Charles Thomas Studd
Menyerahkan Kekayaan dan
Kehidupan
Kalau Yesus Kristus adalah
Tuhan, dan Dia telah mati bagi saya, maka tidak ada pengurbanan yang
terlalu besar, yang dapat saya persembahkan kepada-Nya.
Salah
satu pergerakan misi yang berdampak besar bagi penginjilan dunia adalah Student
Volunteers Movement (Gerakan Sukarelawan Mahasiswa), didirikan di
Mount Hermon, Massachusetts, tahun 1886. Pencetusnya tujuh mahasiswa
Universitas Cambridge (dikenal sebagai “Cambridge Seven”) yang
menyerahkan ambisi mereka untuk mengejar karier dan mengabdikan
kehidupan mereka untuk misi ke luar negeri. Gerakan ini berlangsung
sekitar lima puluh tahun, mengutus sekitar dua puluh ribu mahasiswa ke
ladang misi, terutama Cina dan India. Mereka tergolong
misionaris yang paling tangguh dalam pelayanan mereka. Pada saat itu,
ketika kebanyakan misionaris menjadi malas dan tumpul, mereka tampak
menonjol. Mereka terdorong oleh keteguhan visi dan berkomitmen
menginjili dunia dengan sarana apapun yang tersedia. Salah satu
anggota “Cambridge Seven” adalah Charles Thomas Studd. Ia lahir di
Inggris tahun 1860, salah satu dari tiga anak mantan pengusaha kaya raya,
Edward Studd. Ayahnya ini lahir baru ketika mengikuti KKR Moody-Sankey.
Sejak itu ia sangat memperhatikan kerohanian ketiga anaknya. C.T. Studd
sendiri lahir baru pada umur 18 tahun, ketika seorang pengkhotbah
keliling berkunjung ke rumah mereka. Dau saudaranya juga lahir baru pada
hari yang sama. Namun, selama enam tahun kemudian, ia undur dan tidak
sungguh-sungguh dalam kehidupan rohaninya. Ia mahasiswa
cerdas dan pemain cricket (sejenis softball) andalan kampusnya,
Universitas Cambridge. Ketika D.L. Moody berkhotbah di kampusnya, ia pun
bertobat dan kembali mendedikasikan hidupnya kepada Tuhan Yesus Kristus.
Tidak lama kemudian, ia dan enam mahasiswa lainnya bergabung dengan
Hudson Taylor untuk melayani ke Cina. Bagi banyak
orang, termasuk sanak-saudara Studd sendiri, keputusan ketujuh mahasiswa
itu merupakan gagasan yang terburu-buru dan menyia-nyiakan kecerdasan
serta kemampuan mereka. Mereka
berlayar ke Cina tahun 1885. Sesampainya di sana, mereka mengikuti
kebiasaan badan misi itu dengan hidup dan berpakaian seperti orang Cina.
Mereka juga belajar bahasa dan mengikuti cara makan setempat. Saat
berada di Cina itulah ia mencapai umur 25 tahun dan, sesuai dengan
wasiat ayahnya, ia berhak atas warisan yang sangat besar jumlahnya.
Setelah menekuni Firman Allah dan banyak berdoa, C.T. merasa terdorong
untuk menyerahkan seluruh kekayaannya kepada Kristus! "Itu bukan
suatu kebodohan. Itu suatu kesaksian di hadapan Allah dan manusia bahwa
ia mempercayai Firman Allah sebagai hal yang paling pasti di muka bumi
ini. Buah seratus kali lipat yang Allah janjikan dalam kehidupan saat
ini – belum lagi dalam kehidupan yang akan datang – merupakan
kenyataan yang pasti bagi mereka yang mempercayainya dan bertindak
berdasarkan firman tersebut,” papar Norman P. Grubb, penulis
biografinya. Sebelum
mengetahui jumlah warisannya, C.T. mengirimkan £5000 kepada Moody, £5000
kepada George Müller dan £15,000 lagi untuk menunjang
pelayanan-pelayanan lainnya. Beberapa bulan kemudian, ia baru mendapat
kabar jumlah uang yang diwarisinya. Ia pun mempersembahkan beberapa ribu
poundsterling lagi. Sisa di kantungnya tinggal £3400. Setelah tiga
tahun berada di Cina, C.T. menikah dengan seorang misionaris muda dari
Ulster, Irlandia, bernama Priscilla Livingstone Stewart. Sebelum menikah
ia menyerahkan sisa uang yang dimilikinya sebagai mas kawin. Priscilla
ternyata tidak mau kalah. Ia berkata, "Charlie, apa yang
diperintahkan Tuhan kepada anak muda yang kaya itu?" "Jual
semuanya." "Yah, kalau
begitu, kita akan memulai pernikahan kita dengan taat kepada Tuhan." Dan mereka pun
terus memberikan sisa uang yang ada untuk pekerjaan Tuhan. Mereka melayani
Tuhan bersama-sama di daratan Cina dengan melewati berbagai bahaya dan
kesukaran. Tahun 1894, karena kesehatannya memburuk, keluarga Studd pun
kembali ke Inggris. Di sana mereka menyerahkan tanah milik mereka kepada
China Inland Mission. C.T.
dan istrinya berkeliling dunia, mengumpulkan dana untuk misi. Ketika
mengunjungi India pada tahun 1900, ia menemukan iklim dan suasana yang
cocok bagi dia dan istrinya. C.T. melayani sebagai gembala sebuah gereja
di Ootacamund selama
enam tahun, dan sesudah itu kembali ke Inggris. Setibanya di
Inggris tahun 1906, C.T. tergugah oleh kebutuhan akan misionaris
perintis untuk Afrika Tengah. Namun, jalan yang mesti ditempuhnya bukan
tanpa hambatan. Tidak memiliki uang satu sen pun, dicegah oleh dokter,
dan batal dibantu oleh sejumlah pengusaha yang semula sepakat
mendukungnya. “Mengapa tidak
ada orang Kristen yang mau pergi?” ia bertanya kepada Tuhan. “Mengapa kau
tidak pergi?” Tuhan balas bertanya. “Dokter tidak
akan mengizinkannya,” jawabnya. “Bukankah Aku
dokter yang baik? Tidak dapatkah Aku mememeliharamu?” Sekali lagi C.T.
mempertaruhkan segala sesuatu untuk menaati Tuhan. Ketika masih muda ia
mempertaruhkan kariernya, di Cina ia mempertaruhkan kekayaannya,
sekarang ia mempertaruhkan nyawanya. Ia mengatakan
kepada para pengusaha itu, “Tuan-tuan, Tuhan sudah memanggilku untuk
pergi, dan aku akan pergi. Aku akan merintis jalan, meskipun kuburku
mungkin hanya akan menjadi batu loncatan bagi misionaris muda yang
mengikuti jejakku.” Keputusan C.T.
untuk pergi ke Afrika sangat memberatkan Priscilla, istrinya, yang
mengidap penyakit jantung. Ia menentang keras rencana suaminya. Namun,
C.T., yang waktu itu sudah berumur 52 tahun, sakit-sakitan dan tanpa
dukungan finansial, membulatkan tekadnya. Desember
1912, C.T. meninggalkan istri dan keempat anak perempuannya di Inggris
untuk berlayar ke Afrika, melayani selama dua tahun. “Kalau Yesus
Kristus adalah Tuhan, dan Dia telah mati bagi saya, maka tidak ada
pengurbanan yang terlalu besar, yang dapat saya persembahkan kepada-Nya,”
kata C.T. suatu ketika. Ia sempat pulang
beberapa saat sebentar, lalu kembali ke Afrika selama lima tahun lagi.
Nyonya Studd baru menyusul pada tahun 1928, dan setahun kemudian ia
meninggal. C.T.
menghasilkan banyak buah bagi Kristus selama di Afrika. Ia melayani
sambil menanggung kelemahan dan sakit-penyakit. Gigi-giginya tanggal dan
beberapa kali ia mengalami serangan jantung. Namun, ia menanggung semua
kesulitan itu sebagai prajurit yang baik dari Tuhan Yesus Kristus. Pada bulan Juli
1931 di Malaga, Afrika, C.T. Studd kembali ke rumah Tuhan yang sangat
dikasihinya dan dilayaninya dengan penuh kesetiaan. Perkataan terakhir
yang diucapkannya adalah, “Haleluya!” Dimuat: Bahana, Juli 2003 © 2003 Denmas Marto |