Home | Puisi

Puisi-puisi 1996

ADA YANG LANGGENG DI PESISIR INI

ada yang langgeng di pesisir ini
bukan hamparan pasir yang setiap hari dibasuh ombak
bukan celoteh camar yang setiap senja berubah nadanya
bukan pula rumput laut yang setiap hari amisnya berlainan

ada yang langgeng di pesisir ini
mungkin rahim laut yang mengasuh koloni kerang pembentuk mutiara
barangkali tata bintang yang menuntun perahu berlayar malam
atau boleh jadi isyarat, terus-menerus bergetar di degup jantung kita

seperti nyanyian purba - siapa tahu ini sebuah mantera? -
ketika mencermati larik-lariknya kita diseret ke sebuah masa depan
tempat cakrawala mendekapi laut pada tepiannya:
alamat surat-suratmu yang susah kutebak titimangsanya
kapan kujumpa, kapan kau 'kan muncul dari pulau seberang sana

kuikat perjanjian dengan batu karang yang telah melewati pasang kesejuta
telah dibedakannya percumbuan kepiting dan sihir cahaya rembulan
telah dihapalnya bau musim gelombang dan musim sampah
di dadanya - begitu rapi, dan begitu tua - tersimpan bisikan malam:
seorang anak laki-laki telah ada dalam kandungan

ada yang langgeng di pesisir ini - kautangkapkah isyarat itu?

Yogya, 1996

THE BALLAD OF HIDDEN ORPHANS
another look at passover

"eli, eli, lama sabakhtani?"
langit berdarah, betapa lalim
swara tangisan sejuta bayi
mengendap di perbukitan yatim

sejak bocah membangun patung tanah
sosok lelaki tak kunjung jadi
terbayang wajah sang ayah
sepanjang terik matahari

dan jalanan, mencatat debu yang garing
dan ilalang, menjebak lagu yang asing
bayang di danau menggeliat: adalah ular
desisnya mengembun di liang belukar

anak-anak terbujuk tembang dolanan
dengan rahasia di kerlap kunang-kunang
asap kemenyan
seperti tenung, memuja bintang-bintang

udara malam amis dan mengambang
mengigau bersama kabut baur:
telah hilang rengkuhan lengan
dan dongeng sebelum tidur

keturunan sekarang berderet dalam satu amsal
sejak adam, seperti bayi yang terlalu awal
diceraikan dari susu ibunya
seperti kembang gagal memekarkan kelopaknya

mimpi demi mimpi
tersengal di ujung pagi

kecuali ini
pagi berbau rempah-rempah
pipimu merona laksana orok merah
: siapa gulingkan itu batu bagimu?
suaramu seakan dari tepian kolam susu
"biarkanlah anak-anak itu datang kepadaku"

Yogya, 1996

DOA SEBELUM TIDUR
sebuah syafaat buat yogya

bulan meradang di atas kaliurang, bulan kedinginan
ceritakanlah kabut: mengetuk-ngetuk jendela ruang tidur
dengan sejuta dongeng dari pojok-pojok bimasakti
purba sekali -- melintas antara kawah merapi dan
tugu, tugu dan keraton, keraton dan laut kidul

dan tarianmu, kekasih, selendang seputih melati
berkelebat seharum mur dan cendana, kakimu menghentak
turun dari bukit rempah-rempah: beringin kurung itu --
alun-alun utara menunggu aroma kemenyanmu, dalam sunyi
seusai riuh pikuk jathilan dan kesurupan

kami berdoa agar rohmu: sebuah jagat rohani
medan pentas kaum urban -- lebih jembar dari kelir wayang
dan engkau blencong-nya, dan engkau sukma, penghayatan
dalam sabetan sang dalang: siapakah kami
boleh ambil bagian pada babak akhir lakon ini?

usai nanti gara-gara, kutunggu kau
di gemilang lintang panjer rina

Yogya, 1996

CATATAN KANGEN

hanya dengan engkau: angin yang ketawa ketika kawanan gelatik
memecah di hamparan sawah lepas panen. sungai kecil
membicarakannya dengan sepasang kepiting batu: matahari
sudah semakin emas, berkas-berkas hangatnya memijarkan
isyarat rindu dendam, hasrat yang awal dan purba.

ruang sekian petak ini kelak berubah: kunang-kunang yang gelisah
di rumput pematang ketika siluet gedung-gedung begitu diam. bisik-bisik
antara tembok dan lampu taman membuatnya kian asing. sedang rembulan,
di langit yang lapang, cuma tampil seiris. dan di sepanjang jalan, dengarlah,
dendang pengembara itu: jiwa yang melekat, terkepung, namun tak henti-henti
mengejarmu.

ingin kembali ke sana: ketika terang tanah, uap embun dan kilaunya mengusik
ayat-ayat dan nyanyian, bangkit dari tidur. menghirup kehangatan kopi dengan
damba: bunyi tekukur, dan panen di ladang-ladang kita. sedang kanak-kanak
berlari dengan telanjang kaki, sudah pecah putik bunga: hanya kepada engkau,
yang kukenal dari aroma!

Yogya, 1996

KUTINGGALKAN PUISI

kutinggalkan puisi, kalau tak juga sanggup
kutafsirkan isyarat manik matamu
solilokui tanpa tepi: berbalut sunyi, kapan sampai
di rumah kediamanmu

kutinggalkan puisi, kalau kata-kata itu
tak juga menjelma jiwa, membantah atau membela
: bukankah hidup ini perlu kawan bicara?
karena kauhembusi tanah liat itu dengan napas hayat
ia menggeliat, lalu kautuntun ke dalam taman

kutinggalkan puisi, kalau ia tak ubahnya
dunia pelarian -- setelah telanjang dan malu
bagaimana mungkin kami hidup
tersaruk-saruk di bawah langit tembaga
dan kebisuanmu? adapun lembah gurun ini
menguras keringat dan berdebu

kutinggalkan puisi, kalau ia bukan jejak pertemuan
dengan darah percikan dan luka-luka tubuhmu....

Yogya, 1996

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1