Home | Artikel

Natal, Fajar Pengharapan Baru

Natal kali ini kita peringati di tengah suasana kelesuan nasional. Sepanjang setahun terakhir bangsa kita tanpa henti dilanda berbagai badai. Badai bencana, badai penyakit, badai korupsi, badai teror, badai melejitnya harga BBM, badai melonjaknya dana tunjangan wakil rakyat dan pejabat, dengan berbagai dampak ikutannya. Apa inspirasi yang masih bisa digali dari peristiwa kelahiran Bayi Kristus di kandang 2000 tahun lalu, di tengah kemuraman ini?

Yesus datang pada waktu dan tempat yang amat suram dalam lembaran sejarah. Palestina saat itu menjadi ajang kekuasaan yang bengis. Segala bentuk penindasan bercokol di sana.

Negeri itu sedang dijajah oleh Romawi. Kekuasaan sipil dipegang oleh Herodes, yang bertanggung jawab atas pembantaian bayi-bayi di Betlehem. Praktik keagamaan dijalankan secara legalistik dan keras. Belum lagi perekonomian yang koyak-moyak: rakyat dibebani pajak dan disedot kekayaannya secara tidak adil, mengakibatkan sebagian besar penduduk menanggung kemiskinan yang parah.

Secara rohani, kondisinya lebih gawat lagi. Berbagai penderitaan yang disebabkan oleh sakit-penyakit dan kerasukan mencecar orang banyak. Tampaknya berlangsung ledakan aktivitas roh jahat sehingga hampir seluruh bangsa tertimpa serangan sampai pada taraf yang mengancam keselamatan nyawa.

Di tengah-tengah kemuraman itulah Kristus hadir, membangkitkan pengharapan bagi dunia yang tengah terpuruk. Ia tidak melakukannya dengan mendirikan partai politik atau memanggul senjata melawan penjajah. Ia memilih langsung turun ke bawah, berjalan berkeliling sambil berbuat baik, menjamah dan menyantuni yang kesrakat, menyembuhkan yang dirasuk roh jahat, sembari mengajarkan kebajikan. Dan akhirnya, Ia mengorbankan nyawa-Nya demi kemaslahatan umat manusia.

Turun ke Jalan

Kondisi mirip meluas di negeri ini. Rakyat tidak dijajah oleh bangsa lain, namun diperah oleh pemimpin bangsa sendiri. Atmosfir pemerintahan kian gerah disesaki oleh para penguasa bermental pengusaha, yang memperdagangkan rakyat sebagai komoditas. Kita berhadapan dengan sosok 'pejabat' yang dekat dengan 'penjahat'. Keduanya, menyitir Remy Sylado, lazim tertawa di atas bencana.

Ajaibnya, terjadi pula ledakan aktivitas "rohani": di TV berjejalan tayangan "gaib" dan mistis, yang justru diprihatinkan cenderung mendangkalkan spiritualitas. Ritual pengusiran roh jahat kini jadi bagian dari infotainment. Sekilas tampak marak, namun spiritualitas permukaan ini sekaligus tumpul sebagai benteng akhlak dan moral melawan budaya korupsi dan terorisme.

Persoalannya, adakah pemimpin yang sudi turun ke jalan, berempati dengan rakyat yang tertindas, bertekad bulat mengentaskan mereka dari keterpurukan? Dalam bunga rampai Tahta untuk Rakyat, ada anekdot menyentuh tentang Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang dituturkan oleh S.K. Trimurti.

Seorang bakul beras dari daerah Kaliurang menghentikan jip yang tengah meluncur ke selatan. Untuk pulang-pergi berjualan di Pasar Kranggan, Yogyakarta, ia memang biasa menumpang kendaraan yang lewat. Begitu jip berhenti, ia menyuruh sopir menaikkan karung-karung berasnya. Sesampainya di pasar, sopir pun menurunkan karung-karung itu.

Namun, ketika simbok bakul hendak memberikan uang ongkos menumpang, dengan sopan sopir itu menolak. Bakul ini marah-marah, mengira si sopir menuntut bayaran lebih. Akhirnya, tanpa berkata apa-apa, sopir itu menjalankan jipnya dan terus melaju ke selatan.

Seorang polisi mendekati simbok yang marah-marah itu, bertanya, "Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?"

"Sopir ya sopir. Habis perkara! Saya tidak perlu tahu namanya. Memang sopir yang satu ini agak aneh," jawabnya mengomel.

Polisi itu lalu menjelaskan, "Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, raja di Ngayogyakarta ini." Seketika itu juga simbok bakul itu jatuh pingsan.

Kisah di atas menggugah untuk direnungkan. Rakyat menantikan pemimpin yang punya hati dan kepedulian, bukan yang serba sibuk membangun partai sendiri, namun alpa pada amanat rakyat yang konon diwakilinya. Pemimpin yang sudi turun ke jalan, belusukan menengok kondisi kehidupan kaum papa. Wakil rakyat yang memberi tumpangan, bukan malah menumpangi rakyat. Pemimpin yang rela berkorban dan mengajarkan kebajikan melalui teladan.

Adakah di tengah-tengah kita? Kepedulian yang mewujud dalam kebijakan dan tindakan demi sungguh-sungguh bergerak cepat untuk rakyat, kiranya dapat memancarkan fajar pengharapan baru di tengah kemuraman. Selamat Natal! ***

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1