Jelangkung, Goosebumps, Antara
Dua Alam (Atau: Ada Apa dengan Kekristenan?)
“Bisakah orang
Kristen kerasukan roh jahat?” Itu pertanyaan
yang lumayan mengusik sehubungan dengan alam roh. Dan jawabannya,
menurut saya, tidak sesederhana bisa atau tidak. Persoalannya bersangkut
paut dengan hal-hal yang cukup mendasar dalam kehidupan rohani kita. Nah, pembaca,
jangan ke mana-mana, kita akan membahas pertanyaan tersebut setelah yang
berikut ini.... *** Sudah lihat Jelangkung?
Film tentang empat mahasiswa yang terobsesi dengan kisah-kisah mistis
ini mampu bercokol lama di sinepleks papan atas. Salah satu daya
pikatnya, konon, ada ‘makhluk halus’ yang ikut terekam kamera. Di Yogya,
sebelum VCD orisinalnya beredar, bajakannya sudah dikerubuti orang.
“Goyang sih gambarnya. Tapi, lumayan, Suster Ngesotnya
kelihatan,” komentar keponakan saya, seorang mahasiswi. Karya bareng
Jose Poernomo dan Rizal Mantovani ini dianggap membuka babak baru genre
film horor Indonesia. Era sebelumnya dipelopori Beranak dalam Kubur,
yang kemudian diekori film-film semacam Sundel Bolong dan Ratu
Pantai Selatan. Lalu, ketika
dunia perfilman Indonesia surut dan stasiun-stasiun teve swasta
bermunculan, serbuan jagading lelembut pun merambah ke layar kaca.
Rumah kita disatroni sinetron horor/misteri, mulai dari Si Manis
Jembatan Ancol hingga Antara Dua Alam. Nah, apa beda
antara Jelangkung dan Beranak dalam Kubur? Mungkin ini. Beranak
dalam Kubur dan sejenisnya beranjak dari budaya agraris, dan
berkibar di bioskop-bioskop pinggiran. Sebaliknya, Jelangkung
justru menjadi ikon remaja kota besar. Fenomena Jelangkung
lalu merupakan paduan dua dunia yang ganjil. Materialis-konsumtif, namun
sekaligus mistis. *** Bukan hanya film
horor lokal, film horor impor pun bertebaran. Saya ingin mengangkat satu
contoh soal, Goosebumps, serial yang digarap berdasarkan novel
R.L. Stine. Dari sejumlah
episode yang sempat saya amati, Goosebumps tampaknya mengolah
kerangka cerita yang itu-itu juga. Tinggal tokoh-tokoh, latar dan
peristiwanya diubah-ubah. Anak-anak
terpapar pada dunia supernatural yang mencekam dan nyaris
mencelakakannya. Mereka tidak berdaya, namun suka atau tidak suka mesti
mengerahkan akal untuk mengatasinya, tanpa bantuan orang dewasa. Orang-orang
dewasa tidak pernah digambarkan sebagai bagian dari pemecahan masalah.
Mereka cenderung menepis begitu saja cerita si anak tentang dunia
supernatural itu sebagai khayalan belaka, suatu dalih untuk menutupi
kenakalan. Lebih jauh lagi, orang dewasa tidak jarang justru menjadi
penghambat dan memperparah masalah. Celakanya,
ketika anak-anak itu mengira persoalannya sudah berakhir, tepat sebelum credits
muncul di layar, si hantu nongol lagi. Entah hanya tersenyum
menyeringai atau terkekeh-kekeh, ia seolah-olah berkata, “Kecele kau!
Aku masih di sini!” Lalu, apa yang
hendak ditawarkan serial ini? Paling tidak dua hal. Goosebumps melukiskan
dunia anak-anak/remaja dan dunia orang dewasa sebagai dua dunia yang tak
terjembatani. Tak ayal Goosebumps berpihak pada dunia anak. Ia
tampaknya hendak mengatakan, “Kids, you are on your own now.
Kalian bisa mengambil keputusan sendiri, dan bisa menyelesaikan masalah
sendiri. Tak perlu nasihat orang tua. Paling-paling mereka juga tidak
mengerti. Bisa-bisa mereka malah akan merusak kebahagiaan kalian.” Dengan kata
lain, ia menanamkan individualisme dan kemandirian sedini mungkin sambil
menyuntikkan sikap tidak percaya terhadap orang dewasa. Ia juga
menyanggah otoritas dan tanggung jawab orang tua untuk mendidik
anak-anak mereka. Firman Tuhan tanpa tedeng aling-aling menyatakan
hal semacam itu sebagai pemberontakan. Sebuah tawaran
yang lumayan amburadul, bukan? Dan alternatif lainnya pun tidak
lebih baik. *** Bila ditarik
dalam spektrum yang lebih luas, Goosebumps bisa juga dianggap
melukiskan dua kutub ekstrem dalam menyikapi alam roh. Menurut C.S.
Lewis, orang cenderung terseret ke arah salah satu kutub, yang sama-sama
merupakan kesalahan fatal: menjadi magician atau materialist. Dunia anak-anak
dalam Goosebumps mewakili para magician, mereka yang
terobsesi oleh roh jahat. Adapun dunia orang dewasa menggambarkan
golongan materialist, mereka yang sama sekali menyangkal
eksistensi alam roh. Firman Tuhan
sebetulnya sudah memberikan pagar pengaman yang tegas. Agar tidak
menjadi Magician, kita diperintahkan untuk “tidak menyelidiki
apa yang mereka sebut seluk-beluk Iblis” (Wahyu 2:24). Sebaliknya,
agar tidak pula terjebak menjadi Materialist, kita perlu tahu apa
maksud atau tipu muslihat Iblis (2 Kor. 2:11). Menjadi magician,
kita terperosok ke dalam okultisme. Sebaliknya, kalau tergolong materialist,
pagi-pagi kita sudah kalah perang, justru karena tidak siap dan tidak
paham akan muslihat dan strategi musuh. Karena itulah
kita didorong untuk hidup di dunia, tetapi tidak berjuang secara duniawi,
karena senjata kita dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan
senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah (2 Kor. 10:3-4). Tidak terobsesi,
tidak memasabodohkan, tidak pula materialis-konsumtif sekaligus mistis
– jadi bagaimana? *** Ketika
menimbang-nimbang pertanyaan di atas dan juga pertanyaan di awal tulisan
tadi, saya mendengarkan sebuah khotbah tentang Kenaikan Kristus. “Sesungguhnya
barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga
pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang
lebih besar daripada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa,” kata Yesus (Yoh.
14:12). “Adalah lebih
berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi,
Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku
akan mengutus Dia kepadamu” (Yoh. 16:7). Dan, “Kamu
akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu”(Kis. 1:8). Dalam perspektif
kenaikan Tuhan, alih-alih sebuah jawaban definitif, yang berleletupan
dalam benak saya malah lebih merupakan gugatan dan pertanyaan balik.
Karenanya, saya ingin mengajak Anda merenungkannya bersama. Seharusnya kita
tidak perlu mempeributkan masalah “Bisakah?” Yang justru wajib kita
gugat adalah, “Bagaimana bisa orang Kristen dirasuki? Ada apa
dengan Kekristenan? Kekristenan macam apakah yang kita anut? Kekristenan
anak-anak Skewa (baca Kis. 19:13-16)?” Apakah Firman
Tuhan yang menegaskan bahwa “Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar
dari pada roh yang ada di dalam dunia” (1 Yoh. 4:4) hanya sekadar
rangkaian kata-kata manis, ataukah itu merupakan realitas keseharian
“yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang
telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang
Firman hidup” (1 Yoh. 1:1)? Tidakkah “Allah memberikan kepada kita
bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih
dan ketertiban” (2 Tim. 1:7)? Kalau benar Dia
yang Mahakuasa diam di dalam diri kita dan tubuh kita adalah bait Roh
Kudus – sadarkah kita betapa dahsyatnya hal itu? Apa yang patut kita
gentarkan terhadap roh-roh yang konon bergentayangan di rumah kosong,
bebatuan, pepohonan, gunung atau lautan? Catatan:
Roh-roh itu, bagaimanapun, termasuk malaikat yang ditetapkan sebagai
“roh-roh yang melayani” (Ibr. 1:14). Alkitab membedakan malaikat
menjadi dua jenis: yang patuh dan yang jatuh. Malaikat yang patuh
melayani orang untuk memperoleh keselamatan dan melakukan kehendak Tuhan.
Sebaliknya, malaikat yang jatuh (Iblis dan roh-roh jahat pengikutnya)
“melayani” orang menuju kebinasaan. Adapun kita, Allah menciptakan
kita menurut rupa dan gambar-Nya, dan memanggil kita untuk menjadi rekan
sekerja-Nya. Kita yang percaya “akan mengusir setan-setan demi nama-Ku”
(Mrk. 16:17). Jelas bukan, panggilan manusia jauh lebih tinggi daripada
panggilan malaikat? Lalu, sudahkah
kita, baik secara pribadi maupun sebagai gereja, berjalan dalam power
ministry, pelayanan yang penuh kuasa, dan mengikuti jejak “Yesus
dari Nazaret: bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat
kuasa, Dia, yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan
menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, sebab Allah menyertai Dia”
(Kis. 10:38)? Bukankah
seharusnya “oleh jemaat diberitahukan pelbagai ragam hikmat Allah
kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di surga” (Ef.
3:10)? Bilamanakah kita mendatangkan Kerajaan Surga di bumi seperti di
surga, kerajaan roh yang penuh kuasa dan penuh kemuliaan, menggantikan
wacana alam roh yang telanjur bercitra aneh, menyeramkan dan bahkan
memualkan? Atau kita akan
terus puas berkedok kerendahan hati palsu dan terjebak dalam mentalitas
korban? Adakah kita menjalankan ibadah, namun pada hakikatnya memungkiri
kekuatannya, kuasanya (2 Tim. 3:5)? Apa yang kita tawarkan kepada dunia
– Kekristenan “berkati saya” atau Kekristenan salib: bahwa tanpa
menyangkal diri dan memikul salib setiap hari tidak akan ada kuasa dan
kemuliaan dalam kehidupan kita? Perjuangan kita,
nyatanya, bukanlah melawan Jelangkung atau Goosebumps.
Mengelak untuk menjadi magician atau materialist lebih
mengarah pada pergumulan melawan ketakutan dan kedagingan sendiri:
bagaimana benar-benar mempercayai dan menaati Firman Tuhan seperti
seorang anak kecil. Bukankah begitu? *** Dimuat:
Bahana, Juli 2002. Diperluas. © 2003 Denmas Marto |