HOME

SALAFY

MUSLIMAH

DOWNLOAD

LINKS

ABOUT ME

بسم الله الرحمن الرحيم

Bagian Pertama

Hizbut Tahrir Mu’tazilah Gaya Baru

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

[ Dinukil Dari Hizbut Tahrir Mu’tazilah Gaya Baru, Syaikh Al Albani, cahaya tauhid press ]

Halaman 2 Dari 2 Halaman [Previous Page 1]

Telah kita ketahui benar, bahwa tatkala Allah Subhanahu wa Ta'ala mengajak berbicara manusia dengan firman-Nya, Ia hanya berbicara dengan orang-orang yang berakal, yang berilmu, dan orang-orang yang berpikir. Akan tetapi kita tahu bahwasanya akalnya manusia itu berbeda, maka akal tersebut ada dua macam, ada akal orang Muslim, ada pula akal yang kafir. Adapun akal yang kafir itu bukanlah akal, walaupun mungkin akal tadi memiliki kepandaian dan kejeniusan, akan tetapi itu semua tidak menjadikannya sebagai akal, hal ini dikarenakan akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyah yaitu sesuatu yang mengekang pemiliknya dan mengikatnya agar tidak lari ke kanan atau ke kiri. Dan tidak mungkin orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan ke kiri kecuali apabila dalam memahami Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah dia mengikatnya dengan pemahaman Salaf. Oleh sebab itu Allah ceritakan tentang pengakuan orang-orang kafir dan orang-orang musyrik pada hari kiamat bahwasanya mereka bukanlah orang-orang yang berakal.

Dan mereka berkata : “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya kami tidaklah termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al Mulk : 10)

Mereka mengakui bahwa dulu ketika di dunia bukanlah orang-orang yang berakal, padahal di antara mereka itu ada orang-orang pandai yang mengetahui perkara-perkara yang nampak dari kehidupan dunia sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Mereka hanya mengetahui yang dhahir saja dari kehidupan dunia sedangkan mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum : 7)

Maka ada dua akal yaitu akal hakiki dan akal majazi, adapun akal hakiki adalah akalnya orang Muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya sedangkan akal majazi adalah akalnya orang kafir yang mereka sendiri mengaku tidak berakal.

“Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya kami tidaklah termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al Mulk : 10)

“ … mereka mempunyai hati tapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah).” (QS. Al A’raf : 179)

Mereka itu memiliki hati tapi tidak mempergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka orang-orang kafir itu punya hati akan tetapi mereka tidak berakal dengannya yaitu mereka tidak mempergunakannya untuk memahami al haq (kebenaran). Maka kita telah mengetahui hakikatnya (bahwa orang-orang kafir tidak berakal) dan saya kira tidak ada perselisihan padanya, karena perkara ini sudah jelas dalam Al Qur’an dan Hadits Rasululah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam akan tetapi saya ingin menyambung suatu hakikat menuju hakikat lain yaitu suatu pembahasan sehubungan dengan syahid-syahid (penguat) dalil-dalil ini.

Apabila akal orang kufur bukanlah akal (yang hakiki), maka akal seorang Muslim juga dibagi menjadi dua yakni akal orang yang alim dan akal orang jahil. Maka akal seorang Muslim yang jahil tidak mungkin sama dengan akal seorang Muslim yang alim dalam memahami sesuatu. Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“ … dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al Ankabut : 43)

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman :

“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl : 43)

Oleh sebab itu tidak boleh seorang Muslim yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya dengan sebenar-benarnya (keimanan) menjadikan akalnya sebagai hakim, akan tetapi akal itu harus tunduk terhadap apa yang difirmankan Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Dari sini kita fokuskan tentang dakwahnya Hizbut Tahrir, bahwasanya mereka itu terpengaruh dengan Mu’tazilah. Antara Mu’tazilah dengan Hizbut Tahrir sama dalam Nizham Al Islam (peraturan-peraturan Islam/jalan menuju kekuasaan), dan Thariqul Iman (jalan menuju keimanan), ini merupakan bahasan pokok bagi mereka (Hizbut Tahrir) dalam kitab mereka Nizhamul Islam yang ditulis oleh pimpinan mereka, Taqiyuddin An Nabhani. Dan saya sering bertemu dengannya lebih dari satu kali dan saya benar-benar tahu tentang Hizbut Tahrir. Oleh sebab itu saya akan berbicara di atas ilmu tentang dakwah mereka.

Inilah point pertama, sebagai kritikan atas mereka bahwasanya mereka itu menjadikan akal suatu keistimewaan yang bukan pada semestinya. Saya ulangi di sini bahwasanya saya tidak meniadakan kedudukan akal dalam Islam. Akan tetapi saya tekankan bahwasanya akal tidak bisa menghukumi Al Qur’an dan Sunnah, tetapi justru akal-lah yang harus tunduk pada Al Qur’an dan Sunnah serta khabar dari keduanya. Tidaklah kewajiban akal itu melainkan untuk memahami apa-apa yang datang di dalam Al Qur’an dan Sunnah. Di sini penyimpangan Mu’tazilah zaman dulu yang mereka itu mengingkari banyak sekali hakikat syariat yang besar disebabkan mereka memberi kuasa/kebebasan akal mereka di atas nash-nash Al Qur’an dan Sunnah. Maka mereka menyelewengkan (nash-nash Al Qur’an dan Sunnah), mereka mengganti apa-apa yang ada di dalamnya dan merubahnya, dan mereka meninggalkan/mengabaikan pemahaman ulama Salaf.

Dengan point ini saya ingin menyatukan pandangan pembaca bahwa seyogyanya akal seorang Muslim tunduk pada nash-nash Al Qur’an dan Sunnah dalam memahami keduanya. Maka hakim itu adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, bukan akal manusia. Sebagaimana telah kita sebutkan bahwasanya akal itu berbeda antara yang Muslim dan yang kafir dan berbeda pula antara yang alim dengan yang jahil. Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, --dan tidak apa-apa mengulang-ulang dalil-- karena pembahasan ini sedikit sekali dibahas oleh sekian juta dari kaum Muslimin laki-laki lebih-lebih wanita. Oleh sebab itu saya terpaksa mengulang-ulang point dan dalil ini, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“ … dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al Ankabut : 43)

Dari sini kita berhenti sejenak, siapakah orang-orang yang berilmu itu? Apakah mereka ulama dari orang-orang kafir? Tidak sama sekali! Kita tidak menghargai mereka karena mereka bukanlah orang-orang yang berakal. Pada hakikatnya mereka itu orang yang cerdas, karena berhasil menemukan kemajuan dalam peradaban dan materi, hal ini sudah terkenal di kalangan umum (menyeluruh). Demikian juga akalnya kaum Muslimin, tentu tidaklah sama akalnya orang alim dengan akalnya orang jahil. Saya mengatakan masalah lain yaitu akal orang-orang alim yang beramal dengan ilmunya. Oleh sebab itu (karena permasalahan akal ini) kaum Mu’tazilah menyeleweng dalam permasalahan ushul (dasar-dasar agama) yang mereka tetapkan, meyelisihi jalan syar’i baik Al Qur’an dan Sunnah dan manhaj Salafus Shalih. Inilah point yang pertama yaitu penyandaran Hizbut Tahrir atas akal yang melebihi kedudukan yang semestinya.

Point yang kedua, adalah cabang dari point yang pertama. Mereka (Hizbut Tahrir) membagi nash-nash Al Qur’an dan Sunnah pada dua bagian dari sisi periwayatan dan dalalah-nya (penunjukkannya). Adapun dari segi periwayatannya, mereka berkata : “Riwayat kadangkala berbentuk Qath’iyyatu Ats Tsubut (jelas dan pasti sumbernya dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) dan kadangkala berbentuk Zhanniyyatu Ad Dalalah (belum jelas penunjukkannya).”

Kita tidak akan mendiskusikan/mendebat istilah ini karena sebagaimana dikatakan : “Tidak ada permasalahan dalam istilah.” Akan tetapi kita akan mendiskusikan dampak yang mereka timbulkan dari istilah ini berupa penyelisihan terhadap apa-apa yang ada pada generasi pertama kaum Muslimin (para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).

Dari sini tampak bagi kita semua betapa pentingnya Sabilul Mukminin (jalan kaum Mukmin/shahabat) karena hal ini merupakan tolok ukur yang bisa menjaga orang Muslim yang alim, lebih-lebih Muslim yang jahil (bodoh) agar tidak terlepas jauh dari nash Al Qur’an dan Sunnah. Karena kembalinya mereka pada istilah di atas akan menyebabkan mereka berkata bahwa : “Apabila datang nash dalam Al Qur’an dan nash tersebut tidak diragukan lagi, yang menurut istilah terdahulu disebut Qath’iyyatu Ats Tsubut, akan tetapi Zhanniyyatu Ad Dalalah (belum jelas penunjukkannya) maka tidak wajib seorang Muslim menjalankan makna di dalamnya, karena ke-Zhanniyyatu Ad Dalalah-annya. Sehingga (menurut mereka) tidak boleh baginya membangun akidah di atas nash yang Qath’iyyatu Ats Tsubut tetapi Zhanniyyatu Ad Dalalah. Demikian juga sebaliknya, tatkala datang nash Qath’iyyatu Ad Dalalah tetapi tidak Qath’iyyatu Ats Tsubut, sebagaimana hal itu merupakan keberadaan mayoritas hadits-hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka mereka tidak mau mengambilnya sebagai sandaran akidah.”

Dari sinilah kemudian mereka datang dengan akidah baru yang tidak dikenal oleh Salafus Shalih dan mereka menggunakan istilah tertentu bagi mereka dalam kitab-kitab yang mereka tulis. Hal ini sudah diketahui, maksud saya (Syaikh Albani) adalah kitab-kitab mereka yang dahulu. Karena (belakangan) mereka melakukan perbaikan di dalam akidah dan saya termasuk yang paling tahu dengan ini. Akan tetapi pada kenyataannya hanyalah perbaikan secara teoritis saja, itupun seandainya kita terima teori tersebut, ini menunjukkan bahwasanya mereka goncang hingga dalam permasalahan akidahnya, yakni ketika mereka mengatakan : “Sesungguhnya akidah itu tidak ada kecuali dengan dalil Qath’iyyatu Ats Tsubut dan Qath’iyyatu Ad Dalalah, yakni hadits yang shahih secara riwayat dan tidak bisa dijadikan akidah.”

Maka kita katakan pada mereka permasalahan yang kita diskusikan dan kita debat mereka, dari mana kalian mengatakan akidah (keyakinan) demikian? Dari mana kalian mendatangkan hal ini? Maka mereka kebingungan menjawabnya, pembahsaan ini panjang sekali dan mereka mengambil dalil seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Mereka hanya mengikuti prasangka saja dan apa yang diingini oleh hawa nafsu.” (QS. An Najm : 23)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Sesungguhnya prasangka itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm : 28)

Akan tetapi, pembahasan seperti ini akan mengeluarkan kita dari penjelasan semestinya mengenai apa yang kita ketahui tentang Hizbut Tahrir. Karena mendiskusikan kaidah ini dan menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang ada padanya akan selalu mendapatkan bantahan-bantahan. Di samping itu kaidah mereka tersebut ditegakkan di atas dalil yang tak ubahnya seperti fatamorgana di daerah datar yang disangka ada airnya oleh orang yang haus.

Oleh sebab itu kami anggap cukup apa yang yang telah kami jelaskan tentang akidah mereka yang sesat, yang menyatakan : “Tidak benar seorang Muslim membangun akidahnya di atas hadits shahih yang tidak Qath’iyyatu Ats Tsubut walaupun Qath’iyyatu Ad Dalalah.” Maka darimana mereka mendatangkan hal ini? Tidak ada dalil atasnya baik dari Al Qur’an, Sunnah dan dari Salafus Shalih (Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan generasi terdahulu yang shalih). Sebaliknya yang diyakini oleh Salaf bertentangan dengan hal ini.

Firqah ini dibangun oleh sebagian khalaf (generasi akhir), dan mereka itu adalah Mu’tazilah jaman dulu. Dan pengikut mereka di jaman sekarang ini (yang serupa) minimal dalam masalah akidah adalah Hizbut Tahrir (HT)

Saya (Syaikh Albani) berkata : “Setiap kita (tentunya) mengetahui bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tatkala Allah mengutus beliau sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman pada Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :

“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu, dan jika tidak kamu kerjakan (berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya, Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (QS. Al Maidah : 67)

Dalam menyampaikan risalah-Nya pada manusia kadang-kadang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melakukannya secara langsung, yaitu beliau menghadiri kajian dan perkumpulan manusia, maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pun berkhutbah dengan mereka secara langsung. Kadang-kadang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus utusan dari shahabat pilihannya untuk menyeru pada kaum musyrikin agar mengikuti dakwah Nabi yang mulia. Kadang mengirim surat sebagaimana diketahui dalam sejarah (di antaranya) kepada Heraclius Raja Romawi, kepada Kisra Raja Persia, kepada Al Mauqauqis, serta kepada pemimpin-pemimpin Arab sebagimana dijelaskan dalam kitab-kitab sirah.

Salah satu contoh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus Muadz bin Jabbal radhiallahu 'anhu, Abu Musa Al ‘Asyri radhiallahu 'anhu, Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu ke negara Yaman, dan mengutus Dihyah Al Kalby radhiallahu 'anhu ke negara Romawi. Mereka itu adalah personal (sendiri), sehinga kabar mereka itu (kalau menurut kaidah HT, pent.) tidak menyamai kabar Qath’i, karena mereka perorangan. Muadz bin Jabbal radhiallahu 'anhu di suatu tempat, Abu Musa radhiallahu 'anhu di tempat lain juga Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu di tempat lain pula. Dan terkadang waktu itu juga berbeda. Disebutkan dalam Shahihain hadits yang dikeluarkan oleh keduanya (Bukhari dan Muslim) dengan sanad yang shahih :

Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus Muadz ke negara Yaman, beliau bersabda kepadanya : “Jadikanlah pertama kalinya yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat bahwasanya tidak ada sesembahan (yang benar) kecuali Allah.”

Maka siapa lagi yang ragu dari kalangan Muslimin bahwa syahadat adalah dasar pertama dari Islam, maksudnya akidah yang pertama kali dibangun di atas iman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya ‘Alaihimus Salam.

Sungguh Muadz bin Jabbal radhiallahu 'anhu telah pergi ke Yaman seorang diri untuk menyampaikan dan menyeru kepada kaum musyrikin agar mereka beriman kepada agama Islam. Muadz menyuruh mereka mendirikan shalat lima waktu sehari semalam, ada yang dua rakaat, empat rakaat, tiga rakaat, dan yang lainnya yang telah kita ketahui secara rinci, serta menyuruh mereka membayar zakat sampai diperinci (kepada) zakat yang berhubungan dengan emas dan perak, yang berhubungan dengan buah-buahan, sapi, onta dan yang lainnya. Pertanyaannya sekarang, apakah hujjah Islam telah ditegakkan atas orang-orang musyrikin dengan diutusnya Muadz bin Jabbal radhiallahu 'anhu seorang diri oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam?

Sangat disesalkan bahwasanya menurut Hizbut Tahrir hujjah belum ditegakkan atas mereka, karena Muadz radhiallahu 'anhu seorang diri dan memungkinkan dia dusta sebagaimana yang mereka katakan. Apabila kita mengatakan, jauh kemungkinan dia itu berdusta, maka mereka mengatakan minimal dia (Muadz) keliru dan lupa.

Mereka datang dengan filsafat, bahwasanya kita tidak boleh mengambil hadits shahih sebagai akidah Islamiyah. Jika demikian orang-orang Yaman, ketika Muadz radhiallahu 'anhu berdakwah kepada mereka dalam masalah akidah, belum tegak hujjah atas mereka, disebabkan Muadz radhiallahu 'anhu seorang diri sementara itu, penduduk Yaman sebagian mereka adalah penyembah patung, Nashrani, Majusi. Menurut kaidah Hizbut Tahrir, hujjatullah dalam masalah akidah belum ditegakkan atas mereka (penduduk Yaman), adapun dalam masalah ahkam (hukum-hukum), Hizbut Tahrir berpendapat sebagaimana Muslim pada umumnya, (dengan mengatakan) : “Ya, hadits ahad bisa dipakai dalam masalah ahkam syar’iyyah dan tidak bisa dipakai dalam masalah akidah (keyakinan) Islamiyah.”

Muadz radhiallahu 'anhu di sini berperan sebagai pembawa akidah yang seorang diri dalam Islam secara menyeluruh mencakup (permasalahan) ushul, furu’ (cabang-cabang), aqidah-aqidah, dan hukum-hukum. Maka darimana mereka mendatangkan pemilah-milahan tersebut?

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapakmu mengada-adakannya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya.” (QS. An Najm : 23)

Dari sini saya akan mengakhiri pembahasan sehubungan dengan hadits ahad yang ditolak oleh Hizbut Tahrir. Puluhan hadits shahih mereka tolak dengan didasari kaidah yang lemah dan tidak didasari dengan akar yang kokoh, yaitu hadits-hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah akidah.

Da’i Hizbut Tahrir Dipermalukan Muslimin Jepang

Saya akhiri dengan permasalahan berikut, disebutkan bahwasanya salah satu da’i mereka (Hizbut Tahrir) pergi ke Jepang, kemudian memberikan kajian/ceramah pada mereka (penduduk Jepang) yang salah satu materinya adalah tentang jalan atau cara untuk beriman. Di dalamnya (ia mengatakan) bahwasanya hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah akidah. Ketika itu hadir seorang pemuda yang berakal cerdik pandai berkata kepada si penceramah tadi : “Wahai Ustadz! Engkau datang ke negeri Jepang sebagai seorang da’i di negeri syirik-kufur seperti yang engkau katakan. Engkau datang menyeru mereka kepada agama Islam dan engkau mengatakan kepada mereka bahwa Islam mengatakan : ‘Sesungguhnya hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah akidah!’ Padahal yang engkau terangkan kepada kita sesungguhnya adalah termasuk dari perkara akidah, (sementara engkau juga mengatakan) dalam masalah akidah jangan memakai (khabar) dari satu orang. Sedangkan engkau sekarang mendakwahi kami kepada Islam dan engkau seorang diri, maka pantaskah bagimu menurut filsafatmu ini? Hendaklah engkau kembali ke negerimu kemudian engkau datangkan orang-orang Muslim yang sepertimu, yang mereka berpendapat seperti pendapatmu sehingga khabarmu menjadi mutawatir.” Maka tercenganglah si penceramah tadi.

Ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh yang menunjukkan dampak negatif orang yang menyelisihi manhaj Salafus Shalih. Dalam Shahih Bukhari telah datang hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Apabila salah seorang di antara kalian duduk pada tasyahud akhir (terakhir) maka mintalah perlindungan pada Allah dari empat perkara : “Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung pada-Mu dari siksa Jahanam, siksa kubur, fitnah hidup dan kematian, dan dari jeleknya fitnah masihiddajjal.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An Nasa’i dengan sanad shahih)

Hadits ini adalah salah satu dari hadits-hadits ahad akan tetapi menurut filsafatnya Hizbut Tahrir adalah hadits yang aneh dan asing. Karena (dalam hadits ini) satu segi mengandung hukum syar’i yang menurut Hizbut Tahrir dalam menetapkan hukum syar’i boleh/bisa menggunakan hadits ahad, di sisi lain mengandung permasalahan akidah (yang sebagaimana biasa, mereka akan menolak menggunakannya sebagai sandaran). Di sana disebutkan tentang siksa kubur dan fitnah Dajjal yang besar yang telah diriwayatkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan hadits-hadits yang banyak. Salah satunya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :

“Di antara penciptaan Adam dan Hari Akhir akan muncul fitnah atas umatku yang lebih berbahaya daripada Dajjal.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Al Hakim)

Mereka (Hizbut Tahrir) tidak meyakini adanya Dajjal ini, karena mereka menganggap ini bukanlah hadits mutawatir.

Kita tanya kepada mereka, bagaimana pendapat kalian terhadap hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu (tersebut) yang di satu sisi mengandung hukum syar’i, sehingga wajib bagi kalian pada akhir shalatnya mengucapkan :

“Wa a’udzu bika min adzabil qobri.”

Apakah kalian berlindung (kepada Allah) dari siksa kubur sementara kalian tidak beriman dengan siksa kubur? Ini adalah dua hal berlawanan yang tidak akan pernah bertemu. Kemudian mereka datang kepada kita berkelit dengan cara yang dilarang Allah bagi kaum Muslimin dengan mengatakan : “Kita membenarkan siksa kubur tapi tidak beriman dengannya.”

Ini adalah filsafat yang aneh dan janggal, apa yang bisa membawa mereka (pada yang demikian itu). Mereka datang dengan filsafat yang pertama dan bersambung dengan filsafat yang banyak. Maka keluarlah mereka dengan filsafatnya dari jalan yang benar/lurus yang para shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berada di atasnya, dan hadits sebagaimana yang telah dijelaskan panjang lebar.

Sesungguhnya termasuk dakwah Hizbut Tahrir sebagaimana yang mereka gembar-gemborkan, bahwasanya mereka mempunyai keinginan untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi ini. Saya ingin mengingatkan bahwa Hizbut Tahrir tidaklah sendirian dalam tujuan ini, karena tiap kelompok dan sekte-sekte Islamiyah semuanya mempunyai tujuan akhir dengan ini, yakni menginginkan tegaknya hukum Allah di muka bumi.

Akan tetapi timbul satu pertanyaan! Apakah sekte-sekte ini dan salah satunya adalah Hizbut Tahrir berada di atas jalan Allah yang lurus seperti yang Rasulullah dan para shahabatnya berada di atasnya?

Jawabnya, telah kita tunjukkan berulang-ulang (sebagaimana dalam syair, pent.) :

“Semua mengaku mendapatkan Laila sedangkan Laila tidak mengakui hal itu pada mereka sama sekali.”

Golongan-golongan yang ada ini tidak menggunakan dasar yang ketiga yaitu pemahaman Salafus Shalih dalam memahami Islam, oleh sebab itu mereka jauh dari pertolongan Allah karena Allah menolong orang yang menolong-Nya. Dan jalan untuk mendapatkan pertolongan Allah yaitu dengan mengikuti Al Qur’an, Sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan jalannya orang-orang Mukmin (para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam). Syarat ini yang dilalaikan oleh golongan-golongan sesat terdahulu dan hizb-hizb jaman sekarang ini termasuk Hizbut Tahrir yang pemikiran-pemikiran mereka dalam masalah akidah menyeleweng.

Oleh sebab itu kita ulangi lagi apa yang telah kita mulai (sebelumnya), “kelompok mana saja yang tidak menegakkan akidah dan manhajnya di atas pemahaman Salafush Shalih maka dia tidak akan bisa menegakkan Islam, baik itu parpol Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, atau golongan lainnya.” Karena mereka tidak menegakkan dakwahnya dengan tiga dasar ini, yaitu Al Qur’an, Sunnah Rasul-Nya yang shahih, dan manhaj Salafus Shalih. Maka dari mana mereka akan mampu menegakkan Islam tanpa tiga landasan di atas?

Kami cukupkan sampai di sini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kaum Mukminin. Wallahu A’lam Bis Shawab.

Selesai Bagian Pertama. Lihat bagian kedua : Kumpulan Risalah Ilmiyah Tentang Hizbut Tahrir dan Kesesatannya.

Halaman 2 Dari 2 Halaman [Previous Page 1]

HOME

SALAFY

MUSLIMAH

DOWNLOAD

LINKS

ABOUT ME

Hosted by www.Geocities.ws

1