Home | Bio
| My
Dreams
Perjalanan Sebuah Impian
Impian itu kuat.
Sekian banyak pencapaian besar umat manusia diawali dari sebuah
keberanian untuk bermimpi. Karena impian, manusia akhirnya dapat “terbang”.
Karena impian, manusia berhasil menembus ruang angkasa dan menjejakkan
kaki di bulan. Sejarah terus-menerus membuktikan bahwa sebuah impian
benar-benar mengandung kekuatan yang sangat besar: kekuatan untuk
mendatangkan perubahan. Saya
sendiri semula bermimpi menjadi guru Bahasa Indonesia. Sosok pendidik yang
secara telaten dan kreatif melatih murid-muridnya mengembangkan kecakapan
berbahasa – bukan sekadar menjabarkan teori kebahasaan – selalu
menghiasi benak saya setiap kali saya memandang cakrawala masa depan. Selain
itu, saya juga senang tulis-menulis. Beberapa tulisan – puisi, cerpen,
artikel – berhasil lolos dari seleksi redaksi media massa. Publikasi ini
mendorong saya untuk semakin menekuni dunia literatur. Dan
impian saya pun bertambah: seorang guru yang penulis, atau seorang penulis
yang guru. Perkembangan
wawasan semasa mahasiswa semakin menyadarkan saya, menulis itu bukanlah
sekadar suatu hobi, sarana meraih sukses atau sumber penghasilan. Menulis
ternyata dapat menjadi “senjata” ampuh untuk membuka gerbang menuju
perubahan sosial. Bukankah Guttenberg, yang dengan mesin cetaknya
memungkinkan penggandaan tulisan secara massal, telah melapangkan jalan
bagi Reformasi? Tidak mengherankan kalau ada orang yang menegaskan bahwa
tulisan itu lebih tajam daripada pedang. Dengan
bekal ini, ketika kuliah saya terpaksa terhenti di tengah jalan, saya
menyikapinya sebagai sebuah penundaan. Untuk sementara, keterampilan
seputar tulis-menulis pun saya jadikan mata pencaharian. Dalam
keterbatasan ini, impian-impian itu justru kian kuat membayang. Sekarang
saya bermimpi untuk memiliki badan penerbitan besar dan berpengaruh! Sebuah
perjalanan mudik pada akhir tahun 1999 membukakan dimensi baru pada impian
saya. Dari Jakarta saya singgah sebentar di Jogja sebelum kemudian pulang
ke Ngadirejo, Temanggung, daerah berhawa dingin di kaki Gunung Sindoro. Jakarta
– Jogja – Ngadirejo. Perjalanan singkat ini secara tak terduga menjadi
sekelebat pemandangan tentang Indonesia. Yang membuat ngungun. Yang
terus membayang sampai sekarang. Alangkah
jauhnya loncatan perbedaan antara Jakarta dan Jogja, antara Jogja dan
Ngadirejo! Beranjak dari Gambir adalah meninggalkan deretan gedung
jangkung dan perumahan padat serta kemacetan lalu lintas. Sebaliknya,
memasuki Joga kita disambut sawah, ladang dan kebun tebu, diselingi
perumahan di sana-sini, yang baru benar-benar merapat begitu tiba di
kawasan kota. Tidak ada pencakar langit di kota gudeg ini! Dan saya bisa
leluasa berkeliling naik sepeda motor – membuang bayangan bis kota
pengap dan rawan penodongan di ibu kota. Dua
minggu kemudian, tibalah saya di Ngadirejo. Di kampung saya ini, bahasa
Indonesia masih merupakan bahasa kedua – sehari-hari orang bertegur sapa
dengan bahasa Jawa. Tanah seluas lapangan bulutangkis dapat dibeli dengan
uang sepuluh juta – jumlah yang sama, di Jakarta, dalam satu hari bisa
habis tandas. Isu Y2K yang lagi santer saat itu, jangankan menjadi momok
– komputer pun orang sini belum banyak yang pernah melihatnya. Pukul tujuh malam
jalan-jalan sudah berangsur sepi, dan televisi – yang dapat menangkap
siaran hampir semua stasiun – menjadi sarana-hiburan utama. Namun,
menonton televisi di sini lalu tidak lagi terasa sedang membuka jendela
informasi. Televisi lebih terkesan sebagai sebuah layar fantasi. Dari
sekian banyak produk yang diiklankan, misalnya, berapa banyak yang dapat
dibeli – tersedia dan terjangkau harganya – di Pasar Adiwinangun? Singkatnya,
lintasan pemandangan itu balik menyodokkan pertanyaan pada saya: Apa yang
dapat kulakukan? Sumbangan apa yang dapat kuberikan untuk bangsa ini? Dan
saya pun mulai bermimpi tentang perubahan di negeri ini. Di
tengah geliat reformasi, kalau kita cermati, pada hakikatnya bangsa ini
diperhadapkan pada dua pilihan dalam mengupayakan perubahan. Pertama,
kita bisa menempuhnya melalui revolusi sosial: mendesakkan perubahan
secara cepat melalui kekerasan. Mungkin sekarang bukan zamannya lagi
revolusi dengan mengangkat senjata. Namun, sikap mengejar perubahan secara
terburu-buru ini masih tampak jelas dalam berbagai kecurigaan dan
ketidakpuasan politik yang berkembang saat ini. Kedua,
kita bisa menempuh jalan yang lebih lambat: perubahan dari dalam. Sejumlah
tokoh menyatakan, kita harus memulainya dari komitmen pribadi. Ini
mencakup perubahan hati dan sikap serta cara berpikir, yang selanjutnya
terpancar dalam pola tingkah laku – meminjam istilah Nurcholish Madjid,
suatu “ketegaran moral dan keteguhan etika”. Secara
pribadi saya ingin mengambil bagian dalam arus perubahan jenis kedua. Nah,
berdasarkan bidang yang saya geluti, apakah yang dapat saya sumbangkan?
Terus bertekun dalam dunia tulis-menulis, kelak mengembangkan badan
penerbitan, dan – kemudian terbetiklah impian lanjutan ini: mendirikan
perpustakaan-perpustakaan umum. Saya
bermimpi di setiap kecamatan – atau bahkan di setiap kelurahan –
berdiri perpustakaan umum yang memadai. Penyebaran informasi yang benar
dan merata akan sangat menunjang perubahan dari dalam tadi, perubahan
menuju kebaikan dan kesejahteraan masyarakat. Seperti dikatakan Daniel
Webster, "Kalau kebenaran tidak disebarluaskan.... kekacauan dan
salah atur, kemerosotan moral dan kesengsaraan, korupsi dan kegelapan,
akan merajalela tanpa kendali dan tak berkesudahan." Itulah
impian saya – sejauh ini. Kalau menilik
kondisi kehidupan saya sekarang – menghabiskan banyak waktu di depan
komputer untuk menulis, menerjemahkan atau menyunting tulisan – tak ayal
kadang-kadang saya bertanya: Apakah gunanya bermimpi? Tidakkah itu hanya
mendorong kita untuk hidup di awang-awang? Tidak. Impian –
atau bahasa kerennya visi – bukanlah sekadar lamunan di siang bolong
yang mencerabut kita dari realitas kekinian. Impian justru akan menantang
kita untuk hidup pada saat ini sejalan dengan impian tersebut. Impian
seperti tonggak nun jauh di horison yang mendorong kita untuk terus
berlari tahap demi tahap hingga mencapainya. Impian, dengan demikian,
dapat menjadi daya dorong yang kuat untuk hidup lebih bijaksana, lebih
tekun, tertib dan mau bekerja keras. Seorang raja yang arif pernah
mengatakan, “Kalau tidak memiliki visi, kita akan hidup secara liar.” Sesuatu yang berharga menuntut komitmen dan pengorbanan. Pertanyaannya: Bersediakah kita terus mengejar impian-impian kita – berapapun harganya? Pada titik itu kita akan menyadari bahwa bukan lagi kita yang membentuk impian tersebut, namun impian itulah yang akan membentuk kehidupan kita. *** Jogja, 10 Januari 2002 ©
2003 Denmas Marto |