Home | Artikel

Rosa Parks

Pembangkang yang Bermartabat

Rosa ParksSore di Montgomery, Alabama, 1 Desember 1955. Seorang penjahit wanita kulit hitam lelah sepulang bekerja. Ia duduk di bis, di baris terdepan yang disediakan bagi orang kulit hitam. Seorang pria kulit putih menyusul naik bis. Bangku bagi orang kulit putih sudah penuh. Ia memerintahkan wanita itu untuk pindah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Wanita itu bergeming. Ia menolak pindah, membangkang terhadap peraturan yang rasis itu. Akhirnya, ia ditangkap dan didenda karena melanggar hukum kota setempat.

Wanita pemberani itu bernama Rosa Parks. Dan peristiwa pembangkangan kecil itu kemudian menyulut gerakan hak-hak sipil yang mengakhiri segregasi legal di Amerika Serikat. Sosok Parks menjadi inspirasi bagi para pecinta kemerdekaan di segala tempat.

Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa Rosa Parks seorang Kristen yang saleh, dan imannya kepada Tuhanlah yang memberinya kekuatan untuk melakukan tindakan bersejarah itu.

Sumber Kekuatan

Rosa Park lahir dengan nama Rosa Louise McCauley di Tuskegee, Alabama, 4 Februari 1913. Ayahnya, James McCauley, tukang kayu, dan ibunya, Leona McCauley, guru. Pada umur dua tahun ia pindah ke peternakan kakeknya di Pine Level, Alabama bersama ibu dan adiknya, Sylvester.

Dalam bukunya Quite Strength, Parks mengungkapkan, iman kepada Tuhan telah ditanamkan kepadanya sejak kecil. "Setiap hari sebelum makan malam dan sebelum pergi kebaktian pada hari Minggu, nenek akan membacakan Alkitab, dan kakek berdoa," kenangnya. "Kami bahkan mengadakan ibadah sebelum memetik kapas di ladang. Doa dan Alkitab menjadi bagian dari pemikiran dan kepercayaan saya sehari-hari. Saya belajar untuk bersandar kepada Allah dan menjadikan Dia sebagai kekuatan saya."

Suami Parks, Raymond, termasuk aktivis mula-mula dalam perjuangan menuntut hak-hak sipil, dan ia sendiri ikut mendukung kegiatan suaminya. "Saya ikut menangani sejumlah kasus," katanya, "namun tidak ada yang mempublikasikannya. Ada kasus pencambukan, pembunuhan, dan pemerkosaan. Kelihatannya tidak terlalu sukses. Itu lebih merupakan upaya untuk menantang para penguasa, dan pernyataan bahwa kami tidak mau terus-menerus menjadi warga kelas dua."

Tentu saja ia tidak pernah membayangkan akan ditangkap karena melanggar hukum. Mengenai pembangkangan itu, ia mengatakan, "Karena saya sangat percaya pada Tuhan, saya tahu bahwa Dia menyertai saya, dan hanya Dia yang memampukan saya untuk menghadapi perkara berikutnya."

Sebenarnya Park bukan orang kulit hitam pertama yang membangkang. Sebelumnya, seorang wanita yang dikeluarkan dari bis melawan dengan mencakar dan menendang-nendang. Seorang wanita lain meneriakkan kata-kata kotor saat ditangkap.

Perilaku Parks sepanjang penangkapan itu, sebaliknya, sungguh menggugah kekaguman. Ia membangkang dengan penuh martabat. Karena itu, dan karena keteladanan Parks memang telah dikenal luas, para pemimpin gerakan hak-hak sipil di Alabama menganggap penangkapan Parks menandakan saat yang tepat untuk bertindak.

Mereka membentuk Montgomery Improvement Association, dipimpin oleh pendeta muda dari Dexter Avenue Baptist Church, Dr. Martin Luther King, Jr. Badan ini menyerukan pemboikotan atas perusahaan bis setempat. Boikot ini berlangsung selama 382 hari, dan mereka menjadi sorotan dunia. Keputusan Mahkamah Agung AS membatalkan peraturan Montgomery yang mendenda Parks, serta menghapuskan segregasi rasial di transportasi umum.

Dihormati seperti Presiden

Hal itu tentu tak terbayangkan semasa kecilnya. "Saat itu," kenangnya dalam sebuah wawancara, "kami sama sekali tidak memiliki hak sipil. Kami hanya berusaha menyambung hidup dari hari ke hari. Pernah suatu malam menjelang tidur saya mendengar gerombolan Klan (kelompok rasialis - pen.) datang, melakukan pembantaian, dan kami takut kalau-kalau rumah kami dibakar."

Karena sepanjang hidup dikelilingi oleh ketakutan, ia malah menjadi nyaris kebal. "Saya tidak memiliki ketakutan tertentu," katanya. "Ketakutan justru menandakan kelegaan karena mengetahui bahwa saya tidak seorang diri."

Setelah peristiwa pemboikotan itu, tahun 1975 ia dan suaminya pindah ke Detroit, Michigan. Parks menjadi staf U.S. Representative John Conyers. Sebagai penghormatan baginya, Southern Christian Leadership Council menetapkan Rosa Parks Freedom Award yang dianugerahkan setahun sekali.

Suaminya meninggal tahun 1977. Parks lalu mendirikan Rosa and Raymond Parks Institute for Self-Development. Institut ini menyelenggarakan program musim panas tahunan bagi remaja, Pathways to Freedom. Anak-anak muda itu dibawa berkeliling AS naik bis untuk mempelajari sejarah negeri mereka dan pergerakan hak-hak sipil.

Presiden Clinton menganugerahi Rosa Parks Presidential Medal of Freedom pada 1996. Ia juga menerima Congressional Gold Medal pada 1999.

Ketika ditanya apakah ia menjalani masa pensiun dengan bahagia, Rosa Parks menjawab, "Saya berusaha sebaik-baiknya untuk memandang kehidupan ini dengan optimisme dan pengharapan, serta menantikan hari yang lebih baik. Namun, menurut saya, tidak ada yang namanya kebahagiaan lengkap itu. Saya pedih melihat masih banyak kegiatan kelompok Klan dan rasisme. Menurut saya, kalau Anda mengatakan Anda bahagia, Anda memiliki segala sesuatu yang Anda perlukan dan yang Anda inginkan, dan tidak ada lagi yang Anda harapkan. Saya belum mencapai tahap seperti itu."

Rosa Parks menghabiskan tahun-tahun terakhirnya dengan tenang di Detroit, sampai ia meninggal pada 24 Oktober 2005. Peti jenasahnya disemayamkan di United States Capitol selama dua hari sehingga warga dapat memberikan penghormatan. Dialah wanita pertama dalam sejarah AS yang pernah disemayamkan di Capitol, suatu kehormatan yang biasanya hanya diberikan kepada Presiden AS. *** (Bahana, Februari 2006)

© 2006 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1