HOME

SALAFY

MUSLIMAH

DOWNLOAD

LINKS

ABOUT ME

بسم الله الرحمن الرحيم

SIKAP AHLUS SUNNAH TERHADAP IKHTILAF

 

MUKADDIMAH

Permasalahan ini sangat penting untuk diketahui oleh setiap Muslim, lebih-lebih mereka yang berkiprah di bidang dakwah. Sebenarnya, pembahasan ini adalah suatu kaedah yang sangat dikenal dan diyakini oleh ulama Salaf, tetapi menjadi asing di masa sekarang. Bahkan yang lebih parah lagi, jka para juru dakwah malah menyebarluaskan kaedah yang bertentangan dengan kaedah yang benar. Disadari ataupun tidak kaedah yang bathil tersebut akan merusak Islam yang mulia dan menjadikannya seperti barang mainan. Ahlul Bid’ah dapat dengan mudah menyebarkan kebathilan di tengah-tengah masyarakat tanpa seorang pun yang dapat menghalanginya.

Kaedah yang benar itu adalah : “Kebenaran itu hanya satu.” Kaedah ini berlaku dalam masalah-masalah Ijtihadiyyah yang diperselisihkan oleh Ulama, baik dalam masalah ushul maupun furu’, maupun dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah ataupun perkara-perkara lainnya dalam dien ini.

PERMASALAHAN IKHTILAF (PERBEDAAN PENDAPAT)

Perlu diketahui yang dimaksud dengan ikhtilaf adalah ikhtilaf tadladl (yang kontradiktif) bukan tanawwu’. Ikhtilaf Tadladl adalah perbedaan pendapat yang saling menafikkan  (bertentangan) baik dalam masalah ushul maupun furu’. Di dalam ikhtilaf seperti ini yang benar hanya satu. Adapun di dalam ikhtilaf tanawwu’ semuanya benar, dapat berupa :

1)     Dua perkara yang disyariatkan, seperti macam-macam doa  iftitah, bacaan sujud dan lainnya. Untuk bentuk seperti ini kadang-kadang salah satunya ada yang lebih utama.

2)     Dua lafadh yang berbeda tapi bermakna sama.

3)     Dua makna yang maknanya berbeda, tetapi tidak saling menafikkan bahkan saling melengkapi.

Dari sini jelas bahwa ikhtilaf tanawwu’ semuanya benar. Begitupula jka ada ketetapan dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam seperti ketika Beliau bersabda :

Janganlah seorangpun shalat Ashar kecuali di Bani Quraidhah[1].

Ketika itu sebagian para shahabat shalat pada waktunya  dan sebagian lagi mengakhirkannya hingga mereka tiba di Bani Quraidhah. Beliau shalallahu 'alaihi wa sallam tidak menyalahkan salah satunya. Untuk ikhtilaf tanawwu’ tidak boleh seseorang mencela salah satunya. Syaikhul Islam mengatakan : “Hanya kejahilan dan kedhaliman yang menjadikan seseorang mencela salah satunya atau lebih  mengutamakan salah satunya tanpa maksud yang baik , atau tanpa ilmu atau tanpa keduanya..”[2]

Allah berfirman :

“Sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan bodoh”  (Al Ahzab : 72)

Allah melarang kita berselisih dan mencela perselisihan dalam ayat-ayat-Nya diantaranya :

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berbantah-bantahan yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Al Anfal : 46)

Begitu pula Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam amat membenci perselisihan. Apabila Beliau mendengar ada di antara shahabatnya yang berselisih, maka beliau marah dan segera menyelesaikannya sehingga mereka kembali sadar akan kekeliruannya, lalu berdamai dan bersatu dalam kebenaran. Meskipun Allah menghendaki agar kita tidak berselisih (iradah syar’iyah) tetapi Allah juga menghendaki (iradah kauniyyah) sesuai dengan hikmah-Nya bahwa perselisihan itu akan selalu ada dan tidak bisa dihilangkan. Allah berfirman :

“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu. Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Rabbmu telah ditetapkan  : ‘Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan Jin dan Manusia  (yang durhaka semuanya)’ “ (Hud : 118-119)

Memang di antara perselisihan antar ulama ada hal-hal yang susah dipastikan mana yang benar dan mana yang salah. Tetapi banyak sekali di antara perselisihan tersebut terjadi pada perkara-perkara Ijtihadiyyah yang dapat diupayakan kesepakatannya. Sudahkah kita berusaha semaksimal mungkin untuk mencari kata sepakat ? Sudahkah kita berusaha menghilangkan kebodohan dari masyarakat kita berupa ta’ashub atau fanatik, baik fanatik hizbi (kelompok) ataupun madzhabi, juga kultus individu? Ataukah kita pura-pura merasa bodoh akan kebenaran yang ada di depan mata kita lalu menolaknya karena mengikuti hawa nafsu atau berdalih dengan ucapan : “Kebenaran itu banyak?!”

IJTIHAD SEORANG ULAMA MUNGKIN BENAR DAN MUNGKIN SALAH

Siapa saja yang mengakui bahwa semua pendapat para mujtahid dalam suatu masalah adalah benar dan setiap mujtahid itu benar, maka berarti dia telah mengucapkan kaidah yang tidak memiliki dalil, baik dari Al Qur’an, As Sunnah, atau ijma’ serta tidak dapat diterima oleh akal sehat.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Apabila seorang hakim memberi keputusan, lalu ia berijtihad, kemudian ia benar maka baginya dua pahala. Dan jika ia memberi keputusan , lalu ia berijtihad kemudian ia salah, maka baginyna satu pahla.” (HR. Bukhari)[3]

Syaikhul Islam menjelaskan bahwa tidaklah setiap orang yang berijtihad dapat mencapai kebenaran. Tetapi selama ia berdalil dan bertakwa kepada Allah sesuai dengan kesanggupannya, maka itulah yang Allah bebankan kepadanya. Allah tidak akan menghukumnya apabila ia salah. Ancaman dan hukuman itu baru berlaku bagi orang yang meninggalkan perintah dan melanggar larangan setelah tegak hujjah kepadannya[4]. Ijtihad yang salah ini tidak boleh diikuti apabila kita mengetahui mana yang benar dan mana yang salah[5]. Karena kita dituntut untuk mengikuti dalil, bukan mengikuti manusia. Syaikhul Islam rahimahullah berkata : “Tidak boleh bagi seseorang untuk berhujjah dengan ucapan seseorang dalam masalah perselisihan, karena sesungguhnya hujjah itu adalah nash dan ijma’, serta dalil yang diambil istimbath-nya dari hal tersebut. Pengutamaannya ditentukan dengan dalil-dalil syariat. Ucapan para ulama tersebut tidak dapat mengalahkan dalil-dalil syariat … [6].

Perlu diingat bahwa kita wajib menghormati dan mencintai para ulama[7] meskipun ijtihad mereka ada yang salah, atau diantara ijtihad mereka ada yang kita yakini sebagi perbuatan bid’ah (setelah diadakan penelitian berdasarkan kaidah-kaidah ilmiyyah dan kriteria-kriteria ilmu ushul)[8]. Tetapi tidak boleh kita menuduhnya sebagai ahli bid’ah, kecuali setelah jelas bagi kita bahwa hujjah telah ditegakkan atas mereka dan mereka tetap mengikuti hawa nafsunya.”

Syaikh Ali Hasan berkata :  “ Sedangkan orang yang melakukan bid’ah, bisa jadi dia seorang mujtahid[9] –sebagaiman telah dibicarakan-, maka orang yang berijtihad seperti ini, meskipun salah, tidak bisa dikatakan sebagai ahli bid’ah.  Sebaliknya, bisa jadi dia jahil (bodoh). Maka ia tidak bisa dikatakan ahli bid’ah karena kejahilannya. Meskipun demikian dia tetap berdosa dikarenakan kesalahan dia meninggalkan kewajiban menuntut ilmu, kecuali apabila Allah menghendaki. Dan bisa jadi juga ada sebab-sebab lain yang menghalangi seseorang yang melakukan bid’ah untuk dikatakan sebagai ahli bid’ah. Berbeda dengan orang yang terus menerus melakukan bid’ahnya setelah nampak kebenaran olehnya, karena mengikuti nenek moyang dan adat isitadatnya. Maka orang seperti ini pantas dan tepat untuk mendapatkan predikat sebagai ahli bid’ah, dikarenakan penolakannya dan penjauhannya[10].

Allah berfirman :

“Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan uyang telah dikuasainya dan Kami masukkan ia ke dalam neraka jahanam dan jahanam seburuk-buruk tempat kembali.”  (An Nisa : 115)

KEBENARAN HANYA SATU

Berikut ini akan saya nukilkan tulisan dari para ulama dahulu dan sekarang. Semoga Allah memberi manfaat kepada kita semua.

Ibnul Qasim berkata : “Saya telah mendengar dari Malik dan Laits tentang perselisihan para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam , tidaklah seperti yang dikatakan orang-orang : ‘Dalam perselisihan tersebut terdapat kelapangan.’ Tidaklah demikian. Yang ada adalah salah dan benar[11].

Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang orang yang mengambil sebuah hadits dari seorang yang tsiqat (terpecaya) dan orang itu mendapatkannya dari dari shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah engkau berpendapat bahwa dalam perselisihan terdapat kelapangan ?” Imam Malik menjawab : “Tidak demi Allah, sampai ia mendapatkan bahwa kebenaran itu satu. Adakah dua perkataan yang bertentangan keduanya benar ? Yang hak dan benar itu hanya ada satu.”[12]

Imam Al Muzani, shahabat Imam syafi’i berkata : “Para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berselisih. Lalu sebagian mereka menyalahkan yang lain dan mereka saling memperhatikan tiap perkataan di antara mereka dan mengomentarinya. Jika sekiranya mereka berpendapat semua perkataan mereka itu benar, tentu mereka tidak akan melakukan yang demikian. Pernah Umar bin Khatab radhiallahu ‘anhu marah karena terjadi perselisihan antara Ubay bin Ka’ab dengan Ibnu Mas’ud mengenai hukum shalat dengan satu pakaian. Ubay mengatakan bahwa shalat dengan satu pakaian itu baik dan indah. Sedangkan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa hal itu dilakukan karena sedikitnya pakaian. Kemudian Umar keluar dengan marah dan berkata : “Dua orang shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berselisih, yaitu di antara orang-orang yang memperhatikan Rasul dan mengambil pendapat dari beliau. Ubay benar dan Ibnu Mas’ud tidak kurang (berusaha). Akan tetapi aku tidak mau mendengar setelah ini ada orang-orang yang berselisih tentang hal itu. Jika masih ada, tentu aku akan melakukan ini dan itu”.[13]

Imam Muzani mengatakan lagi : “Katakanlah kepada orang-orang yang membolehkan perselisihan dan berpendapat mengenai dua orang ‘alim yang berijtihad dalam suatu masalah. Salah seorang di antara mereka menyatakan halal dan yang lainnya menyatakan haram. Dikatakan bahwa ijtihad keduanya benar semua : ‘Apakah engkau katakan ini dengan dasar ushul (pokok) atau qiyas ?’ Apabila ia mengatakan dengan dasar pokok, maka katakanlah kepadanya : ‘Bagaimana mungkin dengan dasar pokok padahal Al Qur’an menolak perselisihan?’ Dan apabila ia mengatakan dengan dasar qiyas, maka katakanlah : ‘Mengapa engkau membolehkan qiyas padahal pokok telah menolak perselisihan.’ Hal ini tidak bisa diterima oleh orang yang berakal, lebih-lebih seorang ‘alim.”[14]

Ibnu Abdil Bar (wafat 463 H) berkata : “Sekiranya kebenaran itu terdapat di dalam dua hal yang bertentangan, maka tidak mungkin orang-orang salaf akan saling menyalahkan dalam ijtihad, keputusan, dan fatwa-fatwa mereka. Dan pemikiran juga enggan menerima ada satu pendapat dan pendapat lain yang bertentangan dikatakan benar seluruhnya. Tepatlah apa yang dikatakan di dalam syair :

Penetapan dua hal yang bertentangan secara bersamaan dalam suatu hal adalah seburuk-buurk kemustahilan yang datang[15].

Syaikh Ali Hasan berkata : “Maka perbedaan pendapat dalam perkara apapun, apakah dia itu sunnah atau bid’ah, mungkar atau bukan, tidaklah menjadikan seorang juru dakwah untuk diam dari menyampaikan kebenaran. Yaitu dengan mengenal bid’ah sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah disebutkan sebelum ini dan menjelaskan kebenaran di dalamnya. Apabila setelah pembahasan, penelitian,  dan pengkajian yang mendalam diperoleh hasil bahwa hal itu adalah bid’ah, maka wajib untuk menampakkan kebenaran dan menyingkap syubhat-syubhat orang yang menyalahinya.”[16]

Syaikh Ali Hasan menukil pula ucapan Imam Al Khatabi dalam bukunya A’lamus Sunan bi Syarh Shahih Al Bukhari juz 3/2091-2092 : “Seorang berkata : ‘Sesungguhnya manusia ketika mereka berbeda pendapat dalam hal minuman, mereka sepakat atas haramnya khamr, anggur, dan berbeda pendapat mengenai selainnya. Maka kita harus mengikuti apa yang mereka sepakati tentang haramnya dan membolehkan apa-apa yang selainnya (yang masih diperselisihkan, pent).’ Hal ini merupakan kesalahan fatal, padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan orang-orang yang berselisih agar mereka mengembalikan kepada Allah dan Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam[17].

Imam As Syatibi setelah menukil ringkasan ucapan Al Khatabi dalam bukunya Al Muwafaqat 4/14 kemudian beliau mengomentarinya : “Orang yang berkata tadi telah mengikuti syahwatnya dan menjadikan pendapat yang sesuai (dengan dirinya) sebagai hujjah. Dia telah mengambil pendapat tadi sebagai jalan untuk mengikuti hawa nafsunya, bukan jalan menuju taqwanya. Yang demikian itu jauh sekali untuk dikatakan melaksanakan perintah Allah dan lebih tepat untuk dikatakan sebagai orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya … [18].”

BEBERAPA SYUBHAT DAN JAWABANNYA

Ada beberapa syubhat yang sering dijadikan dalil oleh sebagian orang yang tidak sependapat dengan kaidah “kebenaran itu hanya satu.”

Saya nukilkan jawaban terhadap syubhat-syubhat tersebut dan beberapa faedah lainnya dari tulisan para ahli ilmu :

Syubhat pertama :

“Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.”

Syubhat ini sering dibawakan oleh sebagian orang dan mereka mengatakannya sebagai sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Jika engkau cinta kepada Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam, tentu engkau tidak akan berdusta atas namanya. Apalagi beliau telah bersabda[19] :

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menempatkan tempat duduknya dari api neraka.”  (Hadits Mutawatir, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya)

Seseorang yang takut terjerumus kepada perbuatan dusta atas nama Nabinya maka ia akan hati-hati dalam membawakan hadits, dengan mencari keterangan terlebih dahulu dari ulama hadits. Apabila ulama hadits pun berbeda pendapat tentang keshahihan suatu hadits, maka ia berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk meneliti dan memilih mana di antara mereka yang alasannya lebih kuat, bukan memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsunya. Apalagi kalau para ulama hadits telah sepakat akan kelemahan atau kepalsuan suatu hadits maka kita harus mengikuti kesepakatan mereka.

Di bawah ini saya nukilkan tulisan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani hafidhahullah dalam Silsilah Al Hadits Ad Dhaifah mengenai hadits :

Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.

Hadits ini tidak ada asalnya. Para muhadits telah berusaha keras untuk mendapatkan sanad hadits ini, tetapi mereka tidak mendapatkannya. Sampai beliau berkata : “Al Munawi menukil dari As Subki bahwa ia berkata : ‘Hadits ini tidak dikenal oleh para muhadits, dan saya belum mendapatkannya baik dalam sanad yang shahih, dhaif, maupun mudlu’.’ Syaikh Zakaria Al Anshari menyetujui dalam ta’liq atas Tafsir Al Baidlawi 2/92/Qaaf (masih dalam manuskrip, pent.)”

Makna hadits ini pun diingkari oleh para ulama peneliti. Al Allamah Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz V/hal. 64 setelah beliau mengisyaratkan bahwasannya ucapan itu bukan hadits : “ini adalah ucapan yang paling rusak. Karena kalau perselisihan itu rahmat, tentu kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang Muslim pun yang mengatakan demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau perselisihan, rahmat atau dibenci.” Di tempat lain beliau mengatakan : “Batil dan dusta.”

Sesungguhnya di antara sebagian dampak buruk dari hadits ini bahwa banyak dari kaum Muslimin menyetujui perbedaan pendapat yang sangat tajam di antara madzhab yang empat. Mereka tidak berupaya sama sekali untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih sebagaimna hal ini telah diperintahkan oleh imam-imam mereka sendiri semoga Allah meridhai mereka. Bahkan mereka berpendapat bahwa madzhab-madzhab Imam radhiallahu ‘anhum tersebut sebagai syariat-syariat yang bermacam-macam. Mereka mengatakan demikian, padahal mereka tahu bahwa pertentangan dan kontradiksi itu tidak mungkin dipadukan kecuali dengan menolak sebagian yang bertentangan dengan dalil dan menerima yang lain yang sesuai dengan dalil. Tetapi hal ini tidak mereka lakukan! Dengan ini mereka telah menisbatkan kepada syariat akan adanya kontradiksi. Ini adalah bukti satu-satunya bahwa pertentangan bukanlah dari Allah subhanahu wa ta'ala apabila mereka memperhatikan firman Allah :

“Kalau sekiranya Al Qur’an bukan dari Allah niscaya mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.”  (An Nisa’ : 82)

Ayat di atas menyatakan dengan tegas bahwa pertentangan bukan dari Allah. Maka tidaklah benar menjadikan pertentangan sebagai syariat yang diikuti atau rahmat yang turun.

Disebabkan hadits (yang tidak ada asalnya) ini dan yang lainnya, kebanyakan kaum Muslimin setelah imam yang empat terus menerus sampai hari ini bertentangan dalam banyak masalah, baik masalah aqidah maupun muamalah. Seandainya mereka menganggap bahwa pertentangan itu buruk –sebagaimana ucapan Ibnu Mas’ud[20] dan selainnya radhiallahu ‘anhum dan begitu juga banyak terdapat dalam Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam yang menunjukkan betapa buruknya pertentangan itu– tentu mereka akan bersegera untuk mencapai kata sepakat. Hal ini mungkin terjadi dalam  banyak permasalahan karena Allah subhanahu wa ta'ala telah menjelaskan berupa dalil-dalil untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang haq dan mana yang bathil. Setelah itu baru bertoleransi sebagian terhadap yang lainnya dalam hal-hal yang masih diperselisihkan[21]. Akan tetapi untuk apa berusaha mencari kata sepakat kalau mereka berpendapat “ikhtilaf itu rahmat”, dan madzhab yang berbeda-beda itu sebagai syariat yang bermacam-macam? … . Dan kesimpulannya : sesungguhnya ikhtilaf itu tercela dalam syariat. Maka wajib berusaha untuk menunntaskan darinya sebisa mungkin, dikarenakan pertentangan itu merupakan salah satu sebab kelemahan umat. Allah berfirman :

“Dan janganlah kalian berbantah-bantahan yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.“  (Al Anfal : 46)

Sedang sikap ridha dengan pertentangan dan menamakannya sebagai “rahmah”, maka hal ini menyalahi ayat-ayat Al Qur’an yang tegas-tegas mencelanya. Ia tidak bersandar kecuali kepada hadits yang tidak ada asalnya dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam.

Sampai di sini mungkin ada pertanyaan, yaitu : “Kadang terjadi pertentangan di antara shahabat. Padahal mereka seutama-utama manusia, apakah celaan di atas mengenai mereka?”

Ibnu Hazm  rahimahullah menjawabnya dalam Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz V/67-68, ia berkata : “Sama sekali tidak. Celaan di atas tidaklah mengenai shahabat sedikitpun, dikarenakan mereka telah berjuang keras mencari jalan Allah dan pendapat yang benar. Maka jika ada di antara mereka kesalahan, mereka mendapatkan satu pahala dikarenakan niatnya yang baik dalam menghendaki kebenaran. Terhapuslah dosa mereka dalam kesalahannya, karena mereka tidak bermaksud dan tidak sengaja serta tidak meremehkan dalam mencari kebenaran. Sedangkan yang benar di antara mereka mendapatkan dua pahala. Begitu pula bagi setiap Muslim sampai hari kiamat dalam hal-hal yang tidak diketahui dan belum sampai kepadanya hujjah (dalil).

Celaan dan ancaman tersebut, sebagaimana tertuang dalam nash, berlaku bagi orang yang meninggalkan kewajiban berpegang pada tali Allah –Al Qur’an dan As Sunnah– setelah datang nash kepadanya dan telah tegak hujjah atasnya. Kemudian setelah itu ia tetap bergantung kepada fulan dan fulan, taklid, sengaja untuk berselisih, mengajak kepada fanatik dan kebanggaan jahiliyah, bermaksud untuk berpecah belah, berupaya dalam pengakuannya untuk selalu mengembalikan (urusannya) kepada Al Qur’an As Sunnah apabila nash sesuai dengan keinginannya. Tetapi jika menyelisihi (antara nafsu dan nash), maka ia bergantung pada kejahilannya, meninggalkan Al Qur’an dan As Sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Mereka itulah orang-orang yang selalu berselisih dan orang-orang yang tercela.

Tingkatan yang lain adalah mereka yang mempunyai agama yang tipis dan taqwa yang sedikit. Mereka mencari perkara yang cocok dengan hawa nafsu mereka dari tiap pendapat yang ada. Mereka mengambil rukhsah dalam ucapan setiap ulama, taklid kepadanya. Bukan mencari apa-apa yang diwajibkan oleh nash-nash dari Allah dan Rasul shalallahu 'alaihi wa sallam.”

Di akhir ucapannya, Ibnu Hazm mengisyaratkan tentang talfiq yang dikenal oleh para ahli fiqh, yaitu mengambil pendapat seorang alim tanpa dalil, melainkan mengikuti hawa nafsu atau rukhsah. Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya. Tetapi yang benar adalah haram disebabkan beberapa alasan tertentu. Namun di sini bukan tempatnya untuk menjelaskan permasalahan itu.

Mereka yang membolehkan talfiq ini mengambil dalil dari hadits yang tidak ada asalnya dan ada juga yang bersandar dengannya, sehingga ia menyatakan : “Barangsiapa bertaklid kepada seorang alim, ia akan menemui Allah dalam keadaan selamat!”

Semua ini merupakan sebagian dampak yang buruk dari hadits-hadits dlaif (termasuk di dalamnya hadits-hadits maudlu’, pent). Maka berhati-hatilah darinya apabila engkau mengharapkan keselamatan :

“Di hari di mana tidak bermanfaat harta maupun anak- anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang sejahtera.”  (Asy Syuy’araa, 88-89)[22]

Syaikh Al Albani menjelaskan pula dalam bukunya Shifatu Shalat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam mengenai perbedaan pendapat di kalangan shahabat dengan ikhtilaf di antara muqallidin (orang-orang yang taqlid), dia berkata : “Para shahabat berbeda pendapat sebagai suatu keterpaksaan, tetapi mereka mengingkari perselisihan dan menghindarinya apabila mereka mendapatkan jalan keluarnya. Sedangkan muqallidin tidak sepakat dan tidak berusaha untuk sepakat. Padahal besar kemungkinan kata sepakat itu bisa dicapai dalam sebagian besar permasalahan yang ada. Akan tetapi mereka menyetujui adanya perbedaan pendapat. Maka sungguh jauh berbeda antara keduanya. Ini dari segi sebab.

Adapun dari segi pengaruhnya, meskipun para shahabat berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu’ tetapi mereka benar-benar menjaga persatuan. Sangat jauh sekali dari hal-hal yang memecah belah persatuan dan memorak-porandakan barisan. Umpamanya di antara mereka ada yang berpendapat bahwa membaca basmalah disyariatkan dengan jahr. Di antara mereka ada yang berpendapat batalnya wudlu’ disebabkan bersentuhan dengan wanita, sebagian yang lain tidak. Meskipun demikian mereka semua shalat di belakang imam hanya yang satu. Tidak seorangpun di antara mereka menolak shalat di belakang imam dikarenakan ada perbedaan madzhab …”[23]

Syubhat kedua :

“Perbuatan atau ucapan para shahabat adalah hujjah”

Banyak hadits-hadits Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam yang dijadikan dalil oleh mereka. Salah satu di antaranya adalah hadits shahih, tetapi mereka salah dalam memahaminya. Sedangkan yang lainnya adalah hadits-hadits maudlu’.

Berikut ini saya sebutkan syubhat mereka setelah itu saya nukilkan keterangan ulama sebagai jawaban syubhat tersebut.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda[24] :

“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun (yang memerintah kalian) seorang budak dari Habasyah (Ethiopia). Sesungguhnya siapa yang hidup sesudahku di antara kalian, maka kelak ia akan menjumpai perselisihan yang banyak. Maka haruslah kalian mengikuti sunnahku (jalanku) dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan bimbingan. Berpegang teguhlah kalian dengannya, gigitlah dengan gigi geraham atas sunnah tersebut …”

Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata[25] : “Ketahuilah saudara-saudara seiman, semoga Allah membimbingmu kepada kebenaran, bahwasanya ‘athaf ini (kata penyambung “dan” dalam sabdanya : “Haruslah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para kulafaur rasyidin, pent) tidaklah berarti bahwa sunnah khulafaur rasyidin diikuti tanpa mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Melainkan mereka senantiasa mengikuti sunnah beliau shalallahu 'alaihi wa sallam dalam setiap jejak langkahnya. Oleh karena itu mereka dijuluki sebagai orang yang mendapatkan petunjuk dan bimbingan. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menisbahkan sunnah kepada mereka dikarenakan merekalah yang paling berhak dan seutama-utama manusia yang memahami sunnah tersebut. Pemahaman seperti ini mutawatir dari ulama-ulama rabbani umat yang dirahmati ini, di antara mereka adalah[26] :

  1. Ibnu Hazm Al Andalusi rahimahullah dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushuhlil Ahkam juz 6 hal. 76-78)

  2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Majmu’ Al Fatawa juz 1 hal. 282

  3. Al Fullani rahimahullah dalam kitabnya Iqadhul Himam Ulil Abshar hal. 23)

  4. Al Qari rahimahullah dalam kitab Mirqatil Mafatih jujz 1 hal. 199

  5. Al Alamah Al Mubarak Furi rahimahullah dalam Syarah Sunan at Tirmidzi Tuhfatul Ahwadzi jujz 3 hal. 50 dan jujz 7 hal. 420.

Begitu pula Imam Syaukani dan Imam As Shan’ani rahimahumallah berkata demikian.

Berkenaan dengan masalah ini ada hadits maudlu’ yang berbunyi:

“Shahabat-shahabatku seperti bintang, dengan siapa saja kalian mengikuti di antara mereka, kalian mesti mendapatkan hidayah.”

Berikut ini adalah petikan dari Syaikh Al Albani dalam Silsilah Hadits Dlaifah wal Maudlu’ah juz I no. 58 dari halaman 144-145 : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ul Ilmi 2/91 dan oleh Ibnu Hazm dalam Al Ihkam 6/82 (kemudian beliau menjelaskan tentang sebab maudlu’nya hadits ini, pent). Sedangkan orang yang menshahihkan hadits ini bersandar dengan ucapan As Sya’rani dalam Al Mizan I/28 : ‘Hadits ini meskipun ada pembicaraan (kelemahan) menurut para muhadits, tetapi hadits ini shahih menurut ahli kasyf.’ Ucapan ini bathil dan sepantasnya tidak ditengok, karena cara menshahihkan hadits dengan jalan kasyf adalah bid’ah shufi yang amat dibenci.”

Kemudian Syaikh Al Albani menjelaskan bahwa cara al kasyf itu paling tidak menggunakan pikiran (tidak secara ilmiyah, pent)!. Belum lagi kalau hawa nafsu yang masuk, sehingga banyak hadits-hadits palsu dan yang tidak ada asalnya menjadi shahih menurut keinginan hawa nafsu mereka.

Adapun hadits-hadits maudlu’ yang semakna dengan hadits di atas terdapat dalam Silisilah Dlai’ifah juz 1 no 59-62 dan penjelasannya dari halaman 146-153.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjelaskan tentang kaidah “ucapan seorang shahabat bukan sebagai hujjah” dalam Al Majmu’ Al Fatawa.

Beliau memberikan contoh yang banyak sekali mengenai pendapat shahabat yang bertentangan dengan nash-nash yang jelas. Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa “ucapan seorang shahabat sebagai hujjah” dapat berlaku apabila memeni\uhi dua persyaratan, yaitu :

Pertama : Tidak ada nash yang bertentangan dengan ucapan tersebut.

Kedua : Tidak ada shahabat lain yang mengingkarinya.”[27] (lihat Majmu’ Al Fatawa juz I hal. 282-284)

Syubhat ketiga :

Syaikh Al Albani menunjukkan sebuah syubhat ketika beliau menjelaskan bahwa kebenaran itu satu

“Apabila seorang berkata : ‘Apa yang engkau katakan tentang perkataan Imam Malik bahwa kebenaran itu satu tidak berbilang adalah bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam kitab Al Madkhal Al Fiqhi tulisan Al Ustadz Az Zarqa I/89 :

‘Abu Ja’far Al Manshur dan Ar Rasyid menginginkan memilih madzhab Imam Malik dan kitabnya Al Muwatha’ sebagai undang-undang peradilan bagi daulah Abbasiyah. Kemudian Imam Malik mencegah mereka berdua melakukan hal yang demikian. Beliau berkata : Sesungguhnya para shahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam ini telah berselisih di dalam masalah furu’ dan mereka tersebar di berbagai negeri dan masing-masing mereka adalah benar.’

Saya (Syaikh Al Albani) mengatakan : ‘Kisah ini telah dikenal dan masyhur dari Imam Malik rahimahullah. Tetapi kata-kata terakhir yang berbunyi : Masing-masing mereka adalah benar, tidak saya ketahuhi asalnya berdasarkan penelitian saya dari riwayat-riwayat dan sumber-sumber yang saya dapatkan[28]. Kecuali satu riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 6/332, dengan isnad yang terdapat di dalamnya Al Miqdam bin Daud. Ia adalah salah seorang yang disebutkan Adz Dzahabi dalam kitabnya Ad Dlu’afa. Itupun dengan lafadh : Dan masing-masing menurut dirinya adalah benar. Ini menunjukkan bahwa riwayat yang terdapat dalam Al Madkhal telah mengalami perubahan lafadh.

Bagaimana tidak, padahal ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqat (terpecaya) dari Imam Malik bahwa kebenaran itu satu tidak berbilang, sebagaimana telah diterangkan terdahulu. Hal ini juga dipegag oleh setiap Imam dari para shahabat, tabi’in serta imam-imam Mujtahid yang empat dan lain-lainnya[29].”

PENUTUP

Setelah kita membaca penjelasan para ulama mengenai kaidah “kebenaran itu hanya satu”. Timbul pertanyaan : Bagaimana kita dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah? Dan bagaimana kita dapat mengamalkan kebenaran tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu banyak lembaran, adapun secara ringkasnya adalah :

Pertama : Ikhlash di dalam mencari kebenaran. Dengan modal ikhlash maka syaithan tidak berdaya dalam upayanya menyesatkan manusia.

Kedua : Ilmu yang benar.

Imam Syafi’I rahimahullah (wafat tahuun 204 H) berkata[30] :

“Seluruh ilmu selain Al Qur’an adalah melalaikan kecuali hadits dan ilmu fiqh dalam dien ini. Ilmu itu adalah yang ada padanya ucapan haddatsana sedangkan selain itu merupakaN bisikan syaithan.”

Ibnu Qayim Al Jauziyah rahimahullah berkata dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in : “Ilmu itu adalah firman Allah, sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan ucapan para shahabat.”

Imam Al Auza’i rahimahullah (wafat tahun 158 H) berkata[31] :

Haruslah engkau mengikuti jejak orang-orang salaf meskipun manusia menentangmu. Dan hati-hatilah engkau dari pemikikran-pemikiran manusia meskipun mereka menghiasinya dengan kata-kata yang manis kepadamu.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam muqadimah tafsirnya : “Maka yang semestinya dilakukan dalam menceritakan perbedaan pendapat yaitu engkau menguasai pendapat-pendapat yang ada. Lalu engkau sebutkan yang benar dan engkau salahkan yang salah. Lalu engkau sebutkan faedah khilaf dan buahnya agar perselisihan dan perbedaan pendapat itu tidak berkepanjangan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat, sehingga engkau sibuk dengan hal tadi dan menyebabkan terbengkalainya mana yang lebih penting dari yang penting. Sedangkan orang-orang yang menceritakan perbedaan pendapat dalam satu masalah padahal ia belum menguasai pendapat-pendapat ulama yang ada, maka hal itu kurang, karena boleh jadi pendapat yang nanti ia tinggalkan adalah pendapat yang benar. Atau seseorang yang hanya menceritakan perbedaan pendapat yang ada, kemudian dibiarkannya begitu saja tanpa menyebutkan mana yang benar maka hal itupun kurang. Begitu pula orang yang membenarkan pendapat yang salah dengan sengaja, berarti ia telah berdusta. Apabila hal itu dilakukan dengan tidak sengaja yaitu karena kejahilan maka dia telah berbuat kesalahan …[32] .”

Untuk dapat memiliki ilmu yang dalam haruslah sabar karena dibutuhkan waktu yang lama. Imam Syafi’i rahimahullah berkata :

Saudaraku, engkau akan tidak memperoleh ilmu kecuali engkau memiliki enam perkara. Saya akan beritahu kepadamu keenamnya dengan jelas, yaitu : Kecerdasan, perhatian, kesungguhan, dan kecukupan (materi) dan di dampingi oleh guru serta menempuh waktu yang lama.

Ketiga : Mengendalikan hawa nafsu agar tunduk kepada kebenaran.

Hal ini sangat sulit, terlebih bagi jiwa manusia yang selalu mengajak kepada keburukan. Maka Allah subhanahu wa ta'ala menjanjikan surga bagi orang yang takut kepadaNya dan menahan hawa nafsunya. Allah berfirman :

“Adapaun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.”  (An Nazi’at : 40-41)

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang bathil itu bathil dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.

Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan para shahabatnya. Amin.

MARAJI’ :

1.      Mushaf Al Qur’anul Karim dan terjemahannya.

2.      Diwan Al Imam Asy Syafi’I, Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’I rahimahullah (wafat tahuun 204 H), Dar el Fikr, tahun 1409 H / 1988 M.

3.      Dar’ul Irtiyab ‘an Hadits Ma Ana ‘Alaihi Al Yauma wal Ashab, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali, Dar Ar Rayah, Riyadh, cet. Pertama tahun 1410 H / 1990 M)

4.      Fathul Bari, Syarah Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah (wafat tahuun 852 H), tahqiq Syaikh Abdul Aziz  bin Abdillah bin Baz, Darul Fikr, Beirut, tahun 1414 H / 1993 M.

5.      Ilmu Ushulil Bida’, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari, Dar Ar Rayah, Riyadh, cet. pertama, 1413 H / 1992 M.

6.      Iqtidla’ As Shirath Al Mustaqim li Mukhalafati Ashabil Jahim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, tahqiq Doktor Nashir bin Abdul Karim Al Aql, Maktabah Ar Rusyd, Riyadh.

7.      Irwa’ul Ghalil, Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani, Al Maktab Al Islami, cet. pertama, tahun 1399 H / 1979 M.

8.      Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadlih, Al Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah (wafat tahun 463 H), Al Maktabah As Salafiyah, Al Madinah An Nabawiyah, cet. kedua, tahun 1388 H / 1968 M.

9.      Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

10. Shahih Al Bukhari, Darul Fikr, tahuun 1414 H / 1994 M.

11. Shifatu Shalat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, Syaikh Nashirudin Al Albani, Maktabah Al Ma’arif, Riyadh, cetakan pertama, tahun 1412 H / 1992 M.

12. Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim, Al Imam Ibnu Katsir (wafat th. 774 H), Maktabah Darus Salam.

 


[1] Shahih Bukhari, kitab Al Maghazi, bab 31 no 4119, juz V hal. 60.

[2] Iqtidla’ As Shirat Al Mustaqim, Ibnu Taimiyah rahimahullah juz I hal. 132-137, terdapat penjelasan mengenai ikhtilaf tadladl dan ikhtilaf tanawwu’.

[3] Shahih Bukhari, kitab Al I’tisham, bab Ajrul Hakim Idzaj Tahada fa Ashaba au Akhtha’a, hadits no. 7352, juz 8 hal. 198, lihat Fathul Bari juz hal. 257.

[4] Lihat Majmu’ Fatawa juz 19, hal 213, 216, 217, 227.

[5] Iqtidla’ As Shirathil Mustaqim, hal 268, nunkilan dari kitab Ilmu Ushulil Bida’ hal. 2061.

[6] Majmu’ Fatawa, juz 26, hal. 202.

[7] Raf’ul Malam ‘an Aimmatil A’lam, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

[8] Tugas bagi kita untuk membaca buku : Ilmu Ushulil Bida’, Syaikh Ali Hasan Al Halabi dan Al I’tisham, Al Imam As Syathibi.

[9] Tugas bagi kita agar mengkaji syarat-syarat mujtahid dari buku-buku ushul fiqh, supaya : 1. Kita tidak terjerumus ke dalam penyakit at ta’alum (sok alim). 2. Agar kita tidak tertipu oleh pemikiran-pemikiran ahli ra’yu yang mereka itu bukanlah mujtahid (pent.)

[10] Ilmu Ushulil Bida’, hal. 209-210.

[11] Jami’u Bayanil ‘Ilmi juz 2, hal 100. Lihat Sifat Shalat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam hal. 61.

[12] Jami’u Bayanil ‘Ilmi juz 2, hal 100. Lihat Sifat Shalat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam hal. 61.

[13] Jami’u Bayanil ‘Ilmi juz 2, hal 103. Lihat Sifat Shalat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam hal. 62.

[14] Jami’u Bayanil ‘Ilmi juz 2, hal 109. Lihat Sifat Shalat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam hal. 62.

[15] Jami’u Bayanil ‘Ilmi juz 2, hal 108. Lihat Sifat Shalat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam hal. 63.

[16] Ilmu Ushulil Bida’, hal.192.

[17] Ilmu Ushulil Bida’, hal.192-193.

[18] Ilmu Ushulil Bida’, hal.194.

[19] Fathul Bari juz 1, hal. 271, hadits no. 107, Ibnu Hajar menjelaskan masalah ini dari hal. 270-275.

[20] HR. Abu Dawud no. 1960 dengan sanad shahih.

[21] Setelah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kebenaran dan tidak didapat kepastian pendapat mana yang benar dalam masalah-masalah yang diperselisihkan. Sedangkan ucapan yang sebagian mereka lontarkan secara mutlak, “kami bekerjasama dalam hal yang kami sepakati dan saling bertoleransi dalam hal yang kami perselisihkan.” Maka ini adalah kesalahan yang nyata sekali (Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Ilmu Ushulil Bida’).

[22] Silsilah Al Ahadits Dlaifah juz 1, hadits no. 57, hal. 141-144.

[23] Sifat Shalat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, hal. 64-65.

[24] HR. Abu Dawud 4607, At Tirmidzi 2/112-113, Ad Darimi 1/44-45, Ibnu Majah 43 dan 44, Ibnu Nashr dalam As Sunnah hal. 21, Ibnu Hibban dalam Shahihnya 1/4/4 –Al Farisi dan lain-lain, Syaikh Al Albani menyatakan hadits shahih (Lihat Irwa’ul Ghalil juz 8 hal. 107, hadits no. 2455)

[25] Dar’ul Irtiyab hal. 17

[26] Keterangan para ulama tersebut dapat dilihat dalam Dar’ul Irtiyab hal. 17-25.

[27] Majmu’ Fatawa jujz 1 hal. 282-284.

[28] Syaikh Al Albani menulis di dalam catatan kakinya : “Lihat Al Intiqa’ oleh Ibnu Abdil Barr hal. 41, Kasyful Muqaththa fi Fadhlil Muwaththa’ oleh Ibnu Asakir (6-7), dan Tadzkiratul Huffadh oleh Imam Adz Dzahabi 1/195.

[29] Sifat Shalat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, hal. 62-63.

[30] Diwan Al Imam As Syafi’I hal. 117.

[31] Atsar riwayat Al Imam Al Khatib Al Baghdadi dalam kitabnya Syarafu Ashabil Hadits hal. 7, Syaikh Ali Hasan mengatakan : “Dengan sanad yang shahih” (Lihat Ilmu Ushulil Bida’, hal. 277)

[32] Tafsir Ibnu Katsir juz 1, bagian muqaddimah hal. 5.

 

HOME

SALAFY

MUSLIMAH

DOWNLOAD

LINKS

ABOUT ME

Hosted by www.Geocities.ws

1