Home | Artikel

Max Lucado

Pendeta yang Senang Mengolah Kata-kata

Max LucadoOrang-orang yang berjumpa dengan Max Lucado jarang memanggilnya "Mr. Lucado." Ia lebih dikenal sebagai "Max." Bagi para pembaca bukunya, Max seperti tetangga sebelah yang gemar bercerita, orang kepercayaan, teman seperjalanan dalam menempuh perjalanan hidup.

Tulisan-tulisannya mencerminkan dirinya, seorang pria biasa yang mengejar Allah yang luar biasa. "Saya suka menggugah semangat orang, namun bahasan saya tidak begitu dalam," tuturnya. "Saya menerima sesuatu sebagaimana adanya, dan itu memudahkan saya untuk berhubungan dengan orang kebanyakan di luar sana."

Ia cakap membahas persoalan berat -- anugerah, pengampunan, kasih, kejujuran -- dengan gaya yang ringan. "Banyak orang berkata, 'Anda dengan sangat baik telah menurunkan kue-kue itu ke rak yang lebih rendah.' Saya menjawabnya, 'Bukan begitu. Masalahnya, tubuh saya sendiri pendek.'" Dalam buku-bukunya, Max menjabarkan pergumulannya sendiri untuk mengenal Allah.

***

Max lahir tahun 1955 di San Angelo, Texas Barat, anak keempat dari ayah pekerja ladang minyak dan ibu perawat. Ia menjadi Kristen pada umur 10, namun melewati tahap "pemberontakan" kira-kira pada umur 14-18. Pada umur 18 itu, ia sudah terbiasa minum bir sampai enam kaleng sekaligus.

Suatu malam ia pulang dalam keadaan mabuk dan muntah-muntah di kamar mandi. "Keesokan paginya, saya begitu kecewa dengan diri saya karena telah mengecewakan ayah saya, padahal dia benar-benar ayah yang baik." Saat Max mulai belajar lebih jauh tentang Allah dan anugerah-Nya, tak ayal ia teringat akan pengampunan ayahnya hari itu. Hal itu menjadi batu pijakan baginya untuk mengenal dan memahami Allah.

Max lalu kuliah di Abilene Christian University. Setelah lulus, ia melayani di sebuah gereja kecil di Miami, sambil mempersiapkan diri untuk menjadi misionaris di Brasil. Di situlah ia menemukan kasih dan kerinduan hidupnya - isterinya Denalyn, kegairahannya dalam berkhotbah dan kesukaannya menulis.

Max sangat senang mempersiapkan dan menyampaikan khotbah untuk jemaatnya yang kecil itu. Namun, kolom mingguan yang dimuat dalam buletin gerejanyalah yang menyingkapkan hasratnya akan tulis-menulis. "Saya teringat bagaimana saya menulis, menulis ulang dan menulis ulang, dan saya sangat menyukainya," katanya. "Menurut saya, salah satu cara untuk mengetahui karunia rohani adalah bila Anda begitu asyik melakukannya."

Kemudian Max dan Denalyn pindah ke Brasil dan merasa yakin bahwa mereka dipanggil untuk menjadi misionaris seumur hidup. Setelah melewati masa adaptasi yang nyaris membuat frustasi, akhirnya mereka merintis tiga jemaat beranggotakan 80-100 orang.

Saat upaya misinya mulai menemukan fokus, Lucado teringat akan kolom-kolom yang ditulisnya dahulu. Ia membundelnya menjadi buku dan menawarkannya kepada 15 penerbit. Empat belas penerbit menolaknya. Penerbit ke-15 menerimanya, dan Tyndale House Publishers pun menerbitkan On the Anvil pada tahun 1985.

Tahun 1988, ayah Max memohon mereka untuk kembali ke Amerika Serikat. "Permintaannya itu, benar-benar permintaan terakhir menjelang ia meninggal, adalah agar saya kembali dan berada di dekat ibu saya, dan kami ingin menghormatinya."

Max, Denalyn dan ketiga puteri mereka menuju San Antonio untuk melayani di Oak Hills Church of Christ. Max adalah pendeta keempat gereja yang saat itu beranggota 525 orang. Ia ingin menetap di sana. "Saya ini terutama adalah hamba Tuhan, baru kemudian penulis," katanya.

***

Saat ia mengasah kecakapannya berkhotbah, karier menulisnya pun membubung. Max Lucado mencatat fenomena tersendiri dalam dunia penerbitan. Saat ini, dengan lebih dari 50 buku yang terjual 33 juta eksemplar dan diterjemahkan ke dalam 30 bahasa, ia menyentuh jutaan orang dengan gaya penulisannya yang liris. "Saya tidak tahu kenapa orang membeli buku-buku saya," tuturnya. "Saya bersyukur untuk itu. Namun, saya akan terus menulis sekalipun mereka tidak membacanya. Saya senang bekerja mengolah kata-kata."

Penghargaan pun menyertai buku-bukunya. Lucado adalah penulis pertama yang memenangkan Charles "Kip" Jordon Gold Medallion Christian Book of the Year tiga kali -1999 untuk Just Like Jesus, 1997 untuk In the Grip of Grace dan 1995 untuk When God Whispers Your Name.

Seiring dengan sukses itu, Lucado dituntut untuk berkeliling dan berceramah guna mempromosikan bukunya. Ia pernah diliput oleh koran-koran terkenal seperti USA Today, The New York Times dan Dallas Morning News. Ia juga tampil di Larry King Live, acara-acara CNN lainnya, dan The 700 Club.

Kesibukannya ini berdampak buruk bagi Denalyn, yang telah menderita gangguan depresi sejak kuliah. "Tiga anak kecil, menjadi isteri pendeta, dan saya sering pergi," suara Lucado bergetar saat mengingatnya. Pulang dari berceramah pada tahun 1994, Lucado mendapati Denalyn mengalami depresi berat sampai tidak mampu makan. "Itu seperti alarm peringatan bagi saya," katanya.

Dokter segera memberi Denalyn obat antidepresi. "Itu untuk pertama kalinya saya mendengar istilah untuk penderitaan yang saya alami ini," kenang Denalyn. Lucado pun mulai memangkas perjalanannya dan menolak sejumlah tawaran berceramah. Dengan dukungan doa dan perawatan dokter, Denalyn berhasil mengatasi depresinya.

Lucado sekarang tetap selektif dalam melakukan acara promosi, khususnya bila berbenturan dengan acara pertandingan basket puterinya. "Anak-anak Anda tidak menelepon dan mengatakan, 'Tolong catat acara kami dalam jadwal Anda,''' kata Lucado. "Sayalah yang harus mengerti kapan harus mengatakan tidak, karena anak-anak saya hanya akan sebentar berada di sini. Penting bagi Anda untuk menjalani kehidupan ini tahap demi tahap dan mengetahui saat ini Anda sampai di halaman mana."

***

David Moberg dari W Publishing Group memperkirakan, Max Lucado akan mengikuti jejak Norman Vincent Peale atau Billy Graham, menjadi sosok Pendeta Amerika bagi banyak orang. "Dari berbagai indikasi, kalangan pembaca Max terus berkembang dan bertumbuh secara sangat signifikan," jelasnya.

Beberapa minggu setelah peledakan Menara Kembar, Max Lucado diwancarai di chat room CNN.com. Ia antara lain mengungkapkan, "Setiap orang di dunia diingatkan akan betapa rapuhnya hidup ini, dan juga betapa singkatnya. Orang-orang beriman pun mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan apa yang kami pahami dari Alkitab tentang tujuan hidup.... Selain itu, ini waktu yang sangat tepat bagi orang-orang beriman untuk menyampaikan kata-kata penghiburan dan dorongan semangat bagi orang lain."

Sejalan dengan pesan-pesan yang tertuang dalam bukunya, baru-baru ini Max Lucado mendorong sejumlah perubahan dalam gerejanya. Nama gereja mereka dipendekkan, dari Oak Hills Church of Christ menjadi Oak Hills Church saja. Selain ibadah a cappella khas denominasi Church of Christ, kini mereka juga menambahkan ibadah yang menggunakan alat musik.

"Beberapa orang menganggap nama 'Church of Christ' sebagai hambatan besar," tulis Lucado dalam pernyataan visi baru gerejanya. "Firman Tuhan mendorong kita untuk menyingkirkan hambatan budaya dengan tetap mempertahankan kebenaran Alkitabiah."

Dr. Royce Money, rektor Abilene Christian University dan sahabat Lucado, berkomentar, "Untuk memahami Max, kita harus menyadari bahwa ia memiliki hati seorang misionaris. Ia akan melakukan apa saja yang menurutnya dapat menjangkau orang kebanyakan bagi Kristus. Secara pribadi saya menyesal bahwa para pemimpin gerejanya memutuskan untuk mengubah nama dan format ibadah mereka, namun saya memahami hak mereka untuk melakukannya sebagai jemaat Allah yang otonom." ***

Dimuat di Bahana, Mei 2004

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1