Home | Resensi Film

Bridget Jones: The Edge of Reason (2004)

Sesudah Sebuah Happy Ending

Kita menghela napas lega saat dongeng-dongeng atau kisah cinta berujung dengan and they lived happily ever after. Kita percaya, dan diam-diam mendambakan fantasi itu: kebahagiaan abadi. Namun, pernahkah kita bertanya: apa sebenarnya yang terjadi sesudah itu? Bagaimana si Cinderella, yang biasa berkutat di dapur, menyesuaikan diri dengan protokol istana setelah dipersunting Pangeran Tampan?

Bridget Jones: The Edge of Reason nyaris menyodorkan jawaban menarik untuk itu. Seperti Anda tahu, prekuel film ini, Bridget Jones' Diary, berakhir dengan Bridget -- perempuan montok dan kerap kikuk -- berbahagia dalam rengkuhan Mark Darcy -- pria tenang, serius, anggun -- di bawah taburan salju di jalanan London. Film ini dimulai tidak lama sesudah itu. Tepatnya, dua bulan kemudian.

Ya, hanya dua bulan rupanya mereka mabuk cinta, untuk kemudian menemukan bahwa opposites tak selalu attract, namun bisa berbalik attack. Kecemburuan menunjukkan batang hidungnya. Bukan hanya muncul orang ketiga, mantan kekasih nongol pula. Bridget pun terjerat dalam cinta segitiga-ganda.

Menarik sebenarnya bila film ini memotret dua orang dewasa berbeda watak, masing-masing telah mandiri, menguji kadar kecocokan satu sama lain. Sayangnya, besutan Beeban Kidron justru jauh dari "dewasa". Komedinya cenderung slapstick. Seks diperbincangkan sebagai "bagian terbaik" dari hubungan mereka (ironis, di tengah wacana seks bebas, Bridget toh memimpikan sesuatu yang tradisional: pernikahan dan keluarga). Plotnya melantur (Bridget terdampar di penjara Thailand dan ber-Like a Virgin-ria? Come on!). Penyelesaiannya, khususnya untuk segitiga Bridget-Mark-Rebbeca, gampangan. Pada akhirnya, kita boleh garuk-garuk kepala, apa sih yang membuat Bridget dan Mark saling tertarik?

Yang cukup menyelamatkan film ini adalah pemainnya. Renée Zellweger tetap menggemaskan sebagai protagonis, namun saat dia mempermalukan diri, pengin rasanya memalingkan muka (dan saya lebih terkenang-kenang oleh pesonanya dalam Jerry Maguire). Hugh Grant tampil licik dan licin sebagai Daniel, sayang ia hanya muncul sebentar. Colin Firth? Begitu kaku ia membawakan Mark Darcy, sulit membayangkan pria ini juga romantis.

Sekuel yang dibuat semata-mata untuk mendaur ulang sukses pendahulunya memang lebih sering mencemaskan. Film ini -- ah, paling tidak ia telah mengingatkan: and they lived happily ever after itu bukan sebuah titik, melainkan koma. *** (17/04/2005)

-- Dimuat di Bahana.

Home | Film | Email

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1