بسم الله الرحمن الرحيم
Makna Taat Kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri |
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikannya ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa : 59) Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat)
Dari As-Suddi, dia berkata : "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa
sallam mengirim sepasukan sariyyah (pasukan yang tidak dipimpin oleh
Rasulullah) dibawah komando Khalid bin Al-Walid. Di antara mereka ada
Ammar bin Yasir. Mereka kemudian berangkat menuju suatu kaum yang
diinginkan dan ketika sudah dekat, mereka pun berhenti (untuk istirahat).
Setelah itu datang kepada kaum tersebut Dzul Uyainatain (pengintai musuh)
dan memberitahukan kedatangn pasukan Khalid. Mereka pun lari semua kecuali
seorang laki-laki. Ia menyuruh keluarganya untuk mengumpulkan
barang-barangnya kemudian dia berjalan di kegelapan malam hingga sampai di
pasukan Khalid. Di sana ia bertanya tentang Ammar bin Yasir. Setelah itu
didatanginya (Ammar bin Yasir) dan bertanya kepadanya : "Wahai Abu
Yaqdzan, sesungguhnya aku telah Islam dan telah bersyahadat bahwa tidak
ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya kaumku telah lari ketika mendengar kabar
kedatangan kalian dan hanya aku yang tinggal. Apakah Islamku bermanfaat
bagiku besok? Kalau tidak akupun lari." Ammar berkata : "Ya,
keislamanmu akan bermanfaat bagimu, maka tetaplah kamu di tempat."
Maka laki-laki itupun menetap. Ketika pagi datang, Khalid bin Walid
menyerbu mereka dan tidak menjumpai siapa-siapa selain laki-laki tadi.
Maka dia ditangkap dan diambil hartanya, khabar (penangkapan) tersebut
akhirnya sampai kepada Ammar. Ia segera datang kepada Khalid seraya
berkata : "lepaskan laki-laki ini karena sesungguhnya dia telah Islam
dan dia dalam jaminan keamanan dariku." Berkata Khalid : "kenapa
kamu lindungi dia?" maka keduanya saling menyalahkan dan
mengadukannya kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah
shalallahu 'alaihi wa sallam membolehkan jaminan keamanan dari Ammar
tetapi melarang Ammar untuk melanggar hak-hak Amir lagi untuk kedua
kalinya. Maka Allah menurunkan ayat yang artinya :
TafsirAl-Qurthubi berkata : "Di dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk taat kepada-Nya, kemudian kepada Rasul-Nya, kemudian kepada para Umara, menurut perkataan jumhur, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dll."
Syaikh Abdur Rahman As-Sa'di berkata : (Dalam ayat ini) Allah
memerintahkan (kaum mukminin) untuk taat kepadaNya dan kepada Rasul-Nya
yaitu dengan mengerjakan perintah keduanya baik yang wajib maupun yang
sunnah dengan menjauhi larangan keduanya. Dan Allah juga memerintahkan (kepada
kaum mukminin) untuk taat kepada Ulil amri, yaitu orang yang
mengurusimkepentingan ummat, baik itu umarah, pemerintah ataupun muft-mufti
karena sesungguhnya tidak akan konsisten urusan Dien dan dunia kecuali
dengan taat kepada mereka dan tunduk kepada perintah-perintah mereka dalam
rangka taat kepada Allah dan mengharap pahala yang ada di sisiNya. Akan
tetapi dengan syarat mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
Apabila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak ada taat
kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Barangkali inilah rahasia
dibuangnya fi'il athi'u (taatilah) dalam perintah taat kepada ulil amri.
Disamping itu disebutkanny perintah taat kepada mereka itu meyertai taat
kepada rasullah shalallahu alaihi wasallam, karena rasu tidak pernah
memerintahkan selain kepada Allah sehingga barangsiapa yang taat kepadanya
(Rasulullah) maka dia telah taat kepada Allah.
"Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir" (An-Nisa:
59) Maka ayat ini menunujukkan bahwasannya orang-orang yang tidak
mengembalikan masalah khilafiyah kepada Al-Quran dan As-Sunnah, dia
bukanlah seorang mukmin yang hakiki, bahkan dia adalah seorang yang
beriman kepada thogut (sebagaimana yang akan disebutkan dalam ayat
sesudahnya 4:60). Menyoroti ayat ini, Ibnul Qoyyim berkata dalam I'lamul Muwaaqi'in 1/38 : "(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum muslimmin) unutk taat kepada-Nya dan kepada rasul-Nya,dan Allah mengulang fi'il (=taatilah) sebagai i'lam (pemberitahuan) bahwa taat kepada rasul itu harus disendirikan dengan tanpa dicocokkan terlebih dahulu kepada apa yang diperintahkan allah dalam Al-Quran. Jadi, kalau rasulullah shalallahu alaihi wasallam memerintahkan sesuatu maka wajib ditaati secara mutlak, baik perintah itu ada dalam alquran ataupun tidak,karena Rasulullah shalallahu alahi wasallam diberi Al-Quran dan juga yang semisalnya ( As-Sunnah).”
“Dalam
ayat ini juga, Allah memerintahkan untuk menyendirikan taat kepada Ulil
Amri. Bahkan Allah membuang fi'il (AYAT) dan menjadikannya didalam
kandungan taat kepada Rasul, sebagai pemberitahuan bahwa mereka (Ulil Amri)
itu ditaati dalam rangka taat kepada Rasul."
(Lihat Hujiyyatu Ahaditsil Ahad fil Ahkam Al-Aqaid hal. 11-12).
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…" (Al-Hasyr
: 7).
"Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dari nabi shalallahu 'alaihi
walsallam beliau bersabda: 'setiap umatku akan masuk surga kecuali orang-
yang enggan.' Para sahabat bertanya: 'wahai Rasulullah, siapakah orang
yang enggan itu? Rasulullah menjawab : 'barangsiapa yang taat kepadaku
maka dia masuk surga dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka sungguh
dia telah enggan'."
(HR.Bukhari 13/214 dan Ahmad 2/361).
Dalam Asy-syifa' 2/6, Al-Qadhi Iyadh berkata : "Allah azza wa
jalla menjadikan ketaatan kepada Rasul-Nya seperti ketaatan kepada-Nya dan
menggandengkan ketaatan kepada Ulil Amri dengan ketaatan dengan ketaatan
kepada rasul-Nya. Allah menjanjikan pahala yang besar bagi orang-orang
yang taat kepada rasul-Nya dan mengancam orang-orang yang menyelisihi
perintah Rasul-Nya dengan adzab yang pedih. Allah juga mewajibkan (kepada
kaum mukminin) untuk mengerjakan perintah rasul-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya." (Lihat Hujiyyatu ahadittsil ahad Fi ahkam wal
Aqaid karya Muhammad hal. 10)
Allah melarang dan memerintahkan kaum mu'minin untuk menyelisihi
perintah Rasulnya shalallahu alaihi wasalllam dan mengancam orang-orang
yang berbuat demikian (menyelisihi perintah Rasul-Nya) dengan firman-Nya :
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut
akan ditimpa fitnah atau ditimpa adab yang pedih." (An-Nur:
63)
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas baginya
kebenaran dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin, Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan
ia dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisa:
115)
Dari Al-Irbadh bin Sariyyah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shalallahu
alaihi wasallam bersabda : 'berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku
dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang
erat-erat sunnah itu, gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham dan
hati-hatilah kalian dari perkara yang di ada-adakan karena perkara yang
diada-adakan itu adalah bidah dan setiap bid'ah itu sesat." (HR.
Tirmidzi 5/44 hadits ke 2676, hadits hasan shahih, dan dishahihkan pula
oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, disepakati oleh Imam Dzahabi)
Dalam hal ini, Ibnu Mas'ud berkata: "Ittiba'lah kalian dan
jangan kalian ibtida' (berbuat bid'ah), karena kalian telah dicukupi (dengan
syari'ah ini) dan setiap kebid'ahan adalah sesat." Beliau juga
mengatakan: "hati-hatilah kalian dengan perbuatan bid'ah dan
memfasih-fasihkan dalam berbicara masalah agama. Berpegang teguhlah kalian
dengan atsar (sunnah) orang dhulu (Salafus Shalih)." (Al-Ibanah
1/32, 324)
Di dalam kitab yang sama, Abul Aliyah Ar-Rayahi juga berkata: "Pelajarilah
oleh kalian akan islam. Bila kalian telah mempelarinya maka kalian jangan
membecinya. Dan berjalanlah kalian di atas jalan yang lurus. Karena jalan
yang lurus itu adalah islam. Janganlah kalian menyeleweng dari jalan yang
lurus ke arah kanan dan kiri. Berpegang teguhlah kalian dengan sunnah Nabi,
dan hati-hatilah kalian dengan hawa nafsu yang melemparkan rasa permusuhan
dan kebencian di kalangan orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah."
(Al-Ibanah 1/338)
Oleh sebab itu, barangsiapa yang ingin berbahagia di dunia dan akhirat,
hendaklah ia menempuh jalan mereka (salafus Shalih) dan mengikuti manhaj
mereka.
Imam Ahlus Sunnah (Imam Ahmad) berkata: "Ushul-ushul sunnah
menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang dipahami dan diamalkan
oleh para shahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, ittiba' kepada
mereka dan tidak berbuat bid'ah karena setiap bid'ah itu sesat. Tidak
berdialog dan tidak duduk-duduk bersama ahli bid'ah dan tidak berdebat
tentang masalah agama. Sedangkan sunnah menurut kami adalah atsar-atsar
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Sunnah digunakan sebagai tafsir
bagi Al-Quran. Tidak ada qiyas dalam sunnah dan sunnah tidak bisa dipahami
dengan akal dan hawa nafsu. Dan sunnah-sunnah lazimah yang bila
ditinggalkan salah satu daripadanya, seseorang itu tidak dikatakan Ahlus
Sunnah."
Kemudian Imam Ahmad menyebutkan beberapa hal yang antara lain : "
mendengar dan taat kepada para imam dan amirul mukminin (pemimpin kaum
mukminin), baik yang shalih (adil) maupun yang fajir (dhalim), dan taat
kepada khalifah yang desepakati dan diridhai oleh kaum mukminin. Jihad
bersama mereka (yang adil maupun yang dhalim) secara terus menerus hingga
hari kiamat, mengadakan pembagian harta fa'i (harta rampasan yang
diperoleh tanpa melakukan perlawanan), juga terus menerus menjalankan
hukum had. Tidak boleh bagi siapapun untuk mencela dan menyelisihi mereka,
mengerjakan shalat Jum'at di belakang mereka dua raka'at. Barangsiapa yang
mengulangi shalatnya, maka dia adalah mubtadi' (ahli bid'ah) yang
meninggalkan atsar, menyelisihi sunnah dan tidak mendapat keutamaan Jum'at
sedikitpun. Barangsiapa yang memberontak kepada Imam kaum muslimin yang
telah disepakati atau dan diakui kekhilafahannya, maka sungguh dia telah
memecahkan tonggak kaum muslimin dan telah menyalahi atsar-atsar yang
datang dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Apabila ia mati
ketika melakukan hal itu, dia mati secara jahiliyyah. Dan tidak halal (diharamkan)
bagi siapapun untuk memerangi sulthan dan memberontaknya. Barangsiap yang
berbuat demikian, dia adalah mubtadi' yang tidak berjalan di atas sunnah
dan tidak pula berjalan di atas jalan yang lurus." (Syarah
Ushul I'tiqad 1/160-161) Abu Muhammad Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy berkata : "Saya bertanya kepada bapakku dan Abu Zur'ah tentang madzab Ahlus Sunnah dalam Ushuluddin dan apa yang beliau berdua yakini dalam hal ini. Maka beliau berdua berkata : "Kami jumpai para ulama di seluruh penjuru negeri, di Hijaz, Irak, Syam dan Yaman beri'tiqad. Kemudian beliau berdua menyebutkan bebrapa hal antara lain : dan kita menegakkan jihad dan haji bersama imam-imam kaum muslimin di sepanjang zaman.Kita tidak memberontak dan tidak pula memerangi mereka karena dikhawatirkan fitnah. Kita mendengar dan taat kepada Wulatul Umur. Demikian pula kita tidak mencabut ketaatan dari mereka. Kita ittiba' kepada sunnah dan jamaah dan menjauhi persengketaan dan perpecahan. Jihad bersama mereka tetap berjalan sejak diutusnya Nabi kita shalallahu 'alaihi wa sallam sampai hari kiamat kelak, dan tidak ada sesuatupun yang membatalkannya dan begitu juga haji." (Syarah Ushul I'tiqad 1/176-180)
Sahl
bin Abdullah At-Tutsani berkata ketika ditanya : "Kapankah
seseorang itu mengetahui bahwa dirinya di atas sunnah dan jama'ah?
Seseorang itu di atas sunnah dan jama'ah bila mengetahui adanya
sembilan (9) hal pada dirinya” :
6. Dia tidak memperdebatkan masalah agama. Berkata Abu Ja'far At-Thahawi :
"kita tidak memandang adanya
kebolehan untuk memberontak imam-imam dan Wulatul Umur sekalipun mereka
itu dhalim dan kita tidak mendoakan kejelekan buat mereka. Kita tidak
mencabut tangan ketaatan kepada mereka dan kita pun memandang ketaatan
kepada mereka merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah, selama mereka
tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Kita juga mendoakan kepada mereka."
(Syarah Aqidah Thahawiyyah 368)
Imam Al-Barbahari berkata : "Ketahuilah, bahwa kedhaliman
sulthan tidak mengurangi sedikitpun kewajiban yang diwajibkan oleh Allah
melalui lisan Rasul-Nya (yakni untuk taat kepada sulthan), kedhaliman dia
(sulthan) atas dirinya dan ketaatan serta kebaikanmu bersamanya, sempurna
isnya Allah, yakni ketaatan kau berjama'ah, shalat Jum'at dan jihad
bersamanya, dan bergabunglah bersamanya dalam setiap amalan ketaatan. Bila
kamu melihat seseorang mendoakan kejelekan buat sulthan ketahuilah bahwa
dia pelaku bid'ah. Dan bila kamu mendengarkan seseorang mendoakan kabaikan
buatnya, ketahuilah bahwa dia itu Ahlus Sunnah, insya Allah." (Syarhus
Sunnah 51)
Fudhail bin Iyadh berkata : "Kalaulah aku punya doa yang
mustajab (terkabulkan), niscaya aku gunakan buat (kebaikan) sulthan,
karena kita diperintah untuk mendoakan kebaikan buat mereka. Kita tidak
diperintah untuk mendoakan kejelekan buat mereka sekalipun mereka dhalim
dan bertindak sewenang-wenang, karena kedhaliman mereka berakibat fatal
bagi diri mereka sendiri dan juga bagi kaum mukminin. Demikian pula
sebaliknya, kebaikan mereka bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan juga
bagi kaum mukminin." (Thabaqat fi Bayanil Mahajjah 1/236)
Imam Abu Ismail Ash-Shabuni berkata : "Ashabul Hadits
menasehatkan untuk shalat Jum'at, Hari Raya dan shalat-shalat lainnya di
belakang imam kaum muslimin, yang baik maupun yang fajir. Demikian pula
jihad bersama mereka sekalipun mereka dhalim dan bertindak semena-mena.
Dan mereka mendoakan kebaikan buat imam kaum muslimin : berdoa supaya
mereka diberi taufiq oleh Allah dan supaya mereka berbuat adil terhadap
rakyat. Mereka tidak memberontak kepada Umara sekalipun mereka melihat
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan dan sekalipun mereka (Umara)
berbuat dhalim dan bengis. Dan mereka (Ashabul Hadits) memerangi
kelompok-kelompok yang memberontak kepada Umara, sampai mau kembali taat
kepadanya." (Aqidah Salaf Ashabul Hadits 92,93)
Pendapat para ulama Ahlus Sunnah tentang masalah ini banyak sekali dan
bisa dilihat dalam kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah seperti : Kitab As-Sunnah
karya Ibnu Bathah, Syarah Ushul I'tiqad karya AL-Lalika'i, Aqidah Salaf
Ashabul Hadits karya Abu Ismail Ash-Shabani, Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah
karya Abul Qasim Al-Asbahani, Syarah Aqidah Thahawiyyah karya Ibnul Abil
Izz, dll. Semua kitab itu bisa menjelaskan manhaj Ahlus Sunnah dalam
bermuamalah dengan Umara, sulthan dan Walatul umur.
Pendapat-pendapat itu tidak hanya tertulis di kitab-kitab saja, tetapi
juga telah dipraktekkan secara langsung oleh para ulama Ahlus Sunnah,
diantaranya :
Dari Abdullah bin Umar dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, dia berkata : Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : "Makna adalah :
sekalipun para sulthan ini memonopoli perkaramu, sehingga mereka tidak
berlaku adil terhadapmu dan mereka tidak menunaikan hakmu," seperti
yang tersebut dalam Bukhari dan Muslim dari Usaid bin Hudhair bahwa
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda” :
"Sesungguhnya kalian akan menemui perkara yang tidak disenangi
setelahku, maka hendaklah kalian bersabar sampai kalian berjumpa denganku
di telaga haudh nanti."
(HR. Bukhari 3/41 dan Muslim3/1474) "Sesungguhnya akan ada sepeninggalku perkara yang tidak kamu senangi dan kalian ingkari." Para shahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang dari kalangan kami yang menjumpainya?" beliau menjawab : "Kalian tunaikan kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah akan hak kalian." (HR.Bukhari 4/312 dan Muslim 3/1472)
Dari
Wail bin Hujr radhiallahu 'anhu, dia berkata : Salamah bin Yazid Al-Ju'ti
pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam : "Wahai
Rasulullah, kalau kita diperintah oleh sulthan yang meminta haknya, tapi
tidak mau menunaikan hak kami, apa yang engkau perintahkan kepada kami?"
Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam berpaling darinya. Kemudian
Salamah bertanya lagi dan Rasulullah berpaling lagi. Kemudian Salamah
bertanya lagi untuk yang ketiga kalinya, maka ia ditarik oleh Al-Asy'ats
bin Qais. Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Dengar
dan taatlah kalian, karena mereka akan memikul dosa-dosa mereka dan kalian
juga akan memikul dosa-dosa kalian (sendiri)." (Muslim 3/1474)
"Dan apa saja yang meninpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan
tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)." (Asy-Syura : 30)
Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiallahu 'anhu, dia berkata : Kekasihku (Rasulullah
shalallahu 'alaihi wa sallam) pernah berwasiat kepadaku :
Dari Auf bin Malik radhiallahu 'anhu dari Rasulullah shalallahu 'alaihi
wa sallam, beliau bersabda : "Sebaik-baik pimpinan kalian adalah
kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian. Kalian doakan
kesejahteraan bagi mereka dan mereka doakan kesejahteraan bagi kalian. Dan
sejelek-jelek pimpinan kalian adalah kalian memebenci mereka dan mereka
membenci kalian. Kalian melaknati mereka dan mereka melaknati
kalian." Kami para shahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, apakah
mereka boleh kita perangi ketika terjadi demikian?" Rasulullah
shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Tidak, selama mereka masih
shalat bersama kalian. Ketahuilah barangsiapa urusannya diurus oleh Ulil
Amri (sulthan) kemudian dia melihatnya berbuat maksiat kepada Allah, maka
hendaklah dia benci terhadap maksiat yang dia perbuat dan sungguh jangan
cabut ketaatan padanya." (HR. Muslim 3/1482) Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu, dia berkata bahwa Rasulullah
shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu bahwa Nabi shalallahu 'alaihi
wa sallam bersabda :
“Maka ketika mereka membukakan pintu kerusakan pada jaman Utsman
radhiallahu 'anhu dan mengingkari perbuatan Utsman secara terang-terangan,
memuncaklah fitnah dan terjadilah pembunuhan, peperangan dan kerusakan
fatal yang tidak pernah punah bekasnya sampai sekarang. Akhirnya
terjadilah fitnah antara Ali dan Muawiyyah, dan terbunuhlah Utsman, Ali
dan banyak dari kalangan shahabat disebabkan pengingkaran yang dilakukan
secara terang-terangan. Kita mohon keselamatan kepada Allah." (Haququl Ra'i wa Ra'iyyah 27-28) Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa yang ingin menasehati sulthan, maka janganlah dia jelaskan terang-terangan (di depan mata), tapi hendaklah dia ambil tangan sulthan dan menyendiri dengannya. Kalau sulthan itu menerima nasehatnya, maka dia telah menasehatinya dan kalau sulthan itu tidak mau menerima, maka dia telah menunaikan kewajibannya." (HR. Ahmad 3/403) 2. Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Beliau pernah ditanya : "Bagaiman manhaj salaf dalam bermuamalah dengan pemerintah Islam adalah mendengar dan taat kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya) : "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (hal) maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa : 59) Demikian pula Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :
"Aku wasiatkan kepada kalian untuk takwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada sulthan) sekalipun kalian diperintah oleh budak (Habasyi), karena sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka (pada saat itu) wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan ia berkata : HASAN SHAHIH. Dishahihkan pula oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami' 2546)
“Hadits
ini sesuai betul dengan ayat tersebut di atas. Begitu juga hadits-hadits
shahih lain yang menganjurkan untuk mendengar dan taat kepada pemerintah
Islam. Pemerintah Islam harus ditaati dalam perkara taat kepada Allah.
Tetapi kalau memerintahkan kepada maksiat, maka tidak boleh ditaati.
Sedangkan dalam masalah selain ini (selain maksiat kepada Allah) mereka
harus ditaati."
(Wujud Tha'ati Sulthan 25-26) [1] Salah satu tokoh Mu'tazilah yang mendakwahkan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, dan dia adalah orang yang mempengaruhi Khalifah Al-Watsiq sehingga Imam Ahmad dipenjara |