بسم الله الرحمن الرحيم
Zakat
Barang Dagangan |
Tidak ada zakat pada barang dagangan dengan ukaran, nishab dan haul tertentu, yang ada hanya shadaqah yang mutlak tidak di batasi dengan nishab, haul atau kadar tertentu yang harus dikeluarkan. Hal itu karena tidak ada dalil yang menunjukan demikian sehingga kita kembali kepada bara’ah asliyyah (kebebasan asal), dan kita telah ketahui bahwa pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam perdagangan itu telah ada dengan berbagai macamnya, namun demikian tiada dalil yang shahih sampai kepada kita, yang menujukkan kewajiban mengeluarkan zakat secara khusus dari barang dagangan. Hal ini didukung oleh sabda Nabi Shallallahu' alaihi Wasallam yang mengatakan (artinya) : “Tidaklah kewajiban seorang hamba untuk mengeluarkan zakat dari hamba sahayanya dan kudanya” (H.R Bukhari dari Abu Hurairah) Dimana
keumuman hadits ini menunjukan tidak adanya zakat pada keduanya sama
sekali dalam bentuk apapun termasuk jika menjadi barang dagangan.
Di
saat yang sama kita tahu bahwa banyak diantara ahli fikih mewajibkan
zakat pada barang-barang dagangan dan merekapun berdalil dengan
riwayat-riwayat yang sampai kepada mereka, tapi semua dalil yang
mereka pakai, tidaklah lepas dari kritikan yang menunjukkan
kelemahannya diantaranya: 1.
Riwayat
Jabir bin Samuroh : “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
Wasallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari apa yang
kita persiapkan untuk berniaga”. (HR. Abu Dawud, Daruquthny,
dan Bazzar), hadits ini ada kelemahannya yaitu pada sanadnya ada
orang yang tidak dikenal, oleh karenanya Syekh Al Albany melemahkannya
dalam kitabnya Irwa’ul Ghalil No: 827. Tamamul Minnah
No: 363, Silsilah Dha’ifah No: 1178. Berkata pula Ibnu Hajar
dalam kitab At Talkhisus Khabir 2/179 : Dalam sanadnya ada
jahalah (rawi yang tidak di kenal) 2. Riwayat Imran bin Hushain secara marfu’ (sampai kepada Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam) : “Pada unta ada zakatnya, pada kambing ada zakatnya dan pada pakaian (dagang) ada zakatnya”. (HR. Hakim dan Daruquthny). Al Hafidz Ibnu Hajar telah melemahkan seluruh jalan hadits ini kecuali pada salah satunya dia katakan bahwa : Ini tidak apa-apa, dan keadaaan hadits yang semacam ini tidaklah bisa dipakai sebagai dalil pada masalah yang sangat umum di kalangan kaum muslimin, lebih dari itu Ibnu Daqiq Al ‘Ied (seorang ahli hadits) telah melihat pada kitab Hakim (perawi hadits ini) yang berjudul Al Mustadrok, dengan lafadz (al bur) yang berarti gandum, bukan dengan lafadz (al baz) yang berarti pakaian dagangan. Adapun Daruquthny, dialah yang jelas meriwayatkan dengan lafadz (al baz) namun dari jalan atau sanad yang lemah. Yang demikian menjadikan adanya kemungkinan dari masing-masing dua hal, maka tidaklah sempurna berdalil dengan itu. (Raudhatun Nadiyyah 1/477). Didho’ifkan oleh Syaikh Al Albany dalam kitab Irwa’ul Ghalil no: 827 dan Tamamul Minnah hal 363) 3. Ijma’ (kesepakatan ulama’ tentang adanya zakat barang dagangan), seperti dinukilkan Ibnu Mundzir (Kitab Al Ijma' hal: 14 no 115). Kritik : Ijma’ yang beliau katakan tidak benar karena telah menyelisihinya Abdullah bin Zubair, Amr bin Dinar, Umar bin Abdul Aziz dan Atha’ [Lihat Al Muhalla 5/236 dan Tamamul Minnah hal: 365] 4. Dari
Abu ‘Amr bin Hamas dari ayahnya ia berkata : Saya menjual lauk pauk
dan anak panah maka Umar bin Khattab melewati saya lalu ia berkata :
Tunaikanlah zakat hartamu maka saya katakan wahai Amirul Mukminin :
Itu kan hanya lauk pauk, beliau berkata hitunglah nilainya lalu
keluarkan zakatnya. [HR. Syafi’i, Ahmad, Abu ‘Ubaid,
Daruquthny, Baihaqi dan Abdurrozzaq]. Kritik : Riwayat ini
didhaifkan oleh Al Albany dalam Irwa’ul Ghalil no: 828 karena
tidak dikenalnya (jahalah) Abu ‘Amr bin Hamas 5. Dari
Ibnu Umar semoga Allah meridhi keduanya ia berkata : Tiada zakat pada
benda kecuali pada benda yang untuk berniaga. Berkata Syekh Al Albany
: Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab “Al Um”
dengan sanad yang shahih lalu beliau berkata : Dengan keadaannya yang
mauquf (perkataan sahabat) dan tidak “marfu’” (sampai
kepada Nabi shallallahu ’alaihi Wasallam), tidak ada padanya
keterangan nishab zakatnya, dan yang wajib dikeluarkan darinya, maka
ini memungkinkan untuk diarahkan kepada zakat yang mutlaq tidak
terikat dengan waktu atau kadar (tertentu), tapi hanya dengan kelegaan
jiwa pemiliknya. [Tamamul Minnah hal: 364]. Atsar Ibnu
Umar itu juga dikeluarkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla
: 5/234) dan dishahihkannya. 6. Berkata
‘Atha’ : Tiada shadaqah pada mutiara, batu permata, yakut, (merah
delima), mata cincin, benda dan susuatu yang tidak diperdagangkan,
jika itu diperdagangkan maka padanya ada zakatnya dari harganya ketika
dijual. [HR, Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozzaq dan dishahikan oleh
Syaikh Al Albany dalam Tamamul Minnah 365]. Berkata Syekh
Al Albany : Beliau (Atha') tidak menyebutkan perhitungan nilainya,
nishob dan haulnya. 7. Adapun
Khalid dia telah menahan baju besi dan peralatan perangnya di jalan
Allah. [HR Bukhari no : 1399, Muslim 2/676 no : 983]. 8. Dari
Abdurrohman bin Abdul Qari’ ia berkata : Saya menjadi penjaga baitul
mal di zaman Umar bin Khattab, maka jika ia keluar …. Beliau
mengumpulkan harta – harta para pedagang lalu menghitungnya baik
yang ada dihadapan atau yang tidak, lalu beliau mengambil harta dari
…. . 9. Dari Abi Qilabah bahwasanya para pegawai Umar berkata : Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya para pedagang mengeluh dari beratnya perhitungan, maka Umar menjawab : Ha … ha .. ringankanlah. 10. Dari
Ibnu ‘Abbas bahwasanya beliau berkata : Tidak apa-apa menunggu
sampai menjualnya, dan zakat wajib padanya.
11. Mereka katakan bahwa zakat itu diwajibkan pada harta yang berkembang. Wallahu
a’lam bis shawab |