Cerita dari Manokwari Irian Jaya Barat

Franky Yenno bersama sebagian kecil karyanya

Franky Yenno bersama sebagian kecil karyanya.

 

Franky Yenno berfoto di hadapan relief buatannya yang berjudul: Tarian Perdamaian

"Peace Dancing" carved by West Papuan artist, Franky Yenno

 

Profil seniman yang lain:

 

Ester Kereway, Profil Perempuan Papua yang Mandiri.

 

Pelukis Papua Lucky Kaikatui

 

Beranda | Indeks | Buku TamuKontak | Foto

 

Franky Yenno Dan Ukiran Tarian Perdamaian

 

Oleh: Charles Roring (e-mail)

 

 

Matahari hampir terbenam di barat ketika saya dan Lucky Kaikatui, seorang seniman Papua, tiba di rumah Franky Yenno. Penampilan rumahnya tidak banyak berubah sejak saya kunjungi dua tahun yang lalu. Rumah itu terletak di kawasan Sanggeng, beberapa meter dari Gereja Katolik Imanuel Manokwari, ibu kota Provinsi Irian Jaya Barat. Ada ruangan kecil di bagian depan. Di situ, Franky memajang semua karya-karya seninya. Kali ini ia tidak mengenal saya lagi. Waktu itu saya datang sebagai seorang pelancong. Tapi sekarang, sebagai temannya Lucky. Tidak lama kemudian Lucky memperkenalkan saya padanya. Selanjutnya sambil bercakap-cakap dengan dia, saya mulai memotret artworks tersebut dengan kamera digital yang baterainya hampir habis.

Ya, saya pernah mengunjunginya dua tahun yang lalu. Pada waktu itu saya membeli sebuah piring kayu dengan relief burung Cendrawasih yang dipahat di dalamnya. Di samping itu, saya juga membeli selembar kain batik khas Papua yang dibuatnya sendiri. Saya agak kaget karena mengetahui bahwa ketrampilan khusus ini hanya dimiliki sejumlah kecil perempuan Jawa di Jogja atau Pekalongan. Dua tahun kemudian baru saya dapatkan jawabannya.

Bagi saya, Franky adalah seniman ukir yang rajin berkarya. Kebanyakan buah tangannya, seperti halnya seniman-seniman Papua lain, bercerita tentang kehidupan sehari-hari orang Papua, rumah mereka, dewa (Karwar – yang disimbolkan oleh relief burung Cendrawasih), dan upacara-upacara adat. Ukiran diletakkannya di lantai sedangkan lukisan digantungnya di dinding yang terbuat dari kulit kayu. Mirip dengan orang-orang Aborigin, seniman Papua Barat tidak menggunakan kanvas melainkan bark. Permukaan kulit pohon yang kasar tersebut adalah media yang ideal untuk melukis.

Salah satu benda seni yang banyak menarik perhatian saya adalah relief yang dibuat di papan berukuran besar. Setelah menikmatinya beberapa saat, saya mulai mengajukan beberapa pertanyaan padanya.

“Pak, ini namanya apa?”

“Itu tarian perdamaian,” jawabnya sambil melipat tangannya di dadanya yang telanjang dan berbulu.

“Apa Bapak bisa menceritakan latar belakang tarian ini?”

“Tentu, seperti yang kamu ketahui, orang-orang Papua terdiri dari ratusan suku. Terkadang mereka hidup berdampingan secara damai tetapi seringkali mereka berperang satu sama lain. Perang suku tersebut harus diselesaikan menggunakan Hukum Adat (Customary Law). Ketika persetujuan perdamaian telah tercapai, mereka akan merayakannya melalui sejumlah upacara. Salah satu diantaranya adalah Barapen (Bakar Batu) dan Tarian Perdamaian. Di sini, sambil bergandengan tangan mereka berdansa berkeliling-keliling seperti gerakan seekor ular. Jadi suku-suku yang sebelumnya bertempur sekarang berdansa bersama sebagai saudara-saudari.

Konflik antar suku-suku Papua masih saja terjadi hingga hari ini, disamping konflik dengan pemerintah pusat-Indonesia,” potong saya.

“Kami sungguh-sungguh ingin perdamaian. Oleh karena, itu saya menciptakan karya seni ini untuk mengingatkan orang-orang kita bahwa kami memerlukan suasana damai untuk membangun tanah kita dan untuk hidup berdampingan dengan orang-orang Indonesia lainnya secara sejajar.”

“Wow, itu bagus sekali,” komentar saya. “Berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan ukiran ini?”

“Saya perlu waktu satu setengah bulan.”

“Kayunya jenis apa?”

“Relief ini terbuat dari kayu Lingua.”

“Apa Bapak punya aktivitas lain di samping membuat ukir-ukiran?”

“Saya suka menanam anggrek. Pekerjaan itu banyak menolong saya dalam mencari nafkah, ketika saya tidak bisa menjual banyak karya seni. Kamu tahu, saya perlu uang untuk menghidupi keluarga saya.”

“Saya beli batik Papua dari Bapak dua tahun yang lalu. Bagaimana Bapak belajar membuat batik?”

“Nah, sama dengan Lucky, saya pergi ke Jakarta, Jogja, dan Bali. Di sana saya belajar seni, mencoba menyerap sebanyak mungkin pengetahuan dari seniman-seniman yang berpengalaman, termasuk bagaimana membuat batik.”

 

Saya telah mengunjungi banyak seniman Papua. Kebanyakan dari mereka menemui masalah yang sama. Mereka tidak bisa menjual karya seni mereka dengan mudah. Kasihan, mereka masih terisolasi dari dunia luar. Pemerintah daerah belum mampu menciptakan sebuah website khusus untuk mempromosikan seniman-seniman berbakat ini ke seluruh dunia.

Saya ingat komentar Alfred Russel Wallace, seorang naturalis Inggris – teman dekat Charles Darwin, bersama-sama mereka membangun teori evolusi. Dalam bukunya The Malay Archipelago, ia menulis; orang-orang Papua Barat adalah seniman-seniman yang briliant. Sayang sekali, mereka masih tetap terisolir dari dunia luar di era internet seperti sekarang ini.

 

 

Hosted by www.Geocities.ws

1