HOME

SALAFY

MUSLIMAH

DOWNLOAD

LINKS

ABOUT ME

بسم الله الرحمن الرحيم

Hadits Al ‘Irbadl bin Sariyah

Muhammad Ali Ishmah Al Medani

[SALAFY XVII/1418/1997/HADITS]

 

Hadits Al ‘Irbadl bin Sariyah radliyallahu 'anhu :

Dari Irbadl bin Sariyah radliyallahu 'anhu --dan dia adalah orang yang suka menangiis--, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam shalat subuh, lalu menghadapkan wajahnya ke arah kami dan memberi nasihat kepada kami dengan sebuah nasihat yang menyentuh, meneteskan air mata, dan menggetarkan hati. Ketika itu ada seseorang yang berkata : “Wahai Rasulullah, tampaknya ini adalah nasihat perpisahan, maka berilah wasiat kepada kami.” Beliau kemudian bersabda : “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar, dan patuh walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah (Ethiopia). Karena sesungguhnya jika di antara kalian ada yang hidup sesudahku, niscaya dia akan melihat banyak perselisihan. Maka wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah sesudahku yang terbimbing lagi mendapat hidayah. Berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah dia dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan (bid’ah) adalah sesat.”

Takhrij Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh :

1.      Abu Dawud dalam Kitabus Sunnah bab Fi Luzumis Sunnah 4607 dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud 2157.

2.      Turmudzi dalam Kitabul Ilmi bab Ma Ja’a Fil Akhdzi Bis Sunnati Wajtinabil Bida’ (2676-Syakir) dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 2157.

3.      Ahmad dalam Musnad-nya 4/126.

4.      Ibnu Majah dalam Muqaddimah 43 dan 44.

5.      Ad Darimi dalam Muqaddimah 1/44 dan 45 bab Ittiba’us Sunnah.

6.      Al Hakim dalam Al Mustadrak 1/95-97, Kitabul Ilmi bab Fadlilah Mudzakaratil Hadits.

7.      Al Ajurri dalam Asy Syari’ah halaman 53-54, tahqiq Al Faqi.

8.      Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 1/4/4-Al Farisi.

9.      Al Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah (Q:1/228) atau (1-2/halaman 74, tahqiq Al Ghamidi).

10. Al Harawi dalam Dzammut Kalam wa Ahlihi 1-2/69.

11. Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadllihi 2/181-182.

12. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 11/265/1-2266/1.

13. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabus Sunnah (Dhilalul Jannah-Al Albani) nomor 31 dan 54 dan beliau menshahihkannya. Lihat juga Al Irwa’ 2455 dan Syarh Ath Thahawiyyah 501.

14. Baihaqi dalam Sunan-nya 10/114.

15. Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’ 3/420/7/483.

16. Al Ajurri dalam Arba’in-nya hadits ke-28 (tahqiq Muhammad bin Al Hasan Ismail).

17. Ath Thabari dalam Al Kabir 597, 598, 600, 601, 602, 617, dan 625.

Hadits ini adalah hadits yang sangat penting lagi mulia. Berisi butiran-butiran hikmah dan nasihat yang sangat mahal harganya. Juga berisi pedoman-pedoman bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terus berlaku sampai waktu yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Hadits ini terkenal dengan nama hadits Irbadl. Dari hadits ini dapat diambil beberapa faidah :

1.    Disyariatkannya memberi mau’idhah, yaitu : “Mengingatkan orang dengan hal yang dapat melembutkan hatinya dengan pahala atau hukuman.” (Qawa’id wal Fawa’id, Nadhim Sulthan, halaman 244)

Sifat-sifat mau’idhah (nasihat) yang baik dapat berupa :

a.    Mencari tema yang sesuai dan dibutuhkan oleh orang. Contohnya, bila dia melihat seseorang tamak dengan dunia maka hendaklah dia menerangkan kepada mereka tentang akhirat dan zuhud terhadap dunia. Dan kalau dia --misalnya-- mengajak untuk sederhana dalam melakukan ketaatan padahal mereka belum melaksanakan yang wajib sebagaimana mestinya maka hal ini berarti tidak memiliki hikmah dalam memilih tema nasihat.

b.    Menggunakan kata-kata yang jelas dalam memberi nasihat sehingga lebih mudah diterima oleh hati.

c.     Memilih waktu yang cocok. Yaitu pada saat para pendengar dalam keadaan siap, jernih pikirannya, dan tidak sedang disibukkan dengan pekerjaan. Seperti halnya nasihat yang diberikan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika selesai shalat shubuh, disaat para shahabat dalam keadaan siap.

d.    Tidak terus-menerus memberi nasihat, tetapi berselang. Sebagaimana yang diceritakan oleh Al Wa’il bahwa Abdullah bin Mas’ud biasa memberi nasihat kepada kami setiap hari Kamis. Lalu bila ada seseorang berkata kepadanya : “Sesungguhnya kami ingin agar engkau melakukannya setiap hari.” Beliaupun berkata : “Tidak ada yang menghalangiku untuk memberi nasihat kepada kalian setiap hari melainkan karena aku khawatir nanti kalian akan menjadi bosan. Karena :

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjarangkan dalam memberi nasihat karena khawatir kami menjadi bosan.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ilmi bab Man Ja’ala li Ahlil Ilmi Ayyaman Ma’lumah dan bab Kanan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Yatakhawwal Lahum bil Mau’idhah 1/162-163-Fath)

Juga diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shifat Munafiqin bab Al Iqtishad fil Mau’idhah hadits 82-83 dan Ahmad 1/377, 378,425, 427,440, 443, 443, 465, 466 dan Turmudzi dalam kitab Al Adab bab Al Fashahah wal Bayan 2855-Syakir dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Tirmidzi 2293.

e.    Tidak terlalu panjang, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak memanjangkan nasihat di hari Jum’at melainkan hanya beberapa kata yang mudah.” (HR. Abu Dawud, Kitabus Shalah bab Iqsharul Khutab 1107)

Bimbingan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam masalah nasihat adalah dengan tidak memanjangkannya karena hal tersebut tidak bisa membuat para pendengar menjadi bosan dan hilangnya faidah yang diharapkan. (Disadur dari Al Qawa’id wal Fawa’id halaman 244-246)

2.    Tingginya derajat dan keutamaan para Salafus Shalih.

Kata Irbadl : “Hati manusia ketika itu menjadi bergetar dan mata menjadi menangis.”

Menunjukkan bersihnya hati mereka, diri-diri mereka, besarnya pengagungan mereka kepada ucapan Rasul mereka, takut dan gemetarnya mereka ketika mendengar firman Rabb mereka. Semua ini merupakan tanda keimanan, istiqamah, dan kebaikan mereka. Allah Ta’ala berfirman :

“Hanyasanya orang-orang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal.” (Al Anfal : 2)

“Dan bila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, engkau lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri).” (Al Maidah : 83)

Kita wajib mencintai, menghormati, dan mengikuti mereka. Mereka adalah para pendahulu umat ini yang menyampaikan kepada kita Kitabullah dan Sunnah Nabi kita. Mencela dan menyerang mereka adalah perbuatan zindiq dan penyimpangan, sebagaimana yang diucapkan oleh Abu Zur’ah :

“Bila engkau melihat seseorang mencela seorang shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka ketahuilah sesungguhnya ia adalah zindiq, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menurut kami adalah benar, Al Qur’an adalah benar, dan yang menyampaikan Al Qur’an dan sunnah-sunnah ini kepada kita adalah mereka (shahabat, ed.). Mereka (pencela shahabat, ed.) ingin mengkritik saksi-saksi kita dengan tujuan untuk membatalkan Al Kitab dan Sunnah. Padahal mereka yang berhak untuk dikritik dan mereka adalah orang-orang zindiq.” (Al Awashim minal Qawashim, halaman 34)

3.    Membekasnya nasihat dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Hal ini tampak dari ucapan shahabat dalam hadits tadi yang menunjukkan bahwa beliau dengan sangat serius dalam memberi nasihat tidak seperti yang lainnya. Oleh karena itu mereka memahami bahwa nasihat itu adalah nasihat perpisahan.

4.    Tingginya semangat para shahabat terhadap ilmu.

Hal ini tampak dengan permintaan mereka kepada Nabi agar diberi nasihat untuk dijadikan pegangan yang kokoh serta agar mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.

5.    Wasiat agar bertakwa kepada Allah Ta’ala.

Berwasiat agar bertakwa kepada Allah Ta’ala adalah sebuah wasiat yang agung. Wasiat itu adalah wasiat Allah bagi orang-orang terdahulu dan setelah mereka, sebagaimana firman-Nya :

“ … Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi Kitab sebelum kalian dan (juga) kepada kalian agar bertakwalah kalian kepada Allah … .” (QS. An Nisa’ : 131)

Kita sering mendengar kata ‘takwa’ tapi mungkin masih sedikit di antara kita yang memahami makna-maknanya.

Secara etimologi (bahasa), takwa berarti membuat (menjadikan) penjagaan dan penghalang yang melindungi dan menjagamu dari hal-hal yang engkau khawatirkan dan engkau takuti. (Al Wafi’ 113)

Dari Ibnu Mas’ud : “(Takwa adalah) Allah ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.”

Sedangkan Al Hafidh Ibnu Rajab mengatakan : “Takwa kepada Allah adalah seorang hamba menjadikan penghalang dia dan apa yang dikhawatirkannya terhadap Rabbnya berupa kemarahan dan hukuman-Nya, yaitu dengan mentaati-Nya dan menjauhi perbuatan maksiat.”

Thalq bin Habib berkata bahwa taqwallah berarti : “Engkau beramal karena taat kepada Allah di atas cahaya (petunjuk Allah), karena mengharap pahala dari Allah, dan engkau meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah, karena takut kepada Allah.” (Jami’ul ‘Ulum halaman 158-159)

6.    Wasiat taat kepada para Ulil Amri (pemimpin).

Yang dimaksud dengan ulil amri di sini adalah ulil amri yang sesungguhnya. Bukan sekedar orang bodoh yang mengaku sebagai ulil amri. Seorang ulil amri yang benar memiliki wilayah yang nyata, bukan “negara bawah tanah” atau “negara dalam negara”. Ulil amri yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya bukan seperti sistem yang dikembangkan oleh firqah-firqah sesat yang menyebar sekarang ini.

Al Hafidh Ibnu Rajab berkata : “Mendengar dan taat kepada para ulil amri kaum Muslim di dalamnya terdapat kebahagiaan dunia. Dengannya terbentuk maslahat-maslahat para hamba dalam kehidupan mereka. Dengannya mereka meminta bantuan untuk menampakkan agama mereka dan ketaatan kepada Rabb mereka, sebagaimana ucapan Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu : ‘Sesungguhnya para manusia tidak ada yang mampu memperbaiki urusan mereka kecuali oleh seorang imam yang baik maupun fajir (berdosa). Jika imam itu seorang yang berdosa maka seorang Mukmin tetap mampu beribadah kepada Rabbnya di dalam kekuasaannya, sementara ia (imam yang fajir) akan terus memikul kesalahan sampai matinya’.” (Ibnu Abi Syaibah 15/328. Lihat Iqadhul Himam halaman 395)

Ciri-Ciri Ahlus Sunnah Adalah Mendoakan Kebaikan Bagi Sulthan (Penguasa) Mereka

Imam Al Barbahari rahimahullah berkata : “Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan kepada para sulthan, maka ketahuilah sesungguhnya dia adalah ahlul hawa. Dan jika engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi para sulthan, maka ketahuilah sesungguhnya dia adalah Ahlus Sunnah, Insya Allah.”

Fudlail bin ‘Iyadl berkata : “Kalau aku mempunyai doa yang pasti akan dikabulkan maka aku akan mendoakan para sulthan.” Lalu ada yang bertanya : “Wahai Abu ‘Ali, terangkan kepada kami ucapanmu tadi!” Beliau menjawab : “Jika aku jadikan doa itu untuk diriku, maka hanya untukku. Dan bila aku berikan untuk sulthan, lalu ia menjadi baik, maka seluruh manusia negeri akan menjadi baik karena kebaikannya.” (Abu Nu’aim 8/91 dan Ibnu Khallal 9. Lihat Syarhus Sunnah 116-117)

Taat Kepada Ulil Amri Hanya Dalam Perkara Yang Ma’ruf

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah. Ketaatan itu hanya dalam perkara yang baik.” (HR. Bukhari dalam Kitabul Ahad bab 1 Fi Ijazati Khabaril Wahid 7257-Fath dan Muslim dalam Kitabul Imarah bab Wujubu Tha’atil Umara’ hadits (39)(1840) dan selain keduanya)

Riwayat ini menunjukkan bahwa diharamkannya bagi seorang Muslim untuk mengikuti para ulil amri dalam perkara maksiat kepada Allah. Mentaati mereka hanyalah dalam perkara yang ma’ruf.

Dari sini diketahui rusaknya pemahaman orang-orang sufi yang mengikuti para syaikh-syaikh mereka walau para guru mereka itu menyuruh untuk bermaksiat kepada Allah dengan alasan bahwa perbuatan itu pada hakikatnya bukanlah perbuatan bermaksiat kepada Allah. Juga keyakinan mereka bahwa para syaikh-syaikh mereka itu mampu melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh para murid-muridnya. Demikian juga rusaknya sebagian para muta’ashib (orang-orang fanatik) yang lebih mengutamakan mengikuti pendapat madzhab-madzhab mereka daripada mengikuti ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Juga rusaknya sebagian negara yang memusuhi para pemimpin mereka dalam berhujjah dengan syariat-syariat yang dibuat oleh manusia dari kalangan yahudi dan nashrani. (Qawa’id halaman 249-250)

Permasalahan ini juga pernah dibahas oleh Al Akh Muhammad Afifuddin dalam rubrik Tafsir edisi 4 halaman 42-50.

7.    Akan terjadi perselisihan dan perpecahan.

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah mengabarkan sejak 1400 tahun yang silam akan terjadinya perpecahan dan perselisihan di dalam tubuh kaum Muslimin setelah ditinggal beliau.

Sebagian hadits tentang perpecahan umat Islam sudah pernah saya bawakan dalam Salafy edisi 12.

Perpecahan ini benar-benar terjadi di masa kita sekarang ini. Berbagai hasil lamunan, pikiran, dan renungan menyebar di mana-mana menguasai akal para pemuda, ilmuwan, dan mahasiswa Muslim tanpa mereka sadari. Kemudian kesesatan itu mulai menggerogoti akidah mereka, sehingga ada yang menyatakan :

    • Al Qur’an adalah makhluk.

    • Tidak adanya takdir.

    • Berkhianatnya para shahabat.

    • Allah tidak memiliki sifat.

    • Allah memiliki sifat tapi hanya 20 saja.

    • Allah seperti makhluk.

    • Orang Islam akan kekal di neraka.

    • Seseorang dihukumi kafir hanya karena melakukan dosa besar.

    • Dan ucapan sesat lainnya … .

Kesesatan menyebar di mana-mana memakan korban yang tidak terhingga. Terlebih setelah munculnya sekte-sekte sesat, seperti : Qadariyah, Mu’tazilah, Jahmiyah, Maturidiyah, Jabariyah, Syi’ah, Rafidlah, Asy’ariyah, dan lain-lain. Jalan keluar dari kesesatan itu semua tidak lain adalah konsisten terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

8.    Konsisten terhadap Sunnah.

Bersamaan dengan terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam ini, Nabi kita, orang yang paling sayang kepada kita dan orang yang merasa susah bila umatnya terkena beban yang berat, tidak membiarkan begitu saja, bahkan beliau memberikan jalan keluar dalam problem yang rumit ini yaitu berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah menurut pemahaman para Salafus Shalih.

Memilih pemahaman Salaf itu tepat. Mari kita pahami Al Kitab dan As Sunnah dengannya (pemahaman Salaf, ed.) niscaya kita akan selamat. Hanya itu jalan satu-satunya, tidak ada yang lain.

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mewasiatkan kepada kita agar memegang sunnahnya dan sunnah para khalifah sesudahnya, yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radliyallahu 'anhum ajma’in. Mereka mengetahui kebenaran kemudian mengikutinya, sebab itu mereka disebut dengan ‘terbimbing’. Beliau menyuruh kita untuk menggigitnya dengan gigi geraham kita. Sebagai kiasan tentang harus kuatnya kita memegang sunnah dan jangan menyimpang darinya.

Tidak memahami Al Qur’an dan Sunnah dengan rasio semata ataupun mendahulukan akal daripada nash yang shahih. Semua ini akan berakhir pada kesesatan semata, lihatlah ucapan Imam Ar Razi dalam syairnya berikut ini :

“Akhir dari pengutamaan akal adalah ‘iqal (ruwet).

Puncak usaha para pemikir adalah kesesatan.

Ruh (jiwa) kita akan terasing dari jasad kita.

Dan hasil dunia kita hanyalah penyiksaan dan bencana.

Sepanjang umur, kita tidak memperoleh selain mengumpulkan pendapat orang begini dan begitu.

Betapa banyak kita menyaksikan orang atau negeri berlomba-lomba namun akhirnya sirna.

Betapa banyak gunung yang didaki (untuk ditaklukan).

Tapi mereka sirna sedang gunung tetap gunung (tegak).”

9.    Menjauhi bid’ah.

Di dalam hadits ini, beliau juga berwasiat agar kita menjauhi perbuatan-perbuatan bid’ah sampai beliau mengeraskannya dengan ucapan ‘setiap bid’ah adalah sesat’. Lantas apa itu bid’ah?

Bid’ah adalah sebuah cara dalam agama yang dibuat-buat untuk menyamai syariat yang dimaksud dengan menjalaninya untuk berlebihan dalam beribadah kepada Allah. (Al I’tisham 1/37 dan Ilmu Ushulil Bida’ halaman 24)

Adapun orang yang menyatakan adanya bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) beralasan dengan riwayat Umar radliyallahu 'anhu ketika mengumpulkan orang untuk shalat malam (tarawih). Maka itu adalah bid’ah secara bahasa (etimologi) saja bukan bid’ah menurut istilah (terminologi), karena bid’ah secara etimologi adalah membuat sesuatu yang belum ada contoh sebelumnya.

Al Imam Al Barbahari berkata : “Hati-hatilah engkau terhadap bid’ah yang kecil karena dia akan menjadi besar. Begitulah semua bid’ah yang terjadi dalam umat ini dulunya juga kecil seolah-olah kebenaran, maka orang-orang yang tertipu akan masuk ke dalamnya dan dia tidak bisa melepaskan diri darinya. Kemudian menjadi besar dan menjadi agama yang dianut, sehingga dia menyelisihi jalan yang lurus, sampai akhirnya dia keluar dari Islam.” (Syarhus Sunnah halaman 68-69, Ar Raddadi)

Bid’ah semakin marak dengan semakin jauhnya masa shahabat yang penuh berkah, Imam Malik berkata :

Barangsiapa membuat bid’ah dalam Islam yang dia lihat baik maka berarti dia telah menganggap Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah mengkhianati risalah ini (yaitu dia tidak menyampaikan semuanya) karena Allah berfirman : “Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Maka perkara yang pada hari itu tidak dianggap sebagai agama pada hari inipun bukan agama. (Al I’tisham 1/49 dan Ilmu Ushulil Bida’ halaman 20)

Ibnul Qayyim berkata :

Setiap lebih dekat ke masa Rasulullah maka kebenaran pun lebih banyak. (I’lamul Muwaqi’in 4/118 dan Ushul Bida’ halaman 14)

Ya Allah, matikanlah kami di atas Islam dan Sunnah. (Thabaqat Hanabilah 1/131 dan At Tasfiyah 13)

Wallahu A’lam Bis Shawab.

 

HOME

SALAFY

MUSLIMAH

DOWNLOAD

LINKS

ABOUT ME

Hosted by www.Geocities.ws

1