Home | Puisi
Sajak-sajak 1997
KEMBALI PADA KATA
aku bersujud dalam pasir pesisir
ke arahmu, ya pencipta langit dan laut
atas debur demi debur
meluncur gelora perkataanmu
: betapa menggentarkan!
kata-katamu, ya penjaga malam
bukankah itu tata bintang
yang memeta tiap nelayan
menghayati angin dan gelombangmu?
diarunginya arus malam
dinantinya sabda dan cahaya: bintang fajar
di atas cakrawala pengharapannya
pelipur hati, penjawab damba
aku bersuka
kembali ke dalam aliran puisimu
dengan gemetar kuhirup
dan kucintai ucapan hayatmu
Yogya, 1997
BERSANDAR PADA ANGIN
tanaman gandum itu bertanya kepada angin:
"bagaimana aku tahu, ke mana engkau hendak menggoyangku?"
"aku adalah yang tak terduga," jawab angin. dan ia tidak pongah.
"aku bertiup ke mana aku mau. ikutlah aku!"
keinginan memberontak bergumpal dalam perutnya.
betapa sering rasanya, ia ingin berubah jadi manusia:
yang tetap bisa berjalan ke kanan,
ketika angin bertiup ke kiri.
"tapi, sayang, aku tidak akan mematahkanmu," bisik angin
seperti menggeledah isi hatinya, menelusupi ketiak-ketiak daunnya.
Yogya, 1997
JANTERA MUSIM
nasi brongkos pojok alun-alun, sesederhana itu: menjaga kangen. kepasrahan
pada persimpangan jalan, memandangi nasib, mengalir dari siti hinggil
sampai panggung krapyak, sampai segara kidul. kelelakian, sebagai bagiannya,
adalah wacana untuk berjalan di atas kegelisahan lidah-lidah gelombang,
dan tak kulihat wajahmu. angin menghamburkan kartu nama, serpih-serpih
daun
beringin, sobekan koran berita, bursa dan karcis kereta.
kelas dua: album-album yang gaduh -- setiap kali ketakutan, carilah wajahku.
kelas satu: berpautlah, aku di perahumu, tak perlu lagi kau takut.
pada kiriman kartu pos ulang tahun tertulis: sepasang gajah jadi tontonan,
belalainya saling memagut.
kubaca kembali, seberangkat dari tugu, refrain-mu yang lembut:
"o, let me live in the glory of your grace"*)
tidak juga melenyap, di gereja itu, membekas di daun musim yang lunak.
sekaten belum lewat, udara masih dingin dan garing. bertuntunan di vredeburg
ditatapi grafis-grafis, lukisan, patung, jejak kaki, celoteh stiker, desain
dan debu
yang belum diseka di kaca pajang. "mana lagu hari ini? kalau kauusir
aku
dari kediaman, aku aman karena tak akan kutemukan tempat bermalam."
barangkali kaki lima, ketika embun mendekapnya, sebelum subuh menyaput
malioboro, mau menerima perumpamaan-perumpamaan dan perjalanan
yang dihayati dalam napasmu.
tinggal sunyi, seperti kabut kelabu pada punggung pegunungan yang jejer
mengepung kota ini. tanahnya dibelah sungai-sungai: mendekap kerlap kunang-kunang,
mendekap sarang-sarang burung tekukur, mendekap tetumbuhan dan pemakaman,
juga dolanan, kisah dan rahasia yang didongengkan hanya pada malam purnama
serta gending-gending. "kalau kaunyanyikan juga, musim akan mengekalkan
kini demi kini: satu hariku seribu tahunmu, seribu tahunku satu harimu."
lantas kupahat, dalam dinding doa, refrain-mu yang laras:
"yes, I will run the race till I see your face"*)
terdengar bendera, di pendopo itu, berkelebat di tik-tok jam yang lambat.
menanti terang tanah: berhadapan dengan pilihan-pilihan, dan maksud
yang ditentukan
sebelum sekon-sekon berhamburan. karena kesunyian, dari lakon purba pohon
widya,
adalah tentakel-tentakel dan labirin yang membelit percakapan kita: menjadi
sajak
yang diakhiri dengan berat. menunggu blencong padam, sebagai wayang, menunggu
bulan jadi surya, dan surya memancar tujuh ganda: dewa-dewi dan konstelasi
bintang
melolong-lolong pada langit yang gemuruh dan tembaga.
Yogya, 1997
- *) Dari lagu I Will Run to You oleh Darlene
Zschech.
©
2003 Denmas Marto
|