بسم الله الرحمن الرحيم
Menanamkan Pondasi Akidah yang Kokoh Sejak Usia Dini |
Setiap mukmin pasti tidak bisa memungkiri pengakuan dalam lubuk hatinya yang paling dalam bahwa Rasulullah, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah figur guru/pengajar yang terbaik. Sehingga metode Rasulullah dalam menanamkan keyakinan aqidah kepada para Sahabatnya, termasuk yang masih sangat muda belia, adalah metode yang paling relevan diterapkan dalam berbagai situasi zaman.
Di saat setiap orang tua muslim mulai khawatir dengan keimanan dan moral
anaknya, para pendidik mulai mencemaskan perkembangan kepribadian peserta
didiknya, patutlah kita menengok kembali bagaimana Rasulullah memberikan contoh
peletakan pondasi keimanan yang kokoh kepada seorang sahabat, sekaligus sepupu
beliau yang masih kecil waktu itu, yakni Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu.
Bukti sejarah memaparkan keunggulan
metode pengajaran Rasulullah tersebut yang membuahkan pribadi yang beriman dan
berilmu seperti Ibnu Abbas. Kita kemudian mengenal beliau sebagai seorang Ulama’
di kalangan sahabat Nabi, seorang ahli tafsir, sekaligus seorang panutan yang
menghiasi dirinya dengan akhlaqul karimah, sikap wara’, taqwa, dan perasaan
takut hanya kepada Allah semata.
Begitu banyak keutamaan Ibnu Abbas
yang tidak bisa kita sebutkan hanya dalam hitungan jari. Beliau adalah seseorang
yang didoakan oleh Rasulullah :
“Wahai Allah, pahamkanlah ia dalam permasalahan Dien, dan ajarilah ia ta’wil
(ilmu tafsir AlQuran).”
Beliau pula yang dua kali didoakan Rasulullah supaya
dianugerahi hikmah oleh Allah. Tidak ada yang menyangsikan maqbulnya doa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia yang paling bertaqwa di sisi
Allah.
Mari kitak simak salah satu metode pengajaran agung itu, untuk selanjutnya kita
gunakan pula dalam membimbing anak-anak kita meretas jalan menuju hidayah dan
bimbingan Allah. Disebutkan dalam suatu hadits :
Inilah salah satu wasiat Rasulullah yang mewarnai kalbu Ibnu Abbas, menghunjam
dan mengakar, serta membuahkan keimanan yang mantap kepada Allah. Kita juga
melihat bagaimana metode dakwah Rasulullah, hal pertama kali yang ditanamkan
adalah tauhid, bagaimana seharusnya manusia memposisikan dirinya di hadapan
Allah. Manusia seharusnya mencurahkan segala hidup dan kehidupannya untuk
menghamba hanya kepada Allah. Tidaklah Rasulullah mendahulukan sesuatu sebelum
masalah tauhid diajarkan.
Kalau manusia ingin selalu berada dalam penjagaan Allah, maka dia harus
‘menjaga’ Allah. Makna perkataan Rasulullah: “Jagalah Allah,
niscaya Allah akan
menjagamu …” dijelaskan oleh seorang Ulama’ bernama Ibnu Daqiqil ‘Ied
:
“Jadilah engkau orang yang taat kepada Rabbmu, mengerjakan
perintah-perintah-Nya, dan berhenti dari (mengerjakan) larangan-larangan-Nya”.
(Syarah al-arba’in hadiitsan an-nawawiyah).
Makna perkataan Rasul
: “Jagalah Allah,
niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu
…”. Syaikh Abdirrahman bin Muhammad
bin Qasim al- Hanbaly an-Najdi dalam kitabnya Hasyiyah Tsalatsatil Ushul,
menjelaskan makna hadits tersebut : “Jagalah batasan-batasan Allah dan
perintah-perintah-Nya, niscaya Ia akan menjagamu di manapun kamu berada”.
“Jika engkau memohon, memohonlah kepada Allah, jika engkau meminta pertolongan,
minta tolonglah kepada Allah”. Ini adalah sebagai perwujudan pengakuan kita yang
selalu kita ulang-ulang dalam sholat : Iyyaaka na’budu waiyyaaka nasta’iin
Artinya: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, dalam keadaan dia
menasehatinya: 'Wahai anakku janganlah engkau menyekutukan Allah,
sesungguhnya kesyirikan adalah kedzaliman yang paling besar' "
(Q.S.Luqman:13)
Meminta pertolongan dalam permasalahan yang hanya Allah saja yang mampu
memenuhinya, seperti rezeki, kebahagiaan, kesuksesan, keselamatan, dan yang
semisalnya, kepada selain Allah adalah termasuk bentuk kedzaliman yang terbesar
itu (syirik). Berbeda halnya jika kita minta tolong dalam permasalahan yang
manusia memang diberi kemampuan secara normal oleh Allah untuk memenuhinya,
seperti tolong menolong sesama muslim dalam hal finansial, perdagangan dan
semisalnya.
Dua bait ucapan Rasulullah ini mempertegas dan
memberikan argumen yang pasti bahwa Allah sajalah yang berhak dijadikan tempat
bergantung, meminta pertolongan, karena hanya Dia saja yang bisa menentukan
kemanfaatan atau kemudharatan akan menimpa suatu makhluk. Rasulullah juga
mengajarkan kepada kita dzikir seusai sholat yang menguatkan pengakuan itu :
Artinya: “…Wahai Allah tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan
tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah/halangi…”
(Hadits
riwayat Bukhari 2/325 dan Muslim 5/90, lihat kitab Shahih al-Waabilus Shayyib
minal Kalamit Thayyib, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly).
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri” (Q.S. Al-hadiid:22-23).
Sungguh indah rasanya jika teladan
pengajaran dari Rasulullah ini benar-benar kita tindak lanjuti sebagai upaya
pembekalan bagi anak-anak kita. Mewarnai kalbu mereka yang masih putih seputih
kertas tanpa ada goresan sedikitpun sebelumnya. Sehingga di saat mereka beranjak
dewasa, kita akan menuai hasilnya. Orangtua mana yang tak kan bangga melihat
anak-anaknya tumbuh menjadi manusia yang tangguh, beriman dan berilmu Dien yang
mantap serta siap menghambakan dirinya untuk Allah semata dan siap berjuang
untuk menegakkan Kalimat-Nya, berjihad fi sabiilillah. Tidak ada yang ditakuti
kecuali hanya kepada, dan karena Allah semata.
Syarah
al-Arba’in Hadiitsan an-Nawawiyah,
Imam Ibn Daqiiqil ‘Ied
Taisiril
Kariimir Rahman fi tafsiiri Kalaamil Mannan, Syaikh Abdirrahman bin Naashir As Sa’di
Tafsir
Al-Qurthuby
Shahih
al-Waabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly
Hasyiyah
Tsalaatsatil Ushul, Syaikh Abdirrahman bin Muhammad bin Qasim al-Hanbaly
an-Najdi |