بسم الله الرحمن الرحيم
ISTIHADLAH Oleh : Ummu Ishaq Al
Atsariyah [ MUSLIMAH Edisi 41/1423 H/2002 M Rubrik Kajian Kita ] |
TA’RIF Di kalangan wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji-nya
di luar kebiasaan bulanan dan bukan karena sebab kelahiran. Darah ini diistilahkan darah istihadlah. Al Imam An Nawawi rahimahullah
dalam Syarah-nya terhadap Shahih Muslim mengatakan :
“Istihadlah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita bukan pada waktunya
dan keluarnya dari urat.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi
4/17. Lihat pula Fathul Al
Imam Al Qurthubi rahimahullah mensifatkannya dengan darah segar yang di luar kebiasaan seorang wanita disebabkan urat
yang terputus (Lihat Jami’ li Ahkamil Qur’an 3/57) As
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah memberikan definisi
istihadlah dengan darah yang terus menerus keluar dari seorang wanita dan tidak terputus selama-lamanya atau terputus sehari dua hari
dalam sebulan. Dalil keadaan yang pertama (darahnya tidak terputus
selama-lamanya) dibawakan Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya dari hadits
Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata : “Berkata
Fathimah bintu Abi Hubaisy kepada Rasulullah Shallallahu ' Adapun
dalil keadaan kedua adalah hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallahu 'anha
ketika dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ' “Aku
pernah ditimpa istihadlah (darah yang keluar) sangat banyak dan deras… .” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkannya.
Dinukilkan dari Al Imam Ahmad akan penshahihan beliau
terhadap hadits ini dan dari Al Imam Al Bukhari penghasanannya) (Lihat
Kitab Asy Syaikh Al Utsaimin rahimahullah : Risalah
fid Dima’ith Thabi’iyyah Lin Nisa’ halaman 40) ANTARA DARAH HAID DAN DARAH ISTIHADLAH Ketika
Rasulullah Shallallahu ' “Yang demikian hanyalah satu gangguan/dorongan
dari setan.” Atau
dalam riwayat Shahihain dari hadits Fathimah bintu Abi Hubaisy, beliau
mengatakan tentang istihadlah : “Yang demikian itu hanyalah darah dari
urat bukan haid.” Hal
ini menunjukkan bahwa istihadlah tidak sama dengan
haid yang sifatnya alami, artinya mesti dialami oleh setiap wanita yang normal
sebagai salah satu tanda baligh. Namun istihadlah adalah satu
penyakit yang menimpa kaum hawa dari perbuatannya syaithan yang berjalan di
tubuh anak Adam seperti jalannya darah. Syaithan ingin memberikan
keraguan terhadap anak Adam dalam pelaksanaan ibadahnya dengan segala cara. Kata Al Imam As Shan’ani dalam Subulus Salam (1/159) : “Makna sabda Nabi : (‘Yang demikian hanyalah satu
dorongan/gangguan dari syaithan’) adalah syaithan mendapatkan jalan untuk
membuat kerancuan terhadapnya dalam perkara agamanya, masa sucinya dan
shalatnya hingga syaithan menjadikannya lupa terhadap kebiasaan haidnya.” Al
Imam As Shan’ani melanjutkan : “Hal ini tidak
menafikkan sabda Nabi yang mengatakan bahwa darah istihadlah dari urat yang
dinamakan ‘aadzil karena dimungkinkan syaithan mendorong urat tersebut
hingga terpancar darah darinya.” (Subulus Salam 1/159) Keberadaan darah istihadlah bersama darah haid merupakan
suatu masalah yang rumit, kata Ibnu Taimiyyah, hingga harus dibedakan antara
keduanya. Caranya bisa dengan ‘adat (kebiasaan
haid) atau dengan tamyiz (membedakan sifat darah). Perbedaan antara darah istihadlah dengan darah haid adalah
darah haid merupakan darah alami, biasa dialami wanita normal dan keluarnya
dari rahim sedangkan darah istihadlah keluar karena pecahnya urat, sifatnya
tidak alami (tidak mesti dialami setiap wanita) dan keluarnya dari urat yang
ada di sisi rahim.
1.
Perbedaan warna. Darah haid umumnya
hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.
2.
Kelunakan dan kerasnya. Darah haid
sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.
3.
Kekentalannya. Darah istihadlah
mengental sedangkan darah haid sebaliknya.
4.
Aromanya. Darah haid beraroma tidak
sedap/busuk. KEADAAN WANITA YANG ISTIHADLAH Wanita
yang istihadlah ada beberapa keadaan : Pertama : Dia memiliki
kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah. Hingga tatkala keluar
darah dari kemaluannya untuk membedakan apakah darah tersebut darah haid atau
darah istihadlah, ia kembali kepada kebiasaan haidnya
yang tertentu. Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari
kebiasaan haidnya dan berlaku padanya hukum-hukum wanita haid, adapun di luar
kebiasaan haidnya bila keluar darah maka darah tersebut adalah darah istihadlah
dan berlaku padanya hukum-hukum wanita yang suci. Misalnya : Seorang wanita haidnya datang selama
enam hari di tiap awal bulan. Kemudian dia ditimpa istihadlah
dimana darahnya keluar terus-menerus. Maka cara
dia menetapkan apakah haid dan istihadlah adalah enam hari yang awal di tiap
bulannya adalah darah haid sedangkan selebihnya adalah darah istihadlah. Hal
ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu 'anha yang mengabarkan
kedatangan Fathimah bintu Abi Hubaisy guna mengadu kepada Rasulullah Shallallahu
' “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku tidak suci maka apakah aku harus meninggalkan
shalat?” Nabi menjawab : “(Tidak, engkau tetap
mengerjakan shalat). Itu hanyalah darah karena terputusnya
urat. Apabila datang saat haidmu tinggalkanlah shalat
dan bila telah berlalu hari-hari yang engkau biasa haid, cucilah darahmu dan
setelah itu shalatlah.” Dalam
Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Nabi Shallallahu ' “Diamlah engkau (tinggalkan shalat)
sekadar hari-hari haidmu kemudian mandilah dan setelah itu shalatlah.” (HR.
Muslim 4/25-26) Dengan
demikian, wanita yang keadaannya seperti ini dia meninggalkan shalat di
hari-hari kebiasaan haidnya kemudian dia mandi, setelah itu ia
boleh mengerjakan shalat dan tidak usah mempedulikan darah yang keluar setelah
itu karena darah tersebut adalah darah istihadlah dan dia hukumnya sama dengan
wanita yang suci. Keadaan
kedua : Wanita itu
tidak memiliki kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah namun
ia bisa membedakan darah. Maka untuk membedakan antara darah haid dan darah
istihadlah ialah memakai cara tamyiz (membedakan
darah). Darah haid dikenal dengan warnanya yang hitam dan
beraroma tidak sedap, bila dia dapatkan demikian maka berlaku padanya
hukum-hukum haid sedangkan di luar dari itu berarti dia istihadlah. Misalnya
seorang wanita melihat darah keluar dari kemaluannya terus-menerus, akan tetapi
sepuluh hari yang awal dia melihat darahnya hitam sedangkan selebihnya berwarna
merah, atau sepuluh hari awal berbau darah haid selebihnya tidak berbau, berarti
sepuluh hari yang awal itu dia haid, selebihnya istihadlah, berdasarkan ucapan
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy : “Apabila darah itu darah haid maka dia
berwarna hitam yang dikenal. Apabila demikian
berhentilah dari shalat. Namun bila bukan demikian
keadaannya berwudlulah dan shalatlah.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, dan lain-lain. Dishahihkan oleh As Syaikh Al Albani rahimahullah, lihat keterangannya
dalam shahih Abu Daud 283, 284) MASALAH Bila seorang wanita yang istihadlah punya ‘adat haid dan
bisa membedakan sifat darah (tamyiz), manakah yang harus dia dahulukan, ‘adat
atau tamyiz? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di
kalangan ahli ilmu. Keadaan
ketiga :
Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid (‘adat) dan tidak pula dapat
membedakan darahnya (tamyiz) di mana darah keluar terus-menerus sejak
awal dia melihat darah keluar dari kemaluannya dan sifatnya satu atau sifat
darah itu tidak jelas maka untuk membedakan haid dan istihadlahnya adalah dia
melihat kebiasaan kebanyakan wanita yaitu dia menganggap dirinya haid selama
enam atau tujuh hari pada setiap bulannya dan dimulai sejak awal dia melihat
keluarnya darah, adapun selebihnya berarti istihadlah. Misalnya seorang wanita melihat darah pertama kalinya pada
hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan
apakah haid ataukah selainnya maka dia menganggap dirinya haid selama enam atau
tujuh hari, dimulai dari hari Kamis. Hal ini berdasarkan hadits
Hamnah bintu Jahsyin radhiallahu 'anha, ia berkata : “Aku istihadlah banyak dan deras sekali. Maka aku
mendatangi Nabi Shallallahu ' ‘Yang
demikian itu hanyalah satu gangguan dari syaithan maka berhaidlah engkau selama
enam atau tujuh hari, kemudian setelah lewat dari itu mandilah, hingga engkau
lihat dirimu telah suci maka shalatlah selama 24 atau 23 siang malam, puasalah
dan shalatlah. Maka hal tersebut mencukupimu. Demikianlah, lakukan hal ini setiap bulannya sebagaimana para
wanita berhaid.’ ” Kata
Al Imam As Shan’ani : “Dalam hadits ini (untuk
menentukan haid dengan yang selainnya) Nabi mengembalikan kepada kebiasaan umumnya
para wanita.” (Subulus Salam 1/159) Wanita
yang keadaannya seperti ini ia menganggap dirinya suci
selama 24 hari bila haidnya terhitung enam hari atau ia menganggap dirinya suci
selama 23 hari bila haidnya selama tujuh hari. Untuk
menentukan enam atau tujuh hari bukan dengan seenaknya memilih namun si wanita
melihat kepada wanita lain yang paling dekat
kekerabatannya dengannya dan berdekatan umur dengannya dan dia sesuaikan. Al
Imam As Shan’ani mengatakan : “Ucapan Nabi dalam
hadits : ((Berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari)) ini bukanlah syak
(keraguan) dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi mengatakan enam atau tujuh,
pent.) dan bukan pula takhyir (disuruh memilih
antara enam atau tujuh, pent.). Nabi mengatakan demikian
untuk mengumumkan bahwasannya bagi wanita ada salah satu dari dua ‘adat (enam
atau tujuh), di antara mereka ada yang berhaid enam hari dan ada yang tujuh
hari. Maka seorang wanita itu mengembalikan kebiasaannya kepada wanita
yang sama usia dengannya dan memiliki keserupaan dengannya.”
(Subulus Salam halaman 160) Berkata
para ahli fiqih : “Apabila wanita yang istihadlah memiliki ‘adat yang
tetap dan pasti maka ia berhenti shalat dan puasa pada hari-hari ‘adat-nya
tersebut (bila ia melihat darah) karena ‘adat lebih kuat dari selainnya.
Apabila ia tidak mengetahui ‘adat-nya maka ia
melakukan tamyiz (membedakan darah). Apabila ia tidak
mampu membedakan darah maka ia melihat kebiasaan umumnya wanita.” (Bulughul Maram dengan catatan kaki yang berisi pembahasan As
Syaikh Al Albani. Penjelasan Abdullah Al Bassam dan beberapa
ulama Salaf halaman 54) Bagaimana
cara menentukan antara haid dan istihadlah bagi wanita
yang baru pertama kali keluar darah dari kemaluannya dan darah tersebut keluar
terus-menerus? Maka bila ia mampu melakukan tamyiz
perkaranya mudah. Kalau ia tidak dapat membedakan
antara darah haid dengan darah istihadlah maka ia melihat keadaan umumnya wanita
yang ada di sekitarnya yakni ia berhaid selama enam atau tujuh hari setelah itu
ia mandi walaupun darah masih terus mengalir. Adapun wanita yang lupa waktu dan bilangan hari haidnya dan
tidak dapat membedakannya sementara darah terus–menerus keluar, maka berselisih
ulama dalam urusannya. Ada yang berkata hukumnya sama
dengan wanita baru haid yang tidak dapat membedakan darahnya. BERAPA KALI HAID SEHINGGA BISA DIANGGAP SEBAGAI ‘ADAT Tidak ada dalil yang jelas dalam hal ini. Adapun As Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat minimal tiga kali haid
baru teranggap ‘adat. Jadi misalnya seorang wanita
memiliki ‘adat 5 hari. Di bulan Sya’ban ia
haid sesuai ‘adat-nya yaitu 5 hari. Namun di bulan
Ramadhan keluar darahnya selama tujuh hari maka hari ke-6 dan ke-7 dia tetap puasa
karena darah yang keluar tersebut teranggap darah penyakit. Pada bulan
Syawal keluar lagi darahnya selama tujuh hari namun ia
menganggap dirinya telah suci pada hari ke-5 sesuai ‘adat-nya. Pada
bulan berikutnya (Dzulqa’dah) ia haid lagi selama
tujuh hari maka sekarang tahulah dia bahwa kebiasaan/’adat-nya telah
berubah menjadi tujuh hari. Adapun puasanya di bulan Ramadhan
(pada hari ke-6 dan ke-7 di atas) tidaklah sah dan harus diqadla. Wallahu a’lam. HUKUM-HUKUM ISTIHADLAH Hukum
wanita yang istihadlah sebagaimana hukum wanita yang suci, tidak ada bedanya
kecuali pada hal berikut ini : Pertama : Wanita
istihadlah bila ingin wudlu maka ia mencuci bekas darah dari kemaluannya dan
menahan darahnya dengan kain berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ' Kedua : Dalam hal
senggama dengan istri yang sedang istihadlah, ulama telah berselisih tentang
kebolehannya, namun tidak dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu ' “Maka jauhilah (jangan menyetubuhi)
para istri ketika mereka sedang haid.” (Al Baqarah
: 222) Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala hanya menyebutkan haid,
yang berarti selain haid tidak diperintahkan untuk menjauhi istri. (Risalah
fid Dimaa’ halaman 50) APAKAH WAJIB MANDI SETIAP AKAN SHALAT Aisyah
radhiallahu 'anha mengatakan bahwa Ummu Habibah istihadlah selama 7
tahun dan ia menanyakan perkaranya kepada Rasulullah Shallallahu ' Al
Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan Al Laits bin Sa’ad dari Ibnu
Syihab dari Urwah dari Aisyah. Dan pada akhir hadits, Al Laits berkata : “Ibnu Syihab tidak menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu
' Adapun
hadits yang ada tambahan lafadh : “Nabi memerintahkannya (Ummu Habibah) untuk
mandi setiap akan shalat.” Adalah
tambahan yang syadz karena Ibnu Ishaq --seorang perawi hadits ini-- salah
dalam membawakan riwayat sementara para perawi lainnya yang lebih kuat, meriwayatkan
hadits ini dari Ibnu Syihab dengan lafadh : “Adalah
Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” Dan perbedaan antara kedua
lafadh ini jelas sekali. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah
--dua dari perawi yang kuat-- jelas-jelaas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya
Nabi Shallallahu ' As
Syaikh Shiddiq berkata dalam Syarah Ar Raudlah :
“Tidak datang dalam satu hadits pun (yang shahih) adanya kewajiban mandi untuk
setiap shalat (bagi wanita istihadlah), tidak pula mandi setiap dua kali shalat
dan tidak pula setiap hari. Tapi yang shahih adalah kewajiban mandi ketika
selesai dari waktu haid yang biasanya (menurut ‘adat) atau selesainya
waktu haid dengan tamyiz sebagaimana datang dalam hadits Aisyah dalam Shahihain
dan selainnya dengan lafadh : “Maka apabila datang
haidmu, tinggalkanlah shalat dan bila berlalu cucilah darah darimu dan
shalatlah.” Adapun dalam Shahih Muslim disebutkan Ummu Habibah mandi setiap
akan shalat maka ini bukanlah hujjah karena hal itu dilakukan atas kehendaknya sendiri
dan bukan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ' Mandi
setiap akan shalat bagi wanita istihadlah merupakan
suatu kesulitan sementara kita tahu bahwa syariat ini mudah. Allah Ta’ala berfirman : “Allah tidak menjadikan bagi kalian
dalam agama ini suatu kesulitan.” (Al Hajj :
78) Ibnu
Taimiyyah berpendapat sebagaimana dinukil dalam kitab Bulughul Maram (halaman
53 dengan catatan kaki) bahwasannya mandi setiap shalat ini hanyalah sunnah
tidak wajib menurut pendapat imam yang empat, bahkan yang wajib bagi wanita
istihadlah adalah wudlu setiap shalat lima waktu menurut pendapat jumhur, di
antaranya Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad. APAKAH WAJIB WUDLU SETIAP AKAN SHALAT ? Al
Imam Al Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Aisyah radhiallahu
'anha bahwasannya Fathimah bintu Abi Hubaisy datang kepada Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam dan mengadukan istihadlah yang menimpanya dan ia bertanya
: “ ‘Apakah aku harus meninggalkan shalat?’ Maka Nabi mengatakan
: ‘Tidak
itu hanyalah urat bukan haid, maka apabila datang haidmu tinggalkanlah shalat
dan jika berlalu maka cucilah darah haidmu kemudian shalatlah.’ “ (HR. Bukhari :
228) Hadits
di atas dalam riwayat Nasa’i dari jalan Hammad bin Zaid ada tambahan lafadh : “Berwudlulah” Setelah
lafadh : “Cucilah
darah haidmu” Sehingga
dalam riwayat Nasa’i, lafadh hadits di atas adalah : “Cucilah
darah haidmu, wudlulah, dan shalatlah.” (HR. Nasa’i 1/185) Al
Imam Muslim ketika meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya (4/21) tanpa
tambahan di atas sebagaimana Al Imam Al Bukhari membawakan tanpa tambahan dan
Al Imam Muslim memberikan isyarat lemahnya tambahan tersebut dengan ucapannya : “Dalam hadits Hammad bin Zaid ada tambahan yang
kami tinggalkan penyebutannya.” Kata
Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengutip ucapan
Qadli ‘Iyyadl : “Tambahan yang ditinggalkan
penyebutannya oleh Al Imam Muslim adalah : ((“watawadl dla’i/berwudlulah”)). An
Nasa’i dan lainnya menyebutkan tambahan ini, sedangkan Imam Muslim membuangnya karena
Hammad, salah seorang perawi hadits ini, bersendiri dalam menyebutkan tambahan
tersebut (adapun perawi-perawi lain tidak menyebut tambahan :
‘Berwudlulah’ pent.). An Nasa’i sendiri mengatakan :
“Kami tidak mengetahui adanya seorang pun selain Hammad yang
mengatakan/menyebutkan : ‘Berwudlulah’ “ (Syarah Muslim 4/22) Demikian pula Imam Tirmidzi, Darimi, Ahmad, dan Nasa’i
sendiri dari jalan Khalid Ibnul Harits dan Malik meriwayatkan tanpa tambahan di
atas.
(Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/224, 226) Dengan
demikian jelaslah perintah wudlu bukanlah datang dari Nabi Shallallahu ' I’TIKAFNYA WANITA YANG ISTIHADLAH Al
Imam Al Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya sampai
pada Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata : “Beberapa
istri Nabi Shallallahu ' Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa istri Nabi Shallallahu ' Al
Hafidh Ibnu Hajar dalam Syarah-nya terhadap Shahih Bukhari mengatakan : “Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya wanita istihadlah
berdiam di masjid, sah i’tikaf dan shalatnya dan boleh ia berhadats di masjid
selama tidak mengotori.” (Fathul Bari 1/514) HUKUM JIMA’ (SENGGAMA) DENGAN ISTRI YANG SEDANG ISTIHADLAH Dalam hal ini ada perselisihan pendapat. Jumhur memandang boleh, sementara ada ulama yang berpendapat tidak boleh
kecuali bila masa istihadlahnya panjang. Dan ada yang tidak
membolehkannya sama sekali karena menyamakan
istihadlah dengan haid. Namun yang kuat dalam hal ini adalah pendapat jumhur
karena jelas wanita istihadlah beda dengan wanita haid
dengan dalil yang ada dan tidak ada larangan dari Nabi untuk jima’ dengan istri
yang istihadlah. Dan juga ada ayat umum : “Istri-istri kalian adalah ladang bagi
kalian.” (Al Baqarah : 223) Al
Imam Al Bukhari membawakan ucapan Ibnu Abbas dalam kitab Shahih-nya dengan
tanpa sanad yang maknanya wanita istihadlah boleh digauli oleh suaminya
sebagaimana ia dibolehkan untuk shalat sementara
shalat itu perkara yang agung. (Shahih Bukhari. Kitabul Haid bab ‘Apabila
wanita haid melihat dirinya suci’) Dalam
Syarah-nya terhadap ucapan Ibnu Abbas di atas, Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : “Yakni bila wanita istihadlah dibolehkan shalat
maka kebolehan jima’ dengannya lebih utama karena perkara shalat lebih agung
dari perkara jima’.” (Fathul Bari 1/535) Ibnu
Qudamah rahimahullah berkata dalam Al Mughni (1/339) : “Diriwayatkan dari Ahmad bolehnya menggauli istri yang
istihadlah secara mutlak tanpa syarat dan ini merupakan pendapat kebanyakan
ahli fiqih.” Al
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al Majmu’ Syarhil Muhadzdzab
(2/372) : “Boleh dalam madzhab kami untuk jima’ dengan
istri yang sedang istihadlah pada saat dihukumi sebagai suci, sekalipun darah
(istihadlah) dalam keadaan mengalir. Dan hal ini tidak ada perselisihan di sisi
kami… .” Al
Imam As Shan’ani menyatakan boleh jima’ dengan istrti
yang sedang istihadlah menurut pendapat jumhur ulama karena wanita yang
istihadlah sama dengan wanita yang suci dalam kebolehan shalat, puasa dan selain
keduanya, maka demikian pula dalam perkara jima’. Dan jima’
tidak diharamkan kecuali ada dalil, sementara tidak ada dalil dalam perkara ini.”
(Subulus Salam 1/157) Al
Imam As Syaukani juga menyebutkan pendapat jumhur ini
dalam kitabnya Nailul Authar (1/392) HUKUM YANG LAIN BAGI WANITA YANG SEDANG ISTIHADLAH Al
Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim (4/17) mengatakan bahwa dalam hal
ibadah shalat, puasa, i’tikaf, membaca Al Qur’an, menyentuh mushaf dan
membawanya, sujud tilawah, dan sujud syukur maka wanita yang istihadlah sama
dengan wanita yang suci, yakni boleh baginya untuk melakukannya dan hal ini
merupakan perkara yang disepakati. Al
Imam As Shan’ani mengatakan dengan mengutip ucapan Al Imam An Nawawi dalam Syarah
Muslim :
“Wanita istihadlah apabila hendak shalat ia diperintah untuk berhati-hati dalam
menjaga kebersihan dari hadats dan najis, maka seharusnya ia mencuci
kemaluannya sebelum wudlu dan tayammum dan ia sumpal kemaluannya dengan kapas
atau kain untuk mencegah menyebarnya najis dan mengurangi keluarnya darah. Apabila
darah tidak tertahankan dengan cara tersebut, ia ikat kemaluannya
dengan kain dengan sekuatnya. Hal ini tidaklah wajib baginya namun
lebih utama bila ia lakukan dalam rangka mengurangi najis sesuai kemampuan,
setelah itu ia berwudlu.” (Subulus Salam 1/157) Demikian masalah istihadlah yang dapat kami kumpulkan. Wallahu a’lam bishawwab. DAFTAR PUSTAKA
1. Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi. Al Imam An Nawawi. Penerbit Darur Rayyan lit Turats.
2.
Fathul Bari. Ibnu Hajar Al
Asqalani. Penerbit Darul Hadits.
3.
Jami’ li Ahkamil Qur’an. Al Imam Al Qurthubi.
Penerbit Darul Kutub Ilmiyah.
4.
Subulus Salam. Al Imam As Shan’ani. Penerbit Maktabah Al Irsyad.
5.
Bulughul Maram. Ibnu Hajar.
6.
Al Majmu’ Syarhil Muhadzdzab. Al Imam An Nawawi.
7.
Risalah fid Dima’ith Thabi’iyyah lin Nisa’. As Syaikh Shalih Al Utsaimin.
8.
Jami’ Ahkamin Nisa’. Musthafa Al Adawi. 9. Nailul Authar. Al Imam Asy Syaukani. |