Sudah sampaikah padamu cerita tentang tamu Ibrahim yang
dimuliakan? Ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaman."
Ibrahim menjawab: "Salamun, (kalian) adalah orang-orang yang tidak
dikenal." Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya lalu
dibawanya daging bakar dari anak sapi yang gemuk dan dihidangkannya kepada
mereka, Ibrahim berkata: "Tidakkah kalian makan?"
(Adz-Dzariyat:
24 - 27)
Syaikh Salim Al-Hilali hafidhahullah menerangkan panjang lebar firman
Allah di atas dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin. Ia mengatakan: "Ini
adalah kisah tentang malaikat-malaikat yang mulia. Mereka mendatangi
Ibrahim `alaihis salam untuk menyampaikan berita gembira tentang kelahiran
Ishaq dan anaknya Ya`qub. Mereka lantas mengucapkan salam dan Ibrahim pun
menjawabnya dengan sebaik-baiknya. Beliau tidak mengenali mereka sebab
mereka datang dalam bentuk pemuda tampan, beliau sangka mereka adalah
tamu-tamu sehingga beliau berkeinginan menjamu mereka dan memang beliaulah
yang pertama kali menjamu tamu. Beliau menyelinap dengan sembunyi-sembunyi
dan dengan segera beliau datang dengan membawa daging panggang dari sapi
yang gemuk. Itulah makanan terbaik yang dimiliki yang beliau panggang di
atas batu panggang. Kemudian beliau mendekatkannya kepada mereka dan
mempersilahkan dengan ungkapan yang lembut dan penghormatan yang bagus:
‘Tidakkah kalian makan?’ “
Dalam ayat-ayat ini terkandung adab menjamu tamu. Beliau (Ibrahim
‘alaihis salam) datang dengan segera membawa makanan tanpa mereka (para
tamu) sadari dan tanpa mengharap sebelumnya karena ungkapan (tuan rumah):
‘Kami akan menghidangkan makan’, tetapi dengan cepat dan
sembunyi-sembunyi, beliau menjamu tamunya dengan seutama-utama apa yang
beliau dapati dari hartanya lalu beliau dekatkan dengan cara yang baik di
hadapan mereka. Tidak dengan meletakkannya lalu berkata: "Silahkan
mendekat!" Tidak pula dengan perintah yang memberatkan
pendengar dalam sighat jazm, tetapi beliau mengucapkan: "Tidakkah
kalian makan?"
Ungkapan ini sama dengan ungkapan kita hari ini: "Bila anda ingin
memuliakan, berbuat baik dan bersedekah maka silahkan lakukan."
(Bahjatun Nadhirin: 2/28).
Hal Menerima Tamu
Layaknya
bila ada tamu yang datang, ia akan mengucapkan salam pada penghuni rumah,
mengamalkan firman Allah subhanahu wa ta’ala: ”Apabila kalian
memasuki suatu rumah, hendaklah kalian memberi salam (kepada penghuninya
yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan
di sisi Allah yang diberi barakah lagi baik.” (An-Nur:
61)
Bagi tuan rumah wajib untuk menjawab salam tersebut , sebagaimana firman
Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat An Nisa’: “Apabila kamu
dihormati dengan suatu penghormatan maka balaslah penghormatan itu dengan
yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa.”
(An Nisa’: 86)
Dalam menafsirkan ayat di atas, Syaikh Salim Al-Hilali hafidhahullah
menyatakan: "Maksudnya: bila seorang muslim mengucapkan salam
kepadamu maka balaslah salamnya dengan yang lebih baik (afdlal) atau
balaslah dengan yang serupa dengannya. Maka membalas dengan yang lebih
afdlal hukumnya mandub (sunnah) sedang membalas dengan yang semisalnya
hukumnya wajib." (Bahjatun Nadhirin: 2/127)
Sebelum tamu dipersilahkan masuk, hendaknya tuan rumah menanyakan terlebih
dahulu identitas tamu. Kata Imam Nawawi rahimahullah: "Termasuk
dari sunnah adalah menanyakan identitas orang yang minta izin dengan
mengatakan: "Siapa anda ?" dan hendaknya orang yang ditanya
menjawab dengan menyebutkan identitasnya yang ia dikenal dengannya,
seperti nama atau kunyah, dan makruh (tidak disukai) menjawab dengan
"saya" atau yang semisalnya." (Riyadlus Shalihi : 374).
Disebutkan dari Jabir radliyallahu ‘anhu ia berkata: "Saya
pernah berkunjung kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam maka sayapun
mengetuk pintu. Beliau bertanya: Siapa itu ?". Saya jawab: "Saya".
Beliau berkata: "Saya, saya !", seolah-olah beliau tidak suka".
(Muttafaqun
`alaih).
Kemudian, bagimanakah halnya bila suami tidak di rumah?
Bolehkah bagi seorang istri menerima dan menjamu tamu pria? Dalam hal ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memperingatkan para
shahabat agar jangan sekali-kali masuk menemui wanita ajnabi (bukan mahram)
tanpa disertai mahramnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Janganlah sekali-kali kalian masuk menjumpai wanita". Maka
seseorang dari kaum Anshar bertanya: "Wahai Rasulullah, bagaimana
dengan al-hamwu ?" Beliau menjawab: "Al-Hamwu (keluarga suami)
adalah maut". (Muttafaqun `alaih)
Imam Al-Baghawi dalam menerangkan hadits ini menyatakan (al-hamwu)
jamaknya adalah ahma’ yaitu keluarga laki-laki dari pihak suami dan
keluarga perempuan dari pihak istri dan yang dimaukan di sini adalah
saudara laki-laki suami (ipar) sebab dia bukan mahram bagi si istri. Dan
bila yang dimaukan adalah ayah suami sedang ayah suami adalah mahram maka
bagaimana lagi dengan yang bukan mahram?
Tentang kalimat "Al Hamwu adalah maut", kata Ibnul `Arabi:
"Ini adalah kalimat yang diucapkan oleh orang Arab, sama dengan
ungkapan: "Srigala adalah maut", artinya bertemu srigala sama
dengan bertemu maut."
Juga tidak boleh bagi seorang istri memasukkan ke rumah suami tamu yang
tidak disukai oleh suami meskipun tamu tersebut masih keluarganya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Sesungguhnya
hak kalian atas mereka (para istri), hendaknya para istri jangan
menghamparkan tikar kalian untuk orang yang kalian benci, bila mereka
tetap lakukan, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak dimaksudkan
untuk menyakiti. Sedangkan hak mereka atas kalian kalian adalah hendaknya
kalian memenuhi makanan dan pakaian mereka dengan cara yang ma`ruf.”
(Bagian dari hadits Jabir radliyallahu ‘anhu yang panjang
diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, Nasa`i, dan yang lainnya)
|