Pembangunan Tanpa Utang: Utang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia

Sri Edi Swasono & Sritua Arief
Republika, 15 Desember 1999

 

Bagi bangsa Indonesia pernyataan kemerdekaan 1945 adalah suatu ''Manifesto Politik''. Dari situ kita bertekad ''berdaulat di dalam kehidupan politik, berdikari di dalam kehidupan ekonomi dan berkepribadian di dalam kehidupan budaya''. Namun, dalam perjalanan sejarah nasional kita, tekad politik itu sering mengendor atau bahkan dikorbankan.

Seperti halnya Indonesia, negara-negara berkembang non-komunis pada umumnya, belum terlepas dari jebakan sejarah masa lampaunya. Mereka masih menyandang ciri-ciri sebagai berikut: (1) Masa lalunya berada dalam kekuasaan kolonialisme dan feodalisme. (2) Setelah mencapai kemerdekaan politis, negara-negara ini kembali berada dalam kekuasaan kolonialisme dan feodalisme dalam bentuk barunya yaitu neocolonialism dan neofeodalism.

Kedua bentuk kolonialisme dan feodalisme baru ini merevitalisasi basic-instinct yang dikandungnya masing-masing, yaitu secara permanen mengidap niat eksploitatif (conquer, control and exploit), dengan cara lebih halus dan canggih. Basic-instinct itu harus kita waspadai dengan baik. Demikian pula terhadap Indonesia.

Penguasaan surplus ekonomi oleh pihak asing dan kompradornya di Indonesia terhadap strata bawah dalam struktur sosial dan konstelasi ekonomi, bukanlah sesuatu yang mengada-ada. ''Kolonialisme baru'' yang bertopeng globalisasi dan globalisme dengan turbo-kapitalis asing sebagai aktor utama merupakan suatu kenyataan hidup (a living reality). Ini terjadi melalui proses pengembangan industri, baik industri substitusi impor maupun industri promosi ekspor. Indonesia kembali menjadi tempat yang empuk bagi penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing. Pasar bebas menjadi berhala baru yang secara absurd dianggap sebagai pendekar omniscient dan omnipotent, padahal pasar bebas hanyalah sekadar instrumen ekonomi kaum globalis (Swasono, SE., 1997; 1999) untuk memanfaatkan kelemahan struktural dalam perekonomian negara-negara berkembang. Penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing dapat ditunjukkan dengan angka-angka berikut ini.

Data neraca pembayaran menunjukkan bahwa selama periode 1973-1990 nilai kumulatif arus masuk investasi asing sebesar US$ 5775 juta telah diiringi dengan nilai kumulatif keuntungan investasi asing yang direpatriasi ke luar negeri sebesar US$ 58839 juta (IMF, Balance of Payments Year Book, berbagai tahun). Ini berarti setiap US$ 1 investasi asing yang masuk telah diikuti dengan US$ 10,19 financial resources yang keluar (Sritua Arief, 1993). Kendatipun perbandingan antara penanaman investasi asing langsung dengan keuntungan yang diangkut dari Indonesia sedikit menurun sesudah tahun 1990, akan tetapi ini telah diikuti dengan meningkatnya investasi portfolio sehingga repatriasi keuntungan pihak asing yang diangkut dari Indonesia tetap menjadi penyebab utama defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran. Misalnya investasi asing langsung pada tahun 1994/95, 1995/96 dan 1996/97 adalah masing-masing besarnya US$ 2,6 miliar, US$ 5,4 miliar dan US$ 6,5 miliar. Sedangkan investasi portfolio pada tahun-tahun ini adalah US$ 2,3 miliar, US$ 3,3 miliar dan US$ 3,1 miliar. Investasi portfolio menimbulkan makin intensifnya keterlibatan pihak asing dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi di Indonesia.

Seperti telah dinyatakan di atas, keuntungan investasi asing yang direpatriasi adalah penyebab utama defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran. Data menunjukkan bahwa selama periode 1978/79-1995/96 nilai kumulatif defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran ini adalah sebesar US$ 43,4 miliar. Nilai ini telah bertambah dalam periode 1978/79-1998/99 menjadi US$ 58,4 miliar.

Jadi bertambah sebesar US$ 15 miliar. Perlu dinyatakan di sini bahwa defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran Indonesia diukur dalam persentase dari Product Domestic Bruto (PDB) telah bertambah besar dari -1,6% pada tahun 1995/96 menjadi -2,7% pada tahun 1998/99.

Sebagai ilustrasi, baiklah di sini dikemukakan bagaimana defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran ini ditutup atau dibiayai.

Indonesia: Sumber Dan Pemakaian Modal Asing

1996/97 -- 1999/2000

(dalam miliar US$)

 

96/97

97/98

98/99

99/2000

  • Sumber Investasi Asing Langsung

6,5

6,7

7,6

8,5

  • Modal Swasta Lainnya Hutang Luar Neger Pemerintah

6,2

6,0

6,0

5,9

  • (Jangka Menengah & Panjang)

5,4

5,6

5,2

5,0

Jumlah

18,1

18,3

18,8

19,4

  • Penggunaan Membiayai Defisit Perkiraan Berjalan

8,1

10,1

11,5

12,2

  • Cicilan Pokok Hutang Luar Negeri

6,1

5,9

5,0

4,8

  • Penambahan Cadangan Devisa

3,9

2,3

2,3

2,4

Jumlah

18,1

18,3

18,8

19,4

Sumber: World Bank (1997)

Ciri-ciri bentuk sumber dan pemakaian modal asing (investasi asing plus utang luar negeri) ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

  1. Perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran (disebabkan posisi yang defisit ini) jelas tidak memberikan sumbangan terhadap pemupukan cadangan devisa.
  2. Akibatnya, cadangan devisa tidak seluruhnya merupakan komponen cadangan yang bebas (free reserve) sehingga terpaksa harus ditambah dengan komponen pinjaman (borrowed reserved) yang bisa menjadi dominan.
  3. Oleh karena secara konseptual jumlah total neraca pembayaran haruslah selalu dalam posisi keseimbangan, ini bermakna penambahan cadangan devisa akan berbentuk pinjaman luar negeri. Dan pinjaman luar negeri ini ditimbulkan oleh pelarian modal. Pembiayaan pelarian modal dengan menggunakan utang luar negeri bermakna kita menimbulkan berakumulasinya harta-harta pribadi di luar negeri atas biaya rakyat Indonesia (tidak termasuk pihak-pihak yang melakukan pelarian modal).

Selama periode 1970-1980 telah diperkirakan adanya pelarian modal sebesar US$ 9,4 miliar, selama periode 1988-1991 pelarian modal telah ditaksir sebesar US$ 11,17 miliar, dan selama periode 1996-1997 pelarian modal telah diperkirakan sebesar US$ 11,7 miliar (Mubarik Ahmad, 1993 dan Sritua Arief, 1997). Telah dilaporkan bahwa sejak Juli 1997 (pada waktu krisis moneter berlangsung) hingga sekarang sebanyak kira-kira US$ 80 miliar devisa telah dilarikan ke luar negeri (Prasentiantono, 1999).

Utang luar negeri Indonesia tetap terus bertambah dari tahun ke tahun. Sampai akhir tahun 1998 utang luar negeri (pemerintah dan swasta) bernilai sebesar US$ 130 miliar yang merupakan 162,7% dari Produk Domestik Bruto Indonesia. Pada pertengahan tahun 1999, nilai utang luar negeri ini bertambah menjadi US$ 146 miliar sedangkan Produk Domestik Bruto Indonesia menurun. Ini artinya dalam presentase dari Produk Domestik Bruto, utang luar negeri bertambah. Apa maknanya ini? Maknanya adalah pendapatan per kapita rakyat Indonesia (tidak termasuk para ''penyamun'' ekonomi) sebagai penanggung beban utang ini sudah berada di bawah nilai utang ini.

Indonesia saat ini mengalami situasi apa yang disebut Fisher Paradox dalam hubungannya dengan utang luar negerinya, yaitu situasi semakin banyak cicilan utang luar negeri dilakukan semakin besar akumulasi utang luar negerinya. Ini disebabkan cicilan plus bunga utang luar negeri secara substansial dibiayai oleh utang baru. Oleh karena nilai cicilan plus bunga utang luar negeri lebih besar dari nilai utang baru, maka terjadilah apa yang disebut net transfer sumber-sumber keuangan dari Indonesia ke pihak-pihak kreditor asing. Situasi Fisher Paradox dapat ditunjukkan misalnya dengan membandingkan nilai kumulatif pertambahan utang luar negeri sektor Pemerintah (jangka menengah dan panjang).

Perlunya kewaspadaan terhadap utang luar negeri telah pula dikemukakan a.l. oleh Krauss (1983) tentang ''Development Without Aid''. Pinjaman luar negeri meningkatkan intervensi-intervensi negara-negara donor maupun negara-negara penerima bantuan, yang merusak prinsip-prinsip ekonomi, dengan mengabaikan keunggulan-keunggulan komparatif di negara-negara penerima bantuan. Lebih lanjut pandangan Krauss ini sejalan dengan banyak pendapat umum bahwa luar negeri tidak terlepas dari ''skenario Barat'' untuk mempertahankan negara-negara terbelakang tetap dalam posisi ''status-quo in dependency'' (Swasono, S.E., 1998). Dengan demikian dapat diperoleh jastifikasi dari pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa marginal-benefit dari utang luar negeri bisa lebih kecil dari marginal-costnya, akibatnya sumbangan utang luar negeri terhadap GDP negatif (Kariawan, H, 1996).

Selama periode 1980-1993, sektor Pemerintah di Indonesia telah melakukan pembayaran cicilan utang luar negeri sebesar US$ 41,4 miliar. Sementara itu, selama periode yang sama, sektor Pemerintah telah menambah utang luar negerinya sebesar US$ 69,4 miliar (World Bank, 1994). Dilaporkan bahwa sampai April 1999, utang luar negeri sektor Pemerintah telah meningkat menjadi US$ 77,7 miliar. Ini secara implisit mengandung pengertian yang disebutkan di atas yaitu makin banyak cicilan utang luar negeri makin besar nilai utang luar negeri yang menumpuk.

Nilai net transfer ke luar negeri yang dilakukan sektor Pemerintah selama periode 1985-1993 misalnya adalah sebesar US$ 7,8 miliar dan selama periode 1994-1998 diperkirakan sebesar US$ 19 miliar (World Bank, 1994 dan World Bank, 1997).

Ada beberapa butir lagi yang perlu dikemukakan di sini berkaitan dengan utang luar negeri, sebagai berikut: Oleh karena utang luar negeri banyak bersifat apa yang disebut project loan dan/atau program loan, yaitu utang ini adalah dalam bentuk barang dan jasa-jasa dari negara pemberi utang, hal ini mengakibatkan bahwa Indonesia tidak bisa mengetahui nilai sebenarnya dari barang-barang yang diutangkan, demikian juga jasa-jasa yang diberikan. Terjadi suatu perbuatan overpricing atas barang-barang plus jasa-jasa yang diperlukan untuk pinjaman proyek yang dibebankan kepada rakyat Indonesia. Ichizo Miyamoto telah mengemukakan studi meliputi periode 1967-1969 yang menunjukkan nilai nominal pinjaman proyek dari pihak asing berada 25 persen di atas nilai riilnya (Sritua Arief dan Adi Sasono, 1981). Baru-baru ini hal yang sama telah diungkapkan oleh Jeffrey Winter (1999) yang memperkirakan 30 persen hingga 33 persen pinjaman proyek dari Bank Dunia merupakan hasil perbuatan yang sengaja meninggikan nilai pinjaman sehingga nilai nominal berada 30 persen hingga 33 persen di atas nilai riilnya.

Butir yang kedua adalah berkaitan dengan konposisi pinjaman. Pinjaman yang diberikan oleh pihak asing, misalnya pinjaman dari Asian Development Bank sebesar US$ 1,5 miliar pada tahun 1998, sebagian besar (yaitu US$ 1,4 miliar) adalah untuk membiayai impor (yaitu barang plus jasa) dan sebanyak US$ 100 juta untuk lainnya. Keadaan yang sama berlaku juga untuk pinjaman dari IMF. Ini bermakna utang yang kita pinjam kembali sebagian besar manfaatnya untuk pihak asing melalui impor yang pada ronde-ronde berikutnya akan memperparah defisit perkiraan berjalan dalan neraca pembayaran.

Butir terakhir yang perlu kita kemukakan adalah suatu keadaan di mana makin banyak kita mencicil utang luar negeri yang kita terima, makin besar akumulasi utang luar negeri yang kita tanggung. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, ini terjadi oleh karena kita membayar utang lama plus bunganya dengan utang baru. Dan utang baru yang kita terima ini lebih kecil dari utang lama yang dicicil plus bunganya. Angka-angkanya telah dikemukakan sebelumnya.

Dalam pengertian dialektik hubungan ekonomi antaraktor ekonomi, pemasok utang luar negeri dan investor asing menjadi lebih berkuasa dalam memeras rakyat Indonesia, terutama yang berada di strata bawah dalam masyarakat Indonesia. Jelas ini menunjukkan bahwa Indonesia dan rakyatnya akan kembali menjadi koloni asing. Dan utang luar negeri yang menumpuk telah berubah sifatnya dari perangkap menjadi bumerang (Sritua Arief, 1999).Bumerang dalam pengertian mempermiskin Indonesia dan rakyatnya.

Dikemukakan garis-garis besar implikasi kebijaksanaan penemuan yang dikemukakan di atas.

Pertama, pembayaran utang luar negeri pemerintah harus dimintakan untuk diperingan atau dikurangi secara drastis diikuti dengan penjadwalan pembayaran sisanya. Ini harus dilakukan agar pengeluaran pemerintah dimungkinkan untuk mendukung bidang-bidang pemberdayaan ekonomi rakyat. Jan Tinbergen telah pula menegaskan (1991) bahwa utang negara-negara terbelakang yang mencapai US$ 1 triliun (seluruh GDP mereka hanya US$ 3 triliun) harus diselesaikan dengan menyisihkan minimal 0,7% GDP negara-negara donor, atau samasekali menyelesaikannya sekali saja dengan menyisihkan 2% GDP negara-negara donor dalam tenggang waktu tertentu. Ini demi kepentingan negara-negara donor sendiri.

Kedua, menolak penggunaan dana negara atau dana masyarakat untuk membayar utang-utang perusahaan-perusahaan swasta. Untuk mencegah jatuhnya perusahaan-perusahaan swasta ini ke pihak asing, maka Indonesia sebagai negara berdaulat harus dapat membuat peraturan-peraturan yang restriktif. Apalagi dipercayai bahwa banyak dari utang-utang ini dijamin oleh dana-dana yang diparkir di luar negeri.

Ketiga, meninjau kembali sistem pembiayaan pembangunan sehingga ketergantungan kepada pihak asing diminimumkan. Dalam hal ini bentuk pinjaman dan besar pinjaman dari pihak asing hendaklah kita tentukan sedemikian rupa sehingga kita tidak dikelabui.

Seluruh implikasi kebijaksanaan ini dilaksanakan atas landasan orientasi kemandirian. Yang dimaksud dengan kemandirian di sini ialah terciptanya situasi di mana suatu negara mempunyai utang luar negeri yang minimum, impor yang minimum dan pendapatan nasional sebagian besar berasal dari aktor-aktor ekonomi dalam negeri dan dialirkan kembali ke dalam negeri. Dengan demikian pembangunan nasional akan lebih merupakan pembangunan Indonesia, bukan sekadar di Indonesia (Swasono, SE., 1981; 1998).

Permintaan efektif atau daya-beli rakyat di dalam negeri harus menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Ini bermakna bahwa strategi pembangunan pertumbuhan melalui pemerataan atau pertumbuhan dengan pemerataan yang berorientasi ke dalam negeri. Bung Hatta memberikan patokan-patokan bagi utang luar negeri (Tracee Baru,Universitas Indonesia, 1967), yaitu bahwa setiap utang luar negeri harus secara langsung dikaitkan dengan semangat self-help dan self-reliance, di samping bunga harus rendah.

Strategi pembangunan yang berorientasi ke dalam negeri harus tecermin dalam program industrialisasi yang menggunakan bahan-bahan mentah dan faktor produksi dalam negeri. Program industrialisasi berlandaskan daerah lokal harus ditopang dengan bahan-bahan mentah dan faktor produksi yang terdapat di berbagai daerah lokal di seluruh negara. Dengan demikian perekonomian akan berakar di dalam negeri, nilai tambah ekonomi akan tercipta di dalam negeri dan dinikmati aktor-aktor ekonomi di dalam negeri, yang selanjutnya akan memperkokoh daya-beli dan pasar dalam-negeri.

Oleh karena sebagian besar bahan-bahan mentah akan berasal dari sektor pertanian, maka sektor pertanian adalah merupakan induk pembangunan. Ini berarti membina keterkaitan sektor pertanian dengan sektor industri dan sektor-sektor lain dalam ekonomi. Sektor pertanian juga dikembangkan dengan pola skala kecil dan menengah dengan penyertaan banyak orang. Keterkaitan yang dibina secara jelas dan tegas antara sektor industri dan sektor pertanian di mana sektor industri yang memproduksi ribuan macam barang-barang konsumsi rakyat dengan menggunakan bahan-bahan mentah pertanian dan masing-masing sektor ini melibatkan banyak orang dalam proses produksinya, adalah merupakan proses pembinaan daya-beli rakyat di dalam negeri. Tentu saja ini harus dibarengi dengan suatu penataan kelembagaan yang tepat sehingga nilai tukar (terms of trade) antara kedua sektor ini berada dalam situasi yang adil. Aktor-aktor ekonomi yang beroperasi sebagai tengkulak, calo, rentenir, pengijon dan lain-lain harus dibersihkan. Perlu dikemukakan di sini bahwa skala kecil dan menengah dalam sektor industri dan pertanian adalah skala kecil dan menengah dengan produktivitas buruh yang tinggi.

Penggunaan bahan mentah dan faktor produksi dalam negeri secara massive, akan mengurangi keperluan impor. Keperluan impor yang sedikit mengakibatkan keperluan utang yang sedikit oleh karena selisih di antara impor dengan ekspor menjadi kecil. Atau tidak ada sama sekali setelah memperhitungkan jasa-jasa. Pertumbuhan ekonomi domestik selain daripada menimbulkan persediaan barang kebutuhan pokok rakyat yang cukup, pada tahap berikutnya (dalam jangka menengah) menimbulkan kelebihan (surplus) untuk diekspor. Jadi jelas di sini kita menjadikan pasaran dalam negeri sebagai pangkal dan pasaran ekspor sebagai ujung seperti yang selalu dikemukakan oleh Bung Hatta: ''Jangan jadikan ujung jadi pangkal'' (Hatta, 1946).

Pendapatan nasional yang sebagian besar berasal dari pembayaran-pembayaran akibat hubungan ekonomi didalam negeri haruslah merupakan sasaran perencanaan nasional supaya suatu negara itu tidak terlampau diombang-ambingkan oleh ketidakstabilan ekonomi internasional apalagi spekulasi atau permainan aktor-aktor ekonomi internasional. Indonesia mempunyai potensi untuk dapat melaksanakan ini dan mencapai sasarannya. Penguasaan asing dalam pemilikan sosial unit-unit ekonomi di dalam negeri apalagi unit-unit ekonomi kecil dan menengah harus dicegah.

Pembangunan ekonomi tanpa utang adalah pembangunan yang berprinsip kemandirian nasional, tidak harus diartikan secara harfiah utang yang samasekali nol. Pembangunan tanpa utang lebih merupakan proses perubahan substansial untuk melepaskan keterjebakan utang, dari dependensi menuju self-sufficiency dan independensi. Tidak ada utang luar negeri yang bebas ikatan dan kepentingan, sehingga utang luar negeri pada dasarnya dapat diibaratkan sebagai ''madu beracun''.

Implikasi tekad kemandirian ini dari segi pembiayaan pembangunan mengundang enam tantangan:

  1. Utang luar negeri harus secepatnya diposisikan kembali hanya sebagai pelengkap dan bersifat sementara seperti dulu ditetapkan waktu menyusun Repelita I dan Repelita II.
  2. Hutang luar negeri harus segera dijadwal ulang dengan keinginan bunga dan pokok melalui global diplomacy and cooperation.
  3. Utang luar negeri harus dikaitkan secara langsung dengan semangat self-help dan self-reliance dengan bunga rendah, menghindari sindroma ''madu beracun'' (Fisher Paradox).
  4. Pembiayaan pembangunan dari sumber-sumber di dalam negeri berupa deficit financing plus obligasi negara yang dijual kepada rakyat. Deficit financing dengan mencetak uang tidak perlu dikhawatirkan apabila diikuti secara langsung dengan kegiatan-kegiatan produktif di sektor riil sehingga inflasi yang tidak terkontrol dapat dicegah terutama akibat pengaruh uang yang beredar.
  5. Meningkatkan penerimaan dalam negeri dari sektor perpajakan. Pajak merupakan insentif produksi dan disinsentif konsumsi mewah. Basis pajak perlu diperluas dan sistem pajak ultra progresif dikenakan terhadap kekayaan/pemilikan barang-barang mewah.
  6. Merestruktur pola industri nasional ke arah resource-based industry dengan ketergantungan minimal dari komponen luar negeri dan meningkatkan secara maksimal penggunaan komponen dalam negeri menuju self-reliance. Dengan sekaligus melaksanakan restrukturisasi industri nasional secara mapan (baik meliputi restrukturisasi ekonomis, institusi maupun managemen), maka perekonomian nasional akan berakar di dalam negeri dan sekaligus pula akan dapat memperkukuh fundamental ekonomi nasional.
  7. Investasi luar negeri harus diterima secara lebih selektif, on our own terms, sehingga rakyat dapat ikut berpartisipasi secara emansipatif dalam pembangunan dan menerima nilai-tambah ekonomi secara optimal.
  8. Pengawasan efektif lalu lintas devisa untuk menghindarkan capital flight secara spekulatif.
  9. Pemberantasan KKN untuk menyumbat kebocoran-kebocoran dana dan menghindari high-cost economy.

Hosted by www.Geocities.ws

1