Home | Artikel

"Sebelum Saya Menancapkan Bendera Salib di Tepi Danau Toba"

"Bilakah orang banyak ini berlutut di depan Raja kita, Yesus? Dalam roh saya melihat tersebar di mana-mana jemaat-jemaat Kristen, sekolah-sekolah dan gereja-gereja ... Di setiap penjuru saya mendengar lonceng gereja yang memanggil orang-orang beriman datang ke rumah Allah.

Selanjutnya, saya melihat pendeta-pendeta dan guru-guru, orang pribumi Sumatera, berdiri di panggung-panggung dan di atas mimbar-mimbar, menunjukkan cara hidup Kristen kepada yang muda maupun yang tua.

Anda akan mengatakan bahwa saya seorang pemimpi, tetapi saya berkata tidak! Saya tidak bermimpi. Iman saya melihat ini semua, hal ini akan terjadi, karena seluruh kerajaan akan menjadi milik-Nya dan setiap lidah akan mengaku bahwa Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah Bapa....

Hari sudah mulai terbit. Segera cahaya terang akan menembus, kemudian Matahari Kebenaran dalam segala kemuliaan-Nya akan bersinar atas seluruh tepi langit Batak dari Selatan bahkan sampai ke pantai-pantai Danau Toba."

(Surat Nommensen, misionaris Jerman, kepada Barmen, badan misi yang mengutusnya, 1875. Dikutip dari Bahana, Februari 1998).

Awal perkembangan Injil di Indonesia tidak lepas dari kepentingan politik pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan-perlawanan yang dilancarkan terhadap Belanda sedikit banyak diwarnai penolakan terhadap kekristenan yang pada saat itu diidentikkan dengan "agama penjajah'. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda kemudian mengeluarkan keputusan yang melarang pemberitaan Injil di kalangan masyarakat yang telah menganut ajaran Islam. Pemberitaan Injil di wilayah tertentu dapat dilakukan hanya bila ada izin dari Gubernur Jenderal.

Sejak abad ke-13, Islam sudah tersebar di pulau Sumatera. Dari Aceh, agama itu meluas ke seluruh pantai timur, pantai barat dan ke pedalaman Minangkabau serta Bengkulu. Hanya daerah orang Batak di sebelah utara dan beberapa daerah terpencil lainnya yang masih berpegang pada agama nenek moyang. Dalam situasi ini, tanah Batak termasuk daerah pertama yang dijamah Injil di kawasan Sumatera.

Nommensen

Menurut Ragi Carita susunan Th. van den End, Injil mulai masuk dari daerah Tapanuli Selatan dengan adanya beberapa penginjil utusan sebuah gereja kecil di Ermelo, Belanda. Pada 31 Maret 1861, dua orang Batak pertama menerima baptisan air, yaitu Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar. Adapun jemaat Kristen pertama berdiri di Sipirok pada 7 Oktober 1861, dirintis oleh empat misionaris Jerman dan Belanda dari Rheinische Missions Gesellschaft (RMG). Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).

Selanjutnya, sejumlah misionaris lain datang dari Jerman. Salah seorang yang terkenal adalah Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918).

Nommensen berasal dari keluarga petani miskin di Jerman Utara dan dibesarkan dalam pengaruh pietisme. Pada umur 12 tahun, ketika mendapat luka berat di kakinya, dia bernazar akan memberitakan Injil bila kakinya sembuh.

Tahun 1862, Nommensen tiba di Padang dan menetap di Barus, di pinggir daerah Batak. Nommensen mengajukan permohonan, agar boleh pindah ke daerah pedalaman. Akhirnya residen memberi izin untuk tinggal di Silindung. Namun, ia belum puas juga karena belum mencapai apa yang diharapkannya. Ia belum mau membangun tempat tinggal tetap. "Saya tidak mau mengeluarkan biaya besar untuk membangun rumah sebelum sempat menancapkan bendera Salib di tepi Danau Toba," katanya.

Pada tahun-tahun pertama di Silindung, perang antarkampung masih berkecamuk. Bisa saja Nommensen di tengah jalan bertemu dengan orang yang tangannya memegang kepala musuh yang baru saja dipenggalnya.

Orang-orang Kristen pertama (yang dibaptis 27 Agustus 1865) diusir dari kampung halamannya karena tidak mau lagi memberi sumbangan untuk upacara-upacara agama suku. Nommensen pun mengumpulkan mereka dalam kampung tersendiri, yang dinamai Hutadame (=Yerusalem, kampung damai). Setelah tujuh tahun melakukan penginjilan, orang Kristen Batak berjumlah 1.250 orang. Tahun 1918, tercatat 185.731 orang Kristen di wilayah kerja RMG di Sumut.

Selama masa itu, Nommensenlah yang menjadi pelopor dan pemimpin karya RMG di Sumut. Mula-mula sebagai zendeling senior, tahun 1881 ia diangkat oleh RMG menjadi Ephorus (penilik, ketua). Jabatan tersebut dipegangnya sampai saat meninggal, 23 Mei 1918.

Orang Batak memberinya gelar yang lain, yaitu "Ompungta", Bapak kita, yang menempatkan Nommensen sejajar dengan Si Singamangaraja dan tokoh-tokoh sakti lainnya. Di samping itu, ada pula pihak ketiga yang menyatakan penghormatannya terhadap Nommensen. Tahun 1904, ia diberi gelar doktor oleh Fakultas Theologia Bonn, Jerman. ***

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1