Home | Resensi Film

City of God (2002)

Ketika Kejahatan Berdaur Ulang

Protagonisnya sebuah tempat: kawasan kumuh yang sengaja dibangun pemerintah Brasil untuk menampung mereka-mereka yang tidak diinginkan, agar tidak merusak kemolekan dan daya tarik wisata Rio de Janeiro. Tanpa jalan aspal, tanpa listrik, tanpa saluran air. Yang berbiak adalah ketamakan, obat-obatan terlarang, dan kekerasan. Di sini, sudah untung kalau umurmu melewati 20 tahun. Di sini, cuma tiga jalan hidup yang ditawarkan: menjadi polisi, buruh kasar, atau penjahat. Tampaknya tidak ada alternatif atau jalan lain untuk lolos. Sungguh ironis, favela ini justru menyandang julukan megah dan sakral: Cicade de Deus, Kota Allah.

Oleh narator, seorang bocah setempat bernama Rocket (Alexandre Rodrigues), riwayat Cicade de Deus dituturkan melalui silang-sengkarut riwayat para penghuninya. Petilan-petilan kisah mereka dikisahkan secara bergantian, dengan penyuntingan yang gesit, dan dari berbagai sudut pandang yang saling melengkapi.

Pertama, tahun 1960-an, kita diperkenalkan pada gerombolan penjahat remaja bernama Tender Trio: Shaggy (Jonathan Haagensen), Clipper (Jefechander Suplino) dan Goose (Renato de Souza). Kelompok ini bubar setelah merampok sebuah rumah pelacuran. Shaggy tewas di tangan polisi.

Memasuki tahun 1970-an, Li'l Ze (Leandro Firmino da Hora), waktu kecil bernama Li'l Dice, menguasai bisnis perdagangan narkoba. Psikopat brutal ini mengendus bau darah pertama kali di rumah pelacuran tadi. Kehadiran teman dekatnya, Benny (Phellipe Haagensen), lumayan meredam kebrutalannya. Rocket sendiri mendapatkan sebuah kamera, dan mulai melihat sebuah pilihan hidup yang berbeda. Kita juga diperkenalkan pada bos narkoba lainnya, Carrot, dan seorang pemuda yang terseret ke dalam lingkaran kejahatan setelah pacarnya diperkosa secara brutal. Pada awal 1980-an, favela itu telah membara dalam perang antargang berkepanjangan.

Apa yang diberitakan oleh nama-nama itu -- dan sekaligus oleh sekian wajah lain yang tak sempat kita kenal namanya? Wajah-wajah itu, dengan segala kegeraman dan kepedihannya, memaparkan bagaimana sebuah budaya kejahatan berdaur ulang. Di Cidade de Deus, kejahatan bukan hanya melahirkan kejahatan. Kejahatan itu sendiri telah berkembang menjadi mekanisme pertahanan diri, simbol kesuksesan, sekaligus semacam candu. Dan kita pun menyaksikan bagaimana kawasan kumuh itu menggeliatkan regenerasi yang menggigilkan: kejahatan itu tak kunjung henti, hanya nama-nama pelaku yang berganti.

Seorang anak kecil, ketika mendaftarkan diri sebagai anggota gang, menggambarkan dirinya begini: "Dengar ya, aku ini merokok, aku menyedot (mariyuana).... Aku sudah mengemis di jalanan sejak masih bayi. Aku mengelap kaca mobil di lampu merah. Aku pernah menyemir sepatu, aku pernah merampok, aku pernah membunuh.... Aku bukan lagi bocah, bukan. Aku ini laki-laki sejati...." Dalam sebuah adegan yang tak kalah getir, menjelang berperang para anggota gang membentuk lingkaran mendaraskan Doa Bapa Kami....

Di tengah lingkaran setan itu, kisah Rocket dan kameranya adalah sebersit pengharapan. Melalui foto-foto jepretannya, dunia luar menemukan jendela untuk melongok ke dalam kawasan kejahatan itu. Melalui kameranya pula, Rocket beroleh kesempatan untuk membangun kehidupan yang lebih baik.

Cidade de Deus terkesan sebagai sebuah lembah kusta mereka-mereka yang tak diinginkan. Menurut sutradara Fernando Meirelles, "Bagi mereka yang datang dari luar, seperti saya, favela itu seperti negara di dalam negara. Kehadiran Negara tidak terlihat, hukum-hukum yang berlaku lain, polisi dianggap sebagai ancaman dan bukannya pihak yang membela, mereka hanya memantik konflik dan mengacaukan tatanan setiap kali muncul." Yang berkuasa di sana adalah "pemilik", yang bertindak sebagai hakim yang mengurusi mulai dari masalah pribadi dan keluarga sampai dengan soal administrasi publik.

City of God diangkat dari novel Paulo Lins, yang mendedahkan apartheid sosial yang berlangsung di Brasil (atau barangkali lebih tepat: Brasil hanyalah sebuah contoh soal). Meirelles tergerak untuk menggarapnya tanpa melibatkan aktor-aktor profesional, melainkan dengan anak-anak yang benar-benar menghidupi realitas tersebut. Mereka diaudisi dan dilatih secara khusus untuk proyek ini. Adapun pengambilan gambaran dilakukan di favela lain yang didapati lebih aman.

Sesuai dengan atmosfir tiga era yang digambarkan, Meirelles membesut masing-masing bagian seolah-olah sebuah film yang berbeda. Bagian pertama, tahun 1960-an, mengikuti irama samba tradisional, menggambarkan bersemainya kejahatan, dominan dengan warna panas tanah lempung kering. Bagian kedua, awal 1970-an, ketika bisnis mulai berkembang, ia menggunakan lebih banyak warna, gerak kamera dan penyuntingan lebih leluasa, ditingkahi paduan musik pop/samba/funk. Bagian terakhir adalah perang: segalanya bergerak cepat dan liar, dalam warna-warna monokrom, dingin dan resah.

Tak ayal film ini penuh dengan kekerasan, tanpa harus mengumbar darah. Meskipun begitu, kekerasan itu menjadi sangat mengguncangkan karena fakta ini: bahwa film ini diangkat dari kisah nyata, bahwa yang memegang senjata itu kebanyakan masih remaja dan bahkan bocah-bocah cilik.

Film mencekam dan sekaligus mencelikkan mata ini terbukti mendapatkan tempat di hati khalayak. Menurut IMDB Top 250 tanggal 17 Maret 2005 (daftar ini terus berubah, berdasarkan polling online berkelanjutan dari para anggota IMDB), film ini bertengger di urutan ke-20, mengatasi film klasik lain seperti Psycho, Lawrence of Arabia, Apocalypse Now dan Sunset Blvd. Film yang sering dijadikan bandingannya, GoodFellas, berada sedikit di bawahnya, di urutan ke-28.

Dan yang menarik dicatat, Luiz Inacio Lula da Silva, presiden Brasil yang baru saja terpilih saat film ini beredar, mengulas dan memuji City of God sebagai suatu seruan yang relevan untuk dilakukannya perubahan. *** (11/05/2005)

CITY OF GOD. Sutradara: Fernando Meirelles. Skenario: Braulio Mantovani, berdasarkan novel Paulo Lins. Pemain: Alexandre Rodrigues, Leandro Frimino da Hora, Phellipe Haagensen, Deu Jorge, Matheus Nachtergaele, Douglas Silva. Asal/Tahun: Brasil, 2002.

Home | Film | Email

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1