Dari Singa Hingga Burung Phoenix
Jejak-jejak penyaliban dan
kebangkitan dalam tiga novel fantasi
Alkitab dapat
dilihat sebagai jalinan narasi penebusan yang berpuncak pada Penebusan
Sejati oleh Anak Allah. C.S. Lewis menyebutnya "mitos sejati."
Sejati, karena dilandasi oleh realitas historis kehidupan, kematian dan
kebangkitan Yesus. Namun, sebagai narasi, kisah penebusan menggugah
imajinasi kita seperti mitos-mitos lainnya. Mitos menyadarkan kita akan
kebutuhan rohani, yang pemenuhannya kita dapatkan di dalam Kristus. Dalam buku Reel
Spirituality: Theology and Film in Dialogue, Robert K. Johnston,
profesor theologi dan kebudayaan di Fuller Theological Seminary,
menunjukkan bahwa teologi Kristen pada hakikatnya adalah sebuah cerita
di dalam dan dari dirinya sendiri. Dan sebagaimana semua cerita, kisah
Kekristenan memiliki daya untuk membangkitkan rasa takjub dan mengubah
kehidupan kita. Cerita yang baik
memancarkan berkas-berkas kebenaran abadi dan universal. Cerita-cerita
semacam itu seperti sungai yang mengalirkan air kehidupan sampai ke
relung hati kita yang paling dalam. Karena itu,
kembali mengutip Johnston, kita perlu mencermati cerita-cerita yang
dituturkan dalam kebudayaan saat ini. Bukan hanya agar dapat belajar
untuk mengabarkan Injil secara lebih baik, namun juga untuk menyimak apa
kiranya yang hendak Allah sampaikan melalui cerita-cerita tersebut. Dalam tulisan
ini, kita akan melacak bagaimana narasi penyaliban dan kebangkitan
Kristus dituturkan dalam genre cerita yang kembali populer
belakangan ini, novel fantasi. Contoh-contoh akan diambil dari Sang
Singa, Si Penyihir dan Lemari Ajaib, salah satu bagian dari seri Kisah
dari Narnia (C.S. Lewis), The Lord of the Rings (J.R.R.
Tolkien) dan, jangan kaget, Harry Potter dan Kamar Rahasia (J.K.
Rowling). "Menyelundupkan"
Prinsip Kekristenan
Seorang faun
(manusia kambing, tokoh mitologi Romawi) membawa payung, seorang ratu di
atas kereta, dan seekor singa yang agung. Gambaran itu sekian lama
mengganggu benak C.S. Lewis. Ia ingin mewujudkannya sebagai cerita, dan
kemudian menemukan genre (cerita fantasi anak-anak) yang cocok
untuk itu. Baru kemudian ia merenungkan bagaimana gambaran dan genre tersebut
dapat dipakai untuk "menyelundupkan" prinsip-prinsip
Kekristenan. Lahirlah Sang Singa, Si Penyihir dan Lemari Ajaib,
buku pertama dari tujuh jilid Kisah dari Narnia. Melalui sebuah
lemari ajaib, empat orang anak memasuki negeri Narnia, yang tengah
dilanda musim dingin berkepanjangan akibat ulah penyihir yang menyebut
dirinya Ratu Narnia. Edmund, salah seorang dari mereka, membelot ke
pihak si Penyihir. Ia baru sadar akan kekeliruannya setelah mengalami
perlakuan kejam si Penyihir. Pertolongan
akhirnya datang dari Aslan, seekor singa agung, penguasa Narnia yang
sesungguhnya. Aslan inilah figur Kristus dalam seluruh seri kisah ini. Aslan mengampuni
Edmund dan menyelamatkannya, namun si Penyihir menuntut nyawa anak itu.
"Paling tidak kau sudah mengetahui kekuatan ajaib yang diletakkan
di Narnia oleh Sang Kaisar sejak permulaan kehidupan negeri ini. Kau
tahu bahwa setiap pengkhianat adalah bagianku, jatah korbanku, dan bahwa
untuk setiap pengkhianatan yang terjadi aku berhak membunuh," kilah
si Penyihir. Aslan lalu
menawarkan nyawanya sendiri sebagai ganti nyawa Edmund. Di sini,
pengkhianatan Edmund melambangkan dosa umat manusia, dan Aslan harus
menebusnya dengan nyawanya sendiri, sebagaimana dilakukan oleh Kristus. Cerita berlanjut
dengan pembantaian Aslan, yang mengingatkan pada penyaliban Kristus.
Lusi dan Susan, dua anak lainnya, mengikuti Aslan menuju tempat
pembantaian. "Dan kedua anak perempuan itu menangis pedih (meskipun
mereka tak tahu apa sebabnya) lalu memeluk sang Singa...." Begitu
berada di tangan si penyihir, Aslan diolok-olok dan dipermalukan.
"'Hentikan!' seru si Penyihir. 'Cukur dia lebih dulu.' ... mereka
memasang tali pengikat mulutnya.... Mereka yang semula merasa takut
mendekatinya... mengepung, menendangi, memukuli, meludahi dan
mengejeknya." Kebangkitan
Aslan juga mirip dengan kisah dalam Injil. Setelah Lusi dan Susan
melepaskan tali pemberangus mulut Aslan, mereka meninggalkan Panggung
Batu, tempat Aslan dibantai. Keesokan paginya mereka kembali, mendapati
Panggung Batu terbelah dua, dan Aslan yang telah bangkit berdiri tegak
di belakang mereka. Melalui kisah
ini, C.S. Lewis mengajak kita untuk benar-benar mengalami, secara
mendalam, kepedihan dan kesengsaraan Kalvari. Dalam karya apologetisnya,
Lewis menggunakan kata-kata untuk mempertahankan doktrin Kekristenan;
dalam fiksinya, Firman itu menjadi daging. (Sedikit
informasi tambahan, saat ini Kisah dari Narnia tengah dikerjakan
menjadi film layar lebar dengan sutradara Andrew Adamson, yang
sebelumnya sukses menggarap Shrek. Film ini direncanakan beredar
tahun 2004.) Tidak Mengkhotbahi
Sudah nonton The
Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring? Di jembatan Khazad-Dûm,
Gandalf melawan Balrog seorang diri demi melindungi dan menyelamatkan
para pengikutnya. Ketika ia tergelincir ke dalam jurang, terlihat
tangannya terentang seperti orang yang disalibkan. Rincian tersebut
tidak terdapat dalam novelnya. Tampaknya Peter Jackson, sang sutradara,
hendak menggarisbawahi kehidupan rohani penulis The Lord of the Rings,
J.R.R. Tolkien. "The
Lord of the Rings," tulis Tolkien kepada seorang teman tahun
1953, tepat sebelum buku pertama terbit, "pada dasarnya adalah
karya yang bernapaskan keagamaan dan iman Katholik. Pada mulanya saya
tidak menyadarinya, dan baru menyadarinya ketika melakukan revisi." Tolkien
bermaksud menulis sebuah mitos bercakupan luas dan mengandung tema-tema
Kristiani. Namun, ia menolak bila karyanya ditafsirkan sebagai
perumpamaan atau alegori. Ia berupaya mengolah simbolisme dengan
sehalus-halusnya, sehingga tidak terkesan mengkhotbahi. Berbeda dengan Kisah
dari Narnia, yang menampilkan satu tokoh tertentu sebagai figur
Kristus, Tolkien menggambarkan sosok Kristus melalui sejumlah tokoh. Sehubungan
dengan penyaliban dan kebangkitan, figur Kristus terwakili dalam sosok
Gandalf tadi. Dalam buku kedua, The Two Towers, dikisahkan
Gandalf bangkit kembali, berubah dari Gandal Abu-abu menjadi Gandalf
sang Putih. "Aku sudah melewati api dan air dalam sejak kita
berpisah," tuturnya. Aragorn, salah
seorang pengikut, menyambutnya dengan pernyataan yang mirip lagu pujian,
"Dan kukatakan juga ini: kaulah kapten dan panji-panji kami.
Penguasa Kegelapan mempunyai Sembilan andalan. Tapi kami mempunyai Satu,
lebih hebat daripada mereka: sang Penunggang Putih. Dia sudah melewati
api dan jurang, dan mereka akan takut kepadanya. Kami akan pergi ke mana
pun dituntunnya." Tolkien sengaja menggunakan huruf besar untuk
"Satu"! Frodo, si
pembawa Cincin, juga melambangkan kesengsaraan Kristus menanggung dosa
dunia. Perjalanannya menuju Mordor untuk menghancurkan Cincin adalah 'jalan
salib' yang mesti ditempuhnya. Keberanian, Darah dan Pedang
Contoh ketiga
ini memang lumayan kontroversial. Sebagian kalangan Kristen mencerca
serial Harry Potter sebagai "menyelundupkan" agenda okultisme
dan sihir. J.K. Rowling
mengaku dirinya orang Kristen, namun tidak pernah membicarkan imannya
secara terperinci di muka umum. Berbeda dengan Lewis dan Tolkien, ia
memang tidak bermaksud menulis fiksi Kristen atau cerita yang mengusung
tema Kekristenan. Lalu, bagaimana mungkin menemukan figur Kristus di
dalamnya? Penebusan adalah
tema yang universal. Berbagai falsafah dan pandangan dunia mempercayai
perlunya pemulihan menuju keadaan yang lebih baik. Persoalannya adalah
apakah penebusan itu Alkitabiah atau tidak. Dalam kasus Harry Potter,
sejauh pengamatan saya, ya. Simbol penebusan
dan kebangkitan tampil mencolok dalam buku kedua, Harry Potter dan
Kamar Rahasia. Perhatikan klimaksnya. Harry mempertaruhkan nyawanya
dengan memasuki lorong menuju Kamar Rahasia untuk menyelamatkan seorang
sahabat. Apa yang harus dihadapinya? Basilisk, seekor ular raksasa.
Bagaimana ia menghadapinya? Harry mendapatkan bantuan dari Fawkes si
burung phoenix, dan ia berhasil menikam langit-langit mulut si
ular dengan pedang warisan pendiri asrama Gryffindor. Menurut sebuah
mitos kuno, burung phoenix hidup di padang gurun Arab, bisa
mencapai umur lima ratus tahun. Saat itu ia akan bersarang di tengah api
dan membiarkan dirinya terbakar. Setelah tiga hari, burung phoenix
bangkit dari abunya untuk hidup lima ratus tahun lagi. Orang Kristen
mula-mula memandang kisah ini sebagai simbol kebangkitan (Walter E. Gast,
Symbols in Christian Art & Architecture). Warna bulunya yang
merah keemasan melambangkan darah dan penebusan. Ketika memuji
keberanian Harry, Profesor Dumbledore, kepala sekolah Hogwarts, antara
lain mengatakan, "Pilihan kitalah, Harry, yang menunjukkan orang
seperti apa sebenarnya kita, lebih dari kemampuan kita." Nah, mari kita
rangkaikan kembali: pilihan untuk mempertaruhkan nyawa demi
menyelamatkan sahabat – menghadapi ular raksasa – bantuan burung phoenix
berbulu merah – sebilah pedang. Hm, kedengaran seperti Wahyu 12:11, ya?
*** Kutipan
novel dari: C.S.
Lewis, Sang Singa, Si Penyihir dan Lemari Ajaib (a.b. Santi W.E.
Soekanto), Jakarta: Dian Rakyat, 1992. (Sayang buku ini sudah tidak
dicetak ulang.) J.R.R.
Tolkien, The Lord of the Rings: The Two Towers (a.b. Gita Yuliani
K.), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002. J.K.
Rowling, Harry Potter dan Kamar Rahasia (a.b. Listiana Srisanti),
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000. Dimuat:
Bahana, April 2003. © 2003 Denmas Marto |