Home | Puisi

Puisi-puisi 1991

CATATAN ADAM

aku adalah Adam
yang terhilang dari pusat taman
dan ditantang oleh hutan-hutan peradaban

benih pengetahuan itu sudah bersebaran
mendirikan kota demi kota
(pada mulanya adalah babel): ziqurat
penilik bintang yang meracuni langit
dan menempanya merah tembaga
: maut -- kebaikan dan kejahatan hanyalah dua sisi
sebuah kematian
kita pun bercakap dengan bahasa
yang terpecah dari ketingian bintang
dan kehilangan satu kata: kehidupan
(ah, pohon itu berpagar api menyala!)
lalu dunia berbandul antara baik dan jahat
dalam kekaburan abu pengetahuan

dalam giliran zaman
yang berpeluh terantuk pada pencarian
serba menikan diri
dan menyemburkan darah anaknya
buat sesaji tiang lingga
aku adalah Adam
yang menemukan keturunan terhilang itu
tersalib pada kayu palang
dan tirai kenisah terkoyak dari atas ke bawah
menggelar pertarungan sesungguhnya
: hidup atau maut!

Yogya, 1991

A SONG OF PEACEFUL JOY

angin menenun kenangan di keriap telaga
: ampak-ampak yang mengambang dan gemuncang perahu tertambat
merekam dirinya pada keheningan dan kecipak air di tepian

kemerduan mazmur membasah sepanjang kelok tajam cemara sewu:
string orchestra yang tercakap dan jarum-jarum daun jatuh
menghitung detik-detik yang tertawa dan menangis, hidup yang letih dan bangkit

adalah percakapan, adalah nyayian: dan hati kita bicara satu sama lain
tentang harum kopi, tentang rumput, atau elang yang lintas mendadak
lantas kita pengin bergambar dengan udara lembah meresap di sumsum tulang

inilah hidup: kami melihat wajahmu membayang di biru langit
seperti angin, engkau setia menenun rencana yang terus mengalir

Sarangan, 1991

DARI SEBUAH RUMAH KECIL
DI
TAWANGMANGU

dan kita jejer berpotret di depan rumah: daun jendela,
pintu, pohon belimbing, dan tiang teras. api berdiang
semalam telah padam, dan kita hangat dalam kilas mata,
denting gitar, tawa dan nyayian. alangkah besar hidup
bila ruang-ruang kecil menebar rasa cinta akan dia
yang menenun hari demi hari sebelum semua terjadi.

percakapan adalah kesederhanaan yang mengutuhkan kita
sebagai manusia: tentang gambar pajang, pemandangan di luar
kamar, tirai dan kaca. bilik rumah yang membeningkan
doa, dan kita hadir makan sama-sama dengan aroma
yang berselera. ada yang terbagi, ketika kita satu sama lain
bukan wajah yang asing lagi.

Tawangmangu, 1991

MAINKAN LAGU ITU

mainkan lagu itu, anakku. dalam denting
gitarmu kubaca: tawa tangis, keluhan
tak terucap dan kilas senyum.

mainkan lagu itu, anakku. berdua kita
dalam nyala lilin, roti dan anggur. taplak
putih membentang, dan setangkai mawar
ungu: malam kubiarkan diam
untuk mendengar mazmurmu.

seperti rusa, mendekatlah, anakku. akulah
rumput, akulah air. akulah bukit batu
yang mengepungmu, pelindungmu dari panah pemburu.

kenapa mesti tersipu, bagaimana membalas
kasihku? ketika badai menerjang seperti
deru air, ketika perkara mengempas seperti
gelombang pasang, dan engkau menyanyi
untukku: itulah kasih - kebeningan
hati yang gemetar dan tahu
pada siapa mesti berharap.

mainkan lagu itu, anakku. sebelum lilin padam,
sebelum engkau terlelap tenang.

Yogya, 1991

SERENADE BUNGA RUMPUT
ramba & jane

lagu yang hijau putih itu: gemerlap mata dan
nyala lilin. barangkali butir-butir waktu hendak
dirangkum dalam jemari, jangan sampai lolos
sebutir pun. "kita tidak mengejarnya."

dan aroma ilalang memecah: serbuk-serbuk putih
menggetar di udara berbulan. tinggal bisik
yang tersimpan di pelataran rumah, atau barangkali
ada selaksa malaikat bernyanyi. ada selaksa kata
tersekap sunyi. "kita hanya menerima."

dan berdentingan larik-larik song of songs:
music box, tulip ungu, dan selembar sapu tangan
terkulai di meja. rupanya kenangan demi kenangan
merenda sepasang hati, oleh tangan yang terampil
menisik, yang merajut sejak semula.
"dan kita mesti memeliharanya."

berhenti sejenak. dan bersitatap menelusuri
sebentang peta perjalanan: hendak menghitung
setiap warna, setiap nada, setiap....

Yogya, 1991

LAGU SEORANG PENDATANG

udara malam bertambah dingin, dan langit
menggugurkan embun. kota yang terdiam,
enggan beranjak dalam kerdip merkuri
yang abu-abu. ketika lampu-lampu dipadamkan,
jalanan berbisik pada pesona yang mengendap
dalam tik-tok jam: kota ini tengah mengulum
mimpi-mimpi.

dingin pun kian larut. aku undur dari
heningnya, dan mengerti: aku tak punya
rumah di kota ini, selain sajakmu --
perkamen yang diwariskan lewat para nabi.
dan seperti hizkia memalingkan muka ke dinding,
aku menemukan wajahku membayang di sana:
sebuah rumah di luar busur ruang dan waktu.

ketika terbangun, aku menjadi orang asing di sini.

Yogya, 1991

MATAHARI DI LANGIT JAKARTA,
SUATU SORE

matahari menggantung capek di langit Jakarta
yang kelabu: tak kutangkap jiwamu
kota yang lesu oleh sibuk dan riuh

matahari, lingkaran yang besar dan merah
hilang gairah mencatat derunya. udara berasap
dan langit menyadap debu malam
yang membayang jatuh

lantas menyalalah: lampu-lampu yang menyedot itu,
gedung-gedung yang menelan itu - tak juga penuh

kota, ah, kota, kutahu hatimu:
semangkuk kacang yang menggerakkan liur Esau
dan memuntahkan air dari lubuk keakuannya

Jakarta, 1991

BERDIRI DI MUKA CERMIN

Tuhan, aku orang yang gampang terluka
betapa hatiku mudah tertipu
ketika lingkungan mengecewakan aku
ketika orang menyakiti aku
ketika aku sendiri salah bertindak
aku merasa tidak kecewa, tidak sakit hati
namun sesungguhnya, diam-diam aku tertikam
jauh di lubuk hati, luka itu mengeram
: membusuk, menggeliat....

dan ia adalah racun yang menyebar
tulang-tulangku ngilu, dagingku demam
mata mengabur, lidahku tawar
tak kulihat lagi cahaya wajah-Mu
tak kukecap lagi manis firman-Mu

tanganku mengepal, seolah malu menuding-Mu
kutindas diriku sendiri
: aku dan keakuanku berdiri sebagai musuh
baku cengkeram, baku cakar
dengan kejam kubenci diriku sendiri
sampai berdarah!
dan aku terpuruk, aku merintih
- aku capek, Tuhan, aku capek....

lantas napasku satu-satu, mengurung
(aku merasa sendiri)

dalam diam, setitik air menitik di pundakku
aku mendongak: dan sepasang mata mengaca mengambang
air mata-Mu meleleh - bening dan dingin
dan aku terjatuh dalam peluk-Mu dengan tangis tersedu
: aku salah, Tuhan, aku salah
aku telah menyakiti Arie kesayangan-Mu, Arie biji mata-Mu

dan Engkau, Tuhan, adalah Bapa yang mendekap
tempat kehangatan, rasa aman, rasa dimiliki
dan kesegaran roh hidup yang memulihkan aku sebagai anak
dalam berbaring di dada-Mu aku disembuhkan
dan tertidur dalam irama detak jantung-Mu

Yogya, 1991

MALAM GENESIS

Malam itu Engkau meloncat dari pohon hayat dengan pedang
bernyala tujuh matahari. Malam jadi putih dan menggetarkan.
Seperti cicak aku tersudut dari pengembaraan. Pernah kupikir
pengembaraanku bakal kekal ketika kubayangkan neraka
sebagai lubang hitam di angkasa. Mengejar-ngejar mimpiku.

Begitulah, Engkau merentak. Dan Engkau meradang menebas
tali neraca yang berayun-ayun sepanjang aliran darahku.

"Tidak. Engkau tidak mengembara. Engkau tidak mencari.
Engkau terjerat!" demikian tantang-Mu. "Dan neraka
adalah terpisah dari Aku."

Terus terang benar Engkau. Aku tersipu dibakar cemburu-Mu.
Cinta yang dulu kukenal hanyalah nama dan hidup tanpa janji,
bernafas dengan denyut daging dan aliran darah sendiri.

Tetapi malam begitu putih dan menggetarkan. Aku harus mati.
Lantas napas-Mu mengalir di sekujur sel tubuh dan keping darahku.

Yogya, 1991

KAUHADIRKAN AKU DI SINI

kauhadirkan dingin dan nostalgia sore ini -
kenangan yang tidak digelayutkan pada pokok beringin
begitu saja berderaian dalam benang-benang gerimis
riwayat yang tidak ditorehkan pada tugu kota
begitu saja menggeletar dalam keharuman uap tanah
dan aku tersekap - aroma, nuansa, warna-warna
mengatmosfir dalam kekinian yang lirih bergumam:
mengapa engkau mengizinkan kami kembali mengecapnya?

melintasi batas kota, jembatan, dan kaki lima -
belajar menghargai sepotong masa silam dan gurat namamu
pada lembar coklatnya: sebuah alur cerita yang tersusun
menuju pengharapan, dulu kaunapaskan ketika kita
berjabatan. hari-hari hendak lengkap dengan rincian
jejak kaki, percakapan, dan barangkali juga pertikaian
- sebuah kanvas yang tergulung waktu tempat kita
menggambarkan kabut dan awan, hujan dan matahari:
sebuah warta atas kota yang kelak kita tinggalkan ini.

Yogya, 1991

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1