Home | Film | My Books


Sampul Depan
Klik untuk memperbesar

Obrolan Tukang Nonton
Dari Charlie Chaplin Sampai Mengejar Matahari
Penulis: Arie Saptaji
Penerbit: Papyrus, Yogyakarta, 2005
Tebal: 192 halaman
Ukuran: 12,5 x 19 cm
Harga: Rp 25.000,-

Banyak orang pernah menonton film. Entah itu di bioskop, di rumah, ataupun di layar tancap (yang ini sudah langka). Setelah menonton, ada yang melupakannya, tetapi ada yang termenung-menung dan me-rewind film itu di dalam ingatannya.

Tanpa perlu menjadi pakar perfilman, tanpa perlu teori muluk-muluk, setiap orang tentu memiliki kesan pribadi terhadap film yang ditontonnya, dan leluasa untuk mengobrolkannya dengan sesama penggemar.

Dalam Obrolan Tukang Nonton Arie Saptaji mengajak Anda, para penggemar film, untuk mengobrolkan film-film yang telah ditontonnya. Film lama bertemakan komedi yang dibintangi Charlie Chaplin, City Lights; film yang bertemakan rasialisme, seperti Giant dan Glory; film horor seperti Beloved; film animasi yang telah banyak mendapat pujian, Beauty and the Beast; film dari negeri sendiri Mengejar Matahari; dan film-film lainnya.

Anda ingin menikmati obrolan yang seru tentang film? Cicipi saja Obrolan Tukang Nonton ini!


Liputan


Resensi


Kegiatan

  • Sabtu, 21 Januari 2006, 10.30 - 14.00: Bedah buku dan pemutaran film (Planes, Trains, and Automobiles) di TB Gramedia Pandanaran, Semarang. Pembahas: Frasto Biyanto (STIE YKPN, Yogyakarta).
  • Rabu, 11 Januari 2006, 18.00 - 21.30: Peluncuran, diskusi buku dan pemutaran film (Planes, Trains, and Automobiles) di TB Toga Mas, Yogyakarta. Pembahas: Frasto Biyanto (STIE YKPN, Yogyakarta). Moderator: Felista (Penyiar Radio eltiRa). (Album Foto)
  • Senin, 9 Januari 2006, 19.00 - 21.00: Bedah buku di eltiRa BookShelf, Radio eltiRa 102.1 FM, Yogyakarta.

Kata Pengantar

Sinar Film di Mata Seorang Pekebun Tekun

Arie Saptaji saya kenal tak sengaja. Satu hari saya membaca resensi Eternal Sunshine of the Spotless Mind di internet, dalam bahasa Indonesia, yang ditulis Denmas Marto. Sebuah resensi yang bermagnet. Saya layangkan surat elektronik berisi pujian kepada sang penulis. Ia membalas, disertai pernyataan bahwa tulisannya itu terinspirasi oleh resensi film berjudul sama yang saya tulis di majalah Tempo. Betapa santun.

Denmas Marto lalu mengundang saya untuk melihat-lihat situsnya di www.geocities.com/denmasmarto. Saya penuhi. Dalam sebuah kunjungan singkat ke situs itu, saya kembali terpukau. Ini sebuah taman kata-kata yang hanya bisa dikelola oleh seorang pekebun tekun yang menikmati setiap tetes keringatnya sendiri. Setiap petak yang dijuduli 'Puisi', 'Film', 'Fiksi', dan seterusnya, dan seterusnya, itu tak pernah dibiarkan redup. Dan salah satu petak yang terus bersinar adalah 'Film'. Saya membeku melihat judul-judul film yang diresensinya. Begitu variatif. Ya, di salah satu pojok taman yang terus bersinar itu saya membeku menyaksikan dedikasi seorang pekebun virtual yang tak lelah mencukil kehangatan cinta dari setiap film yang telah ditontonnya.

Eternal Sunshine, yang akhirnya membuhul persahabatan kami itu termasuk satu dari 40-an judul yang diobrolkan Arie dalam buku ini. Sebagai pekebun yang tak kenal lelah, Arie tak puas hanya menyuguhkan keindahan film Hollywood. Ia mengajak kita untuk mengamati berbagai "spesies" film dari negara lain: Singapura, Australia, India (Bollywood), Jepang, Indonesia, sampai Irak. Sebuah film dari Gerakan Dogma 95 yang dipelopori sutradara Lars von Trier pun tak luput disajikan Arie. Inilah kekhasan kedua dari seorang pekebun santun nan tekun itu: Arie juga pecinta eklektisisme. Ia mengolah keindahan dari berbagai film yang ditontonnya, sebelum membaginya lagi kepada pembaca.

Kehangatan cinta yang dikandung sebuah film, selalu menjadi sisi pertama yang dikedepankan Arie. Dari cinta Ilahi (agape) sampai cinta ragawi (eros). Setelah itu, akan terlihat pemihakan Arie terhadap 'moralitas' sebuah film. Ia tak segan 'menghukum' sebuah kisah yang dilihatnya bias dalam penegakan moralitas, seperti Mystic River (Clint Eastwood), yang lebih mengedepankan keberanian untuk 'menghukum orang yang tidak bersalah, ketimbang melepaskan orang yang bersalah'.

Arie juga meyakini diktum 'no man is an island', terutama sebagai makhluk sosial, dalam mengupas beberapa film tertentu. Ia bahkan bisa menemukan benang merah dari sebuah setting sosio-politik di Amerika Serikat dan di Indonesia lewat The Manchurian Candidate. Penemuan sisi tersembunyi seperti ini bukan sebuah kebetulan pemula. Ini merupakan buah dari hasil ketekunan pengamatan yang terlatih.

Namun bagian yang paling memukau saya adalah ketika Arie memotret tema persahabatan sejati dalam sejumlah film, yang menjadi bagian terakhir buku ini. Persahabatan sejumlah karakter di berbagai film -- dari Driving Miss Daisy sampai Oeroeg -- lengkap dengan punch line yang bisa membuat pembaca mendapatkan tambahan perspektif dalam melihat persahabatan. Ini kontribusi Arie yang belum banyak digali secara serius oleh pengapresiasi film lokal.

Semoga sang pekebun tekun ini masih akan terus mengajak kita memperhatikan kehangatan mentari cinta yang muncul dari berbagai film, di buku-buku selanjutnya. Karena saya percaya bahwa Arie Saptaji, Denmas Marto itu, adalah juga Eternal Sunshine of the Spotless Man. Tak bisa lain.

Jakarta, 1 Desember 2005
Akmal Nasery Basral
Wartawan Majalah Tempo dan Penulis Novel Imperia


Komentar Kawan

Bagi mereka yang hobi nonton, buku ini sangat baik untuk dibaca! Ditulis dengan kalimat yang mengalir dan mudah dimengerti, Arie menyuguhkan ulasan yang jujur, apa adanya dan reflektif terhadap film-film yang telah ia tonton. Membaca buku ini seperti mendapatkan saran yang baik dari seorang sahabat akan arti dari berbagai macam film yang telah ditontonnya. Mengulas lebih dari 40 buah film yang dibuat oleh berbagai negara (AS, Australisa, Jepang, Brasil, Indonesia, India) dengan keragaman genre (drama, suspense, horor, animasi, dll.) dan tahun produksi yang merentang antara tahun 30-an hingga 2004 membuat pembaca buku ini diperkaya pengetahuannya akan sejumlah film yang bukan hanya enak ditonton, namun juga mengandung butir-butir kebenaran yang kerap tak terduga.

-- h_tanzil, co-moderator milis pasarbuku

… duduk santai sambil ngobrol di dangau, ditemani kicau burung, pisang goreng plus seteko kopi yang masih ngepul.... Dengan suasana seperti itulah Arie Saptaji ngobrolin film-film yang ada dalam buku ini. Padat, tapi ringan dan asyik. Tak perlu jadi pakar film dulu untuk menikmati buku ini.

-- Melvi Yendra, penulis novel dan skenario yang doyan nonton

Seperti sedang mendengar rekonstruksi cerita, lengkap dengan ulasan yang kaya. Bukan soal teknis teoritis terjadinya sebuah film. Tapi kecintaan penulis dalam hal menonton dan menulis. Tidak sedang mengada-ada. Benar-benar orisinal. Penulis tumbuh, hidup dan bemain dengan film. Ulasan mengalir sambil sesekali menghadirkan kata baru yang unik menarik. Dan yang membuat ulasan ini layak dinikmati adalah mudahnya penulis menemukan benang merah antara film satu dengan film lain atau buku atau satu kisah nyata. Emosi yang muncul untuk film tertentu hanyalah menguatkan betapa bahagianya penulis duduk menonton sambil mengunyah pelan keripik kentangnya. Wah, jadi pengen nonton film!

-- Ita Siregar, penulis dan penonton film

Membaca ulasan-ulasannya, penulis seakan menelanjangi dan mengeluarkan intisari suatu film, dengan menawarkan interpretasi pesan yang disampaikan sesuai dengan point of view penulis ataupun merefleksikan cerita film tersebut pada problematika kehidupan manusia nan universal. Beberapa malah lebih mirip sebuah renungan kehidupan dan potret sosial daripada sekadar sinopsis dan kritik film. Pilihan dan permainan kata yang terangkai menarik tapi cukup tajam, serius tapi santai, lumayan menambah warna dan bobot ulasan-ulasan tersebut. Judul dan kata-kata penutup yang banyak berupa pertanyaan menawarkan keterbukaan bagi pembaca untuk menarik kesimpulan sendiri, sekaligus seolah menantang nurani pembaca untuk menjawab pertanyaan tersebut.

-- Eric W., moderator milis CinemagsForum

Salah satu hal yang membuat saya menyukai nonton film adalah ulasan-ulasan Arie Saptaji yang ia tampilkan di situsnya. Setiap kali ada ulasan baru, saya membacanya terlebih dahulu sebelum menonton filmnya. Hasilnya, menarik! Acara nonton film saya rasanya jadi lebih bermakna. Sebuah contoh, Eternal Sunshine of the Spotless Mind menjadi salah satu film terfavorit saya setelah penasaran dengan ulasannya.

-- Sidik "Wrekso" Nugroho, Sinemaholik

Saya yang pecandu berat film kalah 'militan' dari Arie dalam hal mengapresiasi, terutama bagaimana menuangkan pendapat setelah nonton dengan bahasa yang lugas dan runtut. Mestinya dibutuhkan editor yang 'kejam' agar tulisan-tulisan dalam buku ini tidak sekadar serabutan, lebih padu, luas dan serius, dengan metode yang ketat. Seorang kritisi tidak hanya mengapresiasi dengan selera subjektif semata, tapi ada metode yang runtut dan ajeg. Bagaimanapun, buku ini memperkaya studi kritik film oleh bangsa sendiri dalam melihat dunia.

-- David Setiawan, Sketsa Sinema

Menemukan dan menggali makna terdalam dan nilai inspiratif dalam setiap film, itulah ciri resensi tulisan Arie Saptaji. Tak hanya itu, ia juga lugas dan tanpa basa-basi dalam mengulasnya. Film bukan sekadar hiburan, tapi juga sarana untuk mencari inspirasi. Jika Anda ingin melihat sisi lain dari sebuah film, buku ini tepat untuk Anda.

-- Krisetiawati Puspitasari, Majalah Bahana

Membaca Obrolan Tukang Nonton, saya menjumpai seorang penjumput detil-detil yang kampiun. Ketajaman pisau bedahnya disembunyikan dengan tutur yang lembut. Namun, seringkali Anda akan terperangah mendapatinya membidik telak dari sudut-sudut yang tak diperkirakan sama sekali. Bacalah!

-- Slamat P. Sinambela, Penulis & Editor


© 2005-2006 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1