Laporan Dan Nasihat Sang Guru

Sritua Arief
(Asesmen Perburuhan, Bandung 1996)

 

Sejak lama saya telah mengambil posisi untuk tidak menerima begitu saja rekomendasi "Sang Guru" Bank Dunia/IMF dalam memformulasikan kebijaksanaan ekonomi nasional kita. Posisi ini selain didasarkan atas pengalaman yang telah diderita oleh negara-negara berkembang di Amerika Latin dan Afrika juga didasarkan atas pengalaman kita sendiri. Dampak pelaksanaan kebijaksanaan Bank Dunia/IMF yang telah menghancurkan ekonomi rakyat di Amerika Latin dan Afrika dapat dilihat dalam studi-studi Kay (1993); Ramirez (1993); Kopas (1995); Abugre (1993); dan Schatz (1994).

Ada dua aspek yang dikemukakan dalam tulisan ini. Aspek yang pertama ialah hasil penelaahan mengenai laporan Bank Dunia terbaru berjudul Indonesia: Dimensions of Growth yang baru beberapa hari yang lalu saya terima. Aspek yang kedua ialah tanggapan terhadap usul kebijaksanaan Bank Dunia yang baru-baru ini banyak mendapat reaksi. Aspek yang pertama dimaksudkan untuk melihat apakah Bank Dunia betul-betul memahami proses ekonomi Indonesia dan menghayati sukma atau denyut nadi ekonomi rakyat Indonesia. Sedangkan aspek yang kedua selain dimaksudkan untuk melihat dasar-dasar teoritis yang melandasi paket rekomendasi kebijaksanaan Bank Dunia juga mengandung beberapa pokok-pokok kebijaksanaan alternatif untuk penyehatan enonomi rakyat Indonesia.

Sewaktu saya membaca laporan Bank Dunia Indonesia: Dimensions of Growth, saya merasa kasihan kepada team Bank Dunia yang mempersiapkan laporan ini. Saya merasa kasihan kepada mereka, karena sebagai para tukang pembikin laporan, mereka tidak punya nuansa sedikitpun mengenai ekonomi rakyat Indonesia dan menerima begitu saja data sekunder yang mereka peroleh dari Biro Pusat Statistik tanpa membuat interpretasi yang kreatif mengenai data sekunder ini. Bobot profesionalnya sungguh rendah sekali.

Kalau kita teliti laporan Bank Dunia ini, maka kesan kita ialah everything is beautiful in Indonesia. Dilaporkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia khususnya di Asia Pasifik; cadangan devisa nasional meningkat tajam; kaum buruh adalah merupakan kelompok yang turut sangat menikmati hasil-hasil pertumbuhan ekonomi; penduduk yang pindah dari sektor pertanian memperoleh pekerjaan yang menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi di perkotaan; kendatipun pengangguran terselubung (underemployed) berada pada tingkat yang tinggi (kira-kira 38 persen) hal ini disebabkan oleh kemauan para buruh itu sendiri (voluntary under-employment) bukan lantaran lapangan kerja tidak tersedia; upah riil buruh meningkat setiap tahun (sebesar 5,9 persen per tahun dalam periode 1989-1994 dengan menggunakan indeks 1989 = 100); disparitas pendapatan regional per kapita semakin menyempit; persentase dan jumlah absolut penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan telah menurun dengan drastis (dengan menelan mentah-mentah indikator BPS); dan distribusi pendapatan berada pada tingkat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

Setelah tahun dasar atau harga konstant yang digunakan dirubah dari tahun 1983 menjadi tahun 1993 tingkat pertumbuhan Produk Domestik Brutto meningkat. Selama periode 1983-1993 dalam harga konstant 1983 tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto adalah sebesar rata-rata 5,9 persen per tahun. Dengan menggunakan harga konstant tahun 1993, tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto meningkat menjadi rata-rata7,5 persen per tahun selama penode 1993-1995. Khusus untuk tahun1994, tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto atas dasar harga tahun 1993 adalah sebesar 7,5 persen. Dan ini meningkat menjadi 8,1 persen pada tahun 1995. Tingkat pertumbuhan ini selalu dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya tanpa melakukan penyesuaian tahun dasar untuk negara-negara Asia lainnya ini. Seharusnya dicari basis persamaan untuk melakukan perbandingan. Misalnya dengan indikator Kravis atau indikator lainnya. Selain dari pada itu seharusnya sektor minyak bumi dan gas alam dikeluarkan dari perhitungan, oleh karena tidak semua negaranegara Asia ini mempunyai sektor minyak bumi dan gas alam.

Cadangan devisa nasional yang meningkat sebahagian besar adalah hasil pinjaman (borrowed reserve) bukan merupakan cadangan bebas yang dihasilkan oleh adanya surplus ekspor. Pada tahun fiskal 1995/96 cadangan devisa dilaporkan meningkat menjadi 16 milyar dollar Amerika. Dilaporkan terjadi peningkatan sebesar 2,7 milyar dollar Amerika dari posisi cadangan devisa sebelunmya yaitu sebesar 13,3 milyar dollar Amerika pada tahun fiskal 1994/95. Peningkatan sebesar 2,7 milyar dollar Amerika ini seluruhnya dibiayai dengan hutang luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan cadangan devisa nasional adalah merupakan sesuatu yang tidak perlu dibanggakan. Diproyeksikan oleh Bank Dunia bahwa cadangan devisa akan meningkat menjadi sebesar 18,5 milyar dollar Amenka pada tahun 1996, sebesar 21,4 milyar dollar Amerika pada tahun 1997, dan sebesar 24,6 milyar dollar Amerika pada tahun 1999. Tetapi peningkatan cadangan devisa ini tidak diiringi dengan peningkatan kemampuannya untuk mengimport. Cadangan devisa yang meningkat ini tetap hanya cukup untuk keperluan import selama 4,3 bulan. Defisit perkiraan berjalan juga diproyeksikan meningkat yang bermakna peningkatan komponen hutang dalam cadangan devisa nasional. Akhirnya likuiditas keuangan internasional kita menjadi sangat rapuh dan rawan. Defisit perkiraan berjalan diproyeksikan sebesar 8,8 milyar dollar Amerika pada tahun 1996, sebesar 10,7 milyar dollar Amerika pada tahun 1997, sebesar 11,7 milyar dollar Amerika pada tahun 1998, dan sebesar 11,4 milyar dollar Amerika pada tahun 1999.

Dilaporkan bahwa kaum buruh adalah merupakan kelompok yang turut sangat menikmati hasil-hasil pertumbuhan ekonomi. Ukurannya adalah meningkatnva upah riil buruh dalam unit-unit ekonomi formal. Dilaporkan bahwa selama penode 1989-1994 dengan indeks dasar tahun 1989 = 100, upah riil telah meningkat sebesar 5,9 persen per tahun. Indikator riil yang digunakan ialah indeks harga barang konsumsi. Indikator ini telah dianggap tidak tepat untuk mengukur upah riil. Ini didasarkan pada kenyataan terus berlangsungnya demonstrasi-demonstrasi buruh dalam periode ini sampai sekarang. Ukuran yang lebih tepat adalah Kebutuhan Fisik Minimum. Studi Chris Manning (1994) menunjukkan menurunnva tingkat upah riil buruh diukur dengan indeks Kebutuhan Fisik Minimum.

Betulkah penduduk yang pindah dari sektor pertanian ke daerah perkotaan memperoleh pekerjaan yang menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi? Tidakkah team pembuat laporan Bank Dunia mengetahui bahwa penduduk yang berpindah dari sektor pertanian ke kawasan perkotaan bukan disebabkan oleh adanya faktor tarikan (pull factor) tetapi disebabkan oleh tercampaknya mereka dari sektor pertanian oleh karena pendentaan hidup (push factor)? Urbanisasi di Indonesia sangat berbeda dengan urbanisasi di negara maju pada awal proses pembangunan di negara ini. Urbanisasi di Indonesia seperti juga di negara-negara berkembang di Amerika Latin dan Afrika adalah urbanisasi yang prematur. Penduduk yang berpindah dari sektor pertanian akibat terdesak disektor ini akhirnya mencari sesuap nasi di sektor informal dengan pendapatan yang sangat tidak stabil (lihat studi Mehmet, 1994 dan Tadjuddin Nur Effendi, 1995). Studi Umar Juoro (1995) menunjukkan merosotnya porsi upah dalam nilai tambah sektor industri.

Betulkah di Indonesia terjadi under-employment oleh karena kaum pekerja itu sendiri yang malas bekerja sehingga secara volunter tidak ingin bekerja penuh? Sungguh naif jikalau ada orang yang mengatakan bahwa di Indonesia terdapat voluntary under-employment atau voluntary unemployment. Berbagai jenis pekerjaan terutama di sektor informal dan di sektor pertanian tidak memungkinkan pekerja bekerja secara penuh sepanjang minggu. Para buruh tani disektor pertanian tidak mungkin bekerja penuh, karena kebanyakan mereka digunakan pada waktu persiapan penanaman dan pada waktu panen.

Dilaporkan bahwa disparitas pendapatan nasional per kapita dan konsumsi per kapita semakin menyempit. Kesimpulan ini diperoleh dengan menggunakan Produk Domestik Regional Bruto. Betulkah ini? Tulisan Mubyarto baru-baru ini (Kompas, 5 Juli 1996) menunjukkan bahwa disparitas pengeluaran konsumsi per kapita penduduk pedesaan antara Jawa dengan luar Jawa selama periode 1970-1993 semakin tinggi.

Penggunaan Produk Domestik Regional Bruto sungguh sangat menyesatkan. Ini sangat menyesatkan oleh karena nilai tambah pada akhimya sebahagian besar mengalir ke Jakarta, luar negeri dan ke tempat-tempat lain, bukan berada secara permanen di provinsi bersangkutan. Misalnya walaupun tingkat Produk Domestik Regional Bruto per kapita Bali berada pada tingkat yang relatif tinggi, tetapi nilai tambah yang berada di Bali secara permanen diketahui berada pada tingkat yang rendah. Ini disebabkan Bali hanya dijadikan sebagai lokasi sementara pembentukkan Produk Domestik Regional Bruto. Sudah lama diketahui dalam unit-unit usaha kecil di Bali seperti industri pakaian jadi, pertenunan, dan jasa-jasa perdagangan banyak dimiliki oleh pihak asing (Harian Nusa Tenggara, 18 Februari 1996). Orang-orang asing dengan berbagai cara memperkuli penduduk pribumi melalui kawin kontrak, penyalahgunaan visa kunjungan dan lain-lain. Demikian juga terjadi dengan industri perabot di Cirebon dan Jepara.

Bank Dunia mcnelan mentah-mentah perhitungan BPS mcngenai garis kemiskinan. Tidakkah diketahui oleh team pembuat laporan Bank Dunia bahwa ukuran ini sudah tidak dapat diterima secara ilmiah sekarang ini? Ukuran kuno ini dikemukakan oleh Dendekar dan Rath pada tahun 1971 di India, dan telah ditolak oleh karena tidak memperhitungkan unsur hutang dan secara matematis mclanggar aksioma penentuan indeks yang agregat (Iihat Sen, 1976 dan Chakravarty, 1984). Professor Sayogyo dalam diskusi Kompas tanggal 14 Juli 1995 yang lalu, mengemukakan suatu kritik tajam. Sayogyo menolak untuk menerima proposisi bahwa pengeluaran konsumsi yang diperoleh pada waktu survei dilakukan dijadikan dasar untuk memperoleh pengeluaran konsumsi tahunan dengan cara mengekstrapolasikannya. Para buruh tani dan petani gurem di pedesaan mengalami kehidupan yang tidak stabil sepanjang tahun. Pada waktu musim paceklik dan pekerjaan tidak ada, apakah mereka ini tetap terus mempunyai pengeluaran konsumsi yang sama tingginya dibandingkan dengan pada waktu yang relatif normal? Adalah sungguh mentertawakan, Bank Dunia mengemukakan pernyataan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia termasuk rendah dalam perbandingannya dengan ketimpangan distribusi pendapatan negara-negara lain di dunia. Apakah team pembuat laporan Bank Dunia tidak mengetahui bahwa koeffisien Gini di negara-negara ini dihitung berdasarkan pendapatan per kapita sedangkan di Indonesia berdasarkan pengeluaran konsumsi per kapita?

Dalam mengevaluasi rekomendasi kebijaksanaan Bank Dunia. perlulah terlebih dahulu keseluruhan paket rekomendasi kebijaksanaan Sang Guru ini kita ketahui secara jelas. Paket nasihat kebijaksanaan ini telah dititipkan oleh panguasa sistem kapitalisme Barat terutama Amerika Serikat untuk dilaksanakan di negara-negara berkembang untuk kepentingan sang penguasa ini (Kopas, 1995). Negara-negara berkembang yang goblok terus saja mengikuti dan melaksanakan paket kebijaksanaan ini. Korea Selatan, Taiwan dan Malaysia mengerahkan para ekonom dan pemikir pembangunan mereka sendiri untuk memformulasikan kebijaksanaan ekonomi dan pembangunan demi kepentingan rakyat banyak bukan demi kepentingan pihak asing dan para kompradornya di dalam negeri.

Ada dua bentuk paket kebijaksanaan yang telah direkomendasikan oleh kedua badan keuangan internasional ini. Paket kebijaksanaan yang pertama adalah paket kebijaksanaan yang dikenal sebagai Structural Adjustment Policy. Paket kebijaksanaan ini direkomendasikan pada waktu masalah neraca pembayaran mulai mengganggu posisi keuangan intemasional negara-negara berkembang. Paket kebijaksanaan yang kedua dikenal sebagai paket kebijaksanaan deregulasi direkomendasikan pada waktu negara-negara berkembang penghutang besar mulai menunjukkan gejala-gejala krisis hutang sebagai akibat likuiditas keuangan internasional mereka bertambah parah.

Paket kebijaksanaan yang pertama, terdiri dari lima komponen utama. Pertama ialah liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran sumber-sumber keuangan secara bebas. Kedua adalah devaluasi. Ketiga ialah pelaksanaan kebijaksanaan moneter dan fiskal di dalam negeri yang terdiri dari pembatasan kredit, pengenaan tingkat bunga yang relatif tinggi, penghapusan subsidi, peningkatan tarif pajak, dan peningkatan harga public utilities. Keempat ialah penekanan tuntutan kenaikan tingkat upah. Dan, komponen yang kelima adalah pemasukan investasi asing yang lebih lancar.

Paket kebijaksanaan ini ternyata gagal dalam memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang dihadapi negara-negara berkembang (termasuk Indonesia). Juga gagal dalam memecahkan persoalan neraca pembayaran. Studi-studi yang dilakukan Tony Killich dan kawan-kawan (1985), Ramirez (1993), dan Schatz (1994) menunjukkan situasi yang lebih kronis.

Paket kebijaksanaan penyesuaian struktural dan paket kebijaksanaan deregulasi dan privatisasi telah mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yang lebih merunyamkan negara-negara berkembang pada umumnya (termasuk Indonesia). Tetapi sebaliknya kepentingan pihak asing telah memperoleh pelayanan yang lebih baik melalui berbagai bentuk transaksi intemasional. Konsekuensi-konsekuensi ini menunjukkan situasi-situasi kronis yang lebih kelabu dalam likuiditas keuangan internasional sebagian besar negara berkembang (termasuk Indonesia), sehingga timbul kekhawatiran. negara-negara ini akan mengalami krisis hutang. Situasi yang lebih kronis ini adalah defisit perkiraan berjalan yang terus-menerus dalam neraca pembayaran: aliran masuk neto sumber-sumber keuangan luar negeri yang negatif di sektor pemerintah yang menunjukkan terjadinya net transfer yang bermakna nilai pembayaran cicilan dan bunga hutang luar negeri lebih besar dari nilai hutang baru yang masuk; ketidakmampuan tabungan nasional untuk membiayai kebutuhan investasi nasional atau adanya savings-investment gap; dan pelarian modal oleh kalangan domestik ke luar negeri dan penetrasi asing dalam ekonomi nasional (mengenai Indonesia lihat Sritua Arief, 1996).

Menghadapi situsi ini, kembali Sang Guru merekomendasikan paket kebijaksanaan, yaitu paket kebijaksanaan deregulasi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Paket ini terdiri dart empat komponen. Pertama, intervensi pemerintah harus dihilangkan atau dimimmumkan, karena dianggap telah menimbulkan distorsi pasar. Kedua, privatisasi yang seluas-luasnya dalam ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai negara. Ketiga, liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dan segala jenis proteksi harus dihilangkan. Keempat, memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas vang lebih luas dan longgar. Dominasi asing dalam pemilikan sosial unit-unit ekonomi, baik di sektor swasta maupun di sektor negara, harus diperkenankan. Paket kebijaksanaan deregulasi ini telah dan sedang dijalankan di Indonesia.

Paket rekomendasi kebijaksanaan Bank Dunia yang ingin disorot disini mencakup beberapa aspek. Pertama ialah pengurangan subsidi untuk tarif listrik dengan menaikkan harga bahan bakar minyak. Kedua ialah mengenai pengetatan kredit. Ketiga, ialah berkaitan dengan kebijaksanaan tingkat upah minimum. Dan terakhir ialah mengenai liberalisasi yang lebih luas bagi pemsukan investasi asing dan liberalisasi impor.

Pengurangan subsidi dan penaikan tarif listrik untuk tujuan menanggulangi inflasi adalah paradoksikal dengan kontraksi moneter. Disatu sisi ada upaya untuk menimbulkan situasi deflasi melalui kontraksi moneter tetapi disisi lain terjadi proses yang menimbulkan situasi inflasi yaitu melalui peningkatan harga public utilities. Apa yang terkandung didalam pemikiran Bank Dunia ialah tidak usah mensubsidi rakyatmu, lebih baik menggunakan uang subsidi itu untuk membayar hutang. Saya telah melakukan studi betapa di Indonesia seperti juga di negara-negara berkembang lainnya, peranan faktor fiskal sangat menentukan pertumbuhan ekonomi (lihat Sritua Arief, 1995). Pengujian model ekonometris jang saya formulasikan telah saya lakukan mencakup penode 1969-1993 setelah mengkoreksi masalah cointegration dan penggunaan Farley-Hinich Test untuk mendeteksi kestabilannya. Penemuan menunjukkan bahwa faktor moneter sangat tidak signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekononi Indonesia. Penjumlahan koeffisien Beta untuk faktor fiskal adalah signifikan positif sebesar 0,8652 sedangkan faktor moneter adalah negatif sebesar 0,3611. Penemuan ini telah menyapu bersih penemuan staff Bank Dunia yang juga mengemukakan model yang secara kaidah ekonometris salah.

Subsidi yang terkandung dalam harga public utilities adalah dimaksudkan untuk menjadikan kebijaksanaan fiskal sebagai salah satu instrumen pemerataan sosial (instrument for social equity). Efisiensi allokatif yang statis (static allocative efficiency) haruslah tidak mengorbankan efisiensi distributif jikalau kita sungguh-sungguh dan jujur untuk mencapai perkembangan ekonomi yang berdimensi sosial. Dalam hal ini, Bank Dunia menganjurkan kebijaksanaan fiskal yang didasarkan atas effsiensi allokatif yang statis, bukan didasarkan atas effsiensi sosial yang bertujuan pemerataan (distributional efficiency).

Pemikiran monetarist dalam penanggulangan inflasi jelas dianut oleh Bank Dunia. Kebijaksanaan kontraksi moneter dianjurkan dengan keyakinan bahwa inflasi terjadi disebabkan pertumbuhan jumlah uang yang beredar jauh melebihi pertumbuhan permintaan akan uang. Faktor penyebab inflasi adalah kelebihan permintaan (excess demand) dalam hubungannya dengan penawaran barang dan jasa dalam ekonomi. Apakah ada excess demand dalam ekonomi Indonesia? Saya anjurkan team Bank Dunia menguasai teori ekonomi sebelum membuat laporan. Betulkah inflasi di Indonesia disebabkan oleh faktor moneter? Saya telah menguji hipotesa monetarist ini mencakup periode 1969-1993. Tiga model telah diuji yaitu model Meiselman, model Andersen-Karnosky, dan model kausalitas jang diformulasikan oleh Hsiao. Hasil-hasil pengujian ini ditunjukkan dalam tabel.

Model Meilselman adalah:

P = a + bM + cY,

Dimana
P = tingkat inflasi tahunan,
M = tingkat pertumbuhan tahunan jumlah uang yang beredar, dan
Y = tingkat pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto riil.

Model Andersen-Kamosky adalah:

Ln P = a + b Ln(M) + c Ln M(t-1) + d Ln M(t-2) + e Ln M(t-3).

Ln P adalah perubahan log tingkat inflasi, sedangakan Ln M dan seterusnya adalah perubahan log perubahan jumlah uang yang beredar berdasarkan tahun selang waktu belakang. Model Kausalitas Hsiao telah dihitung untuk mendeteksi kausalitas antara perubahan jumlah uang yang beredar dengan tingkat inflasi demikian juga sebaliknya dengan menggunakan konsep final prediction error (FPE) yang telah diformulasikan oleh Akaike.

Hasil-hasil pengujian seluruh model ini menunjukkan tidak terdapatnya hubungan kausal antara tingkat pertumbuhan jumlah uang yang beredar dengan tingkat inflasi. Implikasi kebijaksanaan hasil-hasil penemuan ini ialah bahwa kebijaksanaan penanggulangan inflasi di Indonesia tidak dapat didasarkan atas adanya monetary causation. Ada faktor-faktor lain yang lebih menentukan yaitu proses formasi harga dalam pasar yang tidak sempurna (monopolis dan oligopolistik), kebijaksanaan fiskal yang bersifat kontraktif tetapi menimbulkan kenaikan biaya produksi, dan ketegaran-ketegaran harga (price rigidines) yang berkaitan dengan produk-produk tertentu yang banyak memerlukan perbelanjaan.

PENGUJIAN MODEL-MODEL MONETARIST, 1996-1993

Model Meiselman

 

Koeffien Regessor

 

Konstant

M

Y

2,2559

0,1873

0,8192

(0,4212)

(1,2877)

(0,8376)

R = 0,2360

Model Andersen-Karnosky

   

Koeffien Regessor

   

Konstant

LnM(t)

LnM(t-1)

LnM(t-2)

LnM(t-3)

-0,0338

0,7804

0,0610

-0,3038

-0,2863

(-0,1494)

(1,0013)

(0,0927)

(-0,5388)

(-0,5212)

R = 0,0750

Angka-angka dalam kurung adalah t-statistik

Model Kausalitas Hsiao

FPE Untuk Tingkat Inflasi

 

FPE Untuk M

 

Langkah Pertama

6,8327

Langkah Pertama

1,6084

Langkah Kedua

33,3620

Langkah Kedua

5,3635

Bank Dunia tidak menyukai kenaikan upah minimum. Sang Guru ini menasihatkan agar penentuan tingkat upah buruh didasarkan atas mekanisme pasar. Nasihat ini betul-betul tidak manusiawi. Dalam suatu negara yang mempunya labour surplus dan mengandung kepincangan-kepincangan struktural seperti Indonesia, kaum buruh tidak punya posisi tawar mengenai penentuan tingkat upahnya. Optimalisasi Pareto bcrdasarkan mckanisme pasar sudah pasti tidak akan terjadi.

Kebijaksanaan yang lebih liberal dalam pemasukkan investasi asing dan liberalisasi import yang semakin intensif dalam rangka pelaksanaan ideologi pasar bebas yang dimotori Amerika Scrikat, sungguh akan merunyamkan ekonomi rakyat Indonesia. Situasi ini jelas terlihat dari angka-angka yang diproyeksikan oleh Bank Dunia dalam laporannya. Nilai arus masuk investasi asing diproyeksikan meningkat dari 2.5 milyar dollar Amerika pada tahun fiskal 1994 menjadi 8,4 milyar dollar Amerika pada tahun fiskal 1996, sebesar 9,1 milyar dollar Amerika pada tahun fiskal 1997 dan sebesar 10,5 milyar dollar Amerika pada tahun 1998. Seiring dengan ini, seperti telah dikemukakan sebelumnya. defisit perkiraan berjalan juga diproyeksikan meningkat tajam. Proyeksi ini menunjukkan arus masuk investasi asing tidak akan memecahkan masalah neraca pembayaran, tetapi malah justru memperparahnya. Repatriasi keuntungan investor asing yang pasti akan juga melonjak adalah komponen utama yang akan memperparah defisit perkiraan berjalan.

Indonesia akan terjebak dalam apa yang disebut Perangkap Lipsey yaitu semakin banyak arus masuk investasi asing dan hutang luar negeri akan memperparah defisit perkiraan transaksi berjalan.

Diproyeksikan juga oleh Bank Dunia bahwa nilai net transfer sumber-sumber keuangan dari Indonesia ke pihak-pihak kreditor luar negeri akan bertambah tinggi. Diproyeksikan bahwa nilai net transfer ini yang mencakup hutang jangka menengah dan jangka panjang sektor pemerintah dan sektor swasta meningkat dari sebesar 2,6 milyar dollar Amerika pada tahun fiskal 1994 menjadi 3 milyar dollar Amerika pada tahun fiskal 1996, sebesar 3,4 milyar dollar Amerika pada tahun fiskal 1997, dan sebesar 3,7 milyar dollar Amerika pada tahun fiskal 1998. Proyeksi ini didasarkan atas nilai hutang luar negeri sektor pemerintah yang sudah ditetapkan nilainya oleh Bank Dunia melalui interaksi Bank Dunia dengan calon pemasok barang dan konsultan asing. Adalah sungguh menyesatkan dan membohongi masyarakat Indonesia, kalau ada pejabat Indonesia yang menyatakan bahwa nilai pinjaman itu diusulkan oleh Indonesia setelah melakukan studi-studi yang mendalam.

Sementara itu juga diproycksikan bahwa ekonomi Indonesia terus tidak akan mampu mempersempit saving investment gap. Situsi ini memang disengaja untuk ditimbulkan oleh Bank Dunia agar ketergantungan pembiayaan kepada pihak asing terus berlangsung. Situasi ini sengaja ditimbulkan melalui liberalisasi impor dan liberalisasi arus masuk investasi asing. Diproyeksikan oleh Bank Dunia bahwa saving-investment gap dalam persentase dari Produk Domestik Bruto berdasarkan harga yang sedang berjalan akan meningkat dari -1,8 persen pada tahun fiskal 1992 menjadi sebesar -2,4 persen pada tahun fiskal 1994, sebesar -3,6 persen pada tahun fiskal 1995, sebesar -5,3 persen pada tahun 1996 dan sebesar -6,8 persen pada tahun fiskal 1997. Ini bermakna bahwa komponen konsumsi jauh lebih tinggi dari komponen investasi dalam komposisi Produk Domestik Bruto. Dan komponen konsumsi ini secara signifikan banyak terdiri dari elemen import baik langsung maupun tidak langsung. Akhir dari permainan ini adalah bahwa Indonesia kembali menjadi pemasok yang setia surplus ekonomi kepada pihak asing seperti pada zaman kolonialisme Belanda. Dan penanggung biaya sosial yang terbesar dari neokolonialisme ekonomi ini adalah rakyat Indonesia yang menggantungkan hidup mereka dalam ekonomi rakyat.

Pernyataan-pernyataan pokok mengenai paket kebijaksanaan alternatif dapat dikemukakan sebagai berikut. Peringanan dan penjadwalan pembayaran hutang luar negeri hendaklah secara kreatif dan berani kita peroleh. Elite kekuasaan harus dapat secara rasional membuang perasaan gengsi dalam hal ini. Komponen-komponen pokok dalam Produk Domestik Bruto terutama konsumsi dm investasi hendaklah dipengaruhi melalui agregat investment management dengan intervensi pemerintah yang jujur, tegas dan nondiskriminatif. Pendekatan Bank Dunia yaitu melalui aggregate demand management berdasarkan mekanisme pasar harus kita tinggalkan. Prioritas investasi dalam kerangka pengelolaan investasi agregat hendaklah bertumpu pada produksi barang-barang keperluan rakyat banyak (wage-goods) dengan penyertaan luas aktor-aktor ekonomi rakyat. Produksi barang-barang yang disebut "oligarchical goods" untuk keperluan konsumsi mewah hendaklah diminimumkan. Ini bermakna bahwa kebijaksanaan moneter yang kontraktif hendaklah tidak disubordinasikan terhadap kepentingan-kepentingan yang secara sosial lebih utama. Keperluan kredit untuk pengembangan industri-industri rakyat yang diprioritaskan harus terus dilayani. Pengaturan penggunaan devisa hendaklah dilaksanakan seperti yang dilakukan Korea Selatan, Taiwan, dan Malaysia misalnya. Rejim devisa bebas bukan berarti penggunaan devisa nasional hendaklah dikembalikan seluruhnya kepada Bank Indonesia. Untuk mencegah manipulasi devisa, sistem back-to-back letter of credit (L/C) agar dihapuskan.

Rasionalisasi industri mutlak dilakukan agar program industrialisasi tidak mengandung pendalaman import yang lebih intensif dan meluas. Secara sistematis, kreatif dan tegas, program industrialisasi hendaklah dikombalikan untuk menjadikan sektor pertanian akan memperbanyak golongan proletariat di pedesaan dan di perkotaan yang akan menimbulkan kerawanan sosial yang eksplosif. Kesepakatan Putaran Uruguay bukan berarti kita dengan rela meletakkan batang leher kita dicincang orang asing. Proteksi untuk produk-produk industri rakyat harus dengan berani dan kreatif kita pertahankan. Dalam rangka melindungi ekonomi rakyat, operasi konglomerat dari hulu sampai hilir hendaklah secara tegas dan nondiskriminatif dilarang.

Investasi asing hendaklah dikenakan ketentuan-ketentuan agar marginalisasi kekuatan ekonomi dalam negeri dapat dicegah. Ujung dari seluruh komponen paket kebijaksanaan ini ialah menjadikan pasaran dalam negeri sebagai penentu arah pembangunan dan rakyat di negeri ini tidak menjadi budak di negerinya sendiri.

Hosted by www.Geocities.ws

1