Home | Puisi

Puisi-puisi 1993

DOA MALAM

seekor kunangkunang berkelebat di antara bilahbilah
daun padi
angin mengangkat bau pematang
menyejukkan mataku yang tersengat
oleh kartunkartun tayangan televisi

iklaniklan dengan berani telah menculik
sepotong rembulan
bayangnya bergetaran di genangan air teras depan
merenung di loteng: dingin dan sunyi jadi sangat berarti
bayangkan! malammalam terus saja hirukpikuk
oleh film seri dan lagu pop yang cair
di ruang tengah rumah, doadoa berantakan

kularikan seiris langit dan sunyi yang berkelit
: hidupkanlah hurufhurufmu!

Yogya, 1993

PULANG: VARIASI DALAM SATU TEMA

1.
kalau pulang, aku ingin mencelupkan kaki
di sungai yang dingin dan bening itu
menggigiti batang rumput yang manis
bunganya serbuk-serbuk putih

2.
kalau pulang, aku ingin perjamuan matahari
di pematang sawah
bulir-bulir yang menguning
dan bunyi tekukur di kejauhan

3.
kalau pulang, aku jadi rumah bagimu
kaumiliki setiap sudutnya, setiap lekuknya
napasnya bau tanah yang basah dan segar
mimpinya tembang panen yang esok menjelang

4.
kalau pulang, aku pulang padamu!

Yogya, 1993

MATA:
SEBUAH TEMA DALAM TIGA ADEGAN
"Engkau mendebarkan hati dengan satu kejapan mata." - Kidung Agung 4:9b

1.
Di ruang atas malam itu, engkau membagikan kepedihan yang menjelang. Belum juga kupahami. Namun begitu gamblang: Engkau memecah-mecah roti. Menuang anggur. Tak pernah kulihat matamu menerawang seperti itu. Seperti ditelan malam.

Begitu kelam. Seorang di antara kami adalah pembunuh. Dinding-dinding pun seperti berbisik.

Tetapi begitu cepat malam berlipat. Siapa yang pembunuh menjadi siapa yang terbesar. Ah, dadaku bergolak. Teringat kembali, dari tepian danau Galilea hingga ke Gunung Transfigurasi. Dari kerumunan ribuan orang hingga arak-arakan memasuki Yerusalem. Betapa sebuah pengharapan!

Dengan jantung berpacu, kuangkat wajahku.

"Aku akan mati bersamamu!"

"Si jahat telah menuntut untuk menampi kamu, tetapi aku telah berdoa, supaya imanmu jangan gugur," katamu.

Tatapanmu begitu tajam. Gemuruh dadaku.

2.
Jilatan api unggun menyengat-nyengat wajahku. Telingaku berdengung. Tudingan dan tuduhan. Cemooh dan ejekan. Sungguh, malam yang liar! Aku mendengar ludah dan ayunan tinju.

Embun mulai mengendap. Percakapan di ruang atas kembali menyergapku. Yang terbesar. Yang duduk di sebelah kiri dan di sebelah kanan. Ah, lambungku seperti hampa! Dan, aku tahu, bukan nyali yang bergulung lenyap bersama asap, sewaktu budak perempuan itu menudingku.

"Bukan! Bukan aku orangnya. Aku tidak kenal dia."

Mendadak aku gentar mendengar suaraku sendiri. Dari celah-celah jilatan api, engkau berpaling dan menatapku....

3.
"Apakah engkau mengasihi aku?"

Aku tak sanggup menatapmu. Gelombang danau Tiberias memecah-mecah pelahan. Sisik-sisik ikan berkilat-kilat oleh matahari yang baru naik. Hm. Sebuah dunia yang kuceburi kembali. Kurasa bajuku pun masih basah.

"... dan kepada Petrus."

Betapa sulit aku percaya, bahwa begitu pesanmu melalui Maria. Ketika engkau mengambil roti dan ikan bakar itu, dan mengulurkannya kepadaku, tak sanggup aku menatapmu.

"Apakah engkau mengasihi aku?"

Kenapa kautanyakan itu! Rasanya berhenti segala kelebat angin danau. Rasanya tertambat segala kecipak ombak tepian. Matahari pun kelu. Hati yang tertikam, ah, siapakah sanggup menatapmu?

"Gembalakanlah domba-dombaku."

Sungguh, bibirku menggeletar. Mataku membasah. Rasanya aku mau tenggelam saja!

"Tuhan, sesungguhnya engkau mengenal kegelapan di dalam hatiku. Aku mengasihi engkau," kataku dengan remuk.

Engkau mengangkat wajahmu. Aku melihat senyum di bening matamu....

Yogya, 1993

DROPS OF THE NIGHT

dingin yang meleleh bersarang di jantung embun
embun malam: kemarau berlayar 8.000 musim
dalam lipatan-lipatan yang gagal. "pada mulanya
kita teperdaya," kata anak manusia.

ruang dan waktu berpasung dalam kepekatan
musim, mengatup di relung cawan. doamu
berpeluh darah. malam pun berhenti, dan rembulan
rembulan perak bergetar melepas sisik-sisiknya.
"tidurlah, sebab sebentar kita mesti berjaga."

dingin yang meleleh bersarang di jejak kaki
yang bergegas. rumput-rumput taman terkesiap
: aduh, malam menciummu, tikaman itu
sampai darahmu menembus magma bumi....

"sudah selesai," katamu.

dan fajar, rembulan di riap ilalang
melesat sebagai surya keemasan
sedang matahari berlipat tujuh ganda.

Yogya, 1993

PARADOKS KERINDUAN
dedicated to my pastor, Eriel Siregar,
and those who seek Him with the guileless candour of childhood

Di dataran rendah berkabut
Kaudapatkan aku
Dan dimulailah pencarian ini:
Jalan tak berujung
Langit tak bertepi
Aku mengejar-Mu!

Berselubungkan kekekalan
Horison-Mu tak terbatas
Seperti mata air bersemburan
Aku haus akan kehausan
Aku rindu akan kerinduan
Pengejaran kian manis!

Aku terus mendaki
Setapak curam, lereng-lereng tersembunyi
Mengejar satu
Dan meninggalkan semua tanpa kehilangan
Seperti Musa di gunung, kutunggu
Prosesi kebaikan-Mu!

Yogya, 1993

ONCE UPON A TIME

sejuta suratmu, nyanyian murka
menghamburkan atmosfir tudung langit
mengendap di humus tanah abad demi abad
kebisuan fosil-fosil siberia

sejuta hujanmu, monumen air bah
menggurat dosa pada sedimen batu-batuan
kabur tak terbaca oleh kabut
evolusi bermilyar musim, kiranya

setiap hempasan ombak, keping-keping batuan
dan tala waktu karbon empat belas
menjebaknya dalam pusaran keberentahan
yang melontarkan bumi dari semesta ruang dan masa

betapa tua! pikiran yang melupa
catatan bahtera bahwa engkau tegak di sana:
siapa tuan, siapa namanya?
(sejuta saksi bisu bermerah mata)

ketika nuh menegakkan mezbah berapi
kaubentangkan tangan di tahta pelangi
suaramu gemuruh kilat menikam hati
merengkuh atau menghakimi!

Yogya, 1993

KUATRIN ULANG TAHUN

lembar-lembar riwayat berlipatan di sarang musim
menorehkan irisan almanak pada permukaan tembikar hias
di sini namamu pengantin darah
membuncahkan air hayat dari rongga kekosongan

Yogya, 1993

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1