Definisi Asuransi
Asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin)
untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah
harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu baik itu berbentuk
imbalan atau gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika
terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya
sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan
uang yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari
klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin)
disaat hidupnya.
Dari pengertian diatas dikertahui bahwa yang termasuk akad adalah yang
mengandung ghoror (ketidak pastian), karena itu adalah
transaksi yang tidak diketahui ujungnya, dimana masing-masing dari
kedua belah pihak yang bertransaksi tidak mengetahui -disaat mereka
melakukan akad- ukuran atau nilai yang akan mereka berikan atau yang
akan mereka peroleh. Bisa jadi (muamman) baru membayar premi
satu kali kemudian terjadi kecelakaan maka dengan demikian ia berhak
mendapatkan imbalan dari pihak (muammin) sesuai dengan
perjanjian , dan bisa jadi pula ia membayar semua premi tapi tidak
mendapat imbalan materi apapun karena tidak terjadi kecelakaan ,
sebagaimana (muammin) ketika akad itu berlangsung juga tidak
bisa menentukan berapa ukuran yang akan ia berikan pada tiap-tiap akad.
Sejarah Munculnya Asuransi
Asuransi belum lama mucul, awal mula munculnya pada abad keempat belas
masehi di Italia, disaat terdapat sebagian orang yang siap menanggung
bahaya-bahaya di laut yang kerap menimpa perahu layar atau
penumpangnya dengan imbalan uang tertentu. Setelah selang waktu yang
cukup panjang munculah asuransi darat. Awalnya dalam bentuk asuransi
kebakaran, yaitu selepas terjadinya kebakaran yang cukup besar di
London pada tahun 1666 M yang melalap lebih dari 13000 rumah. Kemudian
muncullah setelah itu beberapa bentuk asuransi seperti asuransi dari
sebuah tanggung jawab yaitu seseorang yang mengasuransikan dirinya
dari sebuah bahaya yang mungkin menimpa hartanya, seperti juga
mengasuransikan mobilnya dari kecelakaan, atau yang lain. Kemudian
berkembanglah menjadi bermacam-macam sampai-sampai mencakup segala
segi kehidupan manusia seperti asuransi dari kecurian, atau dari
bencana yang menimpa pertaniannya, atau dari kecelakaan transportasi
udara, atau asuransi jiwa, sehingga perusahaan-perusahaan asuransi itu
memberikan jaminan-jaminan dari segala mara bahaya yang mungkin
menimpa orangnya ataukah hartanya ataukah tanggungjawabnya bahkan
sebagian negara mengharuskan rakyatnya untuk melakukan sebagian macam
asuransi.
Macam-macam Asuransi
Dilihat dari bentuknya asuransi dibagi menjadi dua :
Asuransi Ta’awun
Yaitu berkumpulnya sekelompok orang yang terancam bahaya yang serupa
untuk masing-masing mengumpulkan uang dalam jumlah tertentu yang akan
diberikan sebagai ganti untuk orang yang tertimpa musibah, jika uang
hasil patungan itu lebih, maka masing - masing mereka bisa meminta
kembali tapi jika kurang maka masing-masing anggota diminta untuk
memberikan tambahan patungan untuk menutupi kekurangan , atau mungkin
ganti ruginya dikurangai karena kelemahan untuk menutupinya , sehingga
masing-masing dari mereka menjadi penjamin dan yang dijamin. Tujuan
dari asuransi ini adalah saling membantu untuk memikul musibah yang
mungkin akan menimpa sebagian mereka atau meringankan kerugian
sebagian anggota, dan sama sekali tidak diinginkan dengannya untuk
mendapatkan keuntungan matrial.
Hukum Asuransi Ta’awun
Dengan melihat kepada hakekat asuransi ini kita mendapati kenyataan
dan tujuannya adalah saling tolong menolong untuk menghadapi mara
bahaya dan musibah yang terkadang menimpa sebagian orang dengan cara
menggantinya dari uang yang telah dikumpulkan dari hasil premi mereka,
dan bukanlah tujuannya untuk mencari keuntungan atau menjadikannya
lahan untuk mencari penghasilan. Oleh karenanya kita berpendapat
bolehnya hal itu secara syari’at , karena prinsip-prinsip dasar
syari’at yang toleran mengajak kepada setiap sesuatu yang berakibat
keeratan jalinan sesama manusia dan kepada sesuatu yang meringankan
bencana mereka , berfirman Allah ta’ala yang artinya :
“Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan
saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan” (Al-Maidah :
2)
Islam juga mengarah kepada berdirinya sebuah masyarakat yang tegak
diatas azas saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim
terhadap muslim yang lainya sebagaimana sebuah bangunan yang
saling-menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain. Dan dalam model
asuransi ini tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan batil ,
karena apa yang telah diberikan adalah semata- mata sedekah dari hasil
harta yang dikumpulkan.
Asuransi Perusahaan
Asuransi yang dimaksud adalah diluar jenis asuransi diatas, jenis ini
bukan suatu hal yang dikenal dikalangan para pendahulu dari kalangan
para ahli fiqh, bukan termasuk transaksi yang dikenal oleh fiqh Islam,
karena tidak terdapat dalam masalah ini satu nash syar’i yang
membahasnya dan tidak pula terdapat pula dari kalangan para sahabat
dan mujtahidin yang membahas hukumnya. Maka tatkala menyebar asuransi
ini dimasa kini, mulailah para ulamanya membahas, dan berbedalah
pendapat mereka sesuai perbedaan ilmu dan ijtihad mereka sebagaimana
perbedaan mereka dalam masalah-masalah lain. Adapun yang kami anggap
benar adalah dilarangnya asuransi jenis ini dengan alasan beberapa hal
sebagai berikut :
-
Karena pada transaksi tersebut terdapat jahalah (ketidaktahuan)
dan ghoror (ketidakpastian) dimana tidak diketahui siapakah
yang akan mendapatkan keuntungan pada akhirnya dengan keuntungan
yang besar atau siapakah yang akan tertimpa kerugian yang besar.
Padahal telah terdapat perkataan dari Nabi shallallahu alaihi
wasallam hadits yang shohih yang melarang jual beli yang
terdapat padanya ghoror [HR. Muslim] dan ghoror itu
artinya , sesuatu yang tidak tentu antara mendapatkan atau tidak,
atau tidak diketahui akibatnya, seperti misalnya menjual apa yang
akan dikeluarkan dari perangkapnya seorang pemburu, atau menjual
apa yang terdapat dalam perut hewan atau penjualan dengan cara
mulamasah (yakni mengatakan kepada pembeli misalnya : Baju
mana saja yang kamu sentuh maka harganya sekian) atau dengan cara
munabadzah (yakni mengatakan kepada pembeli misalnya : Barang
mana saja yang kamu lempar maka harganya sekian) . Dan tidak
diragukan lagi bahwa ketidakpastian dalam transaksi asuransi ini
lebih besar dari ketidakpastian dalam contoh-contoh yang telah
berlalu bahkan mungkin mengantarkan kepada banyak problem dan
konflik antara kedua belah pihak.
-
Di dalamnya terdapat riba atau syubhat riba, sedang menjauh dari
riba atau subhat riba adalah wajib . Dan ini akan lebih jelas
dalam asuransi hidup/jiwa , dimana seorang yang mengasuransikan
membayar uang dalam jumlah sedikit untuk mendapatkan uang yang
lebih banyak dimasa yang akan datang yang mungkin dia akan
mendapatkannya atau mungkin juga tidak, jika ternyata dia tidak
bisa memenuhi beberapa preminya . Maka hakekat transaksi ini
adalah tukar menukar uang , salah satunya dengan kontan dan yang
lain tidak kontan dan lebih dari itu dengan adanya tambahan dari
uang yang dibayarkan , maka ini jelas mengandung unsur riba dengan
dua jenisnya (yaitu riba fadl dan riba nasi’ah).
-
Di dalamnya terdapat perbuatan memakan harta manusia dengan bathil
(tanpa hak) oleh pihak muammin disaat pelanggan tidak tertimpa
musibah dan oleh pihak mustafid disaat terjadi musibah yang
menimpanya, itu karena terkadang perusahaan membayar
berlipat-lipat dari apa yang dibayarkan kepadanya, padahal telah
terdapat hadits shohih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bahwa beliau berkata kepada orang yang menjual korma kemudian
korma itu tertimpa bencana : Dengan imbalan apa engkau
menghalalkan harta saudaramu (yang membeli kormamu)?? Dan beliau
juga berkata : Jika engkau jual korma kepada saudaramu kemudian
tertimpa bencana, maka tidak halal bagimu untuk mengambil darinya
sesuatupun, dengan imbalan apa engkau ambil harta saudaramu tanpa
hak ?? [ H R . Muslim]. Dari sini nampak bahwa tidak perlu
lagi ditoleh kepada gambaran transaksi yang terjadi diantara
mereka dengan saling ridho dan rela, akan tetapi dilihat dari sisi
bahwa salah satu pihak akan kehilangan haknya tanpa imbalan, oleh
karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual
buah sebelum nampak matangnya (karena alasan yang sama). Adapaun
alasan bahwa kedua belah pihak melakukannya dengan saling rela
maka ini adalah alasan yang bathil karena transaksi atau akad yang
haram seperti judi yang terjadi dengan kerelaan orang yang
melakukannya tidak menjadikan halalnya judi.
-
Bahwasanya transaki ini mengantarkan kedua belah pihak kepada
permusuhan dan perselisihan, hal itu karena ketika terjadinya
musibah masing-masing dari keduanya berusaha untuk menimpakan
kerugian kepada pihak lain, yang kemudian berakibat perselisihan
dan problem dan (mungkin) saling mengangkat permasalahan kepada
pengadilan untuk menetapkan keabsahan terjadinya bencana yang
sesuai dengan perjanjian ketika akad atau tidak sahnya, kemudian
bagaimana terjadinya dan apakah itu bisa dijadikan alasan atau
tidak?? Sebagaimana juga pihak perusahaan melihat kepada musta’min
ketika dia membayar dengan penglihatan bahwa dialah penyebab
kerugian perusahaannya atau kelemahannya. Begitu juga musta’min
ketika tidak terjadi bencana, dia akan menyesali atas
pembayarannya dan kerugiannya yang telah dia bayarkan kepada
perusahaan yang tidak memberikan imbalan sesuatu apapun, karena
perusahan menganggap pembayaran premi itu merupakan haknya dan
penghasilannya bukan jasa dari yang membayarnya.
-
Tidak ada kebutuhan untuk membolehkannya, sedang Islam telah
menjamin pemeluknya dengan disyari’atkannya sodaqoh dan
diwajibkannya zakat untuk fakir miskin dan yang terlilit hutang,
dalam hadits Nabi bersabda : "Saya lebih utama atas setiap
muslim dari dirinya, barangsiapa yang meniggalkan warisan maka
untuk pewarisnya, dan barang siapa yang meninggalkan hutang atau
kehilangan, maka kepadaku dan (kewajiban) atasku (untuk
membayarnya)."
-
Asuransi ini termasuk jenis perjudian, karena salah satu pihak
membayar sedikit harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak
dengan cara untung – untungan atau tanpa pekerjaan, maka jika
terjadi kecelakaan ia berhak mendapatkan semua harta yang
dijanjikan tapi jika tidak maka akibatnya akan merugikannya, kalau
begitu prinsip perjudian terdapat dalam transaksi ini, dan
maslahat masing-masing fihak tegak diatas bencana yang lain,
perusahaan maslahatnya pada apa yang ia dapatkan ketika tidak
terjadi kecelakaan, dan maslahat musta’min nampak dalam keadaan
terjadinya kecelakaan dan menanggung akibat-akibatnya.
[Diambil dengan sedikit diringkas dari buku Riba wa Mu’amalat
Masrofiyyah, edisi bahasa Arab, karya Dr. Umar bin Abdul Azizi al
Mutrik. Cet Dar ‘Ashimah hal 403-406 dan 425-427] |