Home | Puisi

Puisi-puisi 1992

JEJAK KITA DI SINI

apa yang ditaburkan hujan siang itu, noer?
memerangkap kita: lengkung langit dan ingatan
pada kisi-kisi jendela kamar membingkai mendung.

satu-satu kita berjejak di tanah berpasir
kota ini. dan udara mengalirkan kita ke tempat-tempat
yang barangkali kita sendiri tidak sampai.

tidak mustahil toh. selama kita senantiasa
memandang ke atas. selama napas
menjadi doa. selama langkah dan tawa kita.

(angin lepas, noer. menggoda ke batas cakrawala!)

baiklah. kita akan berjejak di sini. kita akan.
akan ada rumah dan halaman rumput
yang merekam derai hujan siang ini.

Yogya, 1992

POSTCARD BAGI YUDI

(kausembunyikan air terjun
di lipat lembah - berdentum)

kita sama-sama mesti jalani
hawa beruap tepian ladang wortel
dingin kadang menyekap
keberanian kita buat bertikai
dan malam yang berdiang tanpa aku-engkau
seperti ditelan dongeng-dongeng:
betapa sebuah percakapan!

tidurnya pun tiada mimpi. aku terbangun
dengan ingin menuliskan yang lain
kabut-matahari, perahu-telaga dan remah roti
berderaian seperti nyanyimu. kita terus berjejak
dan membacai papan nama: bahwa rumah ini
tak senantiasa puisi

(kita naik. menyetapaki
kelokan demi kelokan)

Yogya, 1992

COLOMBO 44

1.
kamar-kamar di sini benih-benih puisiku:
ruang kalian menghadirkan aku dalam doa dan tawa
dan nyanyian yang terus-menerus kita selesaikan
-- menggugurkan almanak, menggugurkan tik-tok jam
(sedang kita menyebutnya abadi)

2.
hari demi hari demikian gaduh untuk direkam
dalam sepotong puisi: karena waktu bukan lagi perangkap,
karena ruang bukan lagi penyekat. kita berhamburan
membagi atmosfir yang meresap di sumsum tulang.

3.
ketika naik ke loteng atas, dan kuceritakan
pada langit malam: cemerlang biji mata kalian,
dengan apa Engkau akan menyebutnya?

Yogya, 1992

SEBUAH MEDITASI

aku berdoa karena doaku meniti ribuan tahun cahaya
dan bersujud dalam kekekalanmu. aku berdoa: detak denyutnya
menggetarkan debu-debu galaksi dan pijar bintang-bintang.
waktu berpusar. ruang beredar. dan sejarah berlelehan
dari jemarimu yang mengusap buram embun kaca jendela.

aku gentar: tik-tok jam habis dalam loncatan tolok ukur
kefanaan dan keabadian. seperti cakapan luruh debu
di sudut gudang, sementara tanganmu terus menorehkan jejak
di langit malam.

aku keluar dari tubuhku dan melihat diriku ditempatkan
sebagai titik yang hilang dalam peredaran
planet dan rasi bintang....

bagaimana mesti kuterjemahkan gugur sepucuk daun,
bahwa engkau menggendongku? aku berdoa: aku tidak lagi
mencoba bernyanyi tentang hitungan masa.

Yogya, 1992

INCOGNITO

beri aku hati yang merintih
karena kota ini asing
pada satu kata
yang kuyup menenggelamkannya

beri aku hati yang merintih
karena penyair menyekapnya
pada pesona ilalang dan rembulan
di malam-malam musim kemarau

(ketika yahya berseru di yordan
ular beludak terkekeh, mendesis
dan dosa terkandung dalam perutnya
yang menjalar atas tanah)

beri aku hati yang merintih
karena labirin lorong-lorong kota
dan langit yang tembaga
-- ia hitam dan menyebar
mempolusi tanah peradaban kita....

Yogya, 1992

KEPADA JOGJA

jogja, apa yang naik dalam asap dupa kemenyanmu?
kelam kabut: hai tugu, betapakah silsilah lingga
kautegakkan mengikat tanah ini! kota, kota yang lindap
dengan gerbang empat penjuru: banyak kekasih keluar-masuk
namun demikianlah engkau disebut kelengangan.

kumasuki lorong-lorongmu, kujelajahi galerimu, museum
dan alun-alun. udara meratap-ratap, dan ketersendatan
tiga sungai membelahmu. dalam gigil aku berdiri:
angin bergetaran megatruh di pokok beringin, tembang tlutur
dari puri-puri dan sudut benteng. aku menggigil,
jogja, aku menggigil!

dinginmu, dingin bedaya melemparkan pesona sampur
sejauh debur samudera, sejauh jumbuh-nya rembulan-matahari.
kaubangkitkan keheningan setegak patung dewa:
dinding-dinding berelief tempat kekasih bercumbuan,
tempat gemuruh gairahnya, dan kehampaan yang menyekap.

ada sesuatu yang hilang, jogja, ada nama yang terlupa.
guratannya pada prasastimu yang paling tua --
batu penjuru dengan napas yang terus menunggu.

demikianlah aku mengetuk tanahmu: lamat-lamat mazmurnya
mulai dinyanyikan, kelebat panjinya mulai berkibaran
dan akan membahana di pintu gerbangmu:
Jehovah-Shammah -- nama itu ya, jogja!

Yogya, 1992

TEMBANG RUWATAN

kudengar lambungmu -- lambung itu adalah kawah
tengah mencerna, terus mencerna
di bawah bumi -- di laut sana?
debur ombakmu jumbuh pada langit gunung
: abu-abu kota, asap yang mengambang
seperti tembang tlutur

seperti silsilah yang lindap --
karena haruskah aku percaya pada udara?
ia telah ada, namun tidak ada
dan akan ada: jagad beredar di sekelilingnya
dengan penduduk dapat sepenggal cerita

(aku melihat tahta dan biasan kuda
yang meliar): mereka menelan tanpa merasa
memandang dan kehilangan ujung pangkalnya
bumi yang kelak diguncangkan

mereka tetap bernapas dalam udara kota
: tugu tetap tegak diam menjulang

almanak lepas, gunungan bergetar lamban
seperti tertangkap lakonnya
seperti tak tertancap pengharapannya
-- wayang-wayang berderaian di embun malam
atmosfir yang menerima tanpa menjadi serupa

di pusat alun-alun aku berdiri
merobek mimpi rongga-rongga malammu
dan menuturkan sasmita kanda bawana
dalam gemetar langit subuh
yang menyimpan lintang panjer rina

Yogya, 1992

HUTAN: SEBUAH CERITA YANG PURBA

selamat tinggal, adam, dan masuklah ke dalam hutan:
roh yang sekarat, dengan segenap indera
dia menjadi belantara solilokui berkepanjangan
bergumul dengan kayukayu, jamur dan onak
sedang ular mendesis di batangbatangnya

"hutan, bayang rahim persembunyian yang purba
sewaktu kita mengira bisa meloloskan diri
dari teguran yang membekukan syaraf: di manakah engkau?"

menghadapi hutan adalah mengadapi ketelanjangan
yang mendadak jadi memalukan dan dengan geram
dibabatnya: digusurlah hutan menjadi ladangladang,
kotakota, padang rumput dan fatamorgana
sedang benua tidak juga menyembuyikan keriput dosa

"ingin kupelihara hutan ini, pohonpohon
yang mengingatkan pada kemurnian taman semula
tetapi tanganku hanya tahu baik dan jahat
dan hatiku telah asing dan terbuang
sedang pohonpohon tidak jarang menjadi raksasa gelap
yang menggentarkan aku dan menonjok kelelakianku"

mengelupasi prasati lama pada selaput dalam
kulitkulit kayu, pakaian sunyi yang segera terkoyak
tidak memadai untuk ketelanjangan yang terus diburu
kutuk dan keringat: "ah, adam yang terengah
memimpikan pohon hayat di puncak hutan"

Yogya, 1992

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1