بسم الله الرحمن الرحيم
Mutiara Hikmah Dari Muhammad bin Al Hanafiyah Oleh : Al Ustadz Muhammad Umar As Sewwed |
Al Hafidh Ibnu Katsir berkata : Ketika penduduk Madinah kembali dari tempat Khalifah Yazid bin Muawiyah, ‘Abdullah bin Muthi’ dan teman-temannya berangkat menemui Muhammad bin Al Hanafiyah. Mereka menginginkan agar ia mau memberikan dukungan untuk mencopot Yazid dari kekhalifahan, namun ia menolaknya. Ibnu
Muthi’ berkata : “Sesungguhnya Yazid itu senang meminum khamr
(minuman keras), meninggalkan shalat dan melampaui batas hukum-hukum
yang ditetapkan oleh Al Kitab (Al Qur’an).” Mendengar
hal ini Muhammad bin Al Hanafiyah berkata : “Aku tidak melihat bukti
yang kalian sebutkan itu, bahkan aku pernah mendatanginya dan tinggal
bersamanya, dan saya melihat ia begitu tekun menegakkan shalat,
cenderung kepada kebaikan, selalu bertanya tentang fiqh dan komitmen
terhadap Sunnah.” “Itu
hanya kepura-puraannya di depanmu”, jawab mereka. Muhammad
berkata pula : “Apa yang mesti ia takutkan atau ia harapkan dari
saya sehingga ia harus mempertontonkan sikap khusyu’-nya kepada
saya?” (Dalam riwayat lain, beliau berkata : “Mengapa ia
berpura-pura terhadapku dan tidak berpura-pura terhadap kalian?”) Beliau
berkata lagi : “Apakah ia memperlihatkan kepada kalian bahwa ia
minum khamr? Jika demikian berarti kalian adalah sekutu-sekutunya.
Kalau tidak, bagaimana kalian mempersaksikan sesuatu yang tidak kalian
lihat!” Mereka
membantah dengan mengatakan : “Tapi, sungguh hal ini benar-benar
terjadi meskipun kami tidak melihatnya dengan mata kepala kami
sendiri.” “Allah
menolak kesaksian orang-orang yang tidak mengetahui kasus yang dia
ungkapkan. Oleh karena itu Allah berfirman mengenai orang-orang yang
diterima persaksiannya, sebagai berikut : “Kecuali
mereka yang bersaksi dengan yang haq dan mereka mengetahui.” “Maka
saya tidak ikut campur dengan urusan kalian sedikitpun,” kata
Muhammad bin Al Hanafiyah. Mereka
berkata lagi : “Barangkali Anda tidak senang ada orang lain yang
menjadi penguasa, kalau begitu kami mengangkat Anda sebagai pemimpin
kami.” Beliau
rahimahullah berkata : “Saya tidak pernah menganggap halal
memerangi orang yang kalian inginkan dari saya, baik sebagai pengikut
maupun sebagai yang diikuti (pemimpin).” “Bukankah
Anda pernah ikut berperang dengan ayahmu, Ali bin Abi Thalib (yakni
dalam perang Shiffin)?” Tukas mereka. Beliau
berkata : “Datangkanlah orang yang seperti ayahku! Aku akan
berperang bersamanya atas dasar pegangan ayahku.” “Kalau
begitu, perintahkanlah kepada kedua anakmu Abul Qasim dan Al Qasim
untuk berperang bersama kami!” Kata mereka. Kalau
aku memerintahkan keduanya, tentu aku berperang juga,” kata Muhammad
bin Al Hanafiyah. “Jika
begitu, marilah berdiri bersama kami di satu tempat untuk mendorong
manusia berperang bersama kami,” kata mereka lagi. “Maha
Suci Allah! Apakah aku harus memerintahkan manusia dengan sesuatu yang
tidak aku lakukan dan tidak pula aku ridhai? Kalau demikian halnya,
aku bukan orang yang memberi nasehat karena Allah kepada
hamba-hambaNya,” jawab Muhammad bin Al Hanafiyah. Mendengar
hal ini mereka berkata : “Kalau begitu kami akan membencimu.” Muhammad
berkata : “Jika demikian, aku hanya akan memerintahkan manusia untuk
bertakwa kepada Allah. Jangan mereka mencari keridhaan makhluk dengan
seuatu yang mendatangkan murka Allah.” Setelah
kejadian itu, Muhammad bin Al Hanafiyah keluar menuju Mekkah. Demikian
yang diterangkan oleh Ibnu Katsir melalui nukilan Syaikh Abdus Salam
bin Barjis Ali Abdul Karim dalam bukunya Mu’amalatul Hukkam
hal. 18 – 20. Hikmah
Muhammad Ibnul Hanafiyah
Simaklah
ucapan Imam Muhammad Ibnul Hanafiyah rahimahullah yang setiap
kalimatnya merupakan mutiara-mutiara yang berkilauan. Beliau menjawab
ajakan Khawarij untuk memberontak kepada Yazid yang memang bukan orang
shalih, bahkan dikenal fasiq dan dhalim, tapi dia masih sebagai
penguasa Muslim. Ia menjawab dengan apa adanya sebagai pendidikan bagi
mereka yaitu : “Saya tidak melihat bukti yang kalian sebutkan.”
Pada kenyataanya memang ia tidak berdusta dan memang beliau tidak
melihatnya. Bisa
diduga bahwa mereka akan berkata : “Yazid hanyalah berpura-pura
terhadapmu.” Memang ucapan inilah yang ditunggu, yang dibangun
atasnya pertanyaan hikmah : “Mengapa ia berpura-pura terhadapku dan
tidak berpura-pura terhadap kalian?” Jawabannya
terlalu jelas yaitu karena keshalihan Muhammad bin Al Hanafiyah dan
ketakwaanya hingga manusia malu dan takut untuk berbuat maksiat di
hadapannya, termasuk Yazid bin Muawiyah. Namun bukan jawaban tersebut
yang diharapkan oleh Muhammad bin Al Hanafiyah. Beliau terlalu mulia
untuk minta dipuji. Tetapi sekali lagi ini adalah pertanyaan hikmah
yang tujuannya adalah nasehat kepada mereka. Kalau mereka para
pemberontak tersebut adalah orang-orang shalih seperti Muhammad Ibnul
Hanafiyah, tentu Yazid akan menampakkan kebaikan-kebaikan dan
sunnah-sunnah pada mereka. Sebagaimana Yazid menampakkan yang demikian
kepada Yazid bin Al Hanafiyah. Sebaliknya, jika Yazid menampakkan
kemaksiatannya dan kefasiqannya kepada mereka, maka ini adalah
tanda-tanda kalau mereka adalah orang yang sejenis. Oleh
karena itu, sebelum dijawab pertanyaan hikmah itu oleh Khawarij,
beliau sudah memberikan pilihan : “Kalau ia menampakkan kefasiqannya
kepada kalian, berarti kalian adalah sekutu-sekutunya. Kalau tidak,
bagaimana kalian mempersaksikan sesuatu yang tidak kalian ketahui?” Sungguh
suatu ucapan yang tepat dan mematikan. Mereka tidak bisa lepas dari
dua kemungkinan ini. Inilah
hikmah yang mengajak kepada reformasi rakyat dalam bidang ilmu,
akidah, dan keimanan yang secara otomatis akan mempengaruhi
penguasanya. Setelah
terpojok, mereka melontarkan syubhat baru : “Bukankah engkau pernah
berperang bersama ayahmu?” Maka
Muhammad Ibnul Hanafiyah kembali merangkai untaian mutiaranya :
“Datangkanlah orang yang seperti ayahku! Aku akan berperang atas
dasar yang menyebabkan ayahku berperang.” Apakah
ada di masa itu orang yang seperti Ali bin Abi Thalib keilmuannya,
keimanannya, keshalihannya, dan kedudukannya di sisi Nabi shalallahu
'alaihi wa sallam? Kalaupun
ada orang yang seperti beliau, masih ada syarat berikutnya, yaitu
penggalan kalimat berikutnya : “Aku akan berperang atas dasar yang
menyebabkan ayahku berperang.” Yakni kalau didatangkan seseorang
yang seperti ayahnya, maka dasar berperangnya pun harus sama, yaitu
memerangi bughat atau orang-orang yang menentang khalifah yang sah dan
telah dibaiat. Maka
justru Khawarij-lah yang pantas dan harus diperangi. Namun tidak ada
orang yang seperti ayahnya. Dan Yazid bukanlah Ali bin Abi Thalib. Maka
berangkatlah Muhammad Ibnul Hanafiyah ke Mekkah, menghindari fitnah. Wallahu A’lam. |