Home | Puisi
Puisi-puisi 1990
MUSIM DEMI
MUSIM
berpasang musim meniti ruang dan hari
dalam naungan sayap-Nya yang menebarkan pelangi
Dia menenun engkau dalam rahim kasih ibu yang penyayang
Dia mengalirkan kehangatan hidup dalam lengan ibu yang bergirang
engkau melonjak-lonjak dalam kegirangan kanak-kanakmu
engkau meronta-ronta dalam kesesakan masa mudamu
ketika engkau tidak paham berjalan dengan siapa
ketika engkau tidak tahu melangkah untuk apa
ketika engkau berusaha tegak atas kaki sendiri
kembali, Dia membentangkan pelangi janji
o, berbahagialah yang tersungkur di hadapan kemuliaan-Nya!
terpujilah hati yang menyanyi syukur atas kesetiaan Bapa!
dalam cahaya wajah Sang Alfa dan Omega
engaku tahu, musim-musimmu bertaburan bunga
jadilah pemazmur bagi nama-Nya!
keperkasaan tahta-Nya ditinggikan atas bangsa-bangsa
Yogya, 1990
LAGU RUMPUT
kesahajaan rumput menggetar pada arus angin
mengangkat desirannya meninggi
- diam-diam sebuah nyanyian
kehijauan rumput menggelar pada bentang lembah
mengundang domba berkerumun
berpuas dalam kesegaran mentari dan embun
diam-diam keharumannya
menyebar dalam butir-butir udara perbukitan
membuka padang dolanan anak-anak pedusunan
teguh dalam kelembutan
mengerti keterkulainnya tidak akan dipatahkan
- dengarlah, mazmur menebar
dari lintasan hari yang pendek saja
berpacu untuk tidak cuma kering dan terbakar
Yogya, 1990
LAGU API
apa yang kaucari pada kesetiaan embun?
terpesona pada kebeningan butirnya
terpana saja. dan belum sempat kau bercermin
begitu ia mengering lenyap ketika matahari
naik menyala!
bergetarlah engkau karena Dia api:
Dialah api yang menghanguskan! kenapa
kaucuri dirimu sendiri dari dahsyat altar-Nya?
padahal kau lari ke kekal nyalanya!
berikan saja. berikan saja sebelum hari ketujuh
biarlah Dia menjadi kubumu. Dia mau kau habis penuh
Dia mengingini emas tuangan hatimu
tercurah atas gerbang pujian kerajaan baru
Yogya, 1990
WE ARE
AN ORCHESTRA
desir seruling menyisiri ilalang
menyisiri ranting cabang dalam getar angin siang
memetik sehelai daun kering
dan melayang jatuh atas air bening
lantas menenun gelombang demi gelombang
pada permukaannya berkilauan
dan bebungaan
dan rerumputan
dan putih bulu domba - kawanan domba
sang gembala tegak
dengan tongkat dan seruling penghiburannya
adakah domba saling menggigit?
adakah domba mengeluh menjerit?
aroma padang rumput adalah keharuman
percakapan yang teduh adalah kesukaan
domba-domba saling berlindung
sama-sama bersandar pada gembala agung
dan belantara bergetaran
ketika ringkik embik mereka menjelma gelora nyanyian!
Yogya, 1990
INI SEBUAH
PUISI CINTA
dalam guguran kembang jambu
ada sentuh-Mu
yang sejuk
dalam kerontang udara siang
dalam getaran sayap kupu
ada sapa-Mu
yang lembut
atas kerasnya tembok perkara
maka, inilah puisi cinta
atas kasih setia tak berkesudahan
Engkau yang mengenal nama kecilku
aku bergetar menyebut nama-Mu
aku tahu cinta-Mu
tertulis di daun-daun
aku tahu kasih-MU
terpancar di bulir embun
namun Engkau lebih mau
mengukir nama di dalam kalbu
: hanya Kau satu!
susah sungguh kutahu
namun bukan kekuatanku
lengan-Mu yang lembut merengkuhku
Yogya, 1990
PERGUMULAN
sayap-sayap sepi mengibas dari catatan silam
menggetarkan kuncup kembang yang lagi kautanam
dia tahu ini kebun semula hanya debu
tempatnya bercengkrama
dalam kepulan yang tandus dan kelabu
hanya bening wajahmu melelehkan air mata
menyapa kebun yang jenuh pada tanahnya
ya, hanya sapa:
kesetiaan atas cengkeraman
sunyi yang begitu lama
maka ketika dalam jenuhnya tanah meratap
adalah darah
adalah darah
darahmu, ya Nama!
meleleh dari luka tikaman dan pakuan
demikianlah darah membasuh tanah
untuk menanam kembali benih kembang
dari taman kehidupan yang dulu tercuri hilang
ya! kesunyian kebun
kini menggeletar dalam suka cita tunas-tunas muda
dalam nyayian demi nyanyian
adalah juga pergumulan demi pergumulan
antara kerinduan menghijau dan mengembang
mekar dan meyebarkan aroma keharuman
adalah sayap-sayap:
mengembalikan senyap dengan desahnya
meremuk melisutkan dengan badainya
ah, hati yang gemetar, hati yang gemetar!
kenapa lantas hidup serasa gurun berpendar?
pilihan antara tetap berakar atau lenyap terbakar
dan engkau, engkau hanya tersenyum dalam diam
sesungguhnya tak kubiarkan apa yang telah kautanam
dalam cinta, dalam cinta kausaksikan pergumulan kembang
cintamu yang merawat dan menjaga
apa-siapa sanggup menggesermya sejengkal saja?
ya! geletar darah cintamu serasa gelora
: dalam kasih-Ku, bertumbuhlah kau bunga!
sayap-sayap yang angkuh bergetaran
berpasangan musim lalu sudah remuk Kupatahkan!
Yogya, 1990
PUSAT PANDANG
dunia ini, serasa taman yang kehilangan pusat pandang, maka hati si
gadis merenjana dalam aroma semerah mawar merebak dalam getar sayap dan
harmoni burung lantas ekstase usai menggigit keranuman apel dan letih
mengaca pada pesta matahari air telaga dan beranjak dalam alpa akan
wajah semula terbaring di rerumputan diintai dari semak oleh si ular
yang mendadak memagutnya.
dunia ini, siapa ingat pada benih yang dulu tercuri hilang dan
kembali dijanjikan?
Ngadirejo, 1990
SAJAK PENCARIAN
cari, carilah Dia!
dalam dengus napas dan leleh keringat
keletihanmu menemukan
betapa lusuh pakaian yang kaukenakan
: bagaimana engkau layak
memasuki semarak pesta-Nya?
lantas berpuas menyadari puncakmu:
berdiri dalam keletihan hamba
di hadapan sang Mahatuan
kau mengerti taraf-Nya begitu tinggi
namun masih juga kau coba menggapai
kalau-kalau tanganmu sampai
taraf-Nya begitu tinggi kaupandang
kausangka Dia menipu ketika sudi bertandang
yang mengenakan pakaian pengharapan
yang mencurahkan anggur penghiburan
yang menyediakan roti kekuatan
ya, yang menanggung segala beban dan cela
dalam kehinaan palang kayu bukit tengkorak
kautolak!
lantas kau masih juga menggulirkan batu pencarian
sambil menembangkan ketermanguan sysiphus
di puncak, saat batumu berguliran kembali
tidakkah kaudengar
: bukan engkau yang mencari, bukan engkau!
Dia yang mengetuk kerelaan hatimu
membiarkan dirimu digendong pulang
ya, domba yang terhilang
Ngadirejo, 1990
FRAGMEN SALIB
kristus tersalib di kaki lima malioboro
darahnya ranggas. nanahnya mengeras
terjual sebagai kartu paskah dan gambar hias
di pinggiran code, setengah basah berlumpur
seorang bapak menemukannya
dan mendadak matanya mengabur
tak salah: baru kemarin siang
anaknya mengulurkan tangan berlubang
wajahnya terkaca pada petang dan mega
: kota! kota! kenapa kau demikian tergesa?
kalian bilang akan tanggung harga darahnya!
ketika kaki lima menghamparkan tikar lesehan
mulutnya pecah. kata-katanya berhamburan
- orang muntah-muntah mendengarkan khotbah
dan kota yang tak kunjung senyap
mubeng beteng di bawah bulan padam
sisik-sisik lintang mengendap
di mata perempuan lingsir malam
alun-alun utara, lorong-lorong sosrowijayan
dan pasar kembang: berebutan menjamah jubahnya
udara pun menaburkan kecubung ungu
besok kereta beranjak dari tugu
Yogya, 1990
MEDITASI
ya! Engkau sendiri masih tidak bosan cerita padaku
meski aku lebih sering gagal menggurit apa yang Kaumau
dalam bisikan lembut Kaucoba menarikku ke hening itu
lantas kenapa bising yang tajam menelan lagu-Mu:
kata dan tawa tinggal memusing dan mengapung pada puisi gagu
sekeliling pun mencatat keasingan pada sapa diri
ketika pencarian serba menemu gelepar gurun debu
lantas ketidakpahaman terasa begitu biasa, begitu biasa
dan mengekallah hening-Mu
menelaga di ceruk yang tertinggal sepi
meski ada keberjagaan, ada kekuatan
(diam-diam mata-Mu meleleh basah)
Yogya-Purwokerto, 1990
EXODUS
kuhamburkan belerang sinai ke tengah pestamu
yang memijar. sebelum ular menjilatnya, remah roti
bertebaran di tanah-tanah yang terpeta:
perjalanan ini meleleh dari garis sketsa
dan musim yang bersayap. kadesy-barnea
batas kota yang menempuruk: dan berpaling
dari cinta semula. engkau pun mengembara
40 tahun. serpih-serpih suratku menjadi pasir
gurun tempat kau menyemaikan benih-benih
rasa tertipu. dan burung-burung puyuh
memungutinya: langit yang kecubung oleh bisa
ular tedung. sampai bintang david gugur
dan musim memburaikannya ke ujung timur:
dinding-dinding babel melipati riwayat kita
dalam habluran rasi para kasdim dan tua-tua
biarlah aku bersarang di basah matamu
dan ratapan yang berdebu. kubaca testamen
memburam: darah habel nanti bicara
di tanah tinggi golgota. begitulah, diam-diam
engkau menikam lambungku. tiga putaran
waktu mengendap. darahku mengekal dalam
cawan-cawan yang menampung kesaksian
eksodus berikutnya: aku bakal menjemputmu
supaya kau tahu siapa aku
Yogya, 1990
SAJAK PELAUT
begitu saja kaulemparkan
siluet istri lot ke pusat gelombang
kuhitung garis-garis resahku
yang larut pada langit petang
masa silam - pernah aku berangkat
dari pesisirnya:
angin musim yang melepasku
dalam perjalanan tanpa peta
(begitulah, karena kata orang
hidup harus berjalan bertujuan)
persinggahan demi persinggahan membujukku
dengan pesta. namun aku adalah lelaki
yang tertawa: wajah-wajah perempuan
mengabur dalam ombak yang gaduh
matahari yang hiruk-pikuk
dan nyanyian peri-peri laut
dan rasi bintang diburu keletihan
menggodaku jadi pertapa
berdiam di pusat mata angin
menyerap energi semesta
dan bertanya:
kenapa hari-hari cepat jadi tua?
ya! kepada siapa mesti mempercaya?
kalau malam pun berkhianat
diam-diam sepakat mencekikku?
kuteriaki langit dengan jubah terkoyak
- berkibaran tanda menyerah
aku, aku petualang yang kalah
kesampyuk ombak dan ditemukan
telanjang di bibir laguna:
aku minta dibaptiskan dan lahir kembali
dalam sistem surya yang berbeda
dan aku berdiri di atas karang
menghadapi pasir
menghadapi ombak
menghadapi matahari
- kauterbangkan aku sebagai rajawali
Ngadirejo, 1990
EPISODE LAUT
GALILEA
aku bertapa di lukisan gelombang
dan ombak mengelupaskan cat perahu
langit buta. angin laju
: di manakah hati lelakimu?
kudengar kecipak kaki-Mu?
Yogya, 1990
PESAN MALAM
kota ini begitu padat. panas dan pengap
oleh napas pendatang: kartu-kartu bertebaran
omong kosong dan basa-basi yang mengambang
lepaskanlah aku. tanah lapang sebelah utara
udara malam telah mengembuni rumput-rumputnya
ya! kupandangi bintang-bintang dalam carol
yang hijaubiru: peta orang-orang majus itu
kukabarkan kembali padamu. lorong-lorong, kamar-
kamar dan lampu 15 watt. malam yang termangu
dengan butir-butir rindu yang dingin merambat
hawa apa ini, berkejaran dengan dinding ruang dan
lengkung waktu?
aku masih di sini. menggeliat dari kesesakan tembok
yang telanjang. dan sapa itu, seperti datang dari
langit timur: adakah bayi lahir di kota kering ini?
dan kutunjuk kayu palang itu, sebuah papan nama
- aku sendiri terpana: kebayian adalah kematian
(dan kebangkitan adalah matahari yang muncul
sebagai pencuri).
kukabarkan kembali padamu. kuketuk pintu-pintu,
jendela-jendela, untuk bangun sebelum waktu jaga
tangis bayi itu! tirai-tirai tersibak menyambut
anak-anak pulang malam. sebuah nyayian mengalir
dalam sel-sel darah, pori-pori, dengus napas, dan
kenangan sodom-gomora: sejarah telah sampai
pada halaman berikutnya....
Ngadirejo, 1990
MAZMUR PERJALANAN
kota demi kota menjadi sebuah jagat rohani
kita tembusi dengan sayap-sayap api
demikianlah, seperti david, kita adalah si gila
dalam dunia yang terbentang digenangi cinta
- ini bukan lagi tawar-menawar
jerit angin daun jati
+ karena harga sudah lunas dibayar
timpal rumput meretas sepi
: bukan kehendakku, namun kehendakmu
karena kehendakmu tak hendak berlalu
ya! isi cawan kematian
kita reguk dalam semalam perjamuan
kita pun menerjang deru angin
persinggahan demi persinggahan
dan batas kota yang kadang dingin
ruang dan waktu bukan milik kita lagi
tinggal mazmur: menjelma berita di relung hati
dan sungai pun diam-diam mengalirkannya
sementara kita bersimpuh mengaminkan doa
Kediri-Ngadirejo, 1990
ZAMAN
Berayun dalam warna-warni lampu sepanjang jalan
sepanjang malam, dan angin menampar-nampar etalase
menghamburkan sepi ke langit terbakar. Demikianlah,
zaman yang malu dan ketakutan, riwayat yang kembali
berulang: Hawa membagikan dosa kepada Adam.
Keterpisahan, ketelanjangan: persembunyian yang malam
dan menggigilkan. Lantas angin, dengan suara sengau melepas
panah-panah menggugat: Di manakah engkau?
Dan beringin di simpang boulevard merontokkan
daun-daunnya di ujung sebuah musim panas. Ya, guguran daun,
betapa indahnya! Orang-orang menyematnya untuk mengubur
sebuah masa lalu dan melupakan kejadian yang pecah:
Didirikan, di tengah kota, sebuah tugu dengan silsilah terkoyak.
Wajah kemanusiaan yang berdiri seperti Adam dan Hawa
di hadapan Tuhannya: saling menuding dengan kata-kata
yang mengeringkan langit. Malam di hati, malam di hati:
Siapa hendak membangkitkan matahari? Mereka merasa
memiliki kota, dan menganggap udara cukup longgar
untuk minum dan makan, kawin dan mengawinkan.
(Tuhan tertawa dengan api yang memagari
surga-Nya. Di Eden, 6.000 tahun lalu, ada
hewan terbantai berdarah, dan kulitnya dikenakan
pada Adam dan Hawa).
Yogya, 1990
NYANYIAN MAGDALENA
Pada mulanya adalah air mata; membasuh
kaki sang lelaki: Kristus. Dan rambut panjang
belaian seribu lelaki tergerai dalam kepasrahan
dan pengakuan: Aku dan dosa adalah satu.
Kristus pun memandang dengan mata salib. Diam-Nya
begitu ngungun, menikam ulu jantung. Dan memburailah
darah yang bersarang sejak masa silam. Tangan itu
menjamah dan lembut menantang: Palingkan!
Maka sang pelacur mengetuk ruang dan waktu: Siapa
mencium udara narwastu?
Yogya, 1990
THE ARK
OF THE COVENANT
Israel berhenti di Silo. Beristirahat, dan masa lalu pun
satu demi satu mengabur. Ujung sejarah lantas patah:
Mereka pengin lelap sebelum menepiskan debu-debu
lapik tidur. Dan Jehovah-Nissi, nama itu terhapus pula
bahkan dari mimpi: Tanah persinggahan melahirkan generasi
yang alpa dan patung-patung yang menggeram.
Israel, hati yang budak dan mengembara. Kesetiaan embun
dikandungnya dengan nafsu yang membara sepanas gurun.
Pagi menangis, siang memaki, dan malam mencuri:
Tabut itu dilemparkan ke tengah peperangan. Maka
perjanjian itu membakar dan murka: Ikabod! Ikabod!
Dengan salut emasnya terkelupas, makota itu lepas
menebarkan kutuk dan maut di tanah perasingan.
Dengan langkah-langkah Filistin, dengan jamah kekuatan lelaki
tak mungkin ia kembali: Demikianlah, Uza dikaparkan
dengan murka, dan tanah-tanah gemetaran. Maka biarkanlah
angin mereda, dan musim mencatatkan kembali jejak-jejak
perjanjian: Karena harga diri itu kekal, ia tidak tertikam
oleh pengkhianatan.
Yogya, 1990
PERCAKAPAN DENGAN TUHAN
MALAM-MALAM
SEHABIS HUJAN
aku mencium napas yang lembut menguap
dari aspal hitam dan genangan air
yang menyimpan bayang-bayang matahri putih
dan selubung udara pun tersingkap: merkuri
bernyanyi lirih mengguyuri debu-debu musim panas
yang sore tadi mengendap - jejakmu tajam di sana
musim, menjadi episode tempat istirah: sebuah harpa
menganyam kata-kata kita pada dinding
ketelanjangan - tidak ada yang tersembunyi di hadapanmu
barangkali keletihan yang menjebakku dalam
perangkap ini dan menggelepar pada monolog
berkepanjangan - tanganku akan lumpuh
kalau terus berjalan begini: dan itu melukaimu
prasangka bahwa engkau diam saja
ah, ketika aku ingin menangis
air mata telah basah menggenangi pelupuk matamu
: Tuhan, aku ingin menciummu!
- Yogya, 1990
©
2003 Denmas Marto
|