بسم الله الرحمن الرحيم
Aktifitas Mulia di Bulan Muharram |
Muqadimah
Salah
satu hikmah yang tinggi untuk menunjukkan kebesaran Rabbul `Alamin, adanya
permulaan dan penutupan bulan dan tahun yang berkesinambungan yang tak
terputus antara siang dan malam. Ia jadikan keduanya sebagai
perbendaharaan untuk aktifitas yang jelek maupun yang buruk dan perjalanan
hidup manusia, sampai bertemu dengan ajalnya.
Dan
di antara satu dari sekian rahmat Allah yang perlu disyukuri oleh setiap
hamba-Nya, adanya tanda-tanda yang menunjukkan kemahakuasaan dan
kebesaran-Nya yaitu diterbitkannya sang mentari di pagi hari dan rembulan
di senja hari, adanya malam untuk merebahkan diri, siang sebagai aktifitas
mencari penghidupan dan karunia dari-Nya. Firman Allah Ta`ala:
"Dan
Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda lalu Kami hapuskan tanda
malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia
dari Tuhanmu. Dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan
perhitungan. Dan segala sesuatu telah kami tegakkan dengan jelas."
(Al-Isra: 12)
Adanya
pergantian hari, dengannya terprogram kehidupan seseorang, yang silam
menjadi pelajaran bagi yang baru, sehingga stamina dan semangat hidup yang
baru selalu menggebu seolah berenang di lautan yang tak berpantai,
sehingga Allah namakan tidur di malam hari dengan istilah kematian dan
terjaga di siang hari dengan istilah sadar (kehidupan). Firman Allah
Ta`ala:
"Dan
Dia-lah yang menidurkan kamu di malamhari dan Dia mengetahui apa yang kamu
kerjakan di siang hari. Kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari
untuk disempurnakan umurmu yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah
kamu kembali. Lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu
kerjakan." (Al-An`am:
60)
Di
sisi lain adanya rahmat Allah yang telah Dia karuniakan kepada hamba-Nya
yaitu dijadikannya matahari sebagai titik tolak dalam mengetahui
pergantian musim dalam setiap tahun dan bulan sebagai perhitungan hari,
bulan dan tahun, di mana Allah jadikan dalam setiap tahun 12 bulan. Firman
Allah:
"Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan dalam ketetapan Allah
di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri
kamu dalam bulan yang empat itu."
(At-Taubah: 36)
Dua
belas bulan yang diterangkan dalam ayat ini adalah bulan-bulan yang sudah
diketahui oleh kebanyakan kaum Muslimin, yaitu Muharram, Shafar, Rabi’ul
Awwal, Rabi’uts Tsani, Jumadil Awwal, Jumad Ats-Tsani, Rajab, Sya’ban,
Ramadlan, Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah.
Adapun
yang dimaksud dengan empat bulan haram adalah Rajab, Dzulqa’dah,
Dzulhijjah dan Muharram. Sandaran yang benar untuk menghitung pergantian bulan
Salah
satu kemudahan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, Dia jadikan
perhitungan hari, bulan dan tahun berdasarkan munculnya hilal (bulan
tsabit), yang muncul dari arah barat di saat matahari tenggelam. Hal ini
bisa diketahui oleh semua pihak baik individu maupun masyarakat umum.
Di
kala telah terlihat hilal, maka masuklah malam itu sebagai bulan
baru dan berakhirlah bulan yang silam. Dari sini diketahui bahwa
perhitungan waktu sehari-hari dihitung sejak tenggelam matahari, bukan
dari terbitnya karena awal bulan dihitung dengan tenggelamnya matahari.
Salah
satu bukti terhadap hal ini adalah adanya perintah Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam kepada shahabatnya untuk melihat hilal dalam
menentukan bulan Ramadlan dan Syawal. Sebagaimana dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar, beliau mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam bersabda:
"Apabila
kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya
maka berbukalah. Namun bila mendung menghalangi kalian, perkiraan baginya."
(HR. Muttafaqun `alaihi) Dari mana perhitungan tahun Islami dimulai
Pada
jaman khalifah Amirul Mukminin Umar bin Khattab radliyallahu `anhu
beliau mengumpulkan manusia untuk membicarakan darimana dimulainya tahun
Islami. Hal ini terjadi kurang lebih pada 16 H atau 17 H. maka muncullah
berbagai pendapat, di antaranya:
Dan
semua pendapat ini diputuskan oleh Amirul Mukminin bahwa dimulainya
perhitungan tahun Islami adalah dari hijrahnya beliau shallallahu `alaihi
wa sallam karena sejak disyariatkannya hijrah, Allah Ta`ala memilah
antara yang haq dan yang bathil. Pada waktu itu pula awal pendirian negara
Islam. Bulan apakah sebagai pemula tahun baru Islam?
Setelah
ditentukannya awal perhitungan tahun Islam terjadi silang pendapat untuk
menentukan bulan apa yang dipakai sebagai pemula tahun baru. Ada yang
berpendapat Rabi’ul Awwal karena di waktu itu dimulai perintah hijrah
dari Makkah ke Madinah. Pendapat lain mengatakan bulan Ramadlan karena di
bulan itu diturunkannya Al-Qur’an. Namun silang pendapat ini tidak
berjalan lama setelah sebagian besar dari kalangan shahabat seperti Umar,
Utsman dan Ali radliyallahu `anhum `ajma`in sepakat bahwa tahun
baru Islami dimulai dari bulan Muharram. Di mana di bulan itu banyak
hal-hal atau aktifitas yang diharamkan di antaranya tidak boleh mengadakan
peperangan. Kecuali dalam keadaan diserang maka diperbolehkan melawannya
sebagaimana firman Allah:
"Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari
tempat mereka telah mengusir kamu (mekah); dan fitnah itu lebih besar
bahayanya dari pembunuhan; dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil
Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka
memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan
bagi orang-orang kafir."
(Al-Baqarah:191)
"Bulan
haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku
hukum qishash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah berserta orang-orang yang bertakwa." (Al-Baqarah: 194)
Dari
sinilah dikatakannya Muharram sebagai bulan haram. Adakah sebutan lain bagi bulan Muharram?
Jika
kita lihat dari beberapa kalender yang menyebar di jaman kita di sana
tertulis pengganti Muharram ini dengan istilah Syura. Kata ini pun sering
kita dengarkan di masyarakat awam. Wallahu a`lam, mungkin persepsi
ini muncul dari suatu hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
yang menerangkan keutamaan puasa di hari Asyura. Para ulama bersilang
pendapat, apakah kata Asyura merupakan bahasa arab. Pendapat yang benar
adalah, kata ini didengar dari suku arab sehingga ia dikategorikan sebagai
bahasa arab. Kata Asyura menurut sebagian berasal dari kata Asyir yang
artinya kesepuluh (hari kesepuluh di bulan Muharram).
"Dari
Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam puasa di hari Asyura (kesepuluh) dan beliau memerintahkan untuk
berpuasa padanya."
(HR. Bukhari 4 / 214, Muslim 1130, Abu Dawud 2444)
Dari
Abu Hurairah radliyallahu `anhu, dia berkata: telah bersabda Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam: "Puasa yang paling utama setelah
ramadlan adalah bulan Muharram dan shalat yang paling utama setelah shalat
fardlu adalah shalat malam."
(HR. Muslim 3 / 169, Abu Dawud 2429, Tirmidzi 1 / 143, Ad-Darimi 2 /
21, Ibnu Majah 1742, Al-Baihaqi 4 / 291, Ahmad 2 / 303)
Dari
Abu Qatadah Al-Anshari radliyallahu `anhu bahwa beliau Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka
beliau menjawab: “Menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang lalu." (HR.
Muslim 1162) Dan
dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
"Puasa Asyura aku harapkan agar menghapus dosa-dosa tahun yang lalu."
(HR. Muslim 3 / 167, Abu Dawud 2425, Al-Baihaqi 4 / 286, Ahmad 5
/ 295) Pendapat yang benar tentang hukum puasa di bulan Muharram dan waktunya
Para
ulama telah sepakat tentang keutamaan puasa di bulan ini. Namun terdapat
silang pendapat di antara mereka tentang hukum dan waktunya. Ada sebagian
pendapat yang mengatakan wajib, tetapi jumhur ulama berpendapat hukumnya
adalah sunnah. Demikian pula tentang waktunya mereka bersilang pendapat.
Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah:
"Sungguh jika aku masih hidup hingga tahun mendatang, aku akan berpuasa di hari yang kesembilan." (HR. Muslim 1134)
Dari
pendapat-pendapat di atas, yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat
kedua yang menyatakan disyariatkannya puasa di bulan Muharram di hari yang
kesembilan dan kesepuluh. Pendapat ini yang dianut kebanyakan para ulama,
seperti: Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Ibnul Qayyim dan
lain-lain dari selain mereka. Hal ini berdasarkan pemaduan hadits-hadits
yang dlahirnya Rasulullah melakukan puasa di hari kesepuluh sebagaimana
dalam hadits Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Abu Qatadah yang telah lewat,
dengan hadits yang dlahirnya bahwa beliau berniat untuk berpuasa di hari
yang kesembilan sebagaimana hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim. Penutup
Telah
diketahui Islam datang sebagai agama yang universal, di mana terdapat
padanya norma-norma yang mengatur seluruh aktifitas makhluk yang ada di
langit maupun yang di bumi. Syariat-syariat yang telah Allah bebankan
membawa kemaslahatan bagi kehidupan mereka di dunia maupun di akhirat.
Tidaklah perkara ini bisa diketahui kecuali bagi mereka yang mempunyai
hati dan akal sehingga mereka mentadabburi ayat-ayat Allah. Firman Allah
Ta`ala: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal yaitu orang-orang yang mengingat Allah." (Ali Imran: 190 – 191)
"Ini
adalah sebuah kitab yang Kami turunkan padamu penuh dengan berkah…."
(Shad: 29)
Dan
di antara salah satu syariat yang cukup memegang peranan penting dalam
kehidupan sehari-hari setelah shalat, adanya perintah puasa baik itu yang
wajib maupun yang sunnah. Jika kita menengok kehidupan Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam, maka hampir dapat kita katakan aktifitas yang
selalu tidak beliau tinggalkan adalah puasa. Tentang pengabaran
dalil-dalil dalam hal ini cukup panjang dan lebar, yang sudah sering
tertera di berbagai pembahasan yang telah lalu. Sehingga sengaja kami
tidak paparkan satu persatunya mengingat keterbatasan tempat. Namun tidak
ada salahnya kami sampaikan dalil tentang keutamaan puasa secara umum.
Sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:
"Puasa
adalah perisai…."
(al-hadits)
Dari
Abu Said Al-Khudri radliyallahu `anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah seorang hamba puasa
sehari di jalan Allah kecuali Allah jauhkan dengannya wajah dia dari
neraka sejauh 70 tahun." (HR. Muttafaqun `alaihi
Demikian
yang bisa kami sajikan pada rubrik Ahkam kali ini. Mudah-mudahan Allah
jadikan kita semua menjadi orang-orang yang pandai bersyukur dan termasuk
dari Ahlus Shaim (orang-orang yang berpuasa) yang dengannya Allah akan
berikan ampunan dan pahala yang besar. Firman Allah: "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan prempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." (Al-Ahzab: 35) |