Home | Refleksi Sinema

Taxi Driver

Travis Bickle dan Lembaga Sensor

"Kami tidak ingin menghambat kreativitas… tapi kami juga tidak ingin tidak melindungi masyarakat," kata ibu yang memimpin lembaga sensor film negeri ini, malam itu di sebuah stasiun teve, pada hari yang disebut dengan gagah sebagai Hari Perfilman Nasional.

Persis beberapa saat sebelumnya aku nonton Taxi Driver. Tentu saja film itu berkisah tentang sopir taksi bernama Travis Bickle yang berjuang membebaskan seorang pelacur cilik dari neraka New York. Aku meneguk ludah. Nyengir. Tak menduga kemiripan itu.

Travis Bickle dan lembaga sensor -- mirip? Akan kucoba jelaskan.

Travis adalah pria kesepian. Sendiri. Sejak awal. Saat mantan marinir ini mendaftarkan diri menjadi sopir taksi, majikannya tidak menyukai guyonannya. Dan ia memang tak hendak menjadi badut. Ia cuma ingin melakukan sesuatu untuk menepiskan insomnia yang menggerogotinya, yang memperpanjang sunyinya.

Dunianya menyambalewa di seputar pangkalan taksi dan jalanan, dengan taksinya sebagai semacam cangkang pelindung, lalu disambung dengan bioskop porno, apartemen kumal, dan sedikit obrolan di kedai kopi. Namun, ia ingin menjadi pahlawan.

Menyusuri lorong-lorong pengap New York yang dianggapnya penuh dengan "binatang", kemesuman dan sampah masyarakat, ia pengin menjadi pembebas. "Entah benar atau tidak, aku enggan mengakuinya, bahwa seseorang pernah berkata bahwa di dalam naluri tiap manusia ada sebuah kerinduan untuk menjadi pahlawan," seorang kawan pernah menulis panjang lebar, dan ia mengaku tak suka dengan pendapat itu. Kawanku itu boleh saja tidak suka, namun boleh diduga, "kerinduan" itulah yang berdenyut di pembuluh darah Travis.

Namun, terlebih dulu, Travis berupaya mencintai. Nama perempuan itu Betsy, sukarelawan tim kampanye seorang calon presiden. Cantik, berambut pirang, pakaiannya putih, resik di antara kekumuhan New York, dan sosoknya seperti dikitari halo. Tatapan Travis membuat perempuan itu gundah. Kegigihannya membuat perempuan itu menyerah. Sore itu ia mengajak Betsy nonton. Apalagi kalau bukan film porno -- bisa jadi satu-satunya hiburan yang dia ketahui. Tentu saja definisi Betsy tentang hiburan lain dengannya. Perempuan itu jengah, meninggalkannya. Pada kencan pertama mereka. Dan Travis kembali tersuruk dalam kesendiriannya, dalam kegagapannya untuk membangun jembatan dengan dunia luar.

Ia pun mengokang senjata. Bukankah itu cara paling efektif untuk memungkiri keresahanmu? Kau ingin menaklukkan ketakutanmu; kau ingin menjotos kesepianmu. Kau ingin tampil heroik.

Travis mengokang senjata. Melatih diri memasang dan membongkarnya. Sesigap-sigapnya. Di apartemennya. Di depan cermin. Sambil ngomong. Tentu saja sendiri. "Are you talkin' to me? Well, I'm the only one here.... You're dead." Mungkin ada yang mencatat, barangkali ini solilokui terpedih yang pernah direkam dalam seluloid.

Travis pengin jadi pahlawan -- ah, tidak, ia cuma ingin bertindak, ia cuma ingin menandai keberadaannya. Ia, karenanya, mencanangkan misi yang tak lagi bisa dikalkulasi dengan akal sehat: membunuh seorang kandidat presiden, menyelamatkan seorang pelacur remaja.

Padahal, sang kandidat presiden sempat mengira ia salah satu pendukungnya. Padahal, remaja minggat itu merasa tak pengin ditolong. Iris, begitu nama pelacur muda itu, tampaknya cukup lena -- dan bahagia -- dalam buaian mucikarinya. Tapi, Travis sudah bertekad untuk menjadi mesias. Ia "menebus" Iris dengan uang kertas kumal yang dilemparkan si mucikari ke jok taksinya. Dan lantas ia meletuskan pistolnya, layaknya sebuah liturgi yang berdarah-darah.

Travis Bickle dan lembaga sensor -- mirip? Seperti Travis, lembaga sensor adalah "the only one here". Apakah ia ngomong dengan para seniman? Apakah ia ngobrol dengan masyarakat? Ia tidak membuka mulut. Ia membawa gunting. Dan ia merasa tahu mana yang mesti dipangkas.

Lembaga sensor mengandaikan superioritas penguasa atas orang kebanyakan. Ia didudukkan sebagai lebih arif dalam memisahkan tulang dari daging daging, butiran kerikil dari beras. Ia seperti perawat yang menyajikan produk yang sehat, bersih, dan sudah imun, kepada para pasien. Dan di luar itu adalah para remaja kenes yang wajib diluputkan dari laknat jalanan.

Seperti biasanya, kekangan cenderung memantik kemelitan. Larangan mengundang orang main lewat pintu belakang. Maka, orang mengais-ngais produk bajakan. Orang mengintai produk-produk gelap. Yang adegan berdarahnya tidak diseka. Yang adegan seksnya tidak dipancung. Yang omongan lucah dan isu-isu SARA-nya tidak dibungkam. Yang nikmat, karena terlarang, karena sembunyi-sembunyi. Dan itu hanya sepenggal perlawanan.

Kalau yang satu mengakibatkan banjir darah, dan yang lain menghasilkan pita seluloid yang tercacah -- itu sudah soal yang lain. Kalau yang satu diangkat sebagai pahlawan masyarakat dan dikirimi surat ucapan terima kasih, dan yang lain diolok sebagai ikon kekolotan -- tak apalah. Karena memang yang satu hanya ada di film, sedangkan yang lain memelototi film.

Travis Bickle dan lembaga sensor -- mirip? Benarkah? Lebih tepatnya: adilkah membandingkan film sepanjang 113 menit dengan sound bite tiga-empat frasa? Lebih tepatnya lagi: betapa ngeri, pagi-pagi sudah membicarakan kebenaran dan keadilan -- hanya untuk sebuah diskusi kecil tentang film dan lembaga yang merasa berwewenang menyaringnya.

Tapi, Bu Sensor, apakah Anda kesepian? *** (02/04/2005)

TAXI DRIVER. Sutradara: Martin Scorsese. Skenario: Paul Schrader. Pemain: Robert De Niro, Jodie Foster, Albert Brooks, Harvey Keitel, Leonard Harris, Cybill Shepherd. Asal/Tahun: AS, 1976.

Home | Film Favorit | Email

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1