HOME

SALAFY

MUSLIMAH

DOWNLOAD

LINKS

ABOUT ME

بسم الله الرحمن الرحيم

Aktifitas Mulia di Bulan Muharram
Oleh : Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin Al-Atsari

 

Muqadimah

Salah satu hikmah yang tinggi untuk menunjukkan kebesaran Rabbul `Alamin, adanya permulaan dan penutupan bulan dan tahun yang berkesinambungan yang tak terputus antara siang dan malam. Ia jadikan keduanya sebagai perbendaharaan untuk aktifitas yang jelek maupun yang buruk dan perjalanan hidup manusia, sampai bertemu dengan ajalnya.

Dan di antara satu dari sekian rahmat Allah yang perlu disyukuri oleh setiap hamba-Nya, adanya tanda-tanda yang menunjukkan kemahakuasaan dan kebesaran-Nya yaitu diterbitkannya sang mentari di pagi hari dan rembulan di senja hari, adanya malam untuk merebahkan diri, siang sebagai aktifitas mencari penghidupan dan karunia dari-Nya. Firman Allah Ta`ala:

"Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu. Dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah kami tegakkan dengan jelas." (Al-Isra: 12)

Adanya pergantian hari, dengannya terprogram kehidupan seseorang, yang silam menjadi pelajaran bagi yang baru, sehingga stamina dan semangat hidup yang baru selalu menggebu seolah berenang di lautan yang tak berpantai, sehingga Allah namakan tidur di malam hari dengan istilah kematian dan terjaga di siang hari dengan istilah sadar (kehidupan). Firman Allah Ta`ala:

"Dan Dia-lah yang menidurkan kamu di malamhari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari. Kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umurmu yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali. Lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan." (Al-An`am: 60)

Di sisi lain adanya rahmat Allah yang telah Dia karuniakan kepada hamba-Nya yaitu dijadikannya matahari sebagai titik tolak dalam mengetahui pergantian musim dalam setiap tahun dan bulan sebagai perhitungan hari, bulan dan tahun, di mana Allah jadikan dalam setiap tahun 12 bulan. Firman Allah:

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (At-Taubah: 36)

Dua belas bulan yang diterangkan dalam ayat ini adalah bulan-bulan yang sudah diketahui oleh kebanyakan kaum Muslimin, yaitu Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’uts Tsani, Jumadil Awwal, Jumad Ats-Tsani, Rajab, Sya’ban, Ramadlan, Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah.

Adapun yang dimaksud dengan empat bulan haram adalah Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram.

Sandaran yang benar untuk menghitung pergantian bulan

Salah satu kemudahan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, Dia jadikan perhitungan hari, bulan dan tahun berdasarkan munculnya hilal (bulan tsabit), yang muncul dari arah barat di saat matahari tenggelam. Hal ini bisa diketahui oleh semua pihak baik individu maupun masyarakat umum.

Di kala telah terlihat hilal, maka masuklah malam itu sebagai bulan baru dan berakhirlah bulan yang silam. Dari sini diketahui bahwa perhitungan waktu sehari-hari dihitung sejak tenggelam matahari, bukan dari terbitnya karena awal bulan dihitung dengan tenggelamnya matahari.

Salah satu bukti terhadap hal ini adalah adanya perintah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kepada shahabatnya untuk melihat hilal dalam menentukan bulan Ramadlan dan Syawal. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, beliau mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

"Apabila kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah. Namun bila mendung menghalangi kalian, perkiraan baginya." (HR. Muttafaqun `alaihi)

Dari mana perhitungan tahun Islami dimulai

Pada jaman khalifah Amirul Mukminin Umar bin Khattab radliyallahu `anhu beliau mengumpulkan manusia untuk membicarakan darimana dimulainya tahun Islami. Hal ini terjadi kurang lebih pada 16 H atau 17 H. maka muncullah berbagai pendapat, di antaranya:

  • Dihitung dari kelahiran Rasulullah.

  • Dihitung dari kematian beliau.

  • Dihitung dari hijrahnya beliau.

  • Dihitung sejak kerasulan beliau.

Dan semua pendapat ini diputuskan oleh Amirul Mukminin bahwa dimulainya perhitungan tahun Islami adalah dari hijrahnya beliau shallallahu `alaihi wa sallam karena sejak disyariatkannya hijrah, Allah Ta`ala memilah antara yang haq dan yang bathil. Pada waktu itu pula awal pendirian negara Islam.

Bulan apakah sebagai pemula tahun baru Islam?

Setelah ditentukannya awal perhitungan tahun Islam terjadi silang pendapat untuk menentukan bulan apa yang dipakai sebagai pemula tahun baru. Ada yang berpendapat Rabi’ul Awwal karena di waktu itu dimulai perintah hijrah dari Makkah ke Madinah. Pendapat lain mengatakan bulan Ramadlan karena di bulan itu diturunkannya Al-Qur’an. Namun silang pendapat ini tidak berjalan lama setelah sebagian besar dari kalangan shahabat seperti Umar, Utsman dan Ali radliyallahu `anhum `ajma`in sepakat bahwa tahun baru Islami dimulai dari bulan Muharram. Di mana di bulan itu banyak hal-hal atau aktifitas yang diharamkan di antaranya tidak boleh mengadakan peperangan. Kecuali dalam keadaan diserang maka diperbolehkan melawannya sebagaimana firman Allah:

"Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan; dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir." (Al-Baqarah:191)

"Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah berserta orang-orang yang bertakwa." (Al-Baqarah: 194)

Dari sinilah dikatakannya Muharram sebagai bulan haram.

Adakah sebutan lain bagi bulan Muharram?

Jika kita lihat dari beberapa kalender yang menyebar di jaman kita di sana tertulis pengganti Muharram ini dengan istilah Syura. Kata ini pun sering kita dengarkan di masyarakat awam. Wallahu a`lam, mungkin persepsi ini muncul dari suatu hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang menerangkan keutamaan puasa di hari Asyura. Para ulama bersilang pendapat, apakah kata Asyura merupakan bahasa arab. Pendapat yang benar adalah, kata ini didengar dari suku arab sehingga ia dikategorikan sebagai bahasa arab. Kata Asyura menurut sebagian berasal dari kata Asyir yang artinya kesepuluh (hari kesepuluh di bulan Muharram).

"Dari Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam puasa di hari Asyura (kesepuluh) dan beliau memerintahkan untuk berpuasa padanya." (HR. Bukhari 4 / 214, Muslim 1130, Abu Dawud 2444)

Dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu, dia berkata: telah bersabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: "Puasa yang paling utama setelah ramadlan adalah bulan Muharram dan shalat yang paling utama setelah shalat fardlu adalah shalat malam." (HR. Muslim 3 / 169, Abu Dawud 2429, Tirmidzi 1 / 143, Ad-Darimi 2 / 21, Ibnu Majah 1742, Al-Baihaqi 4 / 291, Ahmad 2 / 303)

Dari Abu Qatadah Al-Anshari radliyallahu `anhu bahwa beliau Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka beliau menjawab: “Menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang lalu." (HR. Muslim 1162) Dan dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Puasa Asyura aku harapkan agar menghapus dosa-dosa tahun yang lalu." (HR. Muslim 3 / 167, Abu Dawud 2425, Al-Baihaqi 4 / 286, Ahmad  5 / 295)

Pendapat yang benar tentang hukum puasa di bulan Muharram dan waktunya

Para ulama telah sepakat tentang keutamaan puasa di bulan ini. Namun terdapat silang pendapat di antara mereka tentang hukum dan waktunya. Ada sebagian pendapat yang mengatakan wajib, tetapi jumhur ulama berpendapat hukumnya adalah sunnah. Demikian pula tentang waktunya mereka bersilang pendapat. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah:

  1. Hari yang kesepuluh saja. Berdasarkan dlahir hadits-hadits yang telah lewat penyebutannya.

  2. Hari kesembilan dan kesepuluh. Berdasarkan penggabungan dua hadits yang insya Allah akan datang uraiannya.

  3. Hari yang kesembilan dan kesepuluh atau hari yang kesepuluh dan kesebelas, berdasarkan dalil-dalil yang menerangkan diwajibkannya untuk menyelisihi Ahlul Kitab.

  4. Hari yang kesembilan saja. Berdasarkan hadits-hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

"Sungguh jika aku masih hidup hingga tahun mendatang, aku akan berpuasa di hari yang kesembilan." (HR. Muslim 1134)

Dari pendapat-pendapat di atas, yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat kedua yang menyatakan disyariatkannya puasa di bulan Muharram di hari yang kesembilan dan kesepuluh. Pendapat ini yang dianut kebanyakan para ulama, seperti: Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Ibnul Qayyim dan lain-lain dari selain mereka. Hal ini berdasarkan pemaduan hadits-hadits yang dlahirnya Rasulullah melakukan puasa di hari kesepuluh sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Abu Qatadah yang telah lewat, dengan hadits yang dlahirnya bahwa beliau berniat untuk berpuasa di hari yang kesembilan sebagaimana hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Penutup

Telah diketahui Islam datang sebagai agama yang universal, di mana terdapat padanya norma-norma yang mengatur seluruh aktifitas makhluk yang ada di langit maupun yang di bumi. Syariat-syariat yang telah Allah bebankan membawa kemaslahatan bagi kehidupan mereka di dunia maupun di akhirat. Tidaklah perkara ini bisa diketahui kecuali bagi mereka yang mempunyai hati dan akal sehingga mereka mentadabburi ayat-ayat Allah. Firman Allah Ta`ala:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal yaitu orang-orang yang mengingat Allah." (Ali Imran: 190 – 191)

"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan padamu penuh dengan berkah…." (Shad: 29)

Dan di antara salah satu syariat yang cukup memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari setelah shalat, adanya perintah puasa baik itu yang wajib maupun yang sunnah. Jika kita menengok kehidupan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, maka hampir dapat kita katakan aktifitas yang selalu tidak beliau tinggalkan adalah puasa. Tentang pengabaran dalil-dalil dalam hal ini cukup panjang dan lebar, yang sudah sering tertera di berbagai pembahasan yang telah lalu. Sehingga sengaja kami tidak paparkan satu persatunya mengingat keterbatasan tempat. Namun tidak ada salahnya kami sampaikan dalil tentang keutamaan puasa secara umum. Sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:

"Puasa adalah perisai…." (al-hadits)

Dari Abu Said Al-Khudri radliyallahu `anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah seorang hamba puasa sehari di jalan Allah kecuali Allah jauhkan dengannya wajah dia dari neraka sejauh 70 tahun." (HR. Muttafaqun `alaihi

Demikian yang bisa kami sajikan pada rubrik Ahkam kali ini. Mudah-mudahan Allah jadikan kita semua menjadi orang-orang yang pandai bersyukur dan termasuk dari Ahlus Shaim (orang-orang yang berpuasa) yang dengannya Allah akan berikan ampunan dan pahala yang besar. Firman Allah:

"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan prempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." (Al-Ahzab: 35)

 

HOME

SALAFY

MUSLIMAH

DOWNLOAD

LINKS

ABOUT ME

Hosted by www.Geocities.ws

1