Kenapa Hawa Diciptakan?
"Tidak
baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong
baginya, yang sepadan dengan dia."
(Kej. 2:18) Bayangkanlah
keadaan Adam sebelum Hawa diciptakan. Adam tentulah gagah, namun juga
seperti anak kecil yang begitu bahagia. Tawanya bergema jernih, berbaur
dengan hawa segar Taman Eden yang penuh dengan berbagai tetumbuhan elok.
Betapa ia terpingkal-pingkal ketika melihat si monyet menyeringai ketika
ia menamai binatang itu sebagai monyet. Mulutnya ternganga takjub ketika
sekawanan burung bangau berhamburan dari telaga, lalu terbang menjauh
dalam formasi huruf V. Kemudian, tanpa diduganya, seekor singa gunung
menerkamnya dari belakang. Keduanya jatuh berguling-guling di atas
rumput, sampai akhirnya Adam mendapati dirinya terkapar dan pipinya
dijilat-jilat oleh bibir tebal dan hangat si singa. Sungguh sebuah
firdaus! Namun, Allah
melihat bahwa bagaimanapun gambaran firdaus semacam itu belumlah lengkap.
Allah memahami, meskipun ditempatkan di tengah keajaiban sebuah firdaus
dan menikmati hubungan yang harmonis dengan-Nya, Adam akan dicekam
kesepian bila ia tidak menemukan manusia lain sebagai tempat untuk
berbagi. Hal tersebut
sekaligus merupakan penanda signifikan, betapa manusia memang diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah. Ketika menciptakan manusia, Allah
menyebut dirinya dengan kata ganti "Kita". Para ahli teologia
sepakat bahwa kata ganti jamak ini mengacu pada Tritunggal – tiga
Pribadi berbeda dalam diri Allah yang esa: Bapa, Anak, Roh Kudus. Adanya
tiga Pribadi ini memberikan gambaran sekilas bahwa di dalam diri Allah
ada sebuah dinamika hubungan yang dilandasi oleh kesetaraan dan kasih di
antara mereka satu sama lain. Hubungan yang
penuh kasih inilah yang hendak Tuhan pantulkan pula dalam diri manusia.
Kasih, tampaknya, bukanlah harta karun yang menggoda kita untuk secara
egois menguasainya bagi diri sendiri. Kasih adalah butir-butir permata
yang baru akan berkilau sewaktu diuntai dalam mata rantai kesalingan.
Kasih perlu dibagikan. © 2003 Denmas Marto |