A Time to Kill
Apa yang Anda
lakukan bila anak perempuan Anda yang berumur 10 tahun diculik dua
pemuda berandalan mabuk, diseret ke tengah hutan, diikat pada sebatang
pohon, diperkosa berkali-kali, nyaris digantung, dan kemudian
dilemparkan ke jurang? Carl Lee Hailey, negro penduduk Clanton,
Mississippi, menjawab dengan sepucuk M-16. Dihabisnya dua redneck
(sebutan untuk orang kulit tak berpendidikan di AS bagian selatan) yang
menodai anak gadisnya itu. Biadab? Jawablah dahulu
pertanyaan ini: Apakah yang akan Anda lakukan, seandainya hal itu
menimpa anak perempuan atau saudara perempuan Anda. Saya tercekat
menyimak komentar Harry Rex Vonner, seorang saksi dalam sidang
praperadilan kasus itu, "Bila seandainya anak perempuan saya
diperkosa, saya berharap saya punya nyali untuk melakukan apa yang telah
dia lakukan." Sambil teringat
pada peristiwa Dina dan Sikhem dalam Kejadian 34, pertanyaan ini pun
menohok: Bukankah kita memerlukan nyali semacam itu? Tanpa bermaksud
mendukung kejahatan dibalas dengan kejahatan, saya rasa
pertanyaan-pertanyaan itu jadi relevan mengingat kita menghadapi sesuatu
yang jauh lebih buruk daripada pemerkosa urakan. Dosa – mungkin karena
sudah telanjur sering amendengar namanya, kita lalu kurang menyadari
benar betapa bengisnya "makhluk" satu ini. Orang Melayu
mengenal "Bermain air basah, bermain api terbakar." Kira-kira
seperti itu, namun pepatah ini kurang tajam dalam menggambarkan fatalnya
dosa. Dosa bukan sekadar membasahi atau membakar. Dosa mencemari dan
membunuh. Beranalogi
dengan pertanyaan tadi: Apakah yang akan kita lakukan dalam menghadapi
dosa? Seberapa besarkan nyali kita? Apakah kita seperti Yakub, yang
takut namanya busuk di tengah orang Kanaan akibat perbuatan anak-anaknya
itu? Apakah kita ciut hati bila nanti dikatakan "fanatik" atau
"sok suci"? John Grisham
membubuhkan judul yang galak untuk novel pertamanya yang tak kepalang
panjang itu, A Time to Kill. Seperti kata Pengkhotbah, ada waktu
untuk membunuh. A.C. Green, bintang NBA yang mengasihi Yesus dan
meneladankan kekudusan hidup, mengatakan, "Saya melakukan yang
terbaik untuk menghancurkan karya Iblis" (Bahana, September
1995). Semestinyalah
kita memiliki kesigapan untuk membunuh dosa, jauh sebelum dosa itu
sanggup menghancurkan kita. Ada waktu untuk menggelegakkan kemarahan
yang kudus. Kemarahan yang membuat Amos, gembala Tekoa itu, bangkit dan
berseru, "Tuhan mengaum dari Sion." Kemarahan yang membuat
Yesus mengusir para pedagang dari Bait Allah dan menjungkirbalikkan
bangku-bangku mereka. © 2003 Denmas Marto |