Home | Renungan

Bom Waktu

Kelik dan Sri (keduanya nama samaran) menikah karena Sri telanjur sudah hamil. Tak ayal mereka memasuki bahtera keluarga dalam kondisi labil, baik secara finansial maupun terlebih secara mental-spiritual. Mereka mengontrak rumah di dekat tempat kerja. Tak lama kemudian anak mereka lahir, dan sekitar tiga tahun kemudian disusul anak kedua. Perkembangan karier mereka lumayan, namun penghasilan mereka masih mepet.

Dari luar mereka tampak siap membenahi keadaan. Namun, diam-diam, rupanya Sri memendam kerinduan, pada tahun kesepuluh pernikahan, mereka sudah memiliki rumah sendiri. Sayangnya, tanda-tanda ke arah itu belum juga terlihat, sedangkan Sri kian jenuh dengan rumah kontrak yang lebih mirip ruang persergi panjang bersekat yang harus dihuni empat orang.

Saat itulah muncul pria lain yang menjanjikan apa yang didambakan Sri. Bahtera rumah tangga mereka terancam guncang.

Pengharapan yang tak terpenuhi, keinginan yang tak terwujud, bisa menjadi bom waktu dalam pernikahan. Tiadanya keterbukaan di antara suami dan istri membuka ruang bagi ancaman ini. Padahal, kita perlu realistis, apa yang kita harapkan belum tentu tergenapi pada waktu yang kita bayangkan, atau bisa jadi kita malah diperhadapkan pada keadaan yang berlawanan.

Selebihnya, suami-istri ditantang untuk tetap saling mendukung dalam menghadapi guncangan dan tantangan. Saat-saat sulit, semestinya, bukanlah waktu untuk meledakkan bom, melainkan kesempatan untuk mempererat hubungan pernikahan. Itulah komitmen.


Perikop: Yakobus 3:13-18

Nas: Harapan yang tertunda menyedihkan hati, tetapi keinginan yang terpenuhi adalah pohon kehidupan. - Amsal 13:12

© 2006 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1