkan kepada pemerintah, dan urusan dianggap selesai. PT Chandra Asri punya hutang sebesar US$600 juta kepada Bank Marubeni dan Japan Bank for International Cooperation. Pemiliknya kemudian mengaku bangkrut, dan tidak bisa mengembalikan pinjaman. Ia mendatangi pemerintah dan menyerahkan aset yang jika nilainya tidak sampai 10% dari hutangnya. Begitu pula dengan bank-bank yang bangkrut karena para pengusaha yang meminjam uang kepada mereka tidak dapat membayarnya kembali. Ada yang mengaku terus terang, dan ada juga yang lari begitu saja.

Masalahnya tambah parah karena sebenarnya pemilik bank dan perusahaan itu sebenarnya dari lingkaran bisnis yang sama. Jadi prosesnya mirip sekali dengan kejahatan terencana. Para pengusaha, yang kebanyakan adalah kroni keluarga Cendana, membuka bank dan lembaga keuangan lainnya lalu mengajukan kredit kepada bank-bank asing. Dana yang dikucurkan kemudian mereka �pinjamkan� kepada para pengusaha kroni itu untuk dipakai apa saja. Ada yang menggunakannya untuk membuat usaha, tentunya dengan bantuan keluarga Soeharto, tapi ada juga yang mencurinya begitu saja untuk berfoya-foya. Waktu datang tagihan hutang, mereka tertawa saja, dan sekali lagi minta keluarga Soeharto turun tangan untuk �membereskan semua urusan�. Para direktur bank, terutama bank pemerintah, tidak berkutik dan akhirnya hanya bisa menyimpan kasus penyelewengan itu dalam lemari arsip. Tagihan pun membengkak dan akhirnya mencapai jumlah US$53,3 milyar.

Dengan alasan krisis pemerintah kemudian didesak oleh lembaga-lembaga keuangan internasional mengambilalih hutang itu. Salah satu cara adalah dengan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas menjadi tukang tadah perusahaan bangkrut dan aset-aset milik pengusaha swasta yang masih tersisa. Jelas bahwa nilainya tidak sama dengan jumlah uang yang mereka pinjam, dan seluruh beban itu akhirnya dibebankan kepada rakyat. Untuk membayar bunga hutang luar negeri itu saja pemerintah tahun 2001 ini akan mengeluarkan Rp 77,4 trilyun atau 26% dari total pengeluaran. Angka ini jauh melampaui misalnya dana untuk pendidikan yang hanya sebesar Rp 11,2 trilyun atau 3% dari total anggaran. Rupanya pemerintah merasa lebih penting menalangi hutang para kroni Orde Baru daripada membenahi sistem pendidikan yang porak-poranda.

Sejauh ini para pengamat dan �pakar� ekonomi tidak pernah mempersoalkan masalah ini, dan bahkan membungkusnya dengan konsep-konsep yang terdengar hebat seperti �restrukturisasi perbankan�, �penyehatan ekonomi� dan seterusnya. Tidak pernah terpikir dalam benak mereka bahwa seharusnya bank-bank asing yang meminjamkan uang mereka kepada para pengusaha swasta - yang mereka tahu persis tidak akan menggunakan uang pinjaman itu dengan baik - menagih sendiri hutang itu. Pemerintah sekarang, apalagi rakyat, tidak pernah terlibat dalam urusan hutang-piutang itu, dan karena itu tidak punya kewajiban apa pun untuk menanggungnya. Kita, sebagai warga biasa, punya hak untuk menuntut pemerintah menghentikan proses pengambilalihan hutang itu.

5. Hentikan Penjualan Aset Publik Kepada Perusahaan Multinasional

Pada tahun 1945 para pendiri republik menggariskan soal perekonomian Indonesia sebagai berikut:

"Pada dasarnya, perusahaan yang besar-besar yang menguasai hidup orang banyak, tempat beribu-ribu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, mestilah di bawah kekuasaan Pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan sosial, apabila baik-buruknya perusahaan itu serta nasib beribu-ribu orang yang bekerja di dalamnya diputuskan oleh berapa orang partikulir (swasta - ed) saja, yang berpedoman dengan keuntungan semata-mata".

Namun yang terjadi sekarang adalah kebalikannya. Semua perusahaan negara yang diperoleh dan dibangun susah-payah selama 20 tahun pertama kemerdekaan, dalam waktu singkat diambilalih oleh militer dan kemudian menjadi lahan korupsi, kolusi dan manipulasi, sehingga meninggalkan hutang luar biasa besar. Rezim Orde Baru menjadikannya tambang emas untuk memperkaya para pejabat, keluarga dan komplotan kroni di sekeliling mereka. Ketika krisis mulai melanda sekitar pertengahan tahun 1997, Soeharto pernah berkomentar bahwa, "kalau kita tidak bisa mendapat bantuan dari negara-negara lain, kita bisa menjual 160 BUMN yang dimiliki, untuk membayar hutang luar negeri." IMF pada saat itu memujinya, karena di belakangnya ada segerombolan investor yang siap menyergap aset-aset murah dari pemerintah serta seluruh jaringan usahanya yang dibangun selama bertahun-tahun. Kurang dari 24 jam setelah Soeharto menyampaikan pidatonya, Tanri Abeng yang waktu itu menjabat sebagai Menteri BUMN mengumumkan rencana pemerintah menjual 12 perusahaan negara untuk mendapatkan Rp 15 trilyun. Termasuk di antaranya perusahaan-perusahaan yang selama ini dikuasai oleh keluarga Soeharto dan menjadi sarang hutang. Dengan langkah itu ada dua hal yang dicapai: menutupi kekurangan dana untuk membayar hutang, dan sekaligus "memutihkan" hutang-hutang yang dibuat para pejabat BUMN itu sendiri.

Tindakan kriminal ini berlangsung terus sampai sekarang. Di tengah kepanikan mencari dana untuk membayar hutang yang semakin menumpuk, pemerintah menjual perusahaan dan milik publik kepada investor asing. Gagasan menjual perusahaan milik negara sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Soeharto yang ingin menyelamatkan diri dari jerat hutang. Sekitar 40% saham Telkom sudah dijual kepada George Soros, sementara PAM dijual kepada perusahaan Thames yang bermarkas di London. Di Jakarta puluhan gedung sudah berpindah tangan, begitu pula dengan bank-bank dan perusahaan jasa keuangan. Perusahaan kayu yang semula didominasi oleh birokrat dan pengusaha kroni Orde Baru sekarang diambilalih dan dilelang kepada perusahaan dari Jepang dan Kanada, tentunya setelah �memutihkan� semua hutang dan masalah yang mereka ciptakan. Di samping itu pemerintah juga gencar menjual saham-saham perusahaan negara, seperti PT Indosat, PT Aneka Tambang dan PT Timah ke bursa saham di Wall Street, New York. Di zaman Gus Dur, kebijakan pemerintah tidak bergeser jauh dari kebijakan itu. Kwik Kian Gie yang waktu itu menjabat sebagai Menko Ekuin, memaksa BPPN untuk mengobral aset-aset yang dikelolanya untuk memenuhi target setoran Rp 18,9 trilyun.

Akibat utama dari penjualan aset-aset milik negara ini adalah diserahkannya �hajat hidup orang banyak� kepada perusahaan asing. Perusahaan swasta yang mengambilalih aset-aset itu tidak segan mengurangi atau bahkan menghapus pelayanan dan produk yang dianggap tidak menguntungkan. Akibatnya pelayanan akan semakin mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat biasa. Di samping itu juga ada masalah manajemen dan buruh. Perusahaan negara biasanya dikenal boros karena memberi pekerjaan kepada puluhan ribu orang. Di mata perusahaan asing yang semata-mata memikirkan keuntungan, jumlah pegawai itu kadang dinilai tidak efisien, sehingga pengambilalihan senantiasa diikuti pemecatan massal terhadap puluhan ribu pegawai. Tapi sebaliknya perusahaan ini menarik keuntungan dari disiplin dan upah rendah yang ditetapkan dalam BUMN.

Penjualan perusahaan ini adalah langkah putus asas pemerintah untuk mendapatkan dana secepat sekaligus sebanyak mungkin. Tidak disadari bahwa perusahaan negara, betapa pun korup dan tidak efisiennya adalah milik rakyat serta dibuat untuk kepentingan publik. Para �pakar ekonomi� yang mendukung liberalisasi dan juga sebagian �demokrat� memuji langkah itu karena dianggap menyelesaikan masalah korupsi yang memang laten di BUMN dan perusahaan milik negara. Tidak dibayangkan bahwa perusahaan-perusahaan itu adalah modal utama bagi negeri ini untuk tumbuh sebagai perekonomian yang merdeka. Dengan penjualan besar-besaran seperti itu kita sebenarnya akan dilontarkan kembali ke zaman kolonial, di mana hampir seluruh penyelenggaraan kehidupan sosial-ekonomi ada di tangan asing.

Pemerintah sesungguhnya tidak bisa menjual perusahaan milik rakyat begitu saja. Seharusnya dilakukan reorganisasi perusahaan besar-besaran dengan memecat pimpinan yang korup, memberantas manipulasi yang merajalela. Caranya tidak lain dengan memperbesar kekuatan buruh dan pegawai dalam mengelola serta memiliki perusahaan tersebut. Masyarakat juga seharusnya terlibat dalam menentukan perkembangan perusahaan negara, dan dilibatkan melalui mekanisme tertentu. Kontrol secara langsung oleh rakyat harus diperkuat dan dilembagakan, sehingga kemungkinan penyelewengan diperkecil, dan akhirnya diberantas sama sekali.

6. Hentikan Penjarahan Sumber Daya Alam

Salah satu sebab yang membuat Indonesia miskin adalah keuntungan dari sumber daya alam yang tak ternilai - seperti minyak, emas dan nikel - selama ini dimonopoli oleh perusahaan multinasional dan antek-anteknya di dalam negeri. Pemerintah memberi izin kepada perusahaan asing untuk menggali minyak dan sumber mineral lainnya lalu menarik pembayaran bagi hasil. Kita tahu bahwa bagi hasil itu sangat kecil. Rezim Soeharto tidak pernah mengurus pajak bagi perusahaan asing itu dengan baik, karena para pejabatnya sudah mendapat banyak uang hasil sogokan. Para pejabat ini lebih sibuk mengisi kantongnya sendiri daripada mencari pemasukan bagi kas negara. Pemerintah juga tidak peduli jika perusahaan-perusahaan asing itu secara sistematis merusak lingkungan hidup, mencemari tanah dan air. Pemerintah tidak peduli jika perusahaan multinasional itu bekerjasama dengan aparatnya untuk mengusir penduduk dari tanah yang mau dijadikan pertambangan atau penebangan kayu. Dan semua orang tahu bahwa militer hanya menjadi penjaga bagi perusahaan-perusahaan itu, merampas tanah dari tangan rakyat dan menebar teror dan intimidasi jika rakyat berani memprotes.

Selama masa kekuasaan Soeharto, hutan menjadi sasaran utama. Setelah mengeluarkan UU Pokok Kehutanan tahun 1967, pendapatan dari sektor itu meningkat dari US$6 juta pada tahun 1966 menjadi US$574 juta pada tahun 1974, dan lima tahun kemudian Indonesia mengekspor kayu senilai US$2,1 milyar dan menjadi produsen kayu tropis terbesar di dunia dengan menguasai 41 persen dari pasaran dunia. Untuk menjalankan bisnis ini pemerintah mengeluarkan sekitar 600 izin kepada para pengusaha kroni yang bersekutu dengan perusahaan multinasional untuk menebangi hutan di seluruh Nusantara, terutama Sumatera dan Kalimantan. Sekarang pemerintah Indonesia, mengikuti nasehat IMF, mau mempromosikan perluasan ekspor minyak kelapa sawit. Akibatnya sudah jelas. Semakin banyak hutan di Sumatera dan Kalimantan yang akan dibabat karena perkebunan kelapa sawit perlu tanah luas, dan pemerintah terlibat langsung di dalam penghancuran sumber daya secara massal ini.

Pemerintah Indonesia harus segera menghentikan ini. Mereka harus menuntut pembayaran royalti lebih tinggi dan menghalangi perusahaan multinasional mengancam keselamatan rakyat yang tinggal di wilayah konsesi mereka. Pemerintah juga harus mengembangkan perusahaan domestik, publik maupun swasta yang mampu menggantikan posisi perusahaan multinasional tersebut, dan membuat perencanaan sistematis untuk menjaga kelangsungan lingkungan hidup dan rakyat yang hidup di dalamnya.

7. Tingkatkan Biaya Pendidikan dan Kesehatan

Menurut nasehat IMF dan Bank Dunia, salah satu langkah keluar dari krisis adalah dengan mengurangi pengeluaran pemerintah dalam bidang kesejahteraan. Alasan utamanya tidak lain agar pemerintah punya cukup uang untuk membayar kembali tumpukan hutangnya kepada bank-bank asing dan lembaga keuangan internasional. Tapi seperti biasa para �ahli� memberi komentar tambahan: kesejahteraan rakyat seharusnya diserahkan kepada swasta agar lebih efektif dan efisien. Secara keseluruhan langkah-langkah ini dikenal dengan sebutan program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Program), yang sejak tahun 1970-an menjadi senjata IMF dan Bank Dunia untuk menaklukkan perekonomian Dunia Ketiga. Lagi-lagi, sepintas lalu semuanya kedengaran bagus: pemerintah akan cukup uang untuk membayar hutang dan keluar dari krisis, sementara pelayanan kesejahteraan akan lebih efektif dan efisien karena ditangani swasta.

Ada dua hal yang tidak dijelaskan dalam argumen itu. Pertama, bahwa hutang luar negeri itu sesungguhnya takkan pernah sanggup dibayar. Menurut perhitungan, seluruh hutang itu akan mungkin dibayar jika seluruh penduduk Indonesia menyerahkan seluruh penghasilannya selama satu tahun penuh, berarti tidak makan maupun minum apa pun selama setahun penuh. Sesuatu yang takkan mungkin terjadi tentunya. Kedua, menyerahkan masalah kesejahteraan rakyat ke tangan swasta sama saja dengan meninggalkan tanggung jawab yang diamanatkan UUD 1945. Di satu sisi pelayanan boleh jadi akan lebih baik, tapi harga yang harus dibayar penduduk untuk mendapatkan pelayanan itu akan berlipat-lipat dari sebelumnya. Kenyataan itu sudah kita saksikan sekarang ketika uang sekolah semakin tak terjangkau, biaya rumah sakit yang menggila dan pelayanan dasar yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah semakin jauh saja dari tangan orang kebanyakan.

Di samping itu juga muncul pertanyaan, mengapa dana kesejahteraan rakyat yang harus dipotong? Mengapa bukan anggaran militer atau belanja pegawai yang berlebihan? Di sini kita lihat sisi busuk yang lain. Menurut IMF dan Bank Dunia, dengan dukungan para pakar dan lembaga konsultan dari seluruh penjuru dunia, Indonesia sekarang sedang berada dalam masa transisi, karena itu memerlukan pemerintah yang stabil dan militer yang kuat. Karena itu tak sekalipun mereka pernah menyarankan agar anggaran belanja pegawai dan barang pemerintah, terutama militer, yang mencapai Rp 51,8 trilyun atau 27,8% dari total anggaran itu dipotong. Negara-negara industri maju yang notabene terlibat dalam urusan hutang-piutang ini, seperti Amerika Serikat, Inggris dan Prancis, justru sedang memikirkan berbagai bentuk pinjaman dan hibah baru untuk militer Indonesia, yang nilainya berlipat-lipat jika dibandingkan �bantuan� untuk pendidikan atau kesehatan.

Akibat dari kebijakan pemerintah seperti itu sudah jelas. Jumlah murid SD yang putus sekolah meningkat drastis, dari 833.000 anak pada tahun 1997 menjadi 919.000 anak pada tahun 1998. Sementara itu di tingkat SLTP, jumlah putus sekolah meningkat dari 365.000 anak pada tahun 1997 menjadi 643.000 pada tahun berikutnya. Angka ini semakin membengkak seiring dengan jenjang pendidikannya, dan hasilnya sudah jelas: massa rakyat miskin dengan pendidikan rendah, dan segelintir elit yang berpendidikan tinggi. Sebuah situasi yang hanya mungkin dibandingkan dengan zaman kolonial. Dipotongnya biaya pendidikan membuat rakyat Indonesia semakin jauh dari ekonomi industri yang modern. Tanpa pendidikan, rakyat paling-paling hanya bisa jadi penonton, dan Indonesia akan menempati posisi yang sama seperti tiga ratus tahun terakhir ini: negeri penghasil produk pertanian dan bahan mentah bagi negeri industri maju. Seluruh ekonomi Indonesia dikerahkan bagi ekspor: menjual minyak bumi, minyak kelapa sawit, kopi, teh, emas, dan kayu.

Dalam konteks ini rezim Soeharto dan pemerintahan sekarang sebenarnya hanya melanjutkan apa yang dimulai oleh kolonialisme Belanda: perekonomian yang mengambil kekayaan alam dari pulau-pulau dan melemparnya ke pasar dunia. Indonesia lebih pandai menjual kekayaan alamnya daripada memproduki barang-barang kebutuhannya sendiri, dan bahkan harus mengimpor bahan makanan dasar seperti beras dan kacang hijau. Pendidikan sesungguhnya adalah salah satu tanggung jawab pemerintah yang paling dasar dan sangat penting sebagai dasar pembangunan ekonomi. Setiap tokoh yang mengusulkan sabotase terhadap sistem pendidikan nasional dengan mengurangi pengeluaran di bidang itu patut dianggap sebagai pengkhianat. Tingkat dan mutu pendidikan Indonesia sekarang ini adalah yang paling rendah di Asia, dan dengan pengurangan biaya lebih jauh akan membuat Indonesia menjadi yang paling buruk di dunia.

Bagi kita jalan keluar sudah jelas, pemerintah tidak boleh memotong anggaran kesejahteraan, terutama kesehatan dan pendidikan. Sebaliknya pemerintah harus meningkatkannya katakanlah mengikuti standar internasional. Pendidikan harus diberi prioritas dan kita harus menolak mengorbankannya hanya demi membayar hutang luar negeri yang diciptakan rezim Soeharto. Dalam hal ini kita tidak boleh takluk dan mengekor kepada tuntutan IMF dan Bank Dunia yang terus menekan pemerintah agar �menukar� sistem pendidikan nasional dengan �pertumbuhan ekonomi�. Salah satu dari sedikit harapan bagi Indonesia untuk memperbaiki dan memajukan ekonomi adalah dengan memperbaiki sistem pendidikannya.

Di samping itu, mengingat sistem kesejahteraan sosial yang sudah porak-poranda selama puluhan tahun, rakyat juga bisa mengambil inisiatif mengambialih pekerjaan-pekerjaan di lapangan, seperti membuka sekolah dan klinik rakyat di kampung-kampung dengan bantuan pemerintah. Sistem yang sudah porak-poranda itu tidak boleh dibiarkan hancur total karena kita akan perlu waktu berpuluh tahun untuk membangunnya kembali.

8. Produksi Untuk Pasar Dalam Negeri, Bukan Pasar Internasional

Menurut IMF dan para �pakar ekonomi�, jalan keluar bagi krisis sekarang adalah dengan meningkatkan ekspor. Indonesia, kata mereka, memerlukan dana segar dari luar negeri, karena itu segala sesuatu yang bisa diproduksi untuk pasar internasional harus mendapat prioritas. Hasilnya sudah tentu pemandangan yang aneh: sementara ribuan pabrik yang memproduksi segala jenis barang berdiri di wilayah-wilayah industri, jutaan orang Indonesia kekurangan barang. Industri nasional yang seyogianya melayani kepentingan publik akhirnya semata-mata menghasilkan barang untuk dijual ke luar negeri. Para �pakar ekonomi� pun beralasan, semua itu perlu untuk mendatangkan dana dari luar negeri yang nantinya bisa dipakai membangun kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Tapi kita tahu bahwa ratusan perusahaan yang sudah menikmati pajak rendah, upah buruh murah dan segala fasilitas pendukung dari pemerintah, hampir tidak pernah memberikan sumbangan apa pun bagi perekonomian nasional. Setelah mendapat keuntungan berlipat-lipat mereka bisa dengan cepat angkat kaki ke negeri lain yang memberikan fasilitas lebih baik, seperti Vietnam dan Tiongkok. Bukan karena alasan pajak atau buruh murah, tapi semata-mata karena di sana keuntungan berlipat-lipat sudah menanti.

Dan perlu diketahui bahwa bukan hanya barang yang diekspor melainkan juga tenaga kerja, terutama buruh perempuan. Ratusan ribu perempuan dikirim ke Malaysia, Hongkong, Arab Saudi dan negeri lainnya untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kisah-kisah mengenaskan setiap hari kita dengar karena pemerintah tidak memberikan perlindungan apa pun, kecuali disebut-sebut sebagai �pahlawan devisa� dalam pidato pejabat atau �pakar ekonomi�. Padahal mereka setiap tahunnya menghasilkan devisa sebesar US$ 9 juta, jauh melebihi sumbangan yang diberikan para konglomerat kepada republik. Tapi sementara para konglomerat mendapat perlindungan dan bermacam fasilitas, kaum buruh perempuan harus hidup dalam kondisi yang nyaris seperti budak, disiksa, diperkosa dan bahkan dibunuh oleh majikan mereka.

Sebenarnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mengikuti saran dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang sudah terbukti mencelakakan rakyat. Karena yang terjadi sekarang justru sebaliknya, sementara semua pabrik dan tempat produksi dikerahkan untuk ekspor, pasar di dalam negeri semakin terbuka bagi barang-barang impor. Karena ada kelonggaran pajak dan bermacam fasilitas lain, harga barang-barang ini juga bisa jauh lebih murah dari sebelumnya, dan karena ada mentalitas �asal impor� di kalangan konsumen, terutama kelas menengah, maka barang-barang tersebut merajalela menghancurkan produksi lokal. Akibatnya sudah jelas, semakin banyak produsen lokal, mulai dari perusahaan nasional sampai mbok bakul yang akan menderita karena produk-produk mereka kalah bersaing di pasar. Sementara para �pakar ekonomi� mungkin menyebutnya persaingan sehat, yang terjadi sebenarnya adalah prinsip �survival of the fittest� (hanya yang kuat yang mampu bertahan) dalam hukum rimba.

Prinsip seperti itu sekarang sudah menimbulkan ketergantungan luar biasa pada pasar internasional yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Indonesia dibuat menjadi tidak berdaya dan hanya menampung produk-produk luar (termasuk produk yang di negerinya dikategorikan �sampah�) untuk dikonsumsi. Akibatnya ratusan, mungkin ribuan usaha rakyat di berbagai bidang yang mati karena kalah bersaing, dan lagi-lagi ribuan orang terlempar ke jalan-jalan, sementara ratusan ribu anak-anaknya terlantar kesejahteraannya.

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi masalah ini. Rakyat sebenarnya bisa kembali memproduksi barang-barang kebutuhan dasarnya sendiri, melalui koperasi atau organisasi produksi yang dikelola secara demokratis dan berorientasi kerakyatan. Contoh sederhana adalah kebutuhan akan air minum. Saat ini ratusan ribu, mungkin jutaan orang, yang menggantungkan kebutuhan itu kepada perusahaan-perusahaan yang menjual air minum lebih mahal dari harga BBM. Hampir semua pengemudi terpaksa membeli karena fasilitas air bersih di perkotaan terbengkalai dan tidak pernah ada upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan semacam itu. Seandainya saja ada kelompok masyarakat yang mengorganisir diri untuk memenuhi kebutuhan itu dengan menyediakan air minum di terminal dan stasiun kereta, maka akan banyak keuntungan, baik bagi produsen maupun konsumen. Tentu saja para pedagang kaki lima yang selama ini mendapat pemasukan dari air minum itu perlu dilibatkan dalam organisasi tersebut, agar kegiatan kelompok masyarakat itu tidak mematikan usaha mereka.

Tentu saja masih banyak sekali ruang yang tersedia bagi rakyat untuk bekerjasama memproduksi barang kebutuhannya sendiri dengan harga lebih murah dan kualitas terjamin. Masalahnya selalu adalah kesulitan menghimpun orang untuk terlibat dalam kegiatan seperti itu. Sistem koperasi yang dibuat oleh Orde Baru jelas tidak memadai dan bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip koperasi. Karena itu rakyat perlu membangun organisasi dan sistem koperasinya sendiri, yang berorientasi pada kepentingan rakyat bukan kepentingan pengurus koperasi.

9. Sistem Pajak yang Adil

Sistem pajak di Indonesia sekarang sebenarnya sama sekali bukan sebuah sistem, karena amburadul. Korupsi terjadi di segala tingkat, mulai dari saat mengambil pajak dari masyarakat sampai memasukkannya ke kas negara. Aturan juga tidak jelas dan tumpang-tindih, dan sekarang ini pemerintah bersikeras mengenakan pajak pada apa pun yang nampak bisa menghasilkan uang. Dalam benak kita biasanya pajak dianggap urusan �orang kaya�, karena hanya mereka yang punya usaha dikenakan pajak. Anggapan itu salah, karena sesungguhnya kita, buruh, petani dan pegawai kecil secara langsung maupun tidak, juga ikut membayar pajak. Bahkan pemasukan terbesar bagi pemerintah dari pajak itu berasal dari rakyat kecil. Sementara pajak penghasilan menghasilkan Rp 41 trilyun pada tahun 1999/2000 atau 33% dari total pendapatan non-migas, maka pajak dari perusahaan ekspor dan impor yang kelihatan begitu megah dan sering disebut sebagai �pembayar pajak tertinggi� hanya menghasilkan Rp 5,5 trilyun atau 4,5% dari total pendapatan non-migas. Dalam APBN maupun APBD di tiap daerah jelas tertera bahwa pemerintah berniat menaikkan pajak dan retribusi. Akibatnya juga sudah jelas, harga-harga pelayanan publik mulai dari toilet umum sampai pemakaman akan berlipat-lipat, dan warga biasa yang jadi sasarannya.

Sistem pajak yang ada juga sangat tidak adil. Perhatikan misalnya cukai rokok yang sekarang sudah mencapai 40%. Angkanya memang sama, tapi biaya 40% itu jelas akan terasa lebih berat bagi orang miskin atau berpenghasilan rendah. Di atas kertas seolah-olah adil, karena sama-sama kena 40%, tapi dalam kenyataan yang satu membayar lebih banyak dari pada yang lain. Apalagi kalau kita hitung secara keseluruhan, maka boleh dibilang bahwa hampir seluruh pendapatan dari cukai itu berasal dari orang miskin atau berpenghasilan rendah. Dalam urusan tanah masalahnya juga sama. Seorang pemilik rumah, pegawai rendah di kantor swasta harus membayar PBB (pajak bumi dan bangunan) yang sama seperti seorang konglomerat. Boleh jadi secara nominal, artinya angka yang tertera pada peraturan itu sama, tapi tetap saja pajak itu jauh lebih berat dirasakan seorang pegawai kecil daripada konglomerat. Apalagi konglomerat punya seribu satu cara untuk menghindari pajak. Terus terang banyak orang meragukan apakah para pejabat Orde Baru yang menghuni kawasan Menteng selama puluhan tahun pernah membayar pajak bumi dan bangunan kepada pemerintah menurut aturan.

Aturan tentang pajak jelas harus diubah. Rakyat kecil yang jadi korban selama ini harus dibebaskan dari macam-macam pungutan dan sudah seyogianya para konglomerat yang mendapat bermacam-macam fasilitas bebas pajak, mulai dikenakan pajak lebih tinggi. Di berbagai negara sistem ini dikenal dengan pajak progresif, artinya semakin besar penghasilan seseorang maka semakin tinggi pula pajak yang dikenakan. Kalau yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah kebalikannya, semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar jumlah yang ia habiskan untuk membayar pajak. Sementara para konglomerat menikmati keuntungan berlipat-lipat karean aturan yang timpang itu.

Lagi-lagi para �pakar ekonomi� akan mencak-mencak, "itu ide gila, kita akan ditinggalkan oleh para investor dan ekonomi akan runtuh." Dan sekali lagi kita bisa tunjukkan bahwa pandangan merekalah yang tidak benar. Pertama, secara prinsip republik ini dibangun untuk menyenangkan hati - apalagi dijual kepada - para investor, melainkan untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Jadi masalah senang tidaknya investor seharusnya menjadi pertimbangan kesekian dalam membuat kebijakan ekonomi. Kedua, tidak ada bukti bahwa investor lari atau tidak mau masuk ke Indonesia karena pajak terlalu tinggi. Komitmen menurunkan segala macam hambatan bagi ekspor dan impor dibuat pemerintah Indonesia, khususnya Orde Baru, dalam berbagai forum internasional seperti APEC dan WTO yang sepenuhnya dikontrol oleh perusahaan multinasional. Tentu saja dalam merumuskan sistem pajak yang merugikan rakyat dan menguntungkan perusahaan seperti itu dibuat dengan tekanan terhadap negeri-negeri berkembang seperti Indonesia, termasuk ancaman bahwa modal internasional tidak akan masuk ke Indonesia.

Keputusan mengenai pajak dengan begitu bukanlah berdasarkan pertimbangan teknis ekonomi semata-mata, melainkan sebuah keputusan politik yang bertentangan dengan semangat republik ketika dibangun. Dan karena itu warga pun hak penuh untuk menuntut agar keputusan yang merugikan mereka itu diubah.

10. Tanah Bagi Penggarap

Selama Orde Baru berkuasa kebijakan tentang tanah dan pertanian mengikuti prinsip �pintu terbuka�. Gunawan Wiradi, seorang ahli pertanian dari Bogor, bahkan menilainya sebagai kebijakan �rumah terbuka� yang membuat Indonesia berantakan di segala bidang. Menurutnya, sejak zaman Orde Baru Indonesia sebenarnya sudah tidak merdeka lagi karena hampir semua cita-cita republik, terutama di bidang ekonomi, sudah ditinggalkan. Demikian pula dalam urusan tanah. Selama Orde Baru kita menyaksikan ratusan, atau bahkan ribuan kasus penggusuran di seluruh wilayah. Petani diusir dari tanahnya yang mau dijadikan perkebunan dan pabrik. Tanah digunakan untuk produksi tanaman ekspor, sementara untuk kebutuhan sehari-hari rakyat terpaksa harus melakukan impor. Tapi hasilnya adalah situasi di pedesaan justru semakin buruk produksi untuk ekspor itu hanya menghasilkan keuntungan bagi sedikit orang.

Sejak tahun 1998 dengan adanya perubahan politik kita melihat petani-petani di seluruh Nusantara melancarkan aksi pengambilan kembali tanah yang dirampas di zaman Orde Baru. Tindakan itu memang sepantasnya dilakukan, terutama terhadap tanah yang memang menjadi hak kaum tani dan tanah yang ditelantarkan oleh perusahaan raksasa setelah tidak lagi mendatangkan keuntungan. Aksi-aksi semacam ini sering dituduh tindakan kriminal oleh penguasa, dan perlu diberi pembelaan baik secara hukum maupun politik. Di bidang hukum perlu dilakukan pembelaan dan terus menuntut diberlakukannya kembali UUPA 1960 dengan revisi-revisi yang menguntungkan rakyat secara keseluruhan. Sementara di bidang politik semua organisasi atau kekuatan perlu mendorong terciptanya gerakan pembaruan agraria yang berbasis rakyat.

Di samping itu aksi pengambilan kembali tanah perlu disertai kegiatan produksi untuk menjamin kebutuhan dan kesejahteraan dasar dari rakyat penggarapnya, dengan membangun koperasi-koperasi produksi di tingkat lokal. Tentu saja tidak mengikuti sistem �koperasi� warisan Orde Baru yang hanya menguntungkan pejabat dan pengusaha yang berkolusi dengannya, tapi sistem koperasi yang dimiliki, dikelola rakyat dan berorientasi pada kepentingan rakyat. Koperasi semacam ini memungkinkan kaum tani, atau mayoritas penduduk Indonesia sekarang ini, menentukan dan mengembangkan kehidupan dengan prinsip �kemakmuran bersama�, dan tidak lagi dijajah oleh prinsip-prinsip �cari untung� yang selama ini berkuasa di Indonesia. Dalam hal ini kita perlu belajar dari pengalaman perjuangan kaum tani tak bertanah di Brasil yang berhasil membangun sistem koperasi, dan mengembangkan pertanian yang berbasis pada kepentingan rakyat. Dari usaha bersama di bidang pertanian, koperasi itu sudah meningkat menjadi produsen bibit tanaman, dan memasuki bidang-bidang lain seperti produksi pakaian, pengolahan susu dan lainnya.

11. Menciptakan Program Kerja Publik

Di negeri yang angka penganggurannya begitu tinggi, upah rendah dan fasilitas publik yang tidak memadai, sungguh masuk akal jika pemerintah membayar orang untuk mengembangkan infrastrukturnya. Kalau pemerintah memperbaiki jalan-jalan, jembatan, selokan, sekolah dan saluran air maka kehidupan rakyat juga akan meningkat. Terlebih lagi fasilitas publik semacam itu juga akan memberi jalan bagi perkembangan ekonomi di masa mendatang. Saat ini pemerintah bekerjasama dengan Bank Dunia menjalankan program Jaring Pengaman Sosial (JPS), yang menurut laporan lembaga-lembaga independen selalu mengalami kebocoran dan tidak dapat diandalkan. Masalahnya program itu selalu dilihat sebagai �proyek bagi-bagi duit� yang tidak ada manfaatnya bagi masyarakat karena tidak pernah dibicarakan apalagi diatur bersama-sama.

IMF sendiri melarang pemerintah membuat program kerja publik yang berukuran luas, dengan alasan bahwa pemerintah tidak punya uang dan tidak perlu menjadi kantor yang memberi pekerjaan kepada para pengangguran. Tapi nasehat seperti itu berangkat dari keyakinan buta akan keajaiban pasar bebas, bukan berdasarkan pengalaman sejarah yang nyata. Pemerintah perlu mengambil bagian dalam investasi fasilitas publik justru karena perusahaan swasta tidak bertanggungjawab pada investasi publik. Tentu saja jalan yang jelek, jembatan yang nyaris runtuh dan persediaan air yang kotor akan menghambat pertumbuhan perusahaan swasta. Ini adalah prinsip yang sangat sederhana dan mendasar yang diabaikan oleh IMF: bahwa sebuah perekonomian tidak mungkin diharapkan berkembang tanpa tingkat investasi publik dalam infrastruktur yang cukup.

Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah bekerjasama dengan Bank Dunia membuat program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang antara lain berusaha membuka lapangan kerja dengan merekrut rakyat bekerja di proyek-proyek �pembangunan�. Ratusan ribu orang direkrut dengan upah Rp 7.000/hari untuk membersihkan saluran air, memperbaiki kantor kelurahan dan pekerjaan-pekerjaan sejenis. Dan itu semua hanya berlangsung selama beberapa bulan sehingga banyak proyek dan pekerjaan yang sesungguhnya tidak selesai. Program itu juga gagal karena kebocoran di sana-sini, dan sebagian dana mengalir masuk ke kantong pejabat. Jelas bukan program seperti itu yang kita perlukan, karena hanya menambah beban utang, menciptakan kekecewaan di kalangan rakyat dan terbukti hanya menguntungkan pejabat yang tidak bertanggungjawab.

Dalam hal ini kita bisa mencontoh pengalaman Amerika Serikat. Setelah ada depresi pada tahun 1930-an pemerintah Roosevelt membuat Works Project Administration yang mempekerjakan sembilan juta buruh selama delapan tahun (1935-42). Tentu saja bukan program itu yang membawa Amerika keluar dari depresi, tapi setidaknya membuat orang miskin mampu bertahan dan hasil kerjanya masih dinikmati sampai sekarang. Indonesia bisa belajar dari pengalaman itu, dan mulai menuntut agar lembaga-lembaga keuangan internasional, yang ikut bertanggung jawab atas kehancuran ekonomi Indonesia sekarang menyediakan dana cukup bagi proyek-proyek pembangunan infrastruktur seperti itu. Di samping membangun kerangka yang cukup kuat untuk pemulihan ekonomi yang nyata dan berorientasi pada kepentingan rakyat secara keseluruhan, program itu juga bisa menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang yang menganggur.

Penutup

Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa pemerintah yang mengikuti nasehat-nasehat celaka dari IMF dan Bank Dunia tidak akan mampu menyelesaikan krisis di Indonesia. Justru sebaliknya hampir semua langkah yang diambil semakin menjerumuskan rakyat ke dalam kesengsaraan. Di tengah kebingungan dan kepanikan, rakyat perlu tampil dengan agenda yang jelas, dan mendesak pemerintah untuk memberlakukannya. Kebohongan doktrin �pasar bebas� yang disampaikan para �pakar� sudah waktunya dibongkar dan ditinggalkan. Tidak ada gunanya mendengarkan nasehat-nasehat yang akan mengorbankan rakyat banyak demi �pemulihan� yang belum jelas wujudnya. Sebaliknya rakyat dan terutama para aktivis politik tidak bisa berhenti pada jargon dan slogan. Tindakan nyata diperlukan, dimulai dari diskusi-diskusi dengan semua lapisan masyarakat tentang situasi sekarang dan apa yang seharusnya dilakukan. Pertemuan di tingkat kampung, mekanisme RT-RW yang selama Orde Baru dipakai untuk mengontrol, sudah waktunya diberdayakan dan menjadi basis perjuangan rakyat.

Krisis yang melanda Indonesia sekarang sudah sepatutnya menjadi saat bagi rakyat untuk memikir ulang apa yang sesungguhnya terjadi selama ini dan bagaimana melakukan perubahan demi kebaikan bersama. Setiap langkah yang disebutkan di atas perlu didiskusikan secara mendalam, baik dari segi ide maupun penjabarannya dalam kenyataan. Apa yang diuraikan di atas bukanlah obat mujarab yang siap pakai, tapi gagasan-gagasan yang perlu terus dibahas, diperbaiki dan dikembangkan menjadi agenda ekonomi rakyat yang dikenal dan didukung secara luas. Sudah waktunya bagi kita semua menyadari bahwa perubahan tidak datang dari atas, melainkan melalui tindakan-tindakan kecil yang berkembang menjadi langkah besar dan perubahan secara menyeluruh. Tanpa keterlibatan rakyat tidak ada harapan bagi Indonesia untuk berubah.

4 Februari 2001

Hosted by www.Geocities.ws

1