Home | Resensi Film

Madadayo (1993)

Masa Pensiun yang Semarak

Masa pensiunan biasanya identik dengan sindrom purna-kuasa. Mereka yang pernah melewatinya mengakui hadirnya perasaan-perasaan sepuh (tua), sepi (menyendiri), sepo (hambar), dan sepah (terbuang). Ibaratnya, masa kelayuan yang suram.

Nasib muram itu rupanya tidak mengunjungi Hyakken Uchida. Pada usia 60 tahun ia pensiun sebagai profesor, berhenti mengajar, dan menikmati masa purna-tugasnya dengan menjadi penulis. Namun, alih-alih mandeg, roda kehidupannya justru kembali berputar secara menggetarkan.

Itulah kisah yang ditawarkan Akira Kurosawa dalam film terakhirnya, Madadayo (1993). Madadayo berarti "Belum!" Pak profesor tua itu menyerukannya pada setiap perayaan ulang tahunnya sesudah pensiun. Kematian boleh mendekat, toh ia terus merangsek maju. Bagaimanapun, kehidupan ini akan terus berlanjut.

Ini mungkin kisah tentang penuaan. Namun, lebih dari itu. Uchida adalah sosok pengajar yang membangkitkan rasa kagum, hormat dan cinta para mahasiswanya. Mereka menyebutnya "emas murni" alias "profesor sejati". Film ini memaparkan bagaimana para mantan mahasiswa menumpahkan cinta dan penghormatan mereka, justru setelah sang profesor pensiun.

Murid-murid ini menyiapkan rumah mungil baginya untuk menikmati masa pensiun. Mereka mengunjungi profesor itu di pondok kecil yang tersisa setelah rumahnya terbakar dalam serangan udara. Mereka menyelenggarakan pesta ulang tahun unik yang kemudian menjadi tradisi. Mereka membangunkan rumah yang lebih besar bagi profesor. Mereka kalang-kabut ikut mencarikan kucing profesor yang hilang. Sampai profesor itu berumur 77 tahun, dan di tengah pesta masih berteriak, "Madadayo!"

Bocoran, eh? Tidak juga. Karena, film ini tidak menawarkan "cerita" yang tersusun oleh ketegangan sebab-akibat. Tidak banyak aksi di sini. Yang tersaji adalah suasana yang mengendap: seseorang yang hidupnya justru marak pada masa tua, seseorang yang memanen buah manis kehidupannya.

Adegan demi adegan tampil amat bersahaja, namun rapi-jali tertata. Tidak banyak efek kamera, namun atmosfir yang terpapar sungguh menyedot keterlibatan emosional kita. Ada penggalan-penggalan yang membikin kita terbahak, ada pula yang hangat membuat kita ingin mendekap dada.

Untuk menyiasati perampok, misalnya, profesor justru memberi petunjuk jalan bagi (calon) perampok. Atau, sebuah adegan manis: profesor dan murid-muridnya memandangi bulan purnama dari pondoknya. Lalu, digambarkan bagaimana musim berganti di atas pondok itu. Adapun suasana pesta ulang tahun itu sungguh memperlihatkan ketrampilan, kegesitan dan kecermatan menata adegan. Dalam waktu 20 menit lebih, kita seakan diundang meramaikan pesta yang gaduh itu. Dan, di tengah kegaduhan itu, ada seorang mantan mahasiswa yang berdiri menyebutkan deretan stasiun kereta api lokal di antara dua kota besar (kalau di Indonesia, mungkin antara Jakarta dan Surabaya!).

Madadayo membuktikan bahwa sentuhan tangan Kurosawa belum memudar. Ini memang bukan karya terbaiknya (saya menjagokan Rashomon dan Ikiru), namun ini seuah film yang sangat personal. Saya setuju dengan Akmal N. Basral yang mengingatkan bahwa kalau ingin memahami Kurosawa, kita kudu nonton film ini. Menyaksikan Hyakken Uchida, tidakkah kita menyaksikan sosok Akira Kurosawa sendiri - seorang empu yang telah melahirkan deretan adikarya, namun masih keras kepala berteriak, "Madadayo!"? Pesan Uchida pada anak-anak yang membawa kue ulang tahun itu tampaknya merupakan kredo Kurosawa dalam berkarya: kerjakanlah sesuatu yang benar-benar kaucintai, yang kauanggap sebagai harta karun tak ternilai harganya.

Meski hanya lewat layar kaca, saya benar-benar bungah seusai menontonnya. Dan, saat tahu bahwa film ini bersumber pada kisah nyata, saya malah jadi terlongong-longong.

Di Jepang rupanya ada tradisi "national living treasures". Tokoh dengan bakat dan pengalaman istimewa seperti Hyakken Uchida dijadikan semacam monumen nasional, yang dihormati dan diteladani. Mereka berkembang menjadi bangsa yang terbiasa menghargai keunggulan. Dalam salah satu adegan, seorang pria batal menjual tanah di depan rumah profesor karena pembeli akan membangun gedung berlantai tiga yang akan membuat rumah profesor tak mendapat sinar matahari.

Duh, saya jadi teringat nasib para guru di sini, yang sekolahnya kayak kandang ayam itu. Mereka akan sama-sama berteriak, "Madadayo!" namun untuk menjawab pertanyaan yang sama sekali lain. *** (05/01/2006)

Home | Film Favorit | Email

© 2006 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1