Home | Film

Ada Horor di Alkitab

"Saya pergi nonton Exorcist III. Saya sudah nonton Exorcist yang pertama," kata seorang siswa SMU. "Benarkah roh jahat dapat merasuki seseorang? Benarkah Gereja melakukan pengusiran roh jahat?"

Sebelum membahas aspek teologisnya, kita tengok sebentar 'sejarah' film ini. The Exorcist diakui secara luas sebagai film horor yang digarap secara piawai, dan termasuk calon film terbaik Oscar 1973. Suksesnya dibuntuti dua sekuel yang, bisa ditebak, mengecewakan. Kini muncul prekuelnya, Exorcist: The Beginning. Pada awalnya, film keempat ini terasa menjanjikan. Skenarionya digarap oleh penulis kondang Paul Schrader (Taxi Driver) dan didukung pemain yang bagus. Saat filmnya sudah rampung -- betul, sudah rampung -- Warnerr Brothers memutuskan bahwa film tersebut kurang mencekam dan kurang 'berdarah'. Mereka pun membatalkannya dan memulai lagi dari awal, menugaskan sutradara baru, Renny Harlin, untuk membesut film yang sama sekali lain. Hasilnya? Seperti ditulis peresensi di Kompas, film ini lebih menyodorkan kesadisan daripada kengerian, dan justru "menutup fenomena The Exorcist yang sempat dipuji sebagai salah satu film horor terbaik." (Di AS, tidak dilakukan pemutaran awal bagi para kritikus. Produser tidak ingin resensi negatif mengurangi kesempatan film ini mencetak box-office.)

Dari segi isi, film horor setidaknya bisa dipilah menjadi dua jenis. Ada jenis yang hanya ingin menggedor saraf ketakutan kita, kerap dibumbui dengan kesadisan dan seks. Jenis lainnya, film yang menggunakan genre horor sebagai sarana pelontaran pertanyaan-pertanyaan moral dan teologis. Exorcist: The Beginning lebih cenderung ke jenis pertama. Meskipun sejumlah kritikus Kristen menilainya menggambarkan Kekristenan secara positif, namun film ini tidak cukup serius menggali pertanyaan-pertanyaan teologis yang terkandung di dalam materinya.

Jadi, kalau Anda punya nyali untuk berseram-seram nonton film horor, namun sekaligus ingin memperoleh bahan kajian teologis yang provokatif, lupakanlah Exorcist: The Beginning, dan sewalah The Exorcist produksi 1973.

Kembali ke pertanyaan anak SMU tadi. Pertanyaan pertama dijawab Alkitab dengan tegas: Iblis dan roh-roh jahatnya dapat merasuki seseorang. Injil mencatat sejumlah peristiwa kerasukan dan bagaimana Kristus melakukan pengusiran setan dengan penuh kuasa.

Yesus juga memberi kuasa kepada para rasul untuk mengusir roh jahat di dalam nama-Nya (Matius 10:1). Praktik pengusiran roh jahat dapat ditemukan pula dalam tulisan para Bapa Gereja mula-mula, seperti St. Justin Martyr (165 M), Tertullian (230 M) dan St. Cyril dari Yerusalem (386 M). Adapun film The Exorcist orisinal, meskipun tidak terlalu setia pada sumbernya, diangkat dari peristiwa faktual.

Apakah Gereja melakukan pengusiran roh jahat? Sejarah Gereja memaparkan dinamika menarik. Pada Abad Pertengahan, pengertian karut-marut seputar aktivitas Iblis dan pengusiran roh jahat mengakibatkan penganiayaan terhadap mereka yang dianggap sebagai penyihir dan "berkawan" dengan Iblis. Reformasi Protestan bereaksi terhadap hal ini. Gereja Lutheran semula membatasi dan kemudian menghapuskan exorcisme pada akhir abad ke-16. Kaum Calvinis menyatakan praktik itu hanya berlaku bagi gereja abad pertama. Adapun Gereja Katholik menata ritual pengusiran roh jahat dalam Roman Ritual (edisi revisi tahun 2000 disahkan oleh Paus Yohanes Paulus II). Di luar itu, kita mencatat maraknya praktik pelepasan (deliverance) di kalangan Pentakosta dan Kharismatik. Film The Exorcist sendiri mengacu pada ritual pengusiran roh jahat yang dikenal di Gereja Katholik.

Film-film semacam The Exorcist, dengan demikian, memantik kita untuk mengembangkan teologi (dalam hal ini demonologi) yang sehat dan seimbang. Terhadap fenomena alam roh, menurut C.S. Lewis, orang cenderung terseret ke arah salah satu kutub, yang sama-sama merupakan kesalahan fatal: menjadi magician atau materialist. Kategori magician mengacu pada mereka yang terobsesi oleh roh jahat. Adapun golongan materialist adalah mereka yang sama sekali menyangkal eksistensi alam roh.

Menjadi magician, kita terperosok ke dalam okultisme. Sebaliknya, kalau tergolong materialist, pagi-pagi kita sudah kalah perang, justru karena tidak siap dan tidak paham akan muslihat dan strategi musuh.

Firman Tuhan sebetulnya sudah memberikan pagar pengaman yang tegas. Agar tidak menjadi magician, kita diperintahkan untuk "tidak menyelidiki apa yang mereka sebut seluk-beluk Iblis" (Why. 2:24). Sebaliknya, agar tidak pula terjebak menjadi materialist, kita perlu tahu apa maksud atau tipu muslihat Iblis (2 Kor. 2:11). ***

Dimuat di Bahana, November 2004.

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1