Namun, mengingat simbolisasi yang muncul terasa serba tanggung - Nino, misalnya, kehadirannya terasa hanya sebagai pelengkap - bisa jadi pembacaan ini lalu terkesan mengada-ada. Mengejar Matahari | Sketsa Anak Bangsa
Home | Resensi Film

Mengejar Matahari

Sketsa Anak Bangsa

Mengejar MatahariAyah Ardi tengah mengamati kamar anaknya. Di dinding tergantung potret anaknya bersama dengan ketiga sahabatnya. Mereka berempat memandang ke arah yang sama, mengikuti tangan Ardi yang teracung. Di sudut kanan bawah foto itu tertulis dalam huruf merah: ANAK BANGSA.

Adegan ini menyodorkan kunci untuk membongkar gagasan yang hendak disampaikan Rudi Soedjarwo lewat Mengejar Matahari (MM).

Secara teknis, Rudi tampak kian fasih dengan mediumnya. Editing-nya runtut; para pemain, khususnya Fauzi Baadilla, mantap dan chemistry di antara mereka lumayan kompak; dan setting-nya Indonesia banget. Namun, saya justru merasa kagok untuk menerima film ber-tagline "Persahabatan adalah setiap detik yang dilalui… adalah hidup… adalah berlari…" ini sebagai film tentang persahabatan.

Bila diklaim sebagai film persahabatan, menurut saya, MM justru terkesan tidak utuh. Skenario garapan Titin Wattimena baru memaparkan bagian pendahuluan dan langsung meloncat ke penutup. Ada lubang besar menganga di tengahnya. Kalaupun dua kejadian murung yang berturut-turut menimpa Apin dan Damar itu dianggap sebagai solusi dan klimaks cerita, entahlah. Atau malah sebaliknya, dua kejadian tersebut mengacu pada kegagalan Ardi dkk. membuhulkan solusi atas keterburaian tali persahabatan mereka.

Pertanyaannya: Kenapa justru bukan isu itu yang dieksplorasi lebih jauh? Bukankah a friend in need is a friend inded? Dua kejadian itu merupakan batu uji sesungguhnya bagi ikatan persahabatan mereka. Bila mengambil arah ini, MM bisa semenyentak Permanent Record, film tentang anak-anak SMU menanggapi teman mereka yang tewas bunuh diri.

Karena itu, MM malah lebih memuaskan bila dibaca sebagai semacam sketsa kecil tentang keindonesiaan. Dalam Ada Apa dengan Cinta? -- yang lebih renyah dan lebih kokoh sebagai film persahabatan -- Rudi berusaha menyisipkan isu sosial melalui adegan pelemparan bom. Tidak berhasil, sebab terkesan sebagai tempelan. Sebaliknya, di balik kisah persahabatan MM, entah disengaja atau tidak oleh Rudi, terdapat "lapisan dalam" yang memotret kisah "anak bangsa" -- kisah Indonesia.

Keempat sekawan itu masing-masing mewakili sejumlah elemen bangsa ini. Nino, yang pendiam dan akhirnya meraih beasiswa S2, mewakili kaum intelektual. Apin, yang ke mana-mana membawa handycam, mewakili pers. Damar adalah sosok yang gelisah dan pemberang, durhaka terhadap ibu, dan fasih berbicara dalam bahasa kekerasan. Bukankah bangsa ini, yang dulunya dikenal ramah tamah dan berbudi luhur, kini begitu gampang marah dan meledak dalam berbagai konflik horisontal?

Ardi dan ayahnya perlu catatan tersendiri. Ada kodependensi ganjil di antara mereka. Ayah Ardi adalah sosok orang tua yang disoroti paling utuh dalam film ini. Seorang pensiunan polisi yang gawal, gayanya mendisiplinkan anak sangat mirip dengan gaya pemerintahan Indonesia selama ini yang cenderung militeristik (meskipun Polri telah dipisahkan dari TNI, citra militeristiknya setali tiga uang, 'kan?). Ia merefleksikan kegagalan dirinya dengan mendisiplinkan anaknya secara keras. Ardi tentu saja berkembang menjadi anak yang tertekan dalam bayang-bayang ayah yang seperti itu. Toh ia hanya protes diam-diam dengan menggambarkan ayahnya sebagai pria yang menyemburkan api. Toh akhirnya, tanpa penjelasan yang memadai, ia mengikuti jejak karier ayahnya. Belum jelas apakah ia juga akan mengikuti jejak kekerasan sang ayah.

Dalam konteks ini, Obet -- dan bahkan Rara -- melambangkan "ancaman bagi integritas bangsa". Obet mewakili ancaman yang brutal, sedangkan Rara mewakili ancaman terselubung -- semula Ardi menganggapnya sebagai "matahari", namun nyatanya dia cuma "pelangi" yang hanya sementara keindahannya.

Dengan pembacaan seperti ini, klimaks cerita yang tanpa solusi memuaskan itu jadi bisa dimafhumi. Bukankah bangsa ini memang masih terkatung-katung dalam reformasi setengah hati? Berbagai perkara korupsi masih menggantung tak jelas penyelesaiannya. Berbagai kebijakan pemerintah lebih berorientasi pada perebutan kekuasaan ketimbang kesejahteraan rakyat. Bangsa ini gamang menghadapi bangsa lain yang lebih unggul, namun justru ganas terhadap saudara sebangsa yang lebih lemah, seperti tercontohkan dalam kasus TKI di Malaysia. Dan sebagainya.

Kalaupun Rudi "memaksakan" sebuah happy ending, itu sah-sah saja. Itulah impiannya akan Indonesia masa depan, yang terus berlari "mengejar matahari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Dan penggeraknya adalah golongan militer dan golongan intelektual.

Namun, lantaran simbolisasi yang muncul terasa serba tanggung -- Nino, misalnya, kehadirannya terasa hanya sebagai pelengkap -- bisa jadi pembacaan ini lalu terkesan mengada-ada. Begitu, Rudi? *** (18/02/2005)

MENGEJAR MATAHARI. Sutradara: Rudi Soedjarwo. Skenario: Titien Wattimena. Pemain: Winky Wiryawan, Udjo, Fauzi Baadilla, Fedi Nuril, Agni P. Arkadewi, Ade Habibie. Asal/Tahun: Indonesia, 2004.

Home | Film Favorit | Email

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1