Home | Puisi

Puisi-puisi 1994

DALAM DOA

aku memuji, sampai tidak sanggup lagi memuji
aku membaca, sampai tidak sanggup lagi membaca
aku menyanyi, sampai tidak sanggup lagi menyanyi
aku meminta, sampai tidak sanggup lagi meminta
aku mengerang, sampai tidak sanggup lagi mengerang
aku diam
dan menghayati, bahwa Engkaulah Allah

Yogya, 1994

SAJAK PEMBERANGKATAN
mengantar yung

menghayati kepedihan pada putih lantai marmar
dan serpih-serpih daun asparagus
embun dingin memekatkan ketidakpahaman kita
atas lembar-lembar skenario kekekalan

mengapa! betapa menikam pertanyaan itu
haruskah kita beranggapan cukup cerdas
untuk menjawabnya? sedang bibir pun gagap
mengeja selamat jalan

biarkanlah langit menumpahkan kepekatannya
dan tanah makam menghayati benih-benih taburannya

mencium bau bunga: kita pun berhenti bertanya
biarkanlah hujan turun dan deras
juga biarkan dingin di kaca
menyempurnakan bau lumut yang terkelupas

Yogya, 1994

TIRZA

bernapas dalam atmosfir manis pegununganmu
ketika gerai panjang hitam rambutmu menyibak
sehabis malam mengaduh gelap pekat
kutemukan telaga tenang bening matamu
dengan seulas senyum merah kirmizi
dengan seucap kata buah apel manis
sesegar padang hijau berpagar lili putih
mahanaim: aku menari di bawah matahari
mari, kekasih! kukecup bibirmu manis wangi

Yogya, 1994

JAM KERJA

masih bau malam. embun gugur
dari arah kabut subuh
yang berkarat

kita tak nikmati pagi
dan harum kopi
terciprat di pinggir
cangkir porselin

kegegasan yang tak sempat dicatat
kita bosan dengan keringat
dan selalu debu
mendekilkan kerah baju

sajakmu lusuh

manusia massa. delapan sampai lima
seperti lukisan Dali
jam di neon-neon pasi

tak menghasilkan apa-apa
selain sekon-sekon dan ilusi

memajang diri di kaca
melepas dasi
undangan pesta yang sering kita singkiri
joli hari sabat menanti. menanti

Yogya, 1994

SEBUAH JUDUL DI TOKO BUKU:
GENESIS 34

potret hitam putih jalanan oleh kilas mata Dinah
dan etalase toko buku ini berkaca-kaca gelisah
: hei, berhenti! pejamkanlah matamu
kalau gelap terang yang ada padamu, betapa gelapkah
kegelapan itu?

traffic lights berkedip-kedip
langit menyergap abu-abu

sudah malam, Dinah, dan sudah jauh
engkau pergi dari kesuntukan ayahmu
catatlah: dingin dan bisu rak-rak pajang ini
berita-berita, iklan-iklan, gambar-gambar postcard
betapa magis!
gambar-gambar yang molek menyelipkan sebilah dakwaan
seorang penyair terkekeh mengerikan - berbau seperti dewa!

traffics lights berkedip-kedip
tangismu pilu kerna mengadu

malam kian jauh
lalu dendam berkawan dengan pedang terhunus
dua orang kakak, anak-anak ibumu
dan sebuah buku berdarah: Pembunuhan atas Sikhem

langit menyergap abu-abu

Yogya, 1994

SURAT PADA SAHABAT LAMA

kota yang luas, langit yang membentang ini
mestikah seorang saja kunikmati?
sedang engkau tak kujumpa lagi

karena tak bisa kita saling mencinta
sehingga Kain menegakkan dagunya
dan langit tembaga dibentaknya
"Apakah aku penjaga saudaraku?"

daun-daun menggigil, dan putus dari rantingnya
angin rembang mendesah, nyelinap ke relung gua
jagat raya luruh jadi padang gurun dan kembara
requim demi requim, amis darah baunya

kota, demikianlah aku menamainya
gelegak perang, demikianlah denyut jantungnya

sejarah mencatat dari Sinear sampai Golgota
gagak-gagak berkelebat jadi konfeti satu warna
jantera bumi, betapa uzur dan usang
pada punggungnya zaman demi zaman melempari mati
para nabi yang bersaksi dengan berani
menantang aku meninggalkan dunia ini

kaukirimkan padaku, perkamen-perkamen berdarah
sejak Habel sampai Isa
"Dunia ini tidak layak bagi mereka!"

kota yang luas, langit yang membentang ini
mestikah seorang saja kunikmati?
sedang engkau mulai kurindukan lagi

(P.S.
aku termangu mengingat kartu posmu
"Sahabat, kalau sunyi ini tak lagi tertahankan
beranikanlah membangun cinta di awan-awan!")

Yogya, 1994

DIALOG

Aku suka kata-kata cinta yang sederhana
Dan perumpamaan-perumpamaan yang pasti
Namun kusadar, tidak jarang kau berkelit juga
Bukan untuk menyesatkan, melainkan menantang hatiku
Hatiku padamu, Kekasih

Kesederhanaan pun sering menyedotku
Kepada kedalaman yang mencengangkan
Atau kau sembunyi dalam gelap
Lantas menjebakku dengan terang
Yang membutakan mata

Kaubiarkan aku lapar akan kelaparan
Kaubiarkan aku haus akan kehausan
Supaya setitik perkataanmu
Menjadi selaut susu-madu

Aku suka kata-kata cinta yang sederhana
Mendekapmu
Dan mendengarkan detak jantungmu

Yogya, 1994

SKETSA SABAT

Bukan, bukan di gedung kita berkumpul
Tanpa tembok-tembok
Atmosfirnya begitu positif
Udara riuh oleh percakapan
Dan gelak kanak-kanak berlari

Kita anak-anak, dan The Lord of Sabbath

Dia hadir. Hadir di antara kita
Menjadi sumber
Menjadi pusat
Menjadi rahasia

Keintiman yang berdesir
Pada sekon-sekon gelas pasir
Berkas-berkas cahaya
Dan kerlip konfeti
"How great Thou art!"
Lagu kita marak meninggi

Terus aliran-aliran
Yang akhirnya membuat kita tak berucap
Seperti Syeba di hadapan Salomo
Lebih lagi, kita tersungkur dan berhenti

Bukan, bukan di gedung kita berkumpul
Tanpa tembok-tembok
Atmosfirnya penuh dengan gambar-Mu!

Yogya, 1994

SAJAK MENGHITUNG NAMA

10.000 nama membasahi gerai panjang syafaat malam
Angin menyampaikannya ke pangkuan-Mu yang lapang
Engkau, yang memahat
Nama-nama itu pada bentangan kitab hayat

Atas nama-nama yang duduk dalam gelap dan kelam
Kepakkanlah sayap kesembuhan, ya Surya Kebenaran!
Atas nama-nama yang ditentukan untuk mati binasa
Sesuai dengan kebesaran lengan-Mu, hidupkanlah mereka!

Biarlah timur dan barat melepaskan tawanannya
Biarlah utara dan selatan menyerahkan anak-anaknya
Kaki-kaki pemberita damai menapaki ujung dunia
Napas-Mu berhembus, memanggili nama demi nama

10.000 nama membasahi gerai panjang syafaat malam
Darah Anak-Mu berseru-seru mengekalkan perjanjian
Kerinduan-Mu akan samudera anak-anak manusia
Daripada-Mu, ya Bapa, semua turunan menerima namanya
Serupa dengan Yang Sulung di antara banyak saudara

Yogya, 1994

ANALISIS MEDIA RUANG TENGAH

tidak ada lagi tempat aman di bumi ini
sisik-sisik ozon, hutan tropis, ikan paus
beraduk dalam labirin televisi: ke manakah
urat-urat iklan itu mengalirkan
kecemasan, kesangsian, ketakutan dan pengharapan
yang dirobek begitu saja dari suplemen koran pagi?

dengan headline: limbah berdenyar dalam kecepatan cahaya
unggas-unggas menyingkir ke selatan
menangisi ibu bumi yang tua, dosa yang purba
begitu banyak sudah kita memberinya nama
: apakah dia! atlas dinding kabur dan usang
tak memberi skala

selamat malam, saudara. kita membutuhkan nabi
yang membaca: bumi ini harus berhenti?
kita tak mungkin menyelamatkannya
dengan sajak-sajak metropol dan melankoli
lalu lihatlah seorang lelaki begitu berani
berkelit dan menjadi bunga henna di En-Gedi

Yogya, 1994

CATATAN UNTUK KOTA YANG PATAH

Kota, apakah engkau terdiri atas
kekaguman-kekaguman atau hubungan-
hubungan? Koran pagi tak sempat memuat
kehangatan kopi, dongeng dan riwayat di
bawah rembulan sendiri, atau foto-foto
sepia yang pribadi. Berita kota memang
membuat kita bercakap-cakap, toh tak juga
bisa kausembunyikan kecurigaan dari manik
matamu. Headline demi headline
bersambungan, kasus-kasus tak
terselesaikan. Apakah sebenarnya yang kita
sebut kebenaran itu? Aromanya berkelit!
Kita berteriak seperti mau mengusir
asap gosong di dapur.

Kuberanikan menyanggah pendapatmu. Bukan.
Ini bukan pentas marionet. Kita bukan
boneka yang mrucut dan bisa seenaknya
keluar-masuk kotak. Dalang tidak terima
uang pertunjukan. Silakan saja bermain,
dan kita diganjar atas nama pilihan.
Ibarat adu pedang, penikam atau tinikam.
Cuma satu putaran! Ah, barangkali kitab
suci ini jadi begitu muram dan berat waktu
kita pengin jalan-jalan di bawah guguran
pohon-pohon tepi boulevard.... Sadarkah
kau, horison petang jadi menggigilkan? Ya,
dan aku menyanggahmu karena kita berkawan.

Sampai kapankah kita membutuhkan koran-
koran, fanfare dan karnaval? Sampai
kapankah kita menantikan surat-surat cinta
yang personal? Seperti kisah bebungaan
ditaburkan dari surga menandai sumpah
setia. "Akulah itu kebenaran!" Pada
sampah-sampah di bawah jembatan, pada
gelandangan-gelandangan di lantai stasiun
kereta, pernahkah kaudengar kehidupan
yang bangkit dari kematian? Dalam tidurmu yang
hanya sekejap, inginlah kusisipkan mimpi-
mimpi yang tak akan terlelap....

Yogya, 1994

TIBA DI PERSIMPANGAN YANG BERNAMA KOTA: JAKARTA
foto-foto candid

aku capek membayarmu: rahang-rahang jalan tol, bougenville
di bawah flyover, billboard-billboard masif, dan selokan kental.
kapankah sabat di lipatan atmosfirmu? dari kaum berdasi sampai
gelandangan, langit abu-abu dan seiris dangdut cinta. "di manakah
kasih setiamu, sayang?"

engkau mabuk darah. namamu di kening.

siapakah yang menyadari ketuaanmu? wajahmu malih dalam setiap
labirin peradaban, dan kini - apakah yang terjadi dengan
jalananmu? - menjebak dalam kemacetan lalu lintas. pintu
ditutup. lift melaju naik. bagaimana kita tahu akan dibawa
ke rembulan atau matahari? tarifmu betul-betul berantakan.

destination unknown.

kucari taman-taman dengan tepi kolam tempat bercengkerama sambil
memandang sepasang angsa. apakah engkau masih percaya akan
kekuatan doa? dan bertanya: mengapa hidup juga dan bernafas
di hiruk-pikuk ini? bawa, bawalah dalam mimpi....

Yogya, 1994

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1