Home | Resensi Film

This Boy's Life

Menghadapi Tukang Gertak

DiCaprio & De Niro

Engkau mendambakan sosok seorang ayah. Dan engkau mendapatkan seorang penipu, pecundang, dan tukang gertak. Gawatnya, laki-laki itu merasa dirinya terpanggil untuk meluruskan hidupmu. Itulah nasib yang mendera Toby.

Film-film tertentu langsung menyedot minat kita sejak adegan pertama. Demikianlah This Boy's Life. Begitu menyaksikan Toby (Leonardo DiCaprio) terduduk di jalan sementara ibunya, Caroline (Ellen Barkin), sambil mengomel membereskan mesin sedan Nash tua mereka yang mogok gara-gara kepanasan, tercium segera: sebuah film bagus tengah menanti kita.

Caroline baru saja bercerai, dan membawa salah satu anaknya, Toby tadi, berpindah dari satu kota ke kota lain, dalam upaya membangun kehidupan baru. Akhirnya ia merasa menemukan pelabuhan dalam diri Dwight, montir dari kota kecil Concrete, Washington. Ia juga menganggapnya sebagai langkah terbaik untuk menangani pengasuhan Toby, yang sedang memasuki pubertas dan mulai membikin masalah di sekolah. Toby sebenarnya tidak sepakat. Anak baru gede ini mencium ketidakberesan pada pria berdasi aneh tersebut.

Sebuah kejadian kecil pada perayaan Thanksgiving Day sebenarnya sudah mengungkapkan kondisi psikologis Dwight. Ia dan Caroline mengikuti adu "menembak kalkun" (bukan kalkun betul, hanya kertas sasaran tembak). Semula Toby pun dijanjikan bisa ikut, namun kemudian Dwight memberitahukan adanya larangan bagi peserta di bawah umur. Caroline, satu-satunya peserta wanita, secara mengejutkan memenangkan pertandingan. Dwight? Skornya bisa jadi hanya cukup untuk menempatkannya di atas posisi jurukunci. Dan responnya yang kekanak-kanakan nyaris merusak acara makan malam mereka. Toh Caroline memutuskan maju terus. Ia menerima pinangan Dwight, tanpa sadar tengah menyerahkan diri dan anaknya pada seorang pria kasar tak tahu diuntung. Betul saja. Pada malam pertama pernikahan mereka Dwight sudah menunjukkan wajah aslinya.

Namun, ini bukan kisah janda dengan suami barunya. Sesuai dengan judulnya, film ini merekam kisah seorang bocah dalam perangkap ayah tirinya. Suatu saat ia mengeluh pada ibunya karena gajinya sebagai loper koran tidak juga dibayarkan oleh Dwight. Caroline menyatakan, ia bertekad tidak mau menjadi penengah antara Toby dan Dwight, dengan harapan dapat mempertahankan pernikahannya. Ia lalu menasihati Toby untuk melihat pada yang baik-baik saja -- di tengah situasi yang serba tidak baik itu. Itu sebuah sinyal kenaifan atau ketakutan, entahlah.

Hebatnya, film ini tidak terpeleset ke dalam sentimentalisme. Meski bertampang imut-imut, Toby cukup tangguh dan cerdas. Dengan menengarai kelemahan Dwight, ia mampu menanggung perlakuan seenak udel ayah tirinya itu, seperti saat Dwight berlagak melatihnya berkelahi. Tampaknya Toby diam-diam juga berniat melindungi dan menyelamatkan ibunya. Di luar itu, yang paling membuatnya bertahan adalah kesadaran bahwa dunia ini tak selebar Concrete. Ia sempat berhubungan dengan kakaknya, yang ikut ayah kandung mereka dan belajar di sekolah terkenal. Hal itu memantik pengharapannya akan sesuatu yang lebih baik di luar sana. Dan ia bertekad untuk menggapainya.

Film ini, meskipun ditebari voice-over Toby di sana-sini, berhasil mengikuti kaidah penceritaan yang baik: show, don't tell. Menunjukkan, dan memungkinkan penonton menafsirkan secara leluasa.

Beberapa subplot (pergaulan Toby dengan teman-teman sekolah; hubungannya dengan saudara-saudara tiri; keterlibatan Caroline dalam kampanye Kennedy) berpotensi membuyarkan fokus. Namun, Michael Caton-Jones terus-menerus menggiring kita kembali ke tengah lapangan, menyaksikan tarik-ulur mental dan verbal, yang sesekali meledak jadi bentrokan fisik, antara Toby dan Dwight.

Keunggulan film ini terutama ditopang oleh penampilan ketiga pemeran utamanya. Barkin membawakan Caroline sebagai sesosok ibu dan janda yang buntu. Barangkali ia juga mencium ketidakberesan itu, namun sekaligus tidak mampu melihat pilihan lain yang lebih baik. Penerimaannya berubah menjadi sebentuk mekanisme pertahanan diri.

Lonardo DiCaprioDiCaprio menunjukkan bakat akting yang liat. Sebagai anak yang masih bau kencur, ia secara sigap melayani akting lawan mainnya, dan tidak tenggelam saat berhadapan dengan sang veteran De Niro. Saya tak sabar untuk bisa segera menyimak akting muktahirnya yang banyak menerima pujian dalam The Aviator.

Di tangan De Niro, Dwight adalah potret menyedihkan seorang laki-laki yang tidak sanggup mengendalikan dirinya, dan guna menutupi kelemahannya dia mati-matian berusaha mengendalikan orang-orang di sekitarnya. Suatu saat ia menunjukkan "kebolehan"-nya memainkan saksofon di depan keluarganya, mengiringi seorang penyanyi di televisi. Seandainya Dwight seorang bocah, Anda pasti ingin menjitak kepalanya, risih oleh bunyi sember instrumennya. Namun, pada puncak kegilaannya, ia nyaris menjadi monster ala Jack Torrance dari The Shining.

Film ini berdasarkan kisah nyata Tobias Wolff, profesor kesastraan dari Syracuse Univercity. Dari kisah-kisah semacam ini, kita cenderung mengharapkan sebuah happy ending. Dan This Boy's Life memang berakhir membahagiakan. Hanya saja dengan cara yang tak kita duga.

Atas ketidakadilan yang diterimanya, Toby tidak membalas dendam. Kalaupun mau disebut sebagai "balas dendam", ia menempuhnya dengan menulis sebuah memoar -- yang lantas diadaptasi menjadi film menohok ini. *** (03/02/2005)

THIS BOY'S LIFE. Sutradara: Michael Caton-Jones. Skenario: Robert Getchell, berdasarkan memoar Tobias Wolff. Pemain: Robert De Niro, Leonardo DiCaprio, Ellen Barkin. Asal/Tahun: AS, 1993.

Home | Film Favorit | Email

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1