Home | Artikel

Kalau Penonton Lepas Kendali

Bukan kekalahan benar menusuk kalbu. Kerusuhan itulah yang lebih menimbulkan malu.

Banyak orang merasa kecewa karena prestasi Indonesia kembali menjadi juara umum dalam SEA GAMES XIX di Jakarta Oktober lalu tidak dilengkapi dengan medali emas dari cabang sepak bola. Dalam final, kesebelasan Indonesia dikalahkan oleh kesebelasan Thailand melalui adu pinalti.

Akan tetapi, sebenarnya bukan kekalahan itu yang lebih perlu dipersoalkan. Yang jauh lebih mencoreng muka kita adalah insiden kerusuhan yang mewarnai pertandingan final itu. Tidak puas terhadap jalannya pertandingan, penonton berulah brutal dengan melemparkan benda-benda keras ke tengah lapangan. Dikerahkannya petugas keamanan dalam jumlah besar tidak juga mempan meredam kebrutalan mereka. Kebringasan penonton baru luluh ketika Ketua KONI Wismoyo Arismunandar turun tangan (Adil, 22/10).

Sebagai buntutnya, Indonesia dikenai sanksi oleh Komite Konfederasi Sepakbola Asia (AFC). PSSI dilarang menggunakan Stadium Utama Senayan untuk pertandingan internasional selama enam bulan, ditambah denda sebesar $8 ribu. "AFC minta, agar PSSI membenahi program pendidikan sikap dan tingkah laku suporter. Selain itu, mereka juga harus memperbaiki pelatihan aparat keamanan dalam mengontrol kerusuhan," jelas Dato Peter Velappan, Sekjen AFC, seperti dikutip Media Indonesia (30/10).

Momok Tersendiri

Kerusuhan penonton tampaknya telah menjadi momok tersendiri dalam persebakbolaan Indonesia. Liga Indonesia setiap tahunnya tidak pernah bebas dari perkelahian antar-suporter. Ditambah lagi ulah para bonek yang menjalar sampai ke luar lapangan hijau. Liga Indonesia IV yang mulai bergulir 16 November lalu juga dibayangi kecemasan serupa.

Kehadiran event yang menjadi salah satu komponen terpenting dari mata rantai pembinaan sepak bola di negeri ini oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai "tamu agung". Tak pelak mereka menyambutnya dengan antusias, lantaran fanatisme dan gengsi daerah, baik secara langsung maupun tidak, dipertaruhkan di sana. Tetapi, ada juga sebagian masyarakat yang menyambut kehadiran 'pesta sepak bola' itu dengan rasa khawatir yang mendalam. Bukan tidak mungkin kompetisi ini akan diwarnai pula dengan bentrokan suporter yang menjalar ke tindak kriminal, seperti pengalaman kompetisi-kompetisi sebelumnya, demikian dicatat Kedaulatan Rakyat (16/11).

Panitia LI IV pun berjaga-jaga sejak awal. Komite Disiplin PSSI siap menjatuhkan sanksi kepada peserta kompetisi, baik tuan rumah maupun peserta tamu, yang melakukan hal-hal yang memancing kericuhan penonton. Sanksi juga ditujukan kepada tuan rumah dan peserta tamu yang tidak sanggup mengatasi gangguan-gangguan yang ditimbulkan penonton.

Bagaimana dengan penontonnya sendiri? Tampaknya ini di luar wewenang PSSI, dan menjadio urusan aparat keamanan (polisi). Padahal, seperti dalam kasus SEA Games XIX tadi misalnya, pembinaan penonton inilah yang dituntut pembenahannya.

Sekretaris Umum PSSI Nugraha Besoes, yang menganggap sanksi AFC cukup ringan, mengatakan, "Kami lega. Jika AFC menjadikan federasi sebagai sasaran sanksi, celaka kita. Sebab, PSSI akan kesulitan menyelenggarakan atau ikut event-event internasional yang tentunya sangat merugikan perkembangan sepakbola Indonesia." Dengan hukuman tersebut, program kompetisi yang telah di susun PSSI sama sekali tidak terganggu.

Persoalan penonton, sama sekali tidak disinggungnya.

Psikologi Kerusuhan

Kenapa penonton mengamuk? Meluapkan ketidakpuasan atas jalannya dan atau hasilnya pertandingan? Ataukah kecenderungan untuk melakukan kerusuhan ini merupakan sesuatu yang sudah kita bawa sejak lahir, suatu bagian yang mendasar dari tabiat manusiawi kita?

Beberapa ahli sependapat, bahwa manusia mempunyai energi agresif. Bila tingkat energi agresif ini mencapai titik kritis, orang akan bertindak kasar untuk melepaskan energi tersebut. Energi tersebut dapat disalurkan secara positif dengan bekerja keras atau bermain. Sebaliknya, bila tidak tersalurkan dengan baik, energi itu dapat "meledak" dalam tindak kekerasan berupa menyakiti orang lain, berkelahi atau merusak. Orang yang mengarahkan dorongan agresif ini kepada dirinya sendiri akan cenderung menyakiti dan menghukum dirinya sendiri, dan bisa berakhir pada bunuh diri (Phil Phillips dan Joan Hake Robie, 1988).

Pertandingan sepakbola, dengan tingkat fanatisme yang tinggi, tampaknya gampang menyulut sumbu "bom energi agresif" itu dalam diri suporter-nya.

Salah satu bentuk sanksi yang dikenakan PSSI adalah menyelenggarakan pertandingan ulang di tempat netral atau tanpa penonton. Pertandingan tanpa penonton, tentu saja, sudah tidak gayeng lagi. Kalau perilaku penonton tersebut diibaratkan sebagai pohon, sanksi-sanksi yang diancamkan barulah merupakan upaya untuk memangkas buahnya, belum mencerabut akarnya.

Pengendalian Diri

Yang menjadi persoalan, para suporter itu lepas kendali. Orang yang tidak bisa mengendalikan atau menguasai dirinya memerlukan pengendalian luar, entah itu berupa sanksi atau aparat keamanan. Ini pun kadang-kadang tidak mempan.

Mengadakan pertandingan tanpa penonton juga tidak menyelesaikan persoalan. Hal itu hanya mengeliminasi "saat kritis", namun tidak menyelesaikan "potensi agresif" yang bisa meledak dalam kesempatan lain.

Penonton yang menyaksikan melalui layar televisi mungkin berpikir, "Saya 'kan tidak sekasar para suporter itu." Kebanyakan dari kita memang tidak pernah melakukan kekerasan atau kejahatan dalam bentuknya yang mencolok. Kita adalah "orang baik-baik", dan cenderung buta terhadap kejahatan yang mengeram di dalam diri kita. Dalam waktu-waktu yang normal, dan dalam pergaulan masyarakat sehari-hari, kita gampang mengabaikan realitas kejahatan. Namun, pada saat-saat kritis, kita dapat melihat betapa destruktifnya, perbuatan kejahatan itu (John White, 1991). Dengan kata lain, seandainya kita duduk di tribun lapangan, bukan mustahil kita ikut terhanyut dalam arus kerusuhan tadi. Bukankah di depan televisi saja kita bisa berulah tak terkendali?

Masalah pengendalian diri ini perlu diperhatikan dengan serius karena hal ini bukan hanya menyangkut suporter sepakbola yang fanatik. Kenapa? Karena potensi lepas kendali ini sebenarnya bercokol dalam diri kita semua. "Ledakan"-nya saja yang berbeda-beda. Menyontek dalam ujian, ketidakdisiplinan dalam berlalu lintas, kemalasan dalam berlatih dan korupsi dalam bekerja, barulah sebagian wujud lepas kendali. Dengan demikian, secara luas, masalah ini berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki bangsa ini.

Yang harus diingat, masalah pengendalian ini lebih dalam dari sekadar psikologis. Ini adalah masalah rohani, masalah manusia yang "sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri" (Yesaya 53:6). Masalah serupa ini pula yang digumuli Paulus dua ribu tahun yang lalu. "Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku" (Roma 7:18-20).

Bagaimana Paulus mendapatkan penyelesaiannya? "Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita" (Roma 7:24). Pengendalian diri tidak dapat dipaksakan dengan pengerahan aparat keamanan yang kuat. Pengendalian diri adalah buah Roh (Galatia 5:23).

Orang yang mampu mengendalikan diri akan sanggup memotivasi diri, bekerja dengan giat tanpa diawasi oleh atasan, tidak gampang menyerah ketika menghadapi rintangan, rajin dan mengejar hasil yang sebaik-baiknya tanpa berlaku curang. Dalam dunia olah raga khususnya, kita akan memiliki suporter -- dan juga atlet-atlet tentunya - yang berkualitas. Ulah suporter tidak akan lagi menjadi cela bagi bangsa ini. "Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang mengusai dirinya, melebihi orang yang merebut kota" (Amsal 16:32). ***

* Disiapkan untuk edisi ke-2, yang ternyata tidak pernah terbit.

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1